Dika terburu kembali ke tempat kerjanya. Ia membawa kantong keresek yang berisi kain yang akan ia potong.
"Heeh, punya istri gak ada bantu-bantunya sama suami. Cuma masalah bangunin orang tidur aja dia gak bisa? Apa-apa gak paham, harus dijelasin se jelas-jelas nya, baru dia paham," gerutunya sambil mengukur pola diatas kain yang sudah terjembreng. "Kenapa Mas ngomel-ngomel?" Tanya Asep, yang tiba-tiba sudah ada di depannya. Lelaki itu tertawa mendengar ocehan Dika yang lebih mirip seperti ocehan Emaknya yang sedang kesal. "Ini loh, aku kesel aja sama istri ku. Dia sama sekali gak bisa bantu suami, maunya disuapin terus," "Lah malah bagus dong Mas, jadinya kan mesra," canda Asep. "Bukan itu maksudnya, dia itu gak bisa cari uang sendiri, bisanya minta, minta aja. Tapi kalau suami minta tolong, susahnya minta ampun!" Imbuhnya lagi. "Ah masa sih Mas, kayaknya Mbak Ananda istri yang baik," "Halah kamu gak tahu aja. Dia itu boros, sehari mau dikasih 60/100ribu juga pasti bakal abis! Heran saya, padahal kita kan belum punya anak," "Ya gak apa-apa lo Mas, Mas kan cari uang buat istri, emang buat siapa?" Mereka terus berbincang seru, tanpa sadar Ananda sebenarnya tengah berada di dekat sana. Ia yang membawa segelas kopi untuk suaminya, mendadak gemetaran mendengar cerita Dika. Ia tak menyangka, seorang suami yang begitu ia hormati menjelekkan dirinya di belakang seperti itu kepada orang lain. "Ya Allah Mas, aku gak nyangka kamu jelekin aku sama.orang, apa kamu gak sadar kamu buka aib istri mu? Lah lagipula kapan kamu kasih aku uang 50-100 ribu? Bukannya itu jatah untuk dua sampai tiga hari?" Gumamnya. Bisa dihitung dengan jari berapa kali Dika memberi uang pada Ananda dengan nominal 100ribu. Itupun kalau memang ada kebun lain seperti kondangan, barulah ia akan diberi uang agak besar. Ananda berbalik arah. Ia urungkan niatnya untuk memberi kopi sebagai permintaan maaf pada Dika, karena sudah membuat suaminya kesal karena tak di bangunkan. "Sepertinya memang aku harus cari uang sendiri, tapi apa yang harus aku lakukan? Kalau berdagang aku tak punya modal, kalau bekerja diluar, pasti Mas Dika tak akan mengijinkan ku bekerja. Aku juga tak punya skill apa-apa," lirihnya lagi. Ia putar otak agar bisa menghasilkan uang sendiri, karena tak mau lagi dianggap beban oleh suaminya. *** Waktu menunjukkan pukul 5 sore. Sudah saatnya Dika pulang kembali ke rumah, setelah seharian bergulat dengan mesin jahit dan peralatannya. "Assalamualaikum," Dika masuk ke dalam rumah tanpa dijawab salamnya oleh Ananda. Setumpuk baju kering memenuhi kursi menjadi pemandangan pertama saat Dika masuk. Dia hempaskan nafasnya kasar, sambil menyimpan tas berisi kain-kain yang akan ia potong malam ini. "Astaghfirullah Ananda, kamu dimana sih? Lagi ngapain? Ini rumah apa kapal pecah, berantakan sekali!" Pekiknya, membuat Ananda yang tertidur langsung bangun. Ia terseok berlari mendekati sumber suara. Sesekali Ananda mengucek matanya yang masih terasa perih karena mendadak bangun. "Ah maaf Mas, aku ketiduran," jawabnya pelan. Seketika darah Dika naik saat mendengar jawaban Ananda. "Apa? Bisa-bisanya kamu ketiduran, padahal rumah masih berantakan? Kamu seharian ngapain aja hah? Tolong lah kerjasamanya, aku capek kerja seharian cari uang, ya kamu juga urus rumah yang betul dong!" Oceh Dika sambil meninggikan suaranya. "Ya maaf, tadi a_ aku "Tadi apa? Tadi kamu nonton tv sampai ketiduran? Atau kamu main hp sampai ketiduran?" Potong Dika, padahal Ananda belum selesai menjelaskan. "Bukan Mas," "Lalu apa?" "Aku belajar buat kue," "Buat apa? Memang kamu bisa buat kue? Terus darimana modalnya?" Imbuh Dika lagi. Ia memang selalu begitu, meremehkan kemampuan Ananda sebagai istrinya. "Ya makanya aku lagi belajar, aku mau juga menghasilkan uang Mas," "Halah! Kamu emang dasarnya gak bisa apa-apa! Coba mana kue