Kara pun mencebik, menggerak-gerakkan kepala seolah itu bukan masalah besar. “Oke. Apa? Tanyakan saja.”
“Menurutmu,” Frank menarik napas, “apakah Jeremy akan menerima tawaranku?"
Bukannya bersimpati, Kara malah memiringkan kepala dengan mata sipit. "Tawaran apa? Maaf atau jabatan?" Nada suaranya lucu. Ia tidak mau ketegangan merasuki udara lagi.
Menyadari itu, sudut bibir Frank naik. "Dua-duanya."
Kara bergumam seolah berpikir keras. "Kalau tawaran maaf, dia pasti menerimanya. Tapi kalau tawaran jabatan, aku tidak tahu. Ada banyak faktor yang harus dipertimbangkan. Kesediaannya, dampaknya, dan reaksi kakek kalian. Tapi ...."
Kara memberi penekanan lebih pada kata terakhir. "Kurasa kau tidak perlu memusingkan hasilnya. Yang dinilai itu adalah ketulusan."
Ia menepuk dada sang kekasih ringan. Kemudian, dengan senyum simpul, ia berbisik, "Selamat malam, Frank."
"Bolehkah aku tidur bersamamu lagi?" sambar pria itu sigap.
Setelah menjepit pelipis sejenak, Frank menyandarkan punggung pada sandaran. "Semalam aku sudah merenung. Kelakuanku selama ini kepadamu tidaklah wajar. Aku sudah memberimu banyak kesulitan. Aku berlagak seperti seorang bos hebat." Jeremy mengangkat bahunya sekilas. "Bukankah Anda memang bos yang hebat? Lagi pula, identitas saya belum terbongkar saat itu. Wajar jika Anda memberi saya tugas sulit." "Tetap saja, aku merasa bersalah." Frank tiba-tiba tampak lelah. Kantong matanya menebal, membuatnya tampak menua. "Kau adalah putra pertama dari ayahku, pewaris Savior yang sesungguhnya. Tapi aku malah memperlakukanmu ...." Melihat Frank tidak mampu menyelesaikan kalimat, Jeremy tersenyum tipis. "Aku senang kau sudah berubah, Adikku. Tapi, kau tidak perlu merasa begitu terhadapku. Begini saja .... Aku akan berbicara santai kepadamu kalau kau menghapus penyesalanmu itu." Sebelum Jeremy bisa menyanggah lebih lanjut, Frank memotong, "Berbicara santai saja tida
"Norman ...." Rowan mengelus wajah potret putra tunggalnya. Dagunya berkedut dan matanya berkaca-kaca. "Apakah yang dikatakan Vivian itu benar? Semasa hidup, kau selalu tertekan dan menderita?" Lewat desah panjang, pria tua itu berusaha melepas panas dari dalam paru-paru. Malangnya, ia malah bertambah sesak. Air mata pun mendesak keluar dari batas. "Kau selalu tersenyum dan terlihat bersemangat. Kau selalu memenuhi keinginanku terhadapmu dengan sempurna. Tidak seorang pun akan berpikir kalau kau menjalani semua itu dengan terpaksa." Tiba-tiba, Rowan mengangkat wajah. Tatapannya semakin jauh menerawang. "Tapi setelah kuingat-ingat lagi, kau memang tidak pernah menyuarakan keinginan ataupun perasaanmu. Kau selalu mengiyakan perintahku dan menjalaninya." Saat kembali tertunduk, setetes air mata jatuh pada bingkai fotonya. "Apakah perlakuanku telah merampas kebahagiaanmu? Tapi aku hanya menginginkan yang terbaik untukmu, sama seperti harapanku terhadap Frank, putramu." Bibir
"Apa yang sudah kulakukan, Sean?" Air mata Rowan berjatuhan."Apakah aku sudah mendidik anak dan cucuku dengan cara yang salah? Aku hanya ingin mereka mendapat hidup yang sempurna. Tapi mengapa ... aku malah membuat mereka tersiksa?" Sementara Rowan terisak, Sean memungut surat dan mengembalikannya seperti semula. Tidak ada kata yang berani ia ucapkan. "Apa gunanya aku hidup selama ini kalau anak dan cucuku saja membenciku? Perhatianku terhadap mereka selama ini sama sekali tidak berarti, Sean. Tidak." "Maaf, Tuan. Menurut saya, mereka tidak membenci Anda. Bukankah Tuan Norman menyebutkan kalau berbakti kepada Anda adalah panggilan hidupnya? Beliau pasti sangat menyayangi Anda." "Tapi dia juga tidak suka caraku mendidiknya. Dia benci pada perlakuanku tapi berusaha menahannya." Rowan mulai mencengkeram dada. Napasnya terasa semakin berat. "Aku sungguh tidak layak hidup," sesalnya sambil terpejam. Punggungnya mulai membungkuk.&n
