"Kalau kau masih memaksaku untuk menikahinya juga ..., baiklah! Aku akan menikahi kalian berdua." Kara mengernyit. Matanya berkedip-kedip. "Kau pikir aku sudi menjadi istri keduamu? Bahkan menjadi satu-satunya istrimu pun, aku tidak mau." Mata Frank menggelap. Tangannya mulai mengunci pinggang Kara lebih erat. "Kau tidak akan menjadi istri kedua, Kara. Minggu depan, kita menikah." Kara ternganga. Bibirnya bergetar mengumpulkan kata."Kau tidak bisa memaksa orang yang tidak mencintaimu untuk menjadi istrimu." Para pengawal sontak menahan napas. Mereka heran mengapa Kara masih berani melawan. Padahal, peringatan sang CEO sudah sangat tegas. "Kau ... masih berani membantah?" Tubuh Frank bergetar menahan gejolak dalam paru-paru. Bukannya tunduk, Kara malah meninggikan dagu. "Aku bukan membantah, tapi menyatakan kebenaran. Aku memang tidak mencintaimu. Aku menolak diperistri olehmu." Napas Frank semakin berg
Jeremy tersenyum canggung. "Itu urusan orang dewasa, Nona Kecil. Kamu tidak seharusnya memusingkan hal itu." "Tuan Jeremy benar," timpal Louis tanpa melepas pandangan dari ponsel di tangannya. "Kau tidak perlu ikut campur masalah Mama." "Tapi itu menyangkut masa depan kita. Jadi, kita harus ikut memikirkannya." Tiba-tiba, Emily meninggikan leher dan mendongak menatap Jeremy. "Jadi bagaimana, Tuan Sopir? Apakah Mama dan Frank Harper dekat? Mungkinkah mereka menikah suatu hari nanti seperti Tuan Putri dan Pangeran dalam kisah dongeng?" Jeremy mengerutkan bibir. "Entahlah, itu sulit untuk dijawab." "Aku tahu kalau Tuan Baik Hati menyukai Mama dan Mama juga menyukainya. Hanya saja, Mama terlihat ragu dan malu-malu." Emily mulai mencebik. Kepalanya dimiringkan sehingga pipinya menggendut sebelah. "Mama selalu meminta Tuan Harper untuk menjauh. Itu membuatku khawatir kalau mereka tidak bisa terus bersama. Jika itu terjadi, Tuan
Sambil berdiri di samping Rowan, Emily diam-diam mengamati Sean. Matanya berkedip-kedip menatap barang yang dibawah oleh pria berotot itu. "Tuan Badan Besar, apa yang kau bawa? Itu terlihat berat. Kalau kau lelah, letakkan saja di sofa," ucapnya tersendat. Rowan kembali mematung. Meskipun rautnya datar, hatinya tak karuan. Tujuan awalnya adalah untuk meletakkan alat itu di sana, diffuser yang akan menyemprotkan uap beracun saat tombol kendali jarak jauhnya ditekan. "Itu ...." Untuk pertama kalinya, Jeremy melihat Rowan menggantungkan kalimat tanpa sebab. Ia menjadi semakin waspada. "Itu proyek rahasia yang sangat penting. Karena itulah, aku meminta asistenku untuk terus membawanya." Mulut Emily membulat. Kepalanya mengangguk lugu. "O, kau takut proyek itu dicuri." "Ya, begitulah," sahut Rowan canggung. Dalam hati, ia mengutuk diri sendiri. Mengapa ia mendadak ragu untuk melancarkan rencana pemusnahannya? "Tuan Besar Harper, karena kamu adalah kakek dari Frank Harper, bu
"Tolong mengertilah, Frank Harper. Saat ini, aku bukan siapa-siapa bagimu. Setiap kali kau memberiku perhatian, aku merasa bersalah dan terbebani. Jadi, tolong ...." Kara mengacungkan telunjuk dan terpejam sejenak. "Sebelum kau bisa menyingkirkan semua penghalang itu, jangan terlalu dekat denganku. Anggaplah aku sebagai karyawanmu saja. Dengan keberadaanmu di sini saja, aku sudah sangat was-was." Frank menelan ludah pahit. Ia baru mengerti bahwa Kara bersedia diantar olehnya demi menghemat energi. Perempuan itu pasti sudah lelah menghadapinya. Sekarang saja, ia hanya bisa berbisik. "Baiklah," desah Frank sebelum mengangguk tipis. "Maaf kalau aku menyenggol batas." Sedetik kemudian, ia menoleh kepada para pengawal. "Kawal Kara ke apartemennya." "Tidak usah. Mereka cukup mengawasi dari mobil saja, seperti biasa. Aku tidak suka membawa orang ke rumahku." Lagi-lagi, Frank bungkam. Suara lirih Kara membuat hatinya
