Uang yang dibawa Dika sudah hampir habis. Didepan Mas Muh dan istrinya, Dika memberikan dompet miliknya. Biasa, ia hanya ingin mencari simpati dari orang lain. Apalah arti sebuah nama baik, jika pada kenyataannya itu tidaklah benar."Hmm sayang, ini dompet Mas," sedikit ragu, Ananda menerima dompet suaminya."Ambil sayang," ujar Dika sekali lagi. Matanya berkedip sesekali, untuk memberi kode pada perempuan yang sudah dinikahinya beberapa tahun itu. Sampai akhirnya, kini dompet Dika berpindah tangan di Ananda."Wah jadi yang pegang uang Mbak Ananda ya?""Iya lah. Suami hanya bekerja, istri yang memanage uang kita," jawab Dika menyebalkan. Ananda hanya membuang muka mendengar cerita palsu suaminya itu.***Waktu menjelang malam. Acara pernikahan yang akan dihelar hari esok membuat semua orang sibuk, termasuk Muhsin dan Nafa pemilik hajatan. Dika menghampiri istrinya yang sedang termenung dibalik jendela kamar yang sudah disiapkan untuk mereka."Dompet Mas mana?" Tangan Dika menengadah,
Dengan tergesa-gesa, Dika kembali ke rumahnya dengan motornya. "Ananda! Nanda!" Belum juga sampai, Dika sudah berteriak memanggil istrinya dengan suara yang tinggi. Tak ada sahutan dari dalam. Biasanya kalau ia memanggil nama Ananda, batang hidung perempuan itu langsung nampak."Kemana sih tuh orang sebenarnya! Awas saja, gak akan dikasih uang kau ya Ananda!" Umpatnya lagi. Ia matikan motornya, lalu berjalan dengan cepat ke rumahnya.Ternyata pintunya juga dikunci? Semakin menjadi lah amarah laki-laki itu."Sialan! Dikunci lagi!" Umpatnya kembali. Dika menggaruk kepalanya, menoleh kesana kemari, berharap kalau ada seseorang yang bisa ia tanyai. Kebetulan sekali ada Bu Hindun tetangganya lewat."Maaf Bu, lihat Ananda tidak? Kenapa dia gak ada dirumah ya?" Tanya Dika bersikap ramah."Oh Mbak Ananda, tadi sih saya lihat beliau ke rumahnya Bu Siroh,""Oh iya. Makasih banyak Bu," jawab Dika mengeratkan giginya."Sudah kuduga! Rumah nenek tua itu lagi. Ada apa sih sebenarnya disana, senen
Setelah mengambil kain dari rumahnya, Dika kembali berangkat ke tempatnya bekerja. Ananda hanya bisa mengelus dada mendapat perlakuan buruk dari suaminya itu. "Astaghfirullah, kapan kamu bisa menghargai aku sebagai istri mu Mas? Aku takut suatu saat nanti kesabaran ku akan hilang, dan aku menyerah dengan semua ini. Padahal aku inginnya menikah hanya sekali saja seumur hidupku. Semoga Allah melembutkan hatimu," do'a Ananda dalam diamnya. Dika pulang hanya sekedar mengambil kain, bukannya itu bisa ia lakukan sendiri? Kenapa harus ia menyuruh Ananda pulang dan menghentikan pekerjaannya? Pikir Bu Siroh yang masih khawatir dengan keadaan Ananda. Ia menunggu Ananda balik lagi ke rumahnya. Senyumnya melebar saat terlihat sosok Ananda mendekati rumahnya. "Syukurlah kamu balik lagi. Ibu sangat khawatir sekali sama kamu," kata Bu Siroh pada Ananda. "Gak apa kok Bu, sudah biasa," "Dia gak marahin kamu kan?" "Enggak Bu. Mas Dika itu jarang marahin aku kok," "Iya jarang marahin kam
"Oh ya, kamu jangan bilang-bilang sama orang kalau kamu kerja dirumahnya si nenek itu ya. Nanti Mas yang malu. Disini kita terkenal orang berada, masa istrinya kerja jadi pembantu," tukas Dika, disela makannya. Ananda menoleh kesal, menatap laki-laki yang masih berkutat dengan nasi dan lauknya itu."Iya" jawab Ananda singkat. Harga diri, nama baik, itu selalu yang Dika utamakan. "Gaji kamu berapa memangnya?" Tanya Dika lagi. Rupanya dia tertarik untuk membahas pekerjaan baru istrinya."Kerja hanya jadi babu, mana besar Mas," jawab Ananda merendah."Ya mau gimana lagi, namanya juga kamu lulusan SMP