Sean mengangguk. Setelah sekian tahun, ia akhirnya bisa kembali menemui keluarganya, tanpa kekhawatiran."Terima kasih, Tuan. Terima kasih. Kalau Anda butuh bantuan, jangan sungkan untuk menghubungi saya lagi." "Tidak, Sean. Tidak akan ada misi lagi. Aku hanya mau menghabiskan sisa hidupku untuk memperbaiki hubungan yang rusak. Kurasa ...," tatapannya bergeser pada buku yang tergeletak di atas rak, "inilah saatnya aku memikirkan keinginan orang-orang." “Anda ingin mengabulkan keinginan yang mereka tulis di sini?” Sean mengambil buku panduan Louis dan menyerahkannya kepada Rowan. Mata pria tua itu seketika berbinar mengamati tulisan sang cicit yang berantakan. “Ya. Dia sudah bersusah payah membuat ini. Aku harus mewujudkannya.” Sembari tersenyum, Rowan mempelajari setiap halaman. Sesekali, ia tertawa melihat kesalahan eja atau gambar di samping tulisan. Ketika ia tiba pada daftar yang ditujukan kepadanya, matanya menajam. "Pergi ke toko ma
Frank menyipitkan mata. Ia tahu betul pernyataan itu tidak datang dari hati. "Apakah Kakek datang untuk meminta maaf?" Alis Rowan terdongkrak. Namun, sedetik kemudian, ia mendenguskan tawa. "Minta maaf? Untuk apa? Hanya pecundang yang meminta maaf. Aku bukan. Aku tidak pernah menyesali apa yang sudah kulakukan." "Menurutku tidak demikian," sanggah Frank pelan. "Minta maaf itu justru dilakukan oleh orang-orang yang pemberani. Mereka berani mengaku salah, berani meminta kesempatan kedua, dan berani menantang diri untuk tidak mengulangi kesalahan." Rowan termenung sesaat. Hatinya bergetar hebat, tetapi pengendalian ekspresinya jauh lebih kuat. Ia terlalu malu untuk mengaku dosa sekarang, di dekat karyawan yang berlalu-lalang. "Kau menyebutku pengecut?" sambarnya seraya menaikkan alis. Frank menggeleng lemah. "Aku sedang tidak mau berdebat, Kek. Bagaimana kalau kita makan siang bersama dengan damai?" Mata Rowan nyaris membulat. Ia bertanya-tanya. Apakah Frank sudah lama berdiri di
“Papa serius? Kakek Rowan sungguh sudah berubah?” tanya Emily seraya mengayunkan tangan Frank dengan ceria. Matanya berbinar menanti jawaban, begitu pula dengan Louis.“Ya,” angguk Frank dengan senyum simpul. “Papa mendengar dengan jelas tentang betapa bangganya Kakek Rowan terhadap kalian. Dia punya harapan besar terhadap kalian. Papa tidak mau menjadikannya paksaan. Tapi, kalau kalian bersedia mewujudkannya, Papa yakin Kakek akan sangat bahagia.”“Kami sama sekali tidak terpaksa, Papa,” celetuk Louis dengan bibir mengerucut. “Aku dan Emily memang bercita-cita untuk memajukan perusahaan dengan cara kami masing-masing.”Hati Frank menghangat. Sembari melirik Kara, ia memperlebar senyumnya. “Kamu melahirkan anak-anak yang sungguh luar biasa, Kara.”Pipi Kara bersemu merah. “Ya, Louis dan Emily memang luar biasa.”Setelah mengangguk sekilas, membalas sambutan para pel
