Jeremy tersenyum canggung. "Itu urusan orang dewasa, Nona Kecil. Kamu tidak seharusnya memusingkan hal itu."
"Tuan Jeremy benar," timpal Louis tanpa melepas pandangan dari ponsel di tangannya. "Kau tidak perlu ikut campur masalah Mama."
"Tapi itu menyangkut masa depan kita. Jadi, kita harus ikut memikirkannya."
Tiba-tiba, Emily meninggikan leher dan mendongak menatap Jeremy. "Jadi bagaimana, Tuan Sopir? Apakah Mama dan Frank Harper dekat? Mungkinkah mereka menikah suatu hari nanti seperti Tuan Putri dan Pangeran dalam kisah dongeng?"
Jeremy mengerutkan bibir. "Entahlah, itu sulit untuk dijawab."
"Aku tahu kalau Tuan Baik Hati menyukai Mama dan Mama juga menyukainya. Hanya saja, Mama terlihat ragu dan malu-malu."
Emily mulai mencebik. Kepalanya dimiringkan sehingga pipinya menggendut sebelah.
"Mama selalu meminta Tuan Harper untuk menjauh. Itu membuatku khawatir kalau mereka tidak bisa terus bersama. Jika itu terjadi, Tuan
Sambil berdiri di samping Rowan, Emily diam-diam mengamati Sean. Matanya berkedip-kedip menatap barang yang dibawah oleh pria berotot itu. "Tuan Badan Besar, apa yang kau bawa? Itu terlihat berat. Kalau kau lelah, letakkan saja di sofa," ucapnya tersendat. Rowan kembali mematung. Meskipun rautnya datar, hatinya tak karuan. Tujuan awalnya adalah untuk meletakkan alat itu di sana, diffuser yang akan menyemprotkan uap beracun saat tombol kendali jarak jauhnya ditekan. "Itu ...." Untuk pertama kalinya, Jeremy melihat Rowan menggantungkan kalimat tanpa sebab. Ia menjadi semakin waspada. "Itu proyek rahasia yang sangat penting. Karena itulah, aku meminta asistenku untuk terus membawanya." Mulut Emily membulat. Kepalanya mengangguk lugu. "O, kau takut proyek itu dicuri." "Ya, begitulah," sahut Rowan canggung. Dalam hati, ia mengutuk diri sendiri. Mengapa ia mendadak ragu untuk melancarkan rencana pemusnahannya? "Tuan Besar Harper, karena kamu adalah kakek dari Frank Harper, bu
"Tolong mengertilah, Frank Harper. Saat ini, aku bukan siapa-siapa bagimu. Setiap kali kau memberiku perhatian, aku merasa bersalah dan terbebani. Jadi, tolong ...." Kara mengacungkan telunjuk dan terpejam sejenak. "Sebelum kau bisa menyingkirkan semua penghalang itu, jangan terlalu dekat denganku. Anggaplah aku sebagai karyawanmu saja. Dengan keberadaanmu di sini saja, aku sudah sangat was-was." Frank menelan ludah pahit. Ia baru mengerti bahwa Kara bersedia diantar olehnya demi menghemat energi. Perempuan itu pasti sudah lelah menghadapinya. Sekarang saja, ia hanya bisa berbisik. "Baiklah," desah Frank sebelum mengangguk tipis. "Maaf kalau aku menyenggol batas." Sedetik kemudian, ia menoleh kepada para pengawal. "Kawal Kara ke apartemennya." "Tidak usah. Mereka cukup mengawasi dari mobil saja, seperti biasa. Aku tidak suka membawa orang ke rumahku." Lagi-lagi, Frank bungkam. Suara lirih Kara membuat hatinya
Melihat kekhawatiran di wajah yang nyaris tak berdarah itu, Frank menarik napas berat. "Kau masih sempat memikirkan orang lain? Lihat kondisimu, Kara." Akan tetapi, wanita itu malah mengguncang lengannya."Tolong jangan bunuh dia, Frank. Jangan mengotori tanganmu karenaku." Mengetahui wanita itu ternyata memikirkan dirinya, rahang sang CEO berhenti berdenyut. Ia menghela napas, lalu mengangkat Kara menuju sofa yang penuh dengan sobekan pisau. "Aku tidak seperti kakekku, Kara. Manusia tak berguna itu akan diserahkan ke polisi. Ia layak mendapat hukuman atas tindakannya." “Kau serius?” Sambil menatap sekretarisnya dalam-dalam, Frank mengangguk. Pundak Kara berhenti menegang. Napasnya pun mulai teratur. Setelah mendapatkan kembali ketenangannya, ia mulai mengamati rumahnya yang seperti kapal pecah. Tidak ada satu pun barang yang utuh. Rolland seakan ingin menunjukkan hidupnya lewat kondisi ruangan itu,
