"Mas, sabun cuci habis," ujar Ananda menengadahkan tangan pada suaminya.
"Ckk, bisanya minta uang saja. Nih," Selembar uang pecahan sepuluh ribu kini berpindah tangan dari Dika untuknya. Bukannya tak bersyukur, tapi selalu saja begitu. Dika hanya akan memberi uang pada Ananda kalau ia meminta lebih dulu, itu pun hanya cukup untuk keperluannya saja. "Kok cuma sepuluh ribu Mas? Ini cukup buat sabun saja," "Terus harus berapa? Kan kamu mintanya buat sabun? Emang berapa harga sabun?" "Bukan begitu Mas, tapi kan aku belum masak juga, tambahin lagi Mas," "Jadi istri bisanya cuma minta duit saja! Coba kamu yang cari duit, bisa gak? Kamu atur lah gimana uang yang saya kasih biar cukup buat sabun dan lauk!" "Hmmmptt," Ananda hanya bergeming. Ia hanya bisa memandangi selembar uang berwarna ungu itu. Apakah memang dia harus bersyukur atau justru malah kesal karena hanya diberi uang sepuluh ribu? Perlahan Ananda pergi menjauhi suaminya yang kembali melanjutkan pekerjaannya. Dika, adalah seorang penjahit pakaian yang sudah mashur di kampung mereka. Selain jahitannya rapi, bagus dan ia sangat pandai membuat berbagai macam model pakaian, sehingga dengan mudah ia mendapat banyak pelanggan. Penghasilannya bisa mencapai ratusan ribu per hari, karena tempat jahitnya selalu ramai. Tapi sayang, penghasilan itu tak bisa di nikmati oleh Ananda, istrinya sendiri. Dengan punggung tangannya, Ananda menghapus keringat yang bercucuran di keningnya. Panasnya terik matahari, membuat ia tubuhnya basah dengan keringat asinnya. "Permisi bang, saya mau beli sabun cucinya," "Berapa neng?" Tanya Pak Dirman, pemilik toko kelontong. "Yang lima ribuan saja bang," "Baik neng!" Jawab Bang Dirman yang lekas membawa sabun cuci pesanan Ananda. "Aduh si neng ini ya, padahal suaminya lho pasti besar, tapi kalau belanja paling cuma lima ribu. Hemat banget. Istri yang pinter, gak pernah hamburkan uang, belanja secukupnya aja ya neng," ujar Bang Dirman dengan seulas senyum melebar di bibirnya. Ananda hanya tersenyum simpul mendapat pujian dari Bang Dirman. Bukannya ia tak mau seperti orang lain yang belanja bulanan, tapi apa boleh buat, Dika tak pernah memberinya kesempatan untuk memegang uang besar. "Ah iya bang, kan biar uangnya cepet kumpul bang, biar bisa beli rumah dan enggak ngontrak terus," jawab Ananda menutupi. Lekas ia kembali ke warung sayur. Sisa uang hanya tinggal satu lembar lima ribuan. Matanya tertuju pada sepapan tempe di depannya. "Siang ini makan sama tempe goreng saja, dengan nasi hangat pasti enak," pikirnya. Segera ia potong satu papan tempe yang sudah ia beli. Dengan bersemangat, ia memberi bumbu dan menggorengnya. Aroma wangi goreng tempe memenuhi ruangan dapur dan memancing perutnya untuk segera di isi. Ananda Mengambil sebuah piring dan meletakkan secentong nasi hangat yang masih mengepulkan asap diatas piring itu. "Alhamdulillah ya Allah aku masih bisa makan hari ini. Walaupun hanya dengan tempe goreng, tapi aku bersyukur perutku masih bisa terisi," Ananda berbicara sendiri. Kemudian dengan lahapnya perempuan itu makan nasi beserta lauk tempe goreng. "Oh jadi gitu ya kelakuan kamu, suami lagi kerja kamu makan sendirian?? Enak-enakan sendiri emang siapa yang cari duit?" "Ah Mas. Kamu mau makan juga?" Tanya Ananda, yang lekas berdiri dan menarik kursi yang tengah ia duduki. "Kamu lupa sekarang jam berapa? Lihat sebentar lagi zuhur, udah waktunya suami kamu makan. Harusnya kamu tuh kasih tahu dulu aku kalau nasi sama lauknya udah matang jangan langsung makan sendirian begitu!" Sungut Dika masih tak terima. Ananda hanya menunduk, ia tak mau bertengkar kemana-mana. Mengalah, mungkin itu