Share

Bab 3

Berhubung tidak sempat menghentikan Hayden, Braden pun memapah Jayden untuk berdiri sambil bertanya dengan penuh kasih sayang, “Jayden, mana yang sakit?”

“Bagian sini ... sama sini,” jawab Jayden dengan terisak sambil menunjuk bokong dan kakinya.

Begitu mengangkat celana Jayden, Braden langsung tercengang. Sebab, ada memar besar yang menghiasi kaki mulus Jayden. Braden langsung mengepalkan tangannya dan merasa sangat marah. Dia awalnya tidak berharap Hayden menimbulkan masalah. Sekarang, dia justru mendukung Hayden memberi pelajaran pada orang itu. Apa orang itu mengira Jayden bisa ditindas dengan seenaknya?

“Nggak apa-apa. Jayden, Kakak bantu tiup, ya. Habis ditiup, lukanya nggak akan sakit lagi,” hibur Braden.

Jayden mengangguk dan menjawab dengan tampang sedih, “Emm.”

Di sisi lain, Hayden sudah mengejar Jessica sampai ke luar stasiun kereta api. Begitu melihat Jessica hendak naik ke mobil, dia segera mengadang di hadapan Jessica dan bertanya dengan tampang garang, “Woi, Jelek! Beraninya kamu menindas adikku!”

Jelek? Begitu mendengar ucapan Hayden, Jessica mengerutkan keningnya dan memelototi Hayden. Keinginannya untuk langsung menampar Hayden sangat besar. Namun, berhubung Caden berada dalam mobil, dia mau tak mau harus berlagak menyukai anak-anak.

Oleh karena itu, Jessica diam-diam memelototi Hayden, lalu berbisik dengan suara galak, “Siapa yang kamu sebut jelek?”

“Menurutmu? Kamu bukan cuma jelek, tapi juga tua dan jahat! Kamu benar-benar nggak tertolong lagi!” maki Hayden. Setelah itu, dia mengeluarkan sebuah pisau lipat dan mulai mengitari mobil mewah itu.

Begitu melihat ada goresan besar yang muncul di mobil hitam mewah itu, Jessica langsung membelalak dan berseru, “Dasar anak nakal! Cepat berhenti! Apa kamu tahu ini mobil siapa? Beraninya kamu gores mobil ini! Kamu sudah bosan hidup?”

Jessica berbicara sambil mengulurkan tangan untuk menangkap Hayden. Namun, Hayden berhasil menghindar sehingga Jessica harus mengejarnya mengelilingi mobil.

Caden sengaja datang untuk menjemput Jessica. Setelah menyaksikan situasi ini, dia yang sedang duduk di dalam mobil pun berkata pada Steven, “Coba turun dan cari tahu apa yang sudah terjadi.”

“Baik!”

Baru saja Steven hendak membuka pintu, tiba-tiba ....

“Duar! Duar! Duar! Duar!”

Tiba-tiba, terdengar suara “ledakan” yang sangat nyaring.

“Ah!” teriak Jessica dengan suara melengking.

Caden mengerutkan keningnya dan turun dari mobil. Begitu menyaksikan situasi di hadapannya, keningnya pun makin berkerut.

Saat ini, keempat ban mobilnya sudah terlepas, lalu menggelinding ke segala arah dalam asap tebal. Mobil mewah ini pun tergeletak di atas lantai tanpa tanda-tanda kehidupan lagi.

Seorang bocah yang tingginya hanya sepinggang Caden dan memakai masker sedang mengancam Jessica, “Berhubung baru sampai di tempat ini, aku nggak akan permasalahkan hal ini dengan serius. Tapi, kalau kamu berani menindas adikku lagi, aku nggak akan bersikap sungkan padamu! Dasar nenek sihir! Huh!”

Caden pun terdiam begitu melihat tingkah bocah itu. Dia masih kecil, tetapi berani berlagak sok hebat? Dari mana datangnya keberaniannya itu? Dia juga berkata tidak akan mempermasalahkan hal ini dengan serius. Apa itu artinya dia akan menjadi lebih mengerikan lagi begitu serius? Anak siapa itu? Kenapa dia begitu nakal dan arogan?

Berhubung tidak tahu sudah menyinggung siapa, Hayden pun hendak pergi begitu memperingati Jessica. Namun, kerah belakang jaketnya tiba-tiba ditarik oleh seseorang sehingga dia terangkat dari lantai.

Hayden pun mengerutkan keningnya sambil meronta dan berseru, “Siapa itu? Cepat lepaskan aku!”

Caden membalik Hayden untuk menghadapnya, lalu bertanya dengan ekspresi dingin, “Kamu itu siapa?”

“Aku ....” Baru saja hendak menjawab, Hayden yang mengenakan masker langsung tercengang dan berseru dalam hati, ‘Wah, siapa paman ini? Kenapa dia begitu mirip denganku dan Kak Braden? Dia itu benar-benar versi dewasa kami! Jangan-jangan, dia itu Papa yang nggak bertanggung jawab? Tapi, bukannya Mama bilang Papa sudah meninggal muda karena sakit? Seharusnya dia itu cuma orang yang kebetulan mirip dengan Papa!’

Setelah memikirkan hal itu, Hayden berkata dengan sombong, “Berhubung kamu mirip dengan papaku, aku akan mengampunimu. Cepat lepaskan aku! Kalau nggak, aku nggak akan sungkan lagi! Asal kamu tahu, aku sangat mengerikan begitu marah!”

Kemudian, Hayden menunjukkan tampang mengejek, seolah-olah sedang bertanya, “Kamu takut, ‘kan?”

