Teguh masih diam membatu. Sulit baginya untuk menjelaskan situasi ini. Sementara bagi Puspa biar bagaimana pun tetap saja kabar ini menggembirakan meskipun dia mengerti posisi putranya pasti sulit saat ini.
"Mama rasanya masih tidak percaya ini. Mama paham ini pasti tidak mudah untukmu, tapi Teguh, kamu perlu tahu. Mama mendukung kamu sepenuhnya.Ya, Mama mengerti dari sudut pandang perempuan mungkin Mama sedikit keterlaluan tidak memikirkan perasaan Anggre, tapi sebagai manusia normal Mama juga ingin seperti orang lain. Mama ingin juga menimang cucu seperti teman-teman mama yang lain, Guh.Alhamdulillah sekarang kamu akhirnya sadar kalau pilihan kamu selama ini tidak memiliki anak adalah pilihan yang salah," kata Puspa mencoba membesarkan hati putranya.Teguh menggelengkan kepalanya. Apa yang dikatakan oleh ibunya benar, tapi bagi Anggre tentu saja itu tidak benar. Entahlah, Teguh juga merasa terjebak di situasi ini. Terjebak dalam pernikahannya dengan Anggraini, dan di sisi lain terjebak dalam pernikahan yang lain dengan Merry. Kedua-duanya tidak bisa ia lepaskan salah satunya.Puspa menarik kembali ponselnya dari tangan Teguh. Ia melihat sosok lucu gadis kecil di ponsel itu dengan senyum."Jadi ini cucu Mama? Wah, cantiknya. Siapa namanya, Guh? Umur berapa dia?" tanya Puspa.Ia mencoba mengabaikan perasaan gundah gulana putranya itu.Teguh memijat pelipisnya yang mulai berkeringat."Untuk apa Mama bertanya. Bukankah seharusnya Mama lebih tahu? Mata-mata mama tidak mungkin tidak tahu tentang semua informasi yang mama butuhkan kan?" jawab Teguh sedikit kesal.Puspa mengelus pipi anak perempuan di ponsel itu."Katanya cucu mama namanya Shakila. Wah, kamu pintar juga memilih nama yang bagus. Cuma agak sedikit curang sih. Harusnya untuk anak pertama dan cucu pertama di keluarga perlu andil neneknya memberi nama. Biasanya sih gitu. Teman-temannya Mama juga pada ngasih nama sama cucu-cucu mereka. Ah, Mama jadi sedih deh nggak dianggap," kata Puspa pura-pura cemberut.Teguh memutar bola mata. Ia tidak suka pada sikap ibunya kali ini."Heran, mama bahkan tidak menanyakan siapa ibunya. Apa karena mama sudah tahu?" tebak Teguh.Mendengar tebakan Teguh, Puspa hanya menghela napas kesal namun juga pasrah."Kamu memang benar-benar keras kepala. Tak sia-sia Mama sama Papa kasih nama kamu Teguh. Benar-benar kalau kamu sudah menginginkan sesuatu kamu akan berpegang teguh pada pendirianmu," cibir Puspa.Riani sedari tadi hanya diam saja. Ia hanya malas ikut campur pada pembicaraan ibu dan kakak sulungnya itu. Bukannya dia tidak senang mengetahui kalau ternyata ia memiliki keponakan, tetapi sebagai seorang perempuan dia bisa merasakan sakit yang akan Anggre rasakan kalau iparnya itu tahu masalah ini nanti."Andai sedari awal Mama menyetujui hubunganku dengan Merry, mungkin ini semua tidak akan terjadi," sesal Teguh dengan bibir yang bergetar."Bukan salah Mama. Dari awal kita beda agama dengan dia. Wajar mama melarang kamu dengan dia. Perbedaan keyakinan bukan masalah sepele, Teguh. Di agama manapun tak ada yang mendukung pernikahan beda agama. Dan mama sudah pernah memberi pilihan pada Merry ikut keyakinan kita atau tidak sama sekali. Tapi dia tidak mau kan? Apa itu menjadi salah Mama jika tidak merestui kalian? Hmm?" Puspa balas memojokkan Teguh dengan penekanan.Teguh menarik napas dalam-dalam dan membuangnya dalam hembusan panjang.Ingatannya kembali pada masa dimana ia dan Merry masih sekolah. Merry cinta pertamanya. Bahkan mereka telah berpacaran sejak di bangku SMP. Tak hanya cinta monyet hubungan keduanya berlanjut hingga ke SMA.Saat itu hubungan mereka telah tercium oleh keluarga Teguh. Berkali-kali Puspa memberi teguran pada keduanya, juga pada Merry yang sama sekali bukan merupakan kriteria menantu idamannya karena selain Merry berasal dari keluarga sederhan, agama mereka pun berbeda. Namun hubungan itu tetap