lebih baik saat ini. Ia hanya berdiri dari kejauhan, berpura mencuci perabotan bekas masak, bersandiwara biasa saja saat mendapat perlakuan tak menyenangkan dari suaminya. "Tadi Mas kasih kamu uang 30rb kenapa lauknya cuma tempe saja?" Sela Dika ditengah makannya. "Gas dan beras kan habis juga Mas. Sisa 5 ribu saja, lalu aku harus beli apa dengan uang 5 ribu?" Ananda mencoba menjelaskan. "Ya udah, aku habisin semua ini ya, tanggung juga cuma satu papan. Kamu makan sama apa terserah lah, jatah hari ini sudah Mas kasih," "Kok begitu Mas?" Protes Ananda. "Gak usah protes! Masih bisa makan nasi saja sudah beruntung! Makanya jadi perempuan jangan cuma bisanya jadi beban saja, lihat tuh si Lisna, si Wati! Itu temen kamu kan? Mereka biar pun jadi istri tapi masih bisa sambil cari uang. Lah kamu?" Lagi, Dika selalu membandingkan istrinya dengan perempuan lain. Sudah biasa, Ananda mendapat perlakuan seperti itu. Andai saja ia masih punya keluarga, mungkin Ananda lebih memilih untuk pulang. Namun, ia hanya sebatang kara didunia ini, hanya Dika lah tempatnya bergantung saat ini. Jadi mau tak mau, dia harus kuat menahan semuanya. Dika bersendawa setelah ia selesai makan. Perutnya kini sudah kenyang, dan waktunya ia beristirahat sebentar sebelum melanjutkan lagi pekerjaannya. "Aku mau tidur dulu, nanti bangunkan jam 2 ya. Jangan bangunkan aku sebelum jam 2, aku lelah sekali. Masih banyak kerjaan yang harus aku selesaikan, jadi tubuh dan mataku ini harus fresh," ujarnya sembari membaringkan tubuhnya yang lelah diatas ranjang. "Iya Mas," jawab Ananda lemah. "Semoga suatu saat aku bisa mencari uang sendiri, agar aku tak lagi menjadi beban suamiku" lirihnya lagi. Selesai membereskan piring, terdengar suara ketukan pintu didepan rumah. Lekas Ananda berjalan ke arah pintu. "Mas Dika nya ada Mbak?" Tanya Asep, tetangga nya. "Ah beliau lagi tidur Mas Asep. Ada perlu apa ya?" Tanya Ananda. "Ah ini aku mau bikin baju mbak," jawab Asep memperlihatkan kain didalam keresek di tangannya. "Ya sudah, nanti saya sampaikan kalau Mas Dika udah bangun ya Mas," jawab Ananda mengambil kain yang Asep berikan. Dia menyimpannya didalam lemari, dan kembali melanjutkan pekerjaannya yang terpotong tadi. *** Waktu menunjukkan pukul 2 siang. Sudah saatnya Ananda membangunkan suaminya yang masih terlelap. "Mas bangun," Ananda menggoyangkan tubuh Dika. Tak sulit, lelaki itu pun lekas bangun dari tidurnya. Suara dering handphone milik Dika berbunyi. "Kenapa Sep?" "Udah bangun Mas? Anu tadi saya mau jahit baju, Mas nya lagi tidur. Saya kasihkan kainnya ke Mbak Ananda," "Oh iya Sep. Nanti kamu ke tempat jahit Mas aja ya," "Oke Mas," Dika dan Asep menghentikan panggilan mereka. "Ananda, kamu tadi gak bilang ada Asep mau jahit baju? Kenapa kamu gak bangunin Mas?" Tanya Dika membuat Ananda kebingungan. "Mas bilang jangan bangunkan Mas sebelum jam 2 siang kan?" "Ya tapi lain lagi kalau mau ada yang jahitin baju, kamu gimana sih?"Dika terburu kembali ke tempat kerjanya. Ia membawa kantong keresek yang berisi kain yang akan ia potong."Heeh, punya istri gak ada bantu-bantunya sama suami. Cuma masalah bangunin orang tidur aja dia gak bisa? Apa-apa gak paham, harus dijelasin se jelas-jelas nya, baru dia paham," gerutunya sambil mengukur pola diatas kain yang sudah terjembreng."Kenapa Mas ngomel-ngomel?" Tanya Asep, yang tiba-tiba sudah ada di depannya. Lelaki itu tertawa mendengar ocehan Dika yang lebih mirip seperti ocehan Emaknya yang sedang kesal."Ini loh, aku kesel aja sama istri ku. Dia sama sekali gak bisa bantu suami, maunya disuapin terus,""Lah malah bagus dong Mas, jadinya kan mesra," canda Asep."Bukan itu maksudnya, dia itu gak bisa cari uang sendiri, bisanya minta, minta aja. Tapi kalau suami minta tolong, susahnya minta ampun!" Imbuhnya lagi."Ah masa sih Mas, kayaknya Mbak Ananda istri yang baik,""Halah kamu gak tahu aja. Dia itu boros, sehari mau dikasih 60/100ribu juga pasti bakal abis! Heran