nya aku mau tahu!" Tantang Dika pada Ananda. Ananda menggaruk kepalanya yang tak gatal, karena memang kue buatannya gagal. "Tapi kuenya tadi gagal Mas, aku_ "Tuh kan! Apa aku bilang! Sudahlah! Jangan sok mau cari duit, kalau keahlian pun kamu gak ada! Sudah beresin rumah sana! Lipat baju juga, sakit mataku lihat rumah berantakan begitu!" Titah Dika mengakhiri perbincangan nya. Ia lalu menuju ke dapur, membuka tudung saji diatas meja. Terlihat ada dua potong ayam gorengnya disana. Dengan segera, ia ambil piring dan menyiduk nasi juga mengambil satu potong ayam goreng. Dia sama sekali tak bertanya pada Ananda, darimana dia bisa memasak ayam goreng, sedang dia tak memberi uang untuk membeli lauk ataupun kebutuhan hari ini. Padahal, Ananda bisa masak hari ini dan belajar membuat kue, itu uang darinya meminjam pada Bu Siroh, tetangganya. Bu Siroh memang selalu membantu Ananda, setiap Ananda butuh uang. Ia tak pernah menagih, bahkan sangat senang kalau Ananda mau meminta tolong padanya. "Mas," Ananda mendekati Dika yang tengah lahap makan. "Hemm," Dika bergumam. "Hmm, tadi aku pinjam uang sama Bu Siroh," Dika menghentikan makannya dan menatap tajam ke arah Ananda. "Kamu pinjam uang? Buat apa? Bikin malu saja kamu ini. Dikiranya suaminya gak kasih uang, dikiranya nanti suaminya pelit!" Sungut Dika sewot. "Lah kan memang kamu gak kasih aku uang Mas," jawab Ananda pelan. "Pagi aku kasih kamu 35ribu, langsung habis. Siang kamu minta lagi, terus sore aku harus kasih lagu gitu? Emang uang segitu gak cukup buat makan berdua?" "Mas, uang yang kamu kasih tadi habis buat beli beras dan gas," "Tuh kan, selalu saja bisa jawab kalau suami ngasih penjelasan. Ada aja alasannya! Kamu pinjam uang herapa sama Bu Siroh?" Tanya Dika masih dengan suaranya yang lantang. "Aku pinjem 100ribu Mas," lirihnya. "Apa? Besar sekali? Terus aku yang harus bayar?" "A_ aku hanya cerita saja Mas. Tadi bahan-bahan kue yang aku beli itu uang dari Bu Siroh, daging yang kamu makan juga itu uang dari Bu Siroh Mas," imbuh Ananda lagi. Dika menggeser piring di depannya. Selera makannya memuai saat mendengar perkataan Ananda. "Kalau begitu aku gak jadi makan. Kamu makan saja sendiri ayamnya, dan kamu bayar sendiri utangnya!" Kata Dika, yang kini memilih pergi mencari makan diluar, daripada harus mendengarkan istrinya berkeluh kesah. Sesak sekali rasanya dada Ananda mendengar dan mendapati perlakuan Dika terhadapnya. Tak terasa, buliran bening kini memenuhi rongga matanya, kelopak mata Ananda tak lagi bisa membendung beban yang berat, sehingga ia mengalir membuat lintasan di pipinya. "Ya Allah kuatkan aku, sampai kapan aku bisa menghadapi Mas Dika yang selalu perhitungan dengan uang. Aku hanya ingin mendapatkan penghasilan sendiri, apa aku ini istri yang sama sekali tak berguna? Sampai suamiku bersikap seperti itu?" Lirihnya.Setelah perutnya kenyang terisi, lelaki bertubuh tegap dan berkulit putih itu kembali pulang ke rumahnya. Jam sudah menunjukkan pukul 09 malam, sudah saatnya ia tidur dan melepaskan semua rasa lelah yang memenuhi pikirannya seharian ini.Baru saja beberapa langkah ia berjalan, ponsel miliknya berdering. Dengan segera, Dika mengangkat panggilan tersebut."Assalamualaikum Mas Muh, ada apa nih tumben banget telepon?" Tanya Dika pada Muhsin, saudaranya yang ada Di Jogja."Alhamdulillah baik Mas Dika, sampean sendiri gimana? Kok lama sekali gak ada kabarnya to?""Ah iya Mas, aku sibuk banget soalnya,""Ah percaya aku lah, sukses ya di Jakarta, sampai lupa ke kampung halaman," "Hahaha, bisa saja kamu ini Mas,"Mereka berbicara panjang lebar, dan sampai intinya, Muhsin mengundang Dika dan Ananda untuk datang ke pernikahan anaknya Muhsin yang akan dilaksanakan minggu besok."Haduh, aku harus datang nih, kesempatan bisa bertemu keluarga besar dan pamer kalau sekarang aku sudah sukses. Tapi...