berlanjut. Sehingga Puspa merasa perlu mengirim Teguh keluar negeri untuk melanjutkan pendidikannya.Selama berada di Jepang, Teguh berkenalan dengan adik tingkatnya. Hubungannya yang semakin tidak karuan dengan Merry karena hubungan jarak jauh dan cinta yang tidak direstui membuat Teguh mencoba membuka hati untuk Anggraini.Puspa yang tahu hal itu mendukung sepenuhnya hubungan keduanya. Patah hati Teguh karena Merry memutuskan hubungan mereka dan menikah dengan pria lain membuat Teguh merasa putus asa. Cintanya pada Merry begitu dalam meski ada Anggraini di sampingnya.Anggre adalah pribadi yang menyenangkan, dia baik dan mereka sering bersama sepanjang waktu di kampus dan di komunitas mahasiswa yang tinggal di Jepang. Cinta gadis itu begitu tulus padanya. Bersamanya Teguh awet menjalin hubungan hingga tahunan lamanya. Tetapi hatinya masih terasa kosong.Bukan karena cinta ia menikahi Anggraini, melainkan untuk membungkam mulut orang-orang yang mendesaknya untuk menikah. Namun sebelum menikah telah ia katakan pada Anggraini bahwa ia tidak ingin memiliki keturunan. Dengan dalih kemanusiaan dan kecemasan terhadap over populasi di muka bumi, ia berhasil meyakinkan gadis itu untuk mengadop childfree.Teguh kejam bukan?Ia bukannya tidak ingin memiliki keturunan. Ia hanya tidak ingin punya anak dari wanita lain selain Merry. Cinta pertama yang juga merupakan cinta sejatinya.Dua tahun berselang pernikahan Teguh dan Anggraini baik-baik saja. Adem dan romantis di mata semua orang meski tak banyak juga yang julid karena keputusan mereka untuk child free. Hingga pada akhirnya takdir mempertemukan lagi ia dan Merry dengan benang merah mereka yang belum sepenuhnya terputus.Pria itu mendapat kabar kalau Merry telah berpisah dari suaminya. Kondisi wanita itu cukup menyedihkan dengan keadaan ia sedang mengandung Shakila. Rasa yang masih belum pupus di hati membawa Teguh kembali menemui cintanya. Mengulurkan tangan dan merengkuhnya untuk kali ini benar-benar menjadi bagian dari hidupnya.Tanpa sepengetahuan Anggraini tentu saja, juga tanpa sepengetahuan keluarganya. Ia melangsungkan pernikahan dengan Merry. Kali ini Merry tak lagi berpikir panjang untuk ikut dengan keyakinannya.Teguh sepenuhnya sadar tak akan selamanya ia bisa menyimpan hubungan pernikahannya dengan Merry, tetapi ia belum siap dengan segala konsekuensi dan resiko akan kehilangan Anggraini juga.Meski tak sebanyak cintanya pada Merry, tetapi ia juga mencintai Anggraini dan tak akan rela melepas wanita itu dari hidupnya."Jadi gimana sekarang? Merry sudah ikut agama kita? Atau jangan-jangan … jangan bilang kau dan dia …""Ya, Merry sudah tidak lagi beda keyakinan dengan kita," potong Teguh cepat."Baguslah. Mama juga nggak mau cucu mama bingung dengan orang tua yang berbeda agama," tukas Puspa.Ada kelegaan di hati Teguh mendengar perkataan ibunya. Bukankah itu berarti ibunya telah merestui ia dan Merry. Ah, akhirnya perjuangan berat itu membuahkan hasil juga. Tetapi saat ini kenapa ada batu besar lagi mengganjal di hatinya. Selesai dengan masalah Merry, sepertinya dengan Anggraini akan menjadi masalah besar."Jangan bahas ini dulu, Ma. Takutnya entar Mbak Anggre keburu datang," celutuk Riani kali ini mengingatkan.Mereka tidak tahu di luar rumah Anggraini, sedang terduduk lemas di balik dinding. Sedari tadi ia belum pergi ke warung. Hatinya yang curiga menuntunnya untuk menguping pembicaraan mereka dari luar rumah.Ia sengaja membuka pagar agar mereka yang di dalam rumah mengira ia sudah pergi dan kemudian ia kembali masuk ke pekarangan samping rumah hanya untuk mendengarkan semua hal yang menyakitkan ini.Hufft …Rasanya sesak.***Bersambung…"Lima tahun lamanya, Mas. Aku dengan bodohku mengikuti prinsip childfree-mu itu. Menutup telinga atas cemoohan orang lain atas keputusan itu. Aku memang childphobia, tetapi bukan berarti tidak bisa hidup dengan anak."