Setelah perutnya kenyang terisi, lelaki bertubuh tegap dan berkulit putih itu kembali pulang ke rumahnya. Jam sudah menunjukkan pukul 09 malam, sudah saatnya ia tidur dan melepaskan semua rasa lelah yang memenuhi pikirannya seharian ini.Baru saja beberapa langkah ia berjalan, ponsel miliknya berdering. Dengan segera, Dika mengangkat panggilan tersebut."Assalamualaikum Mas Muh, ada apa nih tumben banget telepon?" Tanya Dika pada Muhsin, saudaranya yang ada Di Jogja."Alhamdulillah baik Mas Dika, sampean sendiri gimana? Kok lama sekali gak ada kabarnya to?""Ah iya Mas, aku sibuk banget soalnya,""Ah percaya aku lah, sukses ya di Jakarta, sampai lupa ke kampung halaman," "Hahaha, bisa saja kamu ini Mas,"Mereka berbicara panjang lebar, dan sampai intinya, Muhsin mengundang Dika dan Ananda untuk datang ke pernikahan anaknya Muhsin yang akan dilaksanakan minggu besok."Haduh, aku harus datang nih, kesempatan bisa bertemu keluarga besar dan pamer kalau sekarang aku sudah sukses. Tapi...
Ananda memilih pasar sederhana saja untuk memilih pakaian. Nampak kini matanya berbinar karena kapan lagi Dika memberinya uang dan kesempatan untuk membeli pakaian. Bibir pink natural nya tersenyum manis, saat ia menatap satu baju yang tergantung di depannya. Bola matanya terlihat membulat, ia jatuh cinta pada pakaian berbunga itu. Tak sadar, tangannya memegang pakaian itu, dan mengusapnya."Cantik sekali, warna nya juga segar, aku suka. Tapi... Harganya berapa ya?" Tanya Ananda, mencoba mencari bandrol harga."150 ribu? Mahal gak ya? Kalau aku beli ini satu, masih banyak sisanya. Tapi aku harus beli sekitar 3 atau 4 baju, karena aku gak tahu mau berapa hari kita di Jogja," Ananda berbicara sendiri. Ia letakkan kembali pakaian yang sudah membuatnya jatuh cinta itu, namun matanya masih terus menatap pakaian itu."Misi mbak, mau baju yang mana?" Tanya seorang pelayan di toko tersebut."Ah saya lagi cari pakaian yang pas buat saya mbak, tapi yang agak murah. Ada nggak mbak?" Tanya Ananda
"Lho, Bukannya istri itu pakaian suami dan sebaliknya ya? Kalau kamu menceritakan hal yang baik tentang Mas, berarti kamu sudah menjaga Marwah rumah tangga kita, mengharumkan nama Mas. Salahnya dimana?" Tanya Dika masih dengan rasa tak bersalah."Tapi kamu kan tidak seperti itu aslinya," celetuk Ananda tak mau kalah. Ia ingin sekali saja Dika sadar kalau selama ini ia menjadi seorang suami yang perhitungan terhadap istrinya. Sedikit saja uang yang ia berikan, pasti akan selalu diungkit dan merasa paling berjasa dengan pemberiannya."Sudah deh jangan mulai lagi, aku sedang tak ingin berdebat denganmu. Kamu tinggal turutin saja apa kataku tadi. Toh ini juga demi kebaikan rumah tangga kita," imbuh lelaki itu lagi. "Ya terserah kamu lah, lagian juga mereka gak peduli kok mau kamu kasih aku uang berapapun setiap harinya, mereka hanya ingin tahu saja, tak lebih. Lagipula untuk apa ingin diakui hebat? Apa untungnya?" Jawab Ananda pelan. Jika biasanya Dika akan kembali menjawab, tapi kali in