Melihat kekhawatiran di wajah yang nyaris tak berdarah itu, Frank menarik napas berat. "Kau masih sempat memikirkan orang lain? Lihat kondisimu, Kara." Akan tetapi, wanita itu malah mengguncang lengannya."Tolong jangan bunuh dia, Frank. Jangan mengotori tanganmu karenaku." Mengetahui wanita itu ternyata memikirkan dirinya, rahang sang CEO berhenti berdenyut. Ia menghela napas, lalu mengangkat Kara menuju sofa yang penuh dengan sobekan pisau. "Aku tidak seperti kakekku, Kara. Manusia tak berguna itu akan diserahkan ke polisi. Ia layak mendapat hukuman atas tindakannya." “Kau serius?” Sambil menatap sekretarisnya dalam-dalam, Frank mengangguk. Pundak Kara berhenti menegang. Napasnya pun mulai teratur. Setelah mendapatkan kembali ketenangannya, ia mulai mengamati rumahnya yang seperti kapal pecah. Tidak ada satu pun barang yang utuh. Rolland seakan ingin menunjukkan hidupnya lewat kondisi ruangan itu,
"Mama," panggil Louis cepat, "tolong turutilah kemauan Emily. Aku sudah lelah mendengarnya menangis." Kara memaksakan pelupuknya yang berat untuk terangkat lebih tinggi. "Emily menangis?" "Ya. Tadi saat melihat Mama pingsan, air matanya sudah seperti keran. Kepalaku sampai pusing. Untung saja, Frank Harper ahli menenangkan Emily." Kara tertegun. Ia berkedip dan mengerutkan alis. Ya, Frank Harper adalah laki-laki yang telah menghancurkan hidupnya. Namun sekarang, laki-laki itu kembali dan bertekad untuk menebus kesalahan. Ia yang menyelamatkan si Kembar dari penculikan. Ia yang melindungi Kara dari Rolland. Ia juga yang menenangkannya dari ketakutan. "Haruskah aku memberinya kesempatan?" Tiba-tiba, mata Emily mulai meloloskan butiran. Bibirnya pun mencebik membunyikan rengekan. Sebelum tangisnya menjadi kencang, Frank dengan sigap menggendong gadis mungil dengan piyama baru itu. "Tuan Putri, jangan menangis. Meskipun kalian tidak menginap di rumahku, aku akan tetap melindungi
Sambil mengangguk, Louis menepuk-nepuk pundak sang adik. “Bagus, Emily. Sekarang kita bisa menyelidiki Frank Harper lebih mudah.” “Ya, kurasa kau akan segera menyukainya.” Melihat si Kembar berbisik dengan hati-hati, alis Kara berkerut. Ia tahu gelagat itu. Anak-anaknya merencanakan sesuatu. “Anak-Anak,” panggil Frank, membuat jantung keluarga Martin melompat kecil, “selamat datang di kediamanku yang sederhana ini. Anggaplah ini sebagai rumah kalian sendiri.” Emily menggeleng sigap. “Ini sama sekali tidak sederhana, Tuan Baik Hati. Rumahmu sudah seperti istana di cerita kerajaan.” Mendengar pujian itu, Frank meninggikan sudut bibir. “Kalau begitu, apakah kau bersedia menjadi Tuan Putri-nya?” Ia membungkuk dan mengulurkan sebelah tangan. “Dengan senang hati, Paduka Raja.” Frank dan Kara terbelalak mendengar jawaban itu. “Paduka Raja?” Sang pria menaikkan alis. Gadis mungil yang menempatkan tangan dalam gen
Tiba-tiba, Frank meraih tangan Emily dan mengajaknya membuka lemari. Ternyata, di dalamnya penuh dengan pakaian mungil. “Selama tinggal di sini, kau boleh memakai semua ini.” Emily tercengang. Ia merasa seperti berada di pusat perbelanjaan. “Bagaimana Mama membayarnya? Ini pasti sangat mahal.” Kara diam-diam tertunduk dan menggaruk kuping. Ia sadar akan kekurangan sebagai seorang ibu. Hadiah dari Frank seolah menyindir. Namun, ia tidak mungkin melarang Emily menerimanya. Itu hak sang putri. “Bagaimana dengan kamarku?” celetuk Louis yang tidak bisa lagi berpura-pura sabar. Frank tersenyum simpul. Mereka pun pindah ke kamar sebelah. Ketika pintu terbuka, mata Louis hampir melompat keluar dari rongganya. Dinding kamarnya berwarna biru dengan nuansa angkasa. Ada banyak planet dan roket di sana. Penataan ruang mirip dengan kamar Emily. Hanya saja, rak di samping lemari tidak terisi buku saja, tetapi juga beraga