_________________________________"Loh, Mama dan Riani mau kemana?" tanya Anggraini dengan wajah bingung.Saat ia kembali, mertua dan iparnya itu telah ada di depan pintu rumah mereka siap untuk pulang."Kamu tuh yang kemana aja. Beli kopi aja hampir setengah jam. Beli dimana sih? Beli di Vietnam?" balas Puspa."Oh, tadi Anggre ke warung sebelah warungnya belum buka, Ma. Terus lanjut ke warung yang ada di blok sebelah juga eh ternyata tutup juga. Padahal biasa dari habis subuh sudah buka tuh warung. Heran juga kenapa pada tutup semua warungnya. Jadi terpaksa deh Anggre ke luar komplek perumahan dibuat beli kopi dan ini …" Anggraini menunjukkan bungkusan kresek putih di tangannya berisi beberapa bungkus nasi."Katanya kan Mas Teguh pengen sarapan yang tradisional-tradisio
"Pia, kamu dimana?" Anggraini dengan ponsel di telinganya membuka pintu mobil. Ia sedang melakukan sambungan telepon dengan sahabatnya Sophia.[Aku sebentar lagi sampai Bandung, Nggre. Kamu gimana?]"Ini baru mau jalan. Mas Teguh baru berangkat ke Singapore nih. Oke, tungguin aku di sana ya!"[Ya, hati-hati di jalan, Nggre. Ingat, keselamatan tetap yang utama. Jangan ngebut. Laki-laki brengsek itu nggak ada apa-apanya dibanding hidupmu yang berharga, Sayang.] Anggraini terharu mendengar kata-kata penyemangat dari Sophia. Ya, masih ada sahabatnya itu yang setia di sampingnya di saat suaminya sendiri telah dengan teganya menghancurkan hatinya."Jangan khawati, Pi. Aku baik-baik aja. Nggak akan ngebut. Kamu tunggu aja aku di sana, ok?" Usai telepon singkat itu Anggraini segera masuk ke dalam mobil, mengemudikannya ke luar kota Jakarta. Bandung, itu adalah kota tujuannya saat ini. Ia tak sepenuhnya menepati janjinya pada Sophia untuk tidak ngebut-ngebutan. Namun Anggraini tetap berhati
"Jadi anda ingin melamar kerja di sini sebagai instruktur?" Anggraini mengangguk yakin. "Ya, ini berkas saya," katanya sembari mendorong sebuah map berisi surat lamaran kerja, CV serta berkas pendukung lainnya."Tapi di sini sedang tidak membuka lowongan pekerjaan, Sis. Gymnasium ini sedang tidak membutuhkan instruktur senam tambahan," kata pengelola gymnasium itu.Terlihat sekali pria berumur empat puluh tahunan itu tidak tertarik menerima surat lamaran kerja Anggraini. Jangankan membuka map itu, alih-alih dia malah mendorong kembali map itu pada Anggraini.Anggraini tersenyum percaya diri."Maaf, Pak. Saya memang lancang mengantar surat lamaran kerja tanpa adanya pembukaan lowongan pekerjaan di tempat ini, namun meski begitu tolong terima saya. Ini adalah impian dan cita-cita saya sedari dulu," kata Anggraini berusaha meyakinkan."Ya, saya mengerti tetapi gymnasium di kota Bandung ini ada banyak, tak hanya di sini saja. Mungkin anda bisa mencobanya di gymnasium lain?" Pria bernam
Keluar dari ruangan Handoko, Anggraini langsung disambut oleh Sophia."Nggre, gimana?" tanya Sophia harap-harap cemas.Anggraini tidak langsung menjawab melainkan mengajak Sophia pergi dari sana. Ia merasa tidak enak jika menceritakan pembicaraannya dengan Handoko sementara banyak orang berpapasan dan berlalu-lalang di sekitar mereka.Setelah mereka tiba di dalam mobil Sophia kembali, barulah ia menceritakan pada sahabatnya itu tentang bagaimana ia merayu seorang Handoko untuk menerimanya bekerja di gymnasium itu."Wah, gila! Kamu belum apa-apa sudah berani menyuap orang itu? Ckckck … Anggre, ini sisi gelapmu yang selama ini aku tidak tahu. Ngomong-ngomong darimana dan sejak kapan kamu punya sikap buruk seperti ini?" Sophia berdecak tak percaya kalau Anggraini ternyata bisa melakukan hal sejauh ini.Sepertinya Anggraini sudah memikirkan matang-matang segalanya hanya dalam kurun waktu yang sangat singkat.Anggraini mengangkat pundak."Serius, Anggre. Kamu akan melakukan apa jika kamu s
