Hai haaiii! Selamat berakhir pekan, teman-teman. Pixie harap si Kembar bisa ikut mencerahkan hari-hari kalian semua, apalagi lewat bab selanjutnya. Makasi juga untuk kalian yang rajin banget kasih gems dan komentar. Love you from a to z! dari Emily. Love you from zero to infinity! dari Louis ....
Sambil mengangguk, Louis menepuk-nepuk pundak sang adik. “Bagus, Emily. Sekarang kita bisa menyelidiki Frank Harper lebih mudah.” “Ya, kurasa kau akan segera menyukainya.” Melihat si Kembar berbisik dengan hati-hati, alis Kara berkerut. Ia tahu gelagat itu. Anak-anaknya merencanakan sesuatu. “Anak-Anak,” panggil Frank, membuat jantung keluarga Martin melompat kecil, “selamat datang di kediamanku yang sederhana ini. Anggaplah ini sebagai rumah kalian sendiri.” Emily menggeleng sigap. “Ini sama sekali tidak sederhana, Tuan Baik Hati. Rumahmu sudah seperti istana di cerita kerajaan.” Mendengar pujian itu, Frank meninggikan sudut bibir. “Kalau begitu, apakah kau bersedia menjadi Tuan Putri-nya?” Ia membungkuk dan mengulurkan sebelah tangan. “Dengan senang hati, Paduka Raja.” Frank dan Kara terbelalak mendengar jawaban itu. “Paduka Raja?” Sang pria menaikkan alis. Gadis mungil yang menempatkan tangan dalam gen
Tiba-tiba, Frank meraih tangan Emily dan mengajaknya membuka lemari. Ternyata, di dalamnya penuh dengan pakaian mungil. “Selama tinggal di sini, kau boleh memakai semua ini.” Emily tercengang. Ia merasa seperti berada di pusat perbelanjaan. “Bagaimana Mama membayarnya? Ini pasti sangat mahal.” Kara diam-diam tertunduk dan menggaruk kuping. Ia sadar akan kekurangan sebagai seorang ibu. Hadiah dari Frank seolah menyindir. Namun, ia tidak mungkin melarang Emily menerimanya. Itu hak sang putri. “Bagaimana dengan kamarku?” celetuk Louis yang tidak bisa lagi berpura-pura sabar. Frank tersenyum simpul. Mereka pun pindah ke kamar sebelah. Ketika pintu terbuka, mata Louis hampir melompat keluar dari rongganya. Dinding kamarnya berwarna biru dengan nuansa angkasa. Ada banyak planet dan roket di sana. Penataan ruang mirip dengan kamar Emily. Hanya saja, rak di samping lemari tidak terisi buku saja, tetapi juga beraga
Alih-alih ciut, lengkung bibir Frank malah mengembang. Baru kali ini ia melihat sisi Kara yang kekanakan seperti itu. "Aku berhasil merebut perhatian mereka?" pancingnya. Sang wanita menarik napas berat. "Menurutmu? Mereka bahkan tidak lagi mencariku." Sementara Frank mengulum senyum, Kara lanjut mengungkapkan unek-unek. "Dan kurasa kau juga bangga. Kau berhasil membuktikan kalau uangmu berkuasa. Kau bisa memberikan mereka baju bagus, mainan mahal, semua hal yang diinginkan si Kembar, barang-barang yang belum mampu kubeli. Kau pasti sangat puas." Dalam keheningan, Frank memperhatikan raut kusut sang sekretaris. Tidak ada rasa iri di balik kerutan itu, hanya sedih dan kecewa. "Kau tahu? Aku belajar banyak hari ini. Ternyata, menjadi orang tua itu sangat sulit." Kara spontan memutar mata. Ia merasa sang CEO sedang mengoloknya. Namun, sebelum ia sempat menimpali, Frank meraih tangannya. "Karena itu, aku kagum padamu. Kau sanggup membesarkan kedua anakmu seorang diri dengan san
Kara mendorong dada sang pria, memberi sedikit jarak di antara mereka. "Sekarang, kau membuatku terdengar seperti pelakor yang sesungguhnya." "Baiklah, biar kuralat omonganku. Seumur hidup, aku baru melakukannya dua kali. Dua-duanya kulakukan bersamamu. Kau tidak merebutku dari siapa pun, Kara. Sejak awal aku memantapkan hati, itu padamu." Kara kini tak bisa berpaling lagi. Karena itu, ia terpaksa meninggikan alis, meremehkan. "Kau baru saja bilang kalau aku sudah merebut hatimu." "Ya, bukan dari wanita lain, tapi diriku sendiri. Aku telah kehilangan kendali atas hatiku dan kau harus bertanggung jawab atas hal itu." Kara mencoba tertawa, tetapi suaranya tidak terdengar. Ia pun menggeleng tipis. "Tak kusangka, bosku ini raja gombal." "Kau baru saja mengapresiasi kebaikanku, tapi kenapa kau menolak ketulusanku? Ucapan terima kasihmu itu palsu, heh?" Alis Kara sontak tertaut. "Tidak." "Kalau begitu, kau berani buktikan? Aku dan an
