"Tolong mengertilah, Frank Harper. Saat ini, aku bukan siapa-siapa bagimu. Setiap kali kau memberiku perhatian, aku merasa bersalah dan terbebani. Jadi, tolong ...." Kara mengacungkan telunjuk dan terpejam sejenak. "Sebelum kau bisa menyingkirkan semua penghalang itu, jangan terlalu dekat denganku. Anggaplah aku sebagai karyawanmu saja. Dengan keberadaanmu di sini saja, aku sudah sangat was-was." Frank menelan ludah pahit. Ia baru mengerti bahwa Kara bersedia diantar olehnya demi menghemat energi. Perempuan itu pasti sudah lelah menghadapinya. Sekarang saja, ia hanya bisa berbisik. "Baiklah," desah Frank sebelum mengangguk tipis. "Maaf kalau aku menyenggol batas." Sedetik kemudian, ia menoleh kepada para pengawal. "Kawal Kara ke apartemennya." "Tidak usah. Mereka cukup mengawasi dari mobil saja, seperti biasa. Aku tidak suka membawa orang ke rumahku." Lagi-lagi, Frank bungkam. Suara lirih Kara membuat hatinya
Melihat kekhawatiran di wajah yang nyaris tak berdarah itu, Frank menarik napas berat. "Kau masih sempat memikirkan orang lain? Lihat kondisimu, Kara." Akan tetapi, wanita itu malah mengguncang lengannya."Tolong jangan bunuh dia, Frank. Jangan mengotori tanganmu karenaku." Mengetahui wanita itu ternyata memikirkan dirinya, rahang sang CEO berhenti berdenyut. Ia menghela napas, lalu mengangkat Kara menuju sofa yang penuh dengan sobekan pisau. "Aku tidak seperti kakekku, Kara. Manusia tak berguna itu akan diserahkan ke polisi. Ia layak mendapat hukuman atas tindakannya." “Kau serius?” Sambil menatap sekretarisnya dalam-dalam, Frank mengangguk. Pundak Kara berhenti menegang. Napasnya pun mulai teratur. Setelah mendapatkan kembali ketenangannya, ia mulai mengamati rumahnya yang seperti kapal pecah. Tidak ada satu pun barang yang utuh. Rolland seakan ingin menunjukkan hidupnya lewat kondisi ruangan itu,
"Mama," panggil Louis cepat, "tolong turutilah kemauan Emily. Aku sudah lelah mendengarnya menangis." Kara memaksakan pelupuknya yang berat untuk terangkat lebih tinggi. "Emily menangis?" "Ya. Tadi saat melihat Mama pingsan, air matanya sudah seperti keran. Kepalaku sampai pusing. Untung saja, Frank Harper ahli menenangkan Emily." Kara tertegun. Ia berkedip dan mengerutkan alis. Ya, Frank Harper adalah laki-laki yang telah menghancurkan hidupnya. Namun sekarang, laki-laki itu kembali dan bertekad untuk menebus kesalahan. Ia yang menyelamatkan si Kembar dari penculikan. Ia yang melindungi Kara dari Rolland. Ia juga yang menenangkannya dari ketakutan. "Haruskah aku memberinya kesempatan?" Tiba-tiba, mata Emily mulai meloloskan butiran. Bibirnya pun mencebik membunyikan rengekan. Sebelum tangisnya menjadi kencang, Frank dengan sigap menggendong gadis mungil dengan piyama baru itu. "Tuan Putri, jangan menangis. Meskipun kalian tidak menginap di rumahku, aku akan tetap melindungi
Sambil mengangguk, Louis menepuk-nepuk pundak sang adik. “Bagus, Emily. Sekarang kita bisa menyelidiki Frank Harper lebih mudah.” “Ya, kurasa kau akan segera menyukainya.” Melihat si Kembar berbisik dengan hati-hati, alis Kara berkerut. Ia tahu gelagat itu. Anak-anaknya merencanakan sesuatu. “Anak-Anak,” panggil Frank, membuat jantung keluarga Martin melompat kecil, “selamat datang di kediamanku yang sederhana ini. Anggaplah ini sebagai rumah kalian sendiri.” Emily menggeleng sigap. “Ini sama sekali tidak sederhana, Tuan Baik Hati. Rumahmu sudah seperti istana di cerita kerajaan.” Mendengar pujian itu, Frank meninggikan sudut bibir. “Kalau begitu, apakah kau bersedia menjadi Tuan Putri-nya?” Ia membungkuk dan mengulurkan sebelah tangan. “Dengan senang hati, Paduka Raja.” Frank dan Kara terbelalak mendengar jawaban itu. “Paduka Raja?” Sang pria menaikkan alis. Gadis mungil yang menempatkan tangan dalam gen