"Bu, HP ibu bunyi. Kayaknya itu telepon dari bapak deh," kata Bik Asih pada majikannya yang sedang sibuk olahraga di atas matras.Bik Asih adalah asisten rumah tangga pulang pergi yang membantu Anggraini melakkukan pekerjaan rumah tangga di rumah ini. "Bibik angkat saja teleponnya, Bik dan tolong taruh saja HP saya di tripod," kata Anggraini yang masih sibuk dengan olahraga senamnya.Beberapa hari ini ia memang banyak berolahraga. Bukan dengan tujuan utama agar bugar, melainkan ingin melatih kembali otot-otot tubuhnya dan melenturkannya agar tidak terlaku kaku jika ia diterima kerja di gymnasium itu nantinya.Dulu ketika masih berada di Tokyo, Anggraini rajin ikut senam. Bukan hanya menjadi member, tapi ia bahkan sering ikut perlombaan di tingkat internasional hingga mendapat banyak sertifikat penghargaan dari kegiatan positifnya itu.Namun setelah berada di Indonesia, Anggraini tidak lagi serutin dulu dalam kegiatan olah tubuhnya itu. Ia sesekali memang masih pergi fitness dan nge-g
Usai mengakhiri panggilan video itu, Anggraini pun segera menerima panggilan suara yang belum berhenti berdering sedari tadi."Ya, Pak? Selamat Siang!" sapa Anggraini pada si penelepon yang berada beda kota dengannya itu."Ini dengan Mbak Lestari Anggraini ya?" tanya si penelepon itu."Ya, Pak. Saya sendiri, Pak," sahut Anggraini dengan antusias.Bagaimana bisa Anggraini tidak antusias mendapat telepon dari Handoko? Memang telepon dari HRD D'Goal Gym dan Fitness Center itulah yang telah dia tunggu selama beberapa hari ini. Meski Anggraini merasa sedikit harap-harap cemas akan maksud Handoko meneleponnya, namun Anggraini optimis hingga 100% kalau pria itu menghubunginya pastilah karena ingin memberitahukan kabar baik padanya. Anggraini tahu, kebanyakan HRD tidak akan mau berepot-repot menelepon calon pekerja yang mengajukan lamaran kerja di perusahaan mereka jika mereka tidak berniat untuk menerimanya."Mbak Tari? Ini saya Handoko dari D'goal Gym and Fitness Center," kata pria di uju
"Kamu dimana, Bun?"Suara hangat pria itu langsung masuk ke gendang telinga Merry. Seperti biasa, suami yang telah menikahinya tiga tahun lalu itu selalu perhatian dan hangat terhadapnya meskipun mereka menjalani hubungan jarak jauh selama ini."Ini baru mau masuk kelas. Eh ayah sudah telepon aja. Padahal sudah dibilangin juga tadi kalau aku mau ikut kelas senam hari ini," jawab Merry."Kok kedengarannya kayak ngomel? Padahal ayah bela-belain telepon loh padahal lagi sibuk?" Merry tersenyum sendiri. Sebenarnya dia juga senang diperhatikan sedemikian rupa seperti itu sih. Ia sedikit mengomel hanya untuk jual mahal dengan begitu suaminya itu akan lebih memperhatikannya."Nggak ngomel. Perasaan Ayah aja itu. Udah deh, kita lanjut teleponnya entar malam aja ya Yah. Entar lagi kelasnya dimulai nih.""Ck!" Terdengar decakan di ujung sambungan telepon. "Ya sudah, entar malam ayah telepon lagi."Merry baru saja akan mematikan sambungan telepon, namun terdengar lagi suara si penelepon itu mem
Beberapa waktu setelah Merry pergi, instruktur yang dipandangi Merry sedari tadi yang ternyata adalah Anggraini itu pun kembali masuk ke kelas zumba untuk mengakhiri sesi Zumba sore itu setelah mereka melakukan pendinginan."Sekian dulu sesi zumba kita sore ini, ya Bestie. Lanjut senin ya!" "Kenapa nggak ada sesi di weekend sih sama Sist Tari? Padahal kita-kita weekend lebih banyak waktu loh. Pengennya sih kalau bisa Sabtu dan Minggu biar lebih maksimal hasilnya," keluh salah seorang peserta zumba.Anggraini tertawa renyah."Yang masih jomblo mana paham?" tawa Anggraini menjawab keluhan peserta zumba yang sebagian adalah anak kuliahan itu."Ho oh, ya Sis. Pasti Sis Tari mau weekend'an sama pacarnya ya, Sis?" sahut peserta zumba lain yang bertubuh agak berisi.Anggraini tersenyum. Baru satu minggu dia resmi menjadi instruktur senam di gymnasium ini, tetapi mereka-mereka yang mengikuti kelasnya sudah merasa begitu nyaman dan dekat dengannya. Padahal Anggraini tidak merasa kalau ia se-h