"Ini bukan salahmu, Frank. Ini takdir." Jeremy masih berusaha menenangkan sang adik. Namun, Frank tetap terisak. "Kakek seharusnya masih bisa melakukan banyak hal. Dia belum sempat meminta maaf kepada Kara, kepada Anak-Anak. Dia belum sempat menebus kesalahannya. Dia ...." Frank kembali tersedak. Matanya semakin merah. "Aku belum sempat memeluknya. Yang kulakukan terakhir kali hanya memegang lengannya. Yang kukatakan terakhir kali hanyalah undangan makan malam." Isak tangis Frank mulai bertambah kencang. "Aku seharusnya mengatakan kalau tidak apa-apa dia mendidikku dengan cara yang salah. Aku mengerti dia melakukan itu karena menginginkan yang terbaik untukku. Aku hanya kesal karena dia berusaha memisahkan aku dari Kara dan Anak-Anak. Tapi ...." Frank mencengkeram lengan Jeremy seolah itu satu-satunya tumpuan."Dia sudah berubah. Dia sudah menyesal. Jadi, aku tidak kesal lagi padanya. Aku justru senang, bangga dia akhi
"Hei ...." Kara merapatkan pintu di balik punggungnya lalu menggusap lengan Frank. "Bagaimana kondisimu? Sudah lebih tenang?" "Anak-Anak sudah tidur?" bisik Frank lirih. Kara belum pernah melihat wajahnya selesu itu. "Sudah." Kara mengusahakan senyuman. Tiba-tiba, Frank mendekapnya. Sambil terpejam, pria itu menarik napas dalam-dalam. Hanya aroma tubuh Kara yang bisa menenangkannya sekarang. "Ini salah satu hari tergelap dalam hidupku. Sama seperti hari kematian ayahku." Kara menggosok-gosok punggung Frank. "Ini memang hari yang berat. Kamu pasti sangat lelah. Bagaimana kalau kamu tidur juga?" Frank melepas dekapan dan memandangi Kara dengan mata sendunya. "Kamu mau temani aku tidur?" Sudut bibir Kara terangkat. "Aku tidak pernah menyangka kalau Frank Harper ternyata semanja ini." Sementara Kara membelai wajahnya, Frank memaksakan senyum meskipun gagal. "Kakek sudah seperti orang tua bagiku. Sekarang, karena dia sudah pergi, aku hanya punya kamu. Kuharap kamu tidak kebera
Halo, Teman-Teman yang Baik Hati, Terima kasih banyak, ya, udah ngikutin cerita Anak Kembar sang Miliarder yang Dirahasiakan hingga titik terakhir. Untuk Kak Puji Amriani, SK Celey, Indah Carolina, Ningsih Ngara, Monika, Rini Hartini, Selvyana Yuliansari, D6ta, Is Yuhana, AR Family, Desak Kayan Puspasari, Emma Boru Regar, Binti Mucholifah, Bhiwie Handayani, Sofia Elysa, dan Kakak-Kakak yang gak bisa Pixie sebutin satu per satu. Terima kasih banyak udah rajin banget kasih komentar buat Pixie. Dan buat Kak Azka Aulia, Lida Boelan, Adel Putri, Wenny, SK Celey, MG, Rina Zolkaflee, Susan Vantika, Nazarieda, Firaz Marsyanda, dan yang ada di ranking top fans. Terima kasih banyak atas gems-nya. Pixie harap, kalian bersedia nungguin karya Pixie selanjutnya. Pixie udah ada rencana untuk tulis cerita Louis Emily versi dewasa tapi nanti, setelah Pixie bikin cerita satu lagi. Pixie mau kumpulin lebih banyak bocil buat dipersatukan nanti. Selagi menunggu, kalian boleh banget cek karya Pixie y
Tanpa permisi lagi, Philip menyerbu masuk dan memegangi tangan Barbara. Belum sempat ia mengatakan apa-apa, Barbara sudah kembali mengejan. Briony pun keluar dan Barbara mengembuskan napas lega. "Philip .... Anak kita sudah lahir." Meskipun kepalanya mengangguk, Philip masih berkedip-kedip. Mulutnya ternganga, tak tahu harus merespon apa. "Ya ...," desahnya selang beberapa saat. Ketika tangisan Briony terdengar, barulah akal sehatnya terkumpul lagi. "Wow," Philip mengerjap. Ia membungkuk, mengelus rambut sang istri dengan perasaan yang bercampur aduk. "Kau sangat hebat, Sayang. Kau bisa melahirkan secepat itu." Barbara tersenyum bangga. "Usaha kita tidak sia-sia, Phil. Padahal, aku sempat ketakutan tadi. Desakan Briony sangat kuat. Tapi Louis dan Emily melarangku mengejan. Aku berusaha menahannya sampai akhirnya, aku menyerah." Philip berdecak kagum sekaligus tak percaya. Masih dengan tampang kaku, ia mengecup pelipis Barbara. "Kau luar biasa, Sayang. Aku senang kau tidak menemu