Ananda memilih pasar sederhana saja untuk memilih pakaian. Nampak kini matanya berbinar karena kapan lagi Dika memberinya uang dan kesempatan untuk membeli pakaian. Bibir pink natural nya tersenyum manis, saat ia menatap satu baju yang tergantung di depannya. Bola matanya terlihat membulat, ia jatuh cinta pada pakaian berbunga itu. Tak sadar, tangannya memegang pakaian itu, dan mengusapnya."Cantik sekali, warna nya juga segar, aku suka. Tapi... Harganya berapa ya?" Tanya Ananda, mencoba mencari bandrol harga."150 ribu? Mahal gak ya? Kalau aku beli ini satu, masih banyak sisanya. Tapi aku harus beli sekitar 3 atau 4 baju, karena aku gak tahu mau berapa hari kita di Jogja," Ananda berbicara sendiri. Ia letakkan kembali pakaian yang sudah membuatnya jatuh cinta itu, namun matanya masih terus menatap pakaian itu."Misi mbak, mau baju yang mana?" Tanya seorang pelayan di toko tersebut."Ah saya lagi cari pakaian yang pas buat saya mbak, tapi yang agak murah. Ada nggak mbak?" Tanya Ananda
"Lho, Bukannya istri itu pakaian suami dan sebaliknya ya? Kalau kamu menceritakan hal yang baik tentang Mas, berarti kamu sudah menjaga Marwah rumah tangga kita, mengharumkan nama Mas. Salahnya dimana?" Tanya Dika masih dengan rasa tak bersalah."Tapi kamu kan tidak seperti itu aslinya," celetuk Ananda tak mau kalah. Ia ingin sekali saja Dika sadar kalau selama ini ia menjadi seorang suami yang perhitungan terhadap istrinya. Sedikit saja uang yang ia berikan, pasti akan selalu diungkit dan merasa paling berjasa dengan pemberiannya."Sudah deh jangan mulai lagi, aku sedang tak ingin berdebat denganmu. Kamu tinggal turutin saja apa kataku tadi. Toh ini juga demi kebaikan rumah tangga kita," imbuh lelaki itu lagi. "Ya terserah kamu lah, lagian juga mereka gak peduli kok mau kamu kasih aku uang berapapun setiap harinya, mereka hanya ingin tahu saja, tak lebih. Lagipula untuk apa ingin diakui hebat? Apa untungnya?" Jawab Ananda pelan. Jika biasanya Dika akan kembali menjawab, tapi kali in
"Kenapa kamu diam saja? Kamu gak suka Mas mau bagi-bagi uang?" Tanya Dika yang melihat respon Ananda diam."Kenapa aku harus gak suka? Uang itu milikmu! Apa hak ku untuk menolak?" Jawan Ananda ketus. Toh percuma juga walaupun Ananda menerangkan panjang lebar, protes kalau sikap Dika itu salah, bukannya paham, Dika pasti malah marah dan tak terima."Baguslah kalau memang kamu paham," imbuh Dika lagi.Perjalanan panjang yang ditempuh dari Jakarta ke Jogjakarta pasti akan membuat lelah dan payah. Dika berhenti di sebuah rumah makan yang ada di pinggir jalan. Ia hentikan sejenak mobilnya di area parkir."Kita makan dulu," ucap Dika sambil membuka sabuk pengaman miliknya. Ananda hanya diam, ia takut salah kalau harus ikut turun. "Kenapa gak ikut keluar? Ayo kita makan dulu!" Ajak Dika pada istrinya."Kamu serius ajak aku makan?" Tanya Ananda tak percaya."Iya, perjalanan masih jauh. Kalau sampai kamu pingsan, siapa yang repot? Lagipula mengajakmu makan sekali-kali tak akan menghabiskan ta