Ekspresi Caden pun menjadi makin dingin. Dia merasa bocah ini masih kecil, tetapi malah sangat arogan. Dari matanya yang tidak tertutup masker, dia merasa bocah di hadapannya sangat mirip dengan putranya yang bernama Rayden. Jika bukan karena merasa kasihan, dia pasti sudah lapor polisi.

“Apa kamu tahu tindakanmu ini sudah melanggar hukum?” tanya Caden.

“Nenek sihir jelek, tua, dan jahat itu yang duluan menyinggungku!”

Jessica yang tiba-tiba disebut pun terdiam. Dia berseru dalam hati, ‘Siapa yang jelek, tua, dan jahat? Aaaargggh!’

Caden berkata dengan dingin, “Nggak peduli apa sebabnya, tindakanmu tetap salah!”

Hayden mengerutkan keningnya dan menjawab, “Kamu itu bukan papaku. Atas dasar apa kamu menasihatiku? Memangnya kamu itu siapa?”

“Di mana orang tuamu?” tanya Caden dengan tidak senang. Dia tidak akan mempermasalahkan hal ini dengan anak kecil, tetapi tidak akan mengampuni orang tuanya. Ini adalah mobil seharga 100 miliar yang baru dibelinya. Namun, mobil yang baru pertama kali dikendarainya hari ini malah dirusak oleh Hayden. Dia tentu saja harus meminta pertanggungjawaban dari orang tua bocah ini.

Lagi pula, keempat ban mobilnya masih mengeluarkan asap dan sepertinya dihancurkan dengan bom. Apa mungkin seorang bocah bisa menggunakan bom? Jangan-jangan, ada orang yang ingin memanfaatkan anak-anak untuk mencelakainya? Demi amannya, dia harus menyelidiki hal ini dengan jelas.

Begitu mendengar Caden mencari orang tuanya, Hayden pun merasa agak panik.

Semua anak nakal paling takut apabila ada yang mencari orang tua mereka. Hayden juga tidak terkecuali. Dia tidak takut dan bahkan ingin berteman dengan bos mafia, tetapi sangat takut pada ibunya. Ibunya tidak pernah memukulnya. Jadi, dia bukan takut dipukul, melainkan takut membuat ibunya sedih.

Oleh karena itu, Hayden pun tidak lagi bersikap searogan sebelumnya. Dia berkata dengan cemberut, “Kalau mau ketemu sama orang tuaku, kamu cari saja papaku. Mamaku sangat sibuk. Dia nggak punya waktu untuk menjumpaimu.”

Caden kebetulan memang tidak suka berurusan dengan wanita. Dia pun bertanya, “Di mana papamu?”

“Papaku? Dia ada di neraka paling bawah, tempat berkumpulnya orang jahat. Kamu cari saja dia di sana.”

Caden pun terdiam setelah mendengar jawaban Hayden.

Saat ini, Jessica tiba-tiba menyela, “Anak nakal ini benar-benar nggak berpendidikan! Caden, dia lagi mengutukmu masuk neraka! Kalau dinilai dari pakaian lusuhnya, dia itu pasti anak orang miskin! Anak-anak miskin dari pedalaman memang cuma bisa jadi preman!”

“Cih! Kamu bilang aku nggak berpendidikan? Memangnya kamu berpendidikan? Kamu sudah begitu tua, tapi malah berani menindas seorang anak berumur 5 tahun! Bagaimana biasanya ibumu mendidikmu?” seru Hayden dengan marah.

‘Tua?’ Jessica benar-benar sudah murka dan berseru, “Aku baru 28 tahun!”

“Oh? Benarkah? Aku kira kamu sudah 88 tahun!”

“Kamu ....”

“Sebaiknya kamu diam saja! Kalau kamu berani menyinggungku lagi, aku akan gantikan orang tuamu untuk mendidikmu!” ujar Hayden. Baru saja dia selesai berbicara, ponselnya tiba-tiba berdering.

Orang yang menelepon ternyata adalah Naomi. Ibunya pasti panik karena tidak menemukannya setelah keluar dari kamar mandi. Dia tidak ingin membuat ibunya khawatir. Jadi, dia menatap Caden dan berkata, “Aku masih ada urusan. Duluan, ya! Dadah!”

Seusai berbicara, Harley langsung melompat dan melepaskan jaketnya. Dia terlihat seperti kupu-kupu yang terbang keluar dari kepompong.

“Jaket itu untuk kalian saja! Sama-sama!” ucap Hayden. Setelah itu, dia langsung berlari pergi dan sosoknya pun menghilang dalam kerumunan.

Caden menatap jaket di tangannya dengan ekspresi yang makin suram. Kemudian, dia berkata, “Selidiki latar belakang anak itu, lalu bawa orang tuanya datang menemuiku! Coba periksa juga kenapa ban mobil ini bisa diledakkan!”

“Baik!” jawab Steven. Dia segera membawa beberapa orang pengawal berjalan masuk ke stasiun kereta api.

“Kenapa dia bilang kamu menindas adiknya?” tanya Caden.

Jessica menjawab dengan sok polos, “Mana mungkin aku menindas anak kecil? Adiknya yang merasa aku ini orang kaya dan mau menipuku. Kalau nggak percaya, tanya saja sama manajerku. Anak itu masih kecil, tapi sudah pintar bohong. Orang tuanya pasti juga nggak beres! Anak yang dibesarkan di pedalaman memang kayak preman! Menurutku, sebaiknya kamu nggak usah ketemu orang tuanya lagi. Langsung jebloskan saja mereka sekeluarga ke penjara!”

Caden melirik Jessica dengan ekspresi dingin, ada rasa tidak suka yang terpancar dari tatapannya. Setelah itu, dia tidak lagi peduli pada Jessica.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status