"Louis, Bibi sudah mau melahirkan!" Emily bangkit dengan lengkung alis tinggi. "Ya, kita harus segera membawa Bibi ke rumah sakit!" Tanpa membuang waktu, Louis meraih tangan Barbara, menariknya untuk berputar arah. "Ayo, Bibi. Kita kembali ke mobil." Akan tetapi, Barbara menggeleng. Wajahnya pucat, badannya tegang. Kakinya seolah menyatu dengan bumi. "Ada apa, Bibi?" "Panggil Philip," gumamnya lirih. "Apa?" "Panggil Philip!" Si Kembar mengerjap. Selang satu anggukan, mereka berlari menuju Philip. "Paman Philip! Paman Philip!" "Hei, kalian mau ke mana?" seru Barbara lagi. Si Kembar mengerem. Saat menoleh ke belakang, Barbara ternyata melambai-lambai. "Kenapa kalian meninggalkanku sendirian di sini?" Suaranya melengking. "Tadi Bibi menyuruh kami memanggil Paman Philip?" Louis menggeleng tak mengerti. "Ya, tapi jangan meninggalkan aku di sini." Sambil tertatih-tatih, ia beringsut mendekati Louis dan Emily. "Satu orang saja yang memanggil Philip. Satu orang lagi, pegangi aku!"
"Halo, Orion," bisik Emily saat bayi mungil dalam kotak membuka mata. Tangannya terulur, berusaha menggapai pipi gembul itu. Dari sisi lain boks, Louis juga melongok ke dalam. "Halo, Oscar." "Louis?" tegur Emily dengan mata bulat. "Kenapa kamu memanggilnya Oscar? Ini pertemuan pertama kita dengannya. Jangan membuat kesan buruk." Louis langsung mengerutkan bibir. "Oke, maaf. Aku sudah kebiasaan. Biar kuulang." Setelah berdeham, ia kembali menunduk. "Halo, Orion. Ini aku, Louis. Aku sepupumu." Emily tersenyum kecil dan mengangguk. "Itu baru benar." Usai mengacungkan jempol kepada Louis, ia melambaikan tangan ke bawah. "Dan aku Emily. Senang bertemu denganmu, Orion." Selama beberapa saat, dua balita itu sibuk mengamati Orion. Philip dan Barbara merasa terhibur mendengar komentar mereka. "Ternyata Paman Philip benar. Orion mirip kedua orang tuanya. Matanya mirip Bibi, sedangkan hidung dan mulutnya mirip paman." "Dagunya juga mirip Paman. Tapi rambutnya mirip Bibi." "Emily, coba k
Seorang perawat berusaha menenangkan Ava. Akan tetapi, wanita itu terus menggeleng, menolak semua kata-kata yang ditujukan kepadanya. Ia sudah sangat lemas. Rasa sakit seakan merontokkan seluruh tulang dalam badannya. Otaknya tidak bisa lagi berfungsi dengan normal. "Tidak. Aku sudah tidak kuat. Aku tidak bisa melanjutkan." Setelah menarik napas berat, Jeremy akhirnya membungkuk. Perawat tadi pun bergeser. Jeremy jadi lebih leluasa untuk membelai rambut Ava yang basah oleh keringat serta wajahnya yang dibanjiri air mata. "Ava, bisakah kau mendengarku? Ava?" Tatapan mereka akhirnya bertemu. Jeremy bisa melihat keputusasaan dalam manik cokelat itu. "Aku tidak sanggup lagi, Jeremy. Aku tidak sanggup. Biar dokter saja yang mengeluarkannya. Aku tidak tahan lagi." Dada Jeremy seperti dicabik-cabik. Ia nyaris tersedak oleh rasa nyeri. Namun, sambil mengelus pundak Ava, ia menggeleng. "Tidak, aku kenal dirimu. Kamu bukanlah orang yang pantang menyerah, Ava. Kamu pasti bisa." "Tapi aku
