Mari mengawali hari dengan yang manis-manis! >,<
Kara mendorong dada sang pria, memberi sedikit jarak di antara mereka. "Sekarang, kau membuatku terdengar seperti pelakor yang sesungguhnya." "Baiklah, biar kuralat omonganku. Seumur hidup, aku baru melakukannya dua kali. Dua-duanya kulakukan bersamamu. Kau tidak merebutku dari siapa pun, Kara. Sejak awal aku memantapkan hati, itu padamu." Kara kini tak bisa berpaling lagi. Karena itu, ia terpaksa meninggikan alis, meremehkan. "Kau baru saja bilang kalau aku sudah merebut hatimu." "Ya, bukan dari wanita lain, tapi diriku sendiri. Aku telah kehilangan kendali atas hatiku dan kau harus bertanggung jawab atas hal itu." Kara mencoba tertawa, tetapi suaranya tidak terdengar. Ia pun menggeleng tipis. "Tak kusangka, bosku ini raja gombal." "Kau baru saja mengapresiasi kebaikanku, tapi kenapa kau menolak ketulusanku? Ucapan terima kasihmu itu palsu, heh?" Alis Kara sontak tertaut. "Tidak." "Kalau begitu, kau berani buktikan? Aku dan an
Frank berkedip-kedip, kehabisan kata. Selang perenungan singkat, ia memajukan kepalanya dan berbisik, "Apakah kamu benar-benar berusia empat tahun?" "Ya, minggu depan aku ulang tahun." Louis tetap berusaha sangar meskipun sedikit bingung. "Lalu kenapa kamu tahu banyak tentang urusan orang dewasa?" Louis menaikkan alis dan menjawab santai, "Karena aku anak jenius. Aku mengerti kalau setiap orang harus setia kepada pasangannya, dan hubungan mereka harus mendapat izin dari orang-orang terdekat." Frank menurunkan sebelah alis. "Siapa yang memberitahukan itu?" "Itu jawaban Mama saat kami bertanya tentang Brandon. Dia tidak setia kepada pacarnya. Jadi, dia ditampar dengan keras. Orang tuanya juga marah padanya." Sembari mengangguk, Frank mengelus dagu. "Jadi, aku baru boleh mencium Mama-mu kalau aku sudah mendapat izin darimu?" Louis mengangguk. "Dan memutuskan pacarmu. Memangnya kamu tidak mengerti? Laki-laki hanya
"Maaf, Emily. Aku tidak seharusnya menuangkan terlalu banyak sunscreen," desahnya berat. Sekarang, ia hanya bisa berharap Emily tidak mewarisi temperamennya juga. Mendengar penyesalan itu, Kara tergelitik. Sambil mengulum senyum, ia menghibur sang putri. "Jangan sedih, Madu Kecil. Dengan begini, kulitmu justru akan lebih terlindungi dari matahari. Dan ... tada, kamu sudah kembali cantik." "Sunscreen-ku sudah rapi?" Emily memperlihatkan wajahnya kepada semua orang. "Kamu seharusnya seperti tadi saja. Itu lebih cocok untukmu," ledek Louis sambil terkekeh. "Tapi Emily, apa pun yang terjadi, kamu tetap cantik. Kamu tidak seharusnya mengkhawatirkan penampilanmu." Frank mengusap punggung si gadis mungil. Mendapatkan kepercayadiriannya kembali, sang balita berhenti mencebik. Setelah mengenakan topi dan kacamata hitam, ia berseru, “Ayo, Louis, Philip! Kita bangun istana pasir sekarang.” Bersama-sama, mereka menghampiri garis pantai. Tangan mereka penuh ember dan sekop. "Sayang sekali
Kara tersentak dan kerongkongannya tercekik. Sosok di hadapannya itu telah memunculkan beragam rasa. Kenangan yang telah usang pun berkelebat dalam benaknya. Melihat terguncangnya Kara, Frank sontak mendesak dahi. "Finnic ...? Finnic Miller?" Dengan mata yang tak kalah lebar, ia mengamati si orang asing.Pria itu sama sekali tidak berkedip. Matanya yang bergetar hanya tertuju pada Kara. “Kara?” desah Finnic, memecah keheningan. Perlahan-lahan, senyum jijik melengkung di wajahnya. “Tak kusangka kita bertemu di sini. Dunia ini sempit sekali.” Kara tidak menjawab. Ia masih berjuang keluar dari kecanggungan. "Mama kenal Tuan ini? Dia yang menghancurkan istana kami. Dia juga menyindir tangan Louis," lapor Emily seraya memegangi kaki sang ibu. "Ya! Dia bahkan tidak meminta maaf dengan tulus, dan tidak mau bertanggung jawab. Mama harus menegur dia," lanjut Louis dengan bibir mengerucut. Akan teta