"Kenapa kamu diam saja? Kamu gak suka Mas mau bagi-bagi uang?" Tanya Dika yang melihat respon Ananda diam."Kenapa aku harus gak suka? Uang itu milikmu! Apa hak ku untuk menolak?" Jawan Ananda ketus. Toh percuma juga walaupun Ananda menerangkan panjang lebar, protes kalau sikap Dika itu salah, bukannya paham, Dika pasti malah marah dan tak terima."Baguslah kalau memang kamu paham," imbuh Dika lagi.Perjalanan panjang yang ditempuh dari Jakarta ke Jogjakarta pasti akan membuat lelah dan payah. Dika berhenti di sebuah rumah makan yang ada di pinggir jalan. Ia hentikan sejenak mobilnya di area parkir."Kita makan dulu," ucap Dika sambil membuka sabuk pengaman miliknya. Ananda hanya diam, ia takut salah kalau harus ikut turun. "Kenapa gak ikut keluar? Ayo kita makan dulu!" Ajak Dika pada istrinya."Kamu serius ajak aku makan?" Tanya Ananda tak percaya."Iya, perjalanan masih jauh. Kalau sampai kamu pingsan, siapa yang repot? Lagipula mengajakmu makan sekali-kali tak akan menghabiskan ta
"Bu Siroh terus, Bu Siroh terus yang kau sebut. Memangnya dia sudah kasih uang berapa sama kamu sampai kamu berani menceramahi ku begitu?" Suasana semakin tak terkontrol. Emosi Dika semakin meletup. "Astaghfirullah Mas, hati-hati! Kamu gak sadar kamu nyetir ngebut begini?" Ananda mencoba menyadarkan Dika yang semakin kalap. Seketika ia menghentikan laju mobilnya, dan meminggirkan mobilnya."Ini semua gara-gara kamu! Kamu yang terlalu banyak bicara, kamu terlalu banyak menuntut, sedangkan kamu sendiri tak bisa menjadi istri yang membahagiakan suami," Dika terus menyalahkan Ananda. Dadanya bergemuruh, menahan sejuta amarah yang terpendam. Sedang Ananda, ia memegang keningnya yang terasa pusing karena terbentur jok depan. Ia meringis kesakitan."Auw, kepala ku pusing Mas,"keluh Ananda. Dika hanya menyeringai tak peduli. "Masa bodoh! Itu setimpal untuk perempuan macam kamu yang pandai berbicara," ujar Dika yang kembali melajukan mobilnya. Ananda sebisa mungkin menahan sakit di kepalanya
Uang yang dibawa Dika sudah hampir habis. Didepan Mas Muh dan istrinya, Dika memberikan dompet miliknya. Biasa, ia hanya ingin mencari simpati dari orang lain. Apalah arti sebuah nama baik, jika pada kenyataannya itu tidaklah benar."Hmm sayang, ini dompet Mas," sedikit ragu, Ananda menerima dompet suaminya."Ambil sayang," ujar Dika sekali lagi. Matanya berkedip sesekali, untuk memberi kode pada perempuan yang sudah dinikahinya beberapa tahun itu. Sampai akhirnya, kini dompet Dika berpindah tangan di Ananda."Wah jadi yang pegang uang Mbak Ananda ya?""Iya lah. Suami hanya bekerja, istri yang memanage uang kita," jawab Dika menyebalkan. Ananda hanya membuang muka mendengar cerita palsu suaminya itu.***Waktu menjelang malam. Acara pernikahan yang akan dihelar hari esok membuat semua orang sibuk, termasuk Muhsin dan Nafa pemilik hajatan. Dika menghampiri istrinya yang sedang termenung dibalik jendela kamar yang sudah disiapkan untuk mereka."Dompet Mas mana?" Tangan Dika menengadah,
Dengan tergesa-gesa, Dika kembali ke rumahnya dengan motornya. "Ananda! Nanda!" Belum juga sampai, Dika sudah berteriak memanggil istrinya dengan suara yang tinggi. Tak ada sahutan dari dalam. Biasanya kalau ia memanggil nama Ananda, batang hidung perempuan itu langsung nampak."Kemana sih tuh orang sebenarnya! Awas saja, gak akan dikasih uang kau ya Ananda!" Umpatnya lagi. Ia matikan motornya, lalu berjalan dengan cepat ke rumahnya.Ternyata pintunya juga dikunci? Semakin menjadi lah amarah laki-laki itu."Sialan! Dikunci lagi!" Umpatnya kembali. Dika menggaruk kepalanya, menoleh kesana kemari, berharap kalau ada seseorang yang bisa ia tanyai. Kebetulan sekali ada Bu Hindun tetangganya lewat."Maaf Bu, lihat Ananda tidak? Kenapa dia gak ada dirumah ya?" Tanya Dika bersikap ramah."Oh Mbak Ananda, tadi sih saya lihat beliau ke rumahnya Bu Siroh,""Oh iya. Makasih banyak Bu," jawab Dika mengeratkan giginya."Sudah kuduga! Rumah nenek tua itu lagi. Ada apa sih sebenarnya disana, senen