"Mama," panggil Louis cepat, "tolong turutilah kemauan Emily. Aku sudah lelah mendengarnya menangis." Kara memaksakan pelupuknya yang berat untuk terangkat lebih tinggi. "Emily menangis?" "Ya. Tadi saat melihat Mama pingsan, air matanya sudah seperti keran. Kepalaku sampai pusing. Untung saja, Frank Harper ahli menenangkan Emily." Kara tertegun. Ia berkedip dan mengerutkan alis. Ya, Frank Harper adalah laki-laki yang telah menghancurkan hidupnya. Namun sekarang, laki-laki itu kembali dan bertekad untuk menebus kesalahan. Ia yang menyelamatkan si Kembar dari penculikan. Ia yang melindungi Kara dari Rolland. Ia juga yang menenangkannya dari ketakutan. "Haruskah aku memberinya kesempatan?" Tiba-tiba, mata Emily mulai meloloskan butiran. Bibirnya pun mencebik membunyikan rengekan. Sebelum tangisnya menjadi kencang, Frank dengan sigap menggendong gadis mungil dengan piyama baru itu. "Tuan Putri, jangan menangis. Meskipun kalian tidak menginap di rumahku, aku akan tetap melindungi
Sambil mengangguk, Louis menepuk-nepuk pundak sang adik. “Bagus, Emily. Sekarang kita bisa menyelidiki Frank Harper lebih mudah.” “Ya, kurasa kau akan segera menyukainya.” Melihat si Kembar berbisik dengan hati-hati, alis Kara berkerut. Ia tahu gelagat itu. Anak-anaknya merencanakan sesuatu. “Anak-Anak,” panggil Frank, membuat jantung keluarga Martin melompat kecil, “selamat datang di kediamanku yang sederhana ini. Anggaplah ini sebagai rumah kalian sendiri.” Emily menggeleng sigap. “Ini sama sekali tidak sederhana, Tuan Baik Hati. Rumahmu sudah seperti istana di cerita kerajaan.” Mendengar pujian itu, Frank meninggikan sudut bibir. “Kalau begitu, apakah kau bersedia menjadi Tuan Putri-nya?” Ia membungkuk dan mengulurkan sebelah tangan. “Dengan senang hati, Paduka Raja.” Frank dan Kara terbelalak mendengar jawaban itu. “Paduka Raja?” Sang pria menaikkan alis. Gadis mungil yang menempatkan tangan dalam gen
Tiba-tiba, Frank meraih tangan Emily dan mengajaknya membuka lemari. Ternyata, di dalamnya penuh dengan pakaian mungil. “Selama tinggal di sini, kau boleh memakai semua ini.” Emily tercengang. Ia merasa seperti berada di pusat perbelanjaan. “Bagaimana Mama membayarnya? Ini pasti sangat mahal.” Kara diam-diam tertunduk dan menggaruk kuping. Ia sadar akan kekurangan sebagai seorang ibu. Hadiah dari Frank seolah menyindir. Namun, ia tidak mungkin melarang Emily menerimanya. Itu hak sang putri. “Bagaimana dengan kamarku?” celetuk Louis yang tidak bisa lagi berpura-pura sabar. Frank tersenyum simpul. Mereka pun pindah ke kamar sebelah. Ketika pintu terbuka, mata Louis hampir melompat keluar dari rongganya. Dinding kamarnya berwarna biru dengan nuansa angkasa. Ada banyak planet dan roket di sana. Penataan ruang mirip dengan kamar Emily. Hanya saja, rak di samping lemari tidak terisi buku saja, tetapi juga beraga
Alih-alih ciut, lengkung bibir Frank malah mengembang. Baru kali ini ia melihat sisi Kara yang kekanakan seperti itu. "Aku berhasil merebut perhatian mereka?" pancingnya. Sang wanita menarik napas berat. "Menurutmu? Mereka bahkan tidak lagi mencariku." Sementara Frank mengulum senyum, Kara lanjut mengungkapkan unek-unek. "Dan kurasa kau juga bangga. Kau berhasil membuktikan kalau uangmu berkuasa. Kau bisa memberikan mereka baju bagus, mainan mahal, semua hal yang diinginkan si Kembar, barang-barang yang belum mampu kubeli. Kau pasti sangat puas." Dalam keheningan, Frank memperhatikan raut kusut sang sekretaris. Tidak ada rasa iri di balik kerutan itu, hanya sedih dan kecewa. "Kau tahu? Aku belajar banyak hari ini. Ternyata, menjadi orang tua itu sangat sulit." Kara spontan memutar mata. Ia merasa sang CEO sedang mengoloknya. Namun, sebelum ia sempat menimpali, Frank meraih tangannya. "Karena itu, aku kagum padamu. Kau sanggup membesarkan kedua anakmu seorang diri dengan san
Kara mendorong dada sang pria, memberi sedikit jarak di antara mereka. "Sekarang, kau membuatku terdengar seperti pelakor yang sesungguhnya." "Baiklah, biar kuralat omonganku. Seumur hidup, aku baru melakukannya dua kali. Dua-duanya kulakukan bersamamu. Kau tidak merebutku dari siapa pun, Kara. Sejak awal aku memantapkan hati, itu padamu." Kara kini tak bisa berpaling lagi. Karena itu, ia terpaksa meninggikan alis, meremehkan. "Kau baru saja bilang kalau aku sudah merebut hatimu." "Ya, bukan dari wanita lain, tapi diriku sendiri. Aku telah kehilangan kendali atas hatiku dan kau harus bertanggung jawab atas hal itu." Kara mencoba tertawa, tetapi suaranya tidak terdengar. Ia pun menggeleng tipis. "Tak kusangka, bosku ini raja gombal." "Kau baru saja mengapresiasi kebaikanku, tapi kenapa kau menolak ketulusanku? Ucapan terima kasihmu itu palsu, heh?" Alis Kara sontak tertaut. "Tidak." "Kalau begitu, kau berani buktikan? Aku dan an
Halo, Teman-Teman yang Baik Hati, Terima kasih banyak, ya, udah ngikutin cerita Anak Kembar sang Miliarder yang Dirahasiakan hingga titik terakhir. Untuk Kak Puji Amriani, SK Celey, Indah Carolina, Ningsih Ngara, Monika, Rini Hartini, Selvyana Yuliansari, D6ta, Is Yuhana, AR Family, Desak Kayan Puspasari, Emma Boru Regar, Binti Mucholifah, Bhiwie Handayani, Sofia Elysa, dan Kakak-Kakak yang gak bisa Pixie sebutin satu per satu. Terima kasih banyak udah rajin banget kasih komentar buat Pixie. Dan buat Kak Azka Aulia, Lida Boelan, Adel Putri, Wenny, SK Celey, MG, Rina Zolkaflee, Susan Vantika, Nazarieda, Firaz Marsyanda, dan yang ada di ranking top fans. Terima kasih banyak atas gems-nya. Pixie harap, kalian bersedia nungguin karya Pixie selanjutnya. Pixie udah ada rencana untuk tulis cerita Louis Emily versi dewasa tapi nanti, setelah Pixie bikin cerita satu lagi. Pixie mau kumpulin lebih banyak bocil buat dipersatukan nanti. Selagi menunggu, kalian boleh banget cek karya Pixie y
Tanpa permisi lagi, Philip menyerbu masuk dan memegangi tangan Barbara. Belum sempat ia mengatakan apa-apa, Barbara sudah kembali mengejan. Briony pun keluar dan Barbara mengembuskan napas lega. "Philip .... Anak kita sudah lahir." Meskipun kepalanya mengangguk, Philip masih berkedip-kedip. Mulutnya ternganga, tak tahu harus merespon apa. "Ya ...," desahnya selang beberapa saat. Ketika tangisan Briony terdengar, barulah akal sehatnya terkumpul lagi. "Wow," Philip mengerjap. Ia membungkuk, mengelus rambut sang istri dengan perasaan yang bercampur aduk. "Kau sangat hebat, Sayang. Kau bisa melahirkan secepat itu." Barbara tersenyum bangga. "Usaha kita tidak sia-sia, Phil. Padahal, aku sempat ketakutan tadi. Desakan Briony sangat kuat. Tapi Louis dan Emily melarangku mengejan. Aku berusaha menahannya sampai akhirnya, aku menyerah." Philip berdecak kagum sekaligus tak percaya. Masih dengan tampang kaku, ia mengecup pelipis Barbara. "Kau luar biasa, Sayang. Aku senang kau tidak menemu