Tiba-tiba, Frank meraih tangan Emily dan mengajaknya membuka lemari. Ternyata, di dalamnya penuh dengan pakaian mungil. “Selama tinggal di sini, kau boleh memakai semua ini.” Emily tercengang. Ia merasa seperti berada di pusat perbelanjaan. “Bagaimana Mama membayarnya? Ini pasti sangat mahal.” Kara diam-diam tertunduk dan menggaruk kuping. Ia sadar akan kekurangan sebagai seorang ibu. Hadiah dari Frank seolah menyindir. Namun, ia tidak mungkin melarang Emily menerimanya. Itu hak sang putri. “Bagaimana dengan kamarku?” celetuk Louis yang tidak bisa lagi berpura-pura sabar. Frank tersenyum simpul. Mereka pun pindah ke kamar sebelah. Ketika pintu terbuka, mata Louis hampir melompat keluar dari rongganya. Dinding kamarnya berwarna biru dengan nuansa angkasa. Ada banyak planet dan roket di sana. Penataan ruang mirip dengan kamar Emily. Hanya saja, rak di samping lemari tidak terisi buku saja, tetapi juga beraga
Alih-alih ciut, lengkung bibir Frank malah mengembang. Baru kali ini ia melihat sisi Kara yang kekanakan seperti itu. "Aku berhasil merebut perhatian mereka?" pancingnya. Sang wanita menarik napas berat. "Menurutmu? Mereka bahkan tidak lagi mencariku." Sementara Frank mengulum senyum, Kara lanjut mengungkapkan unek-unek. "Dan kurasa kau juga bangga. Kau berhasil membuktikan kalau uangmu berkuasa. Kau bisa memberikan mereka baju bagus, mainan mahal, semua hal yang diinginkan si Kembar, barang-barang yang belum mampu kubeli. Kau pasti sangat puas." Dalam keheningan, Frank memperhatikan raut kusut sang sekretaris. Tidak ada rasa iri di balik kerutan itu, hanya sedih dan kecewa. "Kau tahu? Aku belajar banyak hari ini. Ternyata, menjadi orang tua itu sangat sulit." Kara spontan memutar mata. Ia merasa sang CEO sedang mengoloknya. Namun, sebelum ia sempat menimpali, Frank meraih tangannya. "Karena itu, aku kagum padamu. Kau sanggup membesarkan kedua anakmu seorang diri dengan san
Kara mendorong dada sang pria, memberi sedikit jarak di antara mereka. "Sekarang, kau membuatku terdengar seperti pelakor yang sesungguhnya." "Baiklah, biar kuralat omonganku. Seumur hidup, aku baru melakukannya dua kali. Dua-duanya kulakukan bersamamu. Kau tidak merebutku dari siapa pun, Kara. Sejak awal aku memantapkan hati, itu padamu." Kara kini tak bisa berpaling lagi. Karena itu, ia terpaksa meninggikan alis, meremehkan. "Kau baru saja bilang kalau aku sudah merebut hatimu." "Ya, bukan dari wanita lain, tapi diriku sendiri. Aku telah kehilangan kendali atas hatiku dan kau harus bertanggung jawab atas hal itu." Kara mencoba tertawa, tetapi suaranya tidak terdengar. Ia pun menggeleng tipis. "Tak kusangka, bosku ini raja gombal." "Kau baru saja mengapresiasi kebaikanku, tapi kenapa kau menolak ketulusanku? Ucapan terima kasihmu itu palsu, heh?" Alis Kara sontak tertaut. "Tidak." "Kalau begitu, kau berani buktikan? Aku dan an
Frank berkedip-kedip, kehabisan kata. Selang perenungan singkat, ia memajukan kepalanya dan berbisik, "Apakah kamu benar-benar berusia empat tahun?" "Ya, minggu depan aku ulang tahun." Louis tetap berusaha sangar meskipun sedikit bingung. "Lalu kenapa kamu tahu banyak tentang urusan orang dewasa?" Louis menaikkan alis dan menjawab santai, "Karena aku anak jenius. Aku mengerti kalau setiap orang harus setia kepada pasangannya, dan hubungan mereka harus mendapat izin dari orang-orang terdekat." Frank menurunkan sebelah alis. "Siapa yang memberitahukan itu?" "Itu jawaban Mama saat kami bertanya tentang Brandon. Dia tidak setia kepada pacarnya. Jadi, dia ditampar dengan keras. Orang tuanya juga marah padanya." Sembari mengangguk, Frank mengelus dagu. "Jadi, aku baru boleh mencium Mama-mu kalau aku sudah mendapat izin darimu?" Louis mengangguk. "Dan memutuskan pacarmu. Memangnya kamu tidak mengerti? Laki-laki hanya