"Bu Siroh terus, Bu Siroh terus yang kau sebut. Memangnya dia sudah kasih uang berapa sama kamu sampai kamu berani menceramahi ku begitu?" Suasana semakin tak terkontrol. Emosi Dika semakin meletup. "Astaghfirullah Mas, hati-hati! Kamu gak sadar kamu nyetir ngebut begini?" Ananda mencoba menyadarkan Dika yang semakin kalap. Seketika ia menghentikan laju mobilnya, dan meminggirkan mobilnya."Ini semua gara-gara kamu! Kamu yang terlalu banyak bicara, kamu terlalu banyak menuntut, sedangkan kamu sendiri tak bisa menjadi istri yang membahagiakan suami," Dika terus menyalahkan Ananda. Dadanya bergemuruh, menahan sejuta amarah yang terpendam. Sedang Ananda, ia memegang keningnya yang terasa pusing karena terbentur jok depan. Ia meringis kesakitan."Auw, kepala ku pusing Mas,"keluh Ananda. Dika hanya menyeringai tak peduli. "Masa bodoh! Itu setimpal untuk perempuan macam kamu yang pandai berbicara," ujar Dika yang kembali melajukan mobilnya. Ananda sebisa mungkin menahan sakit di kepalanya
Uang yang dibawa Dika sudah hampir habis. Didepan Mas Muh dan istrinya, Dika memberikan dompet miliknya. Biasa, ia hanya ingin mencari simpati dari orang lain. Apalah arti sebuah nama baik, jika pada kenyataannya itu tidaklah benar."Hmm sayang, ini dompet Mas," sedikit ragu, Ananda menerima dompet suaminya."Ambil sayang," ujar Dika sekali lagi. Matanya berkedip sesekali, untuk memberi kode pada perempuan yang sudah dinikahinya beberapa tahun itu. Sampai akhirnya, kini dompet Dika berpindah tangan di Ananda."Wah jadi yang pegang uang Mbak Ananda ya?""Iya lah. Suami hanya bekerja, istri yang memanage uang kita," jawab Dika menyebalkan. Ananda hanya membuang muka mendengar cerita palsu suaminya itu.***Waktu menjelang malam. Acara pernikahan yang akan dihelar hari esok membuat semua orang sibuk, termasuk Muhsin dan Nafa pemilik hajatan. Dika menghampiri istrinya yang sedang termenung dibalik jendela kamar yang sudah disiapkan untuk mereka."Dompet Mas mana?" Tangan Dika menengadah,
Dengan tergesa-gesa, Dika kembali ke rumahnya dengan motornya. "Ananda! Nanda!" Belum juga sampai, Dika sudah berteriak memanggil istrinya dengan suara yang tinggi. Tak ada sahutan dari dalam. Biasanya kalau ia memanggil nama Ananda, batang hidung perempuan itu langsung nampak."Kemana sih tuh orang sebenarnya! Awas saja, gak akan dikasih uang kau ya Ananda!" Umpatnya lagi. Ia matikan motornya, lalu berjalan dengan cepat ke rumahnya.Ternyata pintunya juga dikunci? Semakin menjadi lah amarah laki-laki itu."Sialan! Dikunci lagi!" Umpatnya kembali. Dika menggaruk kepalanya, menoleh kesana kemari, berharap kalau ada seseorang yang bisa ia tanyai. Kebetulan sekali ada Bu Hindun tetangganya lewat."Maaf Bu, lihat Ananda tidak? Kenapa dia gak ada dirumah ya?" Tanya Dika bersikap ramah."Oh Mbak Ananda, tadi sih saya lihat beliau ke rumahnya Bu Siroh,""Oh iya. Makasih banyak Bu," jawab Dika mengeratkan giginya."Sudah kuduga! Rumah nenek tua itu lagi. Ada apa sih sebenarnya disana, senen
Setelah mengambil kain dari rumahnya, Dika kembali berangkat ke tempatnya bekerja. Ananda hanya bisa mengelus dada mendapat perlakuan buruk dari suaminya itu. "Astaghfirullah, kapan kamu bisa menghargai aku sebagai istri mu Mas? Aku takut suatu saat nanti kesabaran ku akan hilang, dan aku menyerah dengan semua ini. Padahal aku inginnya menikah hanya sekali saja seumur hidupku. Semoga Allah melembutkan hatimu," do'a Ananda dalam diamnya. Dika pulang hanya sekedar mengambil kain, bukannya itu bisa ia lakukan sendiri? Kenapa harus ia menyuruh Ananda pulang dan menghentikan pekerjaannya? Pikir Bu Siroh yang masih khawatir dengan keadaan Ananda. Ia menunggu Ananda balik lagi ke rumahnya. Senyumnya melebar saat terlihat sosok Ananda mendekati rumahnya. "Syukurlah kamu balik lagi. Ibu sangat khawatir sekali sama kamu," kata Bu Siroh pada Ananda. "Gak apa kok Bu, sudah biasa," "Dia gak marahin kamu kan?" "Enggak Bu. Mas Dika itu jarang marahin aku kok," "Iya jarang marahin kam