"Louis, Bibi sudah mau melahirkan!" Emily bangkit dengan lengkung alis tinggi. "Ya, kita harus segera membawa Bibi ke rumah sakit!" Tanpa membuang waktu, Louis meraih tangan Barbara, menariknya untuk berputar arah. "Ayo, Bibi. Kita kembali ke mobil." Akan tetapi, Barbara menggeleng. Wajahnya pucat, badannya tegang. Kakinya seolah menyatu dengan bumi. "Ada apa, Bibi?" "Panggil Philip," gumamnya lirih. "Apa?" "Panggil Philip!" Si Kembar mengerjap. Selang satu anggukan, mereka berlari menuju Philip. "Paman Philip! Paman Philip!" "Hei, kalian mau ke mana?" seru Barbara lagi. Si Kembar mengerem. Saat menoleh ke belakang, Barbara ternyata melambai-lambai. "Kenapa kalian meninggalkanku sendirian di sini?" Suaranya melengking. "Tadi Bibi menyuruh kami memanggil Paman Philip?" Louis menggeleng tak mengerti. "Ya, tapi jangan meninggalkan aku di sini." Sambil tertatih-tatih, ia beringsut mendekati Louis dan Emily. "Satu orang saja yang memanggil Philip. Satu orang lagi, pegangi aku!"
"Halo, Orion," bisik Emily saat bayi mungil dalam kotak membuka mata. Tangannya terulur, berusaha menggapai pipi gembul itu. Dari sisi lain boks, Louis juga melongok ke dalam. "Halo, Oscar." "Louis?" tegur Emily dengan mata bulat. "Kenapa kamu memanggilnya Oscar? Ini pertemuan pertama kita dengannya. Jangan membuat kesan buruk." Louis langsung mengerutkan bibir. "Oke, maaf. Aku sudah kebiasaan. Biar kuulang." Setelah berdeham, ia kembali menunduk. "Halo, Orion. Ini aku, Louis. Aku sepupumu." Emily tersenyum kecil dan mengangguk. "Itu baru benar." Usai mengacungkan jempol kepada Louis, ia melambaikan tangan ke bawah. "Dan aku Emily. Senang bertemu denganmu, Orion." Selama beberapa saat, dua balita itu sibuk mengamati Orion. Philip dan Barbara merasa terhibur mendengar komentar mereka. "Ternyata Paman Philip benar. Orion mirip kedua orang tuanya. Matanya mirip Bibi, sedangkan hidung dan mulutnya mirip paman." "Dagunya juga mirip Paman. Tapi rambutnya mirip Bibi." "Emily, coba k
Seorang perawat berusaha menenangkan Ava. Akan tetapi, wanita itu terus menggeleng, menolak semua kata-kata yang ditujukan kepadanya. Ia sudah sangat lemas. Rasa sakit seakan merontokkan seluruh tulang dalam badannya. Otaknya tidak bisa lagi berfungsi dengan normal. "Tidak. Aku sudah tidak kuat. Aku tidak bisa melanjutkan." Setelah menarik napas berat, Jeremy akhirnya membungkuk. Perawat tadi pun bergeser. Jeremy jadi lebih leluasa untuk membelai rambut Ava yang basah oleh keringat serta wajahnya yang dibanjiri air mata. "Ava, bisakah kau mendengarku? Ava?" Tatapan mereka akhirnya bertemu. Jeremy bisa melihat keputusasaan dalam manik cokelat itu. "Aku tidak sanggup lagi, Jeremy. Aku tidak sanggup. Biar dokter saja yang mengeluarkannya. Aku tidak tahan lagi." Dada Jeremy seperti dicabik-cabik. Ia nyaris tersedak oleh rasa nyeri. Namun, sambil mengelus pundak Ava, ia menggeleng. "Tidak, aku kenal dirimu. Kamu bukanlah orang yang pantang menyerah, Ava. Kamu pasti bisa." "Tapi aku
"Lihat ini, Brandon." Louis meletakkan setumpuk kertas foto di atas meja. Kemudian, satu per satu ia tunjukkan kepada temannya. "Ini foto Russell sedang menangis. Ini foto Russell sedang tertawa. Dan ini foto Russell sedang marah." "Apakah anak bayi sudah bisa marah? Bukankah dia masih terlalu muda untuk mengerti apa-apa?" Brandon menggeleng samar. Louis mengedikkan bahu. "Aku tidak tahu soal itu. Tapi kalau Russell melihat sesuatu yang tidak disukainya, tangannya terus mengepak dan mulutnya berbunyi ...." Louis meniru erangan bayi yang membuat penjaga perpustakaan melirik. "Russell juga punya tatapan tajam, Brandon. Kalau dia merasa terganggu oleh kita, dia akan melotot sambil mengerutkan alis." Emily menyentuh pangkal alisnya, memeriksa apakah bentuknya sudah sama seperti alis Russell pada gambar. Brandon tersenyum melihat ekspresi Emily. "Kurasa dia pasti sangat lucu saat marah." "Ya!" Emily mengangguk cepat. "Dia selalu lucu, setiap saat. Louis, tunjukkan foto Russell saat ma
"Oh, lihatlah Russell, Louis. Bukankah dia sangat tampan? Dia sudah bersih dan wangi." Emily mendekatkan hidungnya ke wajah Russell. Ketika berhasil mencium pipi yang sangat lembut itu, Emily terkikik menahan tawa. Ia tidak ingin mengganggu Kara yang tertidur dalam pelukan Frank. "Ya, dia sangat tampan. Dia mirip denganku. Bukankah begitu, Nenek?" Louis mengangkat pandangannya ke arah wanita yang menggendong Russell. Susan tersenyum geli. "Ya, dia mirip denganmu. Hanya saja, hidungnya sedikit lebih mancung." Bibir Louis langsung mengerucut. Telunjuknya meruncing menyentuh hidungnya sendiri. "Mau setinggi apa hidung Russell nanti? Padahal, hidungku sudah sangat mancung." Susan terkekeh mendengar jawaban Louis. "Nenek hanya bercanda, Louis. Siapa yang lebih mancung itu bukan masalah. Yang penting adalah kalian sama-sama sehat." Louis mengangguk sepakat. Tangannya kini terangkat menyentuh kaki adiknya yang mungil. "Nenek, apakah Russell berat?" Susan sontak mengangkat alis. "Kau ma
"Halo, Anak Baik. Selamat datang." Kara merengkuh Russell dengan hati-hati, seolah makhluk kecil itu adalah mutiara yang sangat rapuh. Air mata terus mengucur di pelipisnya. Usai mengecup bayi yang diselimuti oleh handuk itu, Kara kembali berbisik, "Ini Mama, Russell. Mama senang akhirnya Mama bisa memelukmu begini." Sambil mengulum bibir, Frank ikut membungkuk. Ia mengelus punggung mungil itu, lalu mengecup kepalanya yang bergerak-gerak mengimbangi tangis. "Dan ini Papa, Russell. Papa juga senang kau akhirnya hadir di sini." Masih dengan senyum merekah dan mata merah, Frank menatap Kara lembut. Sebelum genangan keharuannya menetes lagi, ia cepat-cepat mengecup kening sang istri. Kara terpejam menerima kehangatan itu. "Terima kasih telah melahirkan putra kita, Ratu Lebah," bisik Frank serak. Kara tersenyum lebih lebar dan mengangguk samar. "Terima kasih telah menemaniku di sini.""Itulah yang seharusnya kulakukan sejak dulu." Frank mengelus pipi Kara sebelum mengecupnya lagi. "P
Kara sedang duduk di ranjang. Sambil memejamkan mata, ia berusaha mengatur napas. Kepalanya bersandar pada pundak bidang di sebelahnya. "Apakah ada kabar dari si Kembar?" tanya Kara lirih. Frank menggeleng samar. Tangannya terus memijat jemari Kara. "Kau tidak perlu mengkhawatirkan mereka, Ratu Lebah. Mereka anak-anak yang mandiri dan cerdas. Mereka pasti mengerti kalau kamu harus segera melahirkan. Mari merayakan ulang tahun mereka setelah Russell lahir, hmm?" Selang anggukan singkat, Kara menoleh. "Apakah kamu menangis?" Alis Frank sontak tertarik dahi. Sambil menjauhkan kepala agar karena lebih mudah melihatnya, ia menggeleng. "Kenapa kau berpikir aku menangis?" "Suaramu bergetar, Frank." Sambil mengerutkan bibir, Frank menarik napas panjang. "Aku tidak menangis." "Lalu mengapa matamu merah dan berair?" Frank berkedip tegas. "Aku tidak menangis," ulangnya dengan penekanan lebih. Masih dengan napas tersengal-sengal, Kara meloloskan tawa. Kepalanya sedikit miring, menanti gum