Frank berkedip-kedip, kehabisan kata. Selang perenungan singkat, ia memajukan kepalanya dan berbisik, "Apakah kamu benar-benar berusia empat tahun?" "Ya, minggu depan aku ulang tahun." Louis tetap berusaha sangar meskipun sedikit bingung. "Lalu kenapa kamu tahu banyak tentang urusan orang dewasa?" Louis menaikkan alis dan menjawab santai, "Karena aku anak jenius. Aku mengerti kalau setiap orang harus setia kepada pasangannya, dan hubungan mereka harus mendapat izin dari orang-orang terdekat." Frank menurunkan sebelah alis. "Siapa yang memberitahukan itu?" "Itu jawaban Mama saat kami bertanya tentang Brandon. Dia tidak setia kepada pacarnya. Jadi, dia ditampar dengan keras. Orang tuanya juga marah padanya." Sembari mengangguk, Frank mengelus dagu. "Jadi, aku baru boleh mencium Mama-mu kalau aku sudah mendapat izin darimu?" Louis mengangguk. "Dan memutuskan pacarmu. Memangnya kamu tidak mengerti? Laki-laki hanya
"Maaf, Emily. Aku tidak seharusnya menuangkan terlalu banyak sunscreen," desahnya berat. Sekarang, ia hanya bisa berharap Emily tidak mewarisi temperamennya juga. Mendengar penyesalan itu, Kara tergelitik. Sambil mengulum senyum, ia menghibur sang putri. "Jangan sedih, Madu Kecil. Dengan begini, kulitmu justru akan lebih terlindungi dari matahari. Dan ... tada, kamu sudah kembali cantik." "Sunscreen-ku sudah rapi?" Emily memperlihatkan wajahnya kepada semua orang. "Kamu seharusnya seperti tadi saja. Itu lebih cocok untukmu," ledek Louis sambil terkekeh. "Tapi Emily, apa pun yang terjadi, kamu tetap cantik. Kamu tidak seharusnya mengkhawatirkan penampilanmu." Frank mengusap punggung si gadis mungil. Mendapatkan kepercayadiriannya kembali, sang balita berhenti mencebik. Setelah mengenakan topi dan kacamata hitam, ia berseru, “Ayo, Louis, Philip! Kita bangun istana pasir sekarang.” Bersama-sama, mereka menghampiri garis pantai. Tangan mereka penuh ember dan sekop. "Sayang sekali
Kara tersentak dan kerongkongannya tercekik. Sosok di hadapannya itu telah memunculkan beragam rasa. Kenangan yang telah usang pun berkelebat dalam benaknya. Melihat terguncangnya Kara, Frank sontak mendesak dahi. "Finnic ...? Finnic Miller?" Dengan mata yang tak kalah lebar, ia mengamati si orang asing.Pria itu sama sekali tidak berkedip. Matanya yang bergetar hanya tertuju pada Kara. “Kara?” desah Finnic, memecah keheningan. Perlahan-lahan, senyum jijik melengkung di wajahnya. “Tak kusangka kita bertemu di sini. Dunia ini sempit sekali.” Kara tidak menjawab. Ia masih berjuang keluar dari kecanggungan. "Mama kenal Tuan ini? Dia yang menghancurkan istana kami. Dia juga menyindir tangan Louis," lapor Emily seraya memegangi kaki sang ibu. "Ya! Dia bahkan tidak meminta maaf dengan tulus, dan tidak mau bertanggung jawab. Mama harus menegur dia," lanjut Louis dengan bibir mengerucut. Akan teta
Kara spontan menoleh. Wajahnya masih pucat dengan raut datar, tetapi matanya sudah bisa berkedip. Sementara Finnic, tawanya tak lagi tertahankan. "Tak kusangka, kau masih mahir menipu pria?" Ia maju selangkah. Sambil mencondongkan kepala ke depan, ia berbisik, "Maaf, Kara, tapi aku tidak bisa membiarkan kamu menjerat korban lain. Karena itu ...." Ia menyodorkan tangan kepada Frank. "Perkenalkan. Aku Finnic Miller, mantan calon suami Kara." Frank tidak menjabat tangan itu. Ia hanya berkedip dan memajukan bibirnya sedikit. "Lalu?" Finnic sontak menaikkan alis. Ia tidak mengharapkan reaksi itu. Bukankah pria bermata abu-abu itu seharusnya terkejut? Mengapa ia malah santai begitu? "Apakah kau tidak penasaran mengapa kami tidak jadi menikah? Aku berani bertaruh. Begitu kau tahu alasannya, kau tidak akan memandang perempuan ini dengan cara yang sama." Kara tidak tahan lagi mendengar perkataan si mantan. Sambil menarik baj