Kara spontan menoleh. Wajahnya masih pucat dengan raut datar, tetapi matanya sudah bisa berkedip. Sementara Finnic, tawanya tak lagi tertahankan. "Tak kusangka, kau masih mahir menipu pria?" Ia maju selangkah. Sambil mencondongkan kepala ke depan, ia berbisik, "Maaf, Kara, tapi aku tidak bisa membiarkan kamu menjerat korban lain. Karena itu ...." Ia menyodorkan tangan kepada Frank. "Perkenalkan. Aku Finnic Miller, mantan calon suami Kara." Frank tidak menjabat tangan itu. Ia hanya berkedip dan memajukan bibirnya sedikit. "Lalu?" Finnic sontak menaikkan alis. Ia tidak mengharapkan reaksi itu. Bukankah pria bermata abu-abu itu seharusnya terkejut? Mengapa ia malah santai begitu? "Apakah kau tidak penasaran mengapa kami tidak jadi menikah? Aku berani bertaruh. Begitu kau tahu alasannya, kau tidak akan memandang perempuan ini dengan cara yang sama." Kara tidak tahan lagi mendengar perkataan si mantan. Sambil menarik baj
Setibanya di pangkalan helikopter, Louis dan Emily tidak bisa menutupi gigi. Apalagi, ketika mereka dipakaikan seragam khusus layaknya pilot, celotehan mereka semakin melengking. "Lihat, Mama! Baju ini sangat cantik. Cocok untukku.""Aku juga keren. Kalau saja tanganku tidak digips, orang-orang pasti mengira aku pilotnya." Louis menepuk helmnya dengan bangga. Sesaat kemudian, Frank muncul dengan seragam serupa. Namanya terukir di bagian dada. "Wah, aku juga mau ada namaku di baju ini," tutur Emily dengan leher meninggi. Dengan senyum simpul, Frank menunjukkan dua papan kecil bertuliskan tinta emas. Melihat nama mereka terukir di sana, pekik gembira lagi-lagi bergema.“Kita juga dapat, Louis! Kita juga dapat!”“Kita benar-benar seperti pilot keren!” Sambil ikut tertawa, Frank memasangkannya untuk si Kembar. "Sekarang, kalian siap lepas landas?""Siap, Kapten!" Dengan langkah tinggi, balita itu melangkah maju. Namun, menyadari sang ibu tidak mengekor, mereka berhenti. "Kenapa Ma
Sambil berpikir, Kara mengamati si Kembar. Kedua balita itu masih asyik berkomentar dan menunjuk ke luar, tetapi tidak ada yang terdengar dari headsetnya. Apakah Frank sengaja membagi komunikasi mereka? Helikopter ternyata secanggih itu? "Kara, apakah kau masih memikirkan laki-laki itu?" tanya Frank lagi. Sang wanita tidak menjawab. Ia hanya menelan ludah. "Jangan. Dia tidak layak mendapatkan perhatianmu. Laki-laki yang hanya memikirkan perasaannya sendiri, tidak akan pernah bersungguh-sungguh mencintaimu. Mereka terlalu mencintai diri sendiri." Kara termenung. Matanya bergetar menatap tampak belakang sang CEO."Lalu, laki-laki seperti apa yang sungguh-sungguh mencintaiku?" Frank terdiam sejenak. "Kenapa kau bertanya? Padahal, kau sendiri yang mengajariku." Alis Kara tertaut. "Aku?" Frank memantau situasi sejenak sebelum lanjut bicara."Darimu, aku belajar bahwa cinta itu memahami dan m
“Jadi,” Kara mengerucutkan bibir dan mengangguk, “ya, Louis dan Emily-lah sumber kebahagiaanku sekarang.” Frank tersenyum miris. Kesenduan Kara membuat hatinya teriris. “Apakah kau masih membenciku?” “Apakah itu penting?” Sang wanita menaikkan sebelah alis. Frank mendengus kecil. “Kita tidak akan pernah bisa membenci orang yang kita cintai, sebesar apa pun kesalahan yang dia lakukan. Ya, kita mungkin akan marah dan kecewa awalnya. Tapi pada akhirnya, kita akan tetap membuka pintu maaf.” “Bagaimana kalau ternyata, aku masih membencimu?” Kara mengangkat alis. Sambil mengernyit, Frank mengelus pipi pucat itu. “Tidak apa-apa. Kau boleh membenciku, tapi tolong jangan kau tutup pintu maafmu. Jadi, ketika kau sudah bisa memaafkanku, aku tahu kalau kau mulai mencintaiku.” Kara terpaku. Kata-kata itu terasa sejuk di kalbu. “Kau yakin bisa membuatku cinta padamu?” “Kau sudah punya rasa itu, hanya belum mau mengaku.” Frank sangat percaya