"Lihat ini, Brandon." Louis meletakkan setumpuk kertas foto di atas meja. Kemudian, satu per satu ia tunjukkan kepada temannya. "Ini foto Russell sedang menangis. Ini foto Russell sedang tertawa. Dan ini foto Russell sedang marah." "Apakah anak bayi sudah bisa marah? Bukankah dia masih terlalu muda untuk mengerti apa-apa?" Brandon menggeleng samar. Louis mengedikkan bahu. "Aku tidak tahu soal itu. Tapi kalau Russell melihat sesuatu yang tidak disukainya, tangannya terus mengepak dan mulutnya berbunyi ...." Louis meniru erangan bayi yang membuat penjaga perpustakaan melirik. "Russell juga punya tatapan tajam, Brandon. Kalau dia merasa terganggu oleh kita, dia akan melotot sambil mengerutkan alis." Emily menyentuh pangkal alisnya, memeriksa apakah bentuknya sudah sama seperti alis Russell pada gambar. Brandon tersenyum melihat ekspresi Emily. "Kurasa dia pasti sangat lucu saat marah." "Ya!" Emily mengangguk cepat. "Dia selalu lucu, setiap saat. Louis, tunjukkan foto Russell saat ma
"Oh, lihatlah Russell, Louis. Bukankah dia sangat tampan? Dia sudah bersih dan wangi." Emily mendekatkan hidungnya ke wajah Russell. Ketika berhasil mencium pipi yang sangat lembut itu, Emily terkikik menahan tawa. Ia tidak ingin mengganggu Kara yang tertidur dalam pelukan Frank. "Ya, dia sangat tampan. Dia mirip denganku. Bukankah begitu, Nenek?" Louis mengangkat pandangannya ke arah wanita yang menggendong Russell. Susan tersenyum geli. "Ya, dia mirip denganmu. Hanya saja, hidungnya sedikit lebih mancung." Bibir Louis langsung mengerucut. Telunjuknya meruncing menyentuh hidungnya sendiri. "Mau setinggi apa hidung Russell nanti? Padahal, hidungku sudah sangat mancung." Susan terkekeh mendengar jawaban Louis. "Nenek hanya bercanda, Louis. Siapa yang lebih mancung itu bukan masalah. Yang penting adalah kalian sama-sama sehat." Louis mengangguk sepakat. Tangannya kini terangkat menyentuh kaki adiknya yang mungil. "Nenek, apakah Russell berat?" Susan sontak mengangkat alis. "Kau ma
"Halo, Anak Baik. Selamat datang." Kara merengkuh Russell dengan hati-hati, seolah makhluk kecil itu adalah mutiara yang sangat rapuh. Air mata terus mengucur di pelipisnya. Usai mengecup bayi yang diselimuti oleh handuk itu, Kara kembali berbisik, "Ini Mama, Russell. Mama senang akhirnya Mama bisa memelukmu begini." Sambil mengulum bibir, Frank ikut membungkuk. Ia mengelus punggung mungil itu, lalu mengecup kepalanya yang bergerak-gerak mengimbangi tangis. "Dan ini Papa, Russell. Papa juga senang kau akhirnya hadir di sini." Masih dengan senyum merekah dan mata merah, Frank menatap Kara lembut. Sebelum genangan keharuannya menetes lagi, ia cepat-cepat mengecup kening sang istri. Kara terpejam menerima kehangatan itu. "Terima kasih telah melahirkan putra kita, Ratu Lebah," bisik Frank serak. Kara tersenyum lebih lebar dan mengangguk samar. "Terima kasih telah menemaniku di sini.""Itulah yang seharusnya kulakukan sejak dulu." Frank mengelus pipi Kara sebelum mengecupnya lagi. "P
Kara sedang duduk di ranjang. Sambil memejamkan mata, ia berusaha mengatur napas. Kepalanya bersandar pada pundak bidang di sebelahnya. "Apakah ada kabar dari si Kembar?" tanya Kara lirih. Frank menggeleng samar. Tangannya terus memijat jemari Kara. "Kau tidak perlu mengkhawatirkan mereka, Ratu Lebah. Mereka anak-anak yang mandiri dan cerdas. Mereka pasti mengerti kalau kamu harus segera melahirkan. Mari merayakan ulang tahun mereka setelah Russell lahir, hmm?" Selang anggukan singkat, Kara menoleh. "Apakah kamu menangis?" Alis Frank sontak tertarik dahi. Sambil menjauhkan kepala agar karena lebih mudah melihatnya, ia menggeleng. "Kenapa kau berpikir aku menangis?" "Suaramu bergetar, Frank." Sambil mengerutkan bibir, Frank menarik napas panjang. "Aku tidak menangis." "Lalu mengapa matamu merah dan berair?" Frank berkedip tegas. "Aku tidak menangis," ulangnya dengan penekanan lebih. Masih dengan napas tersengal-sengal, Kara meloloskan tawa. Kepalanya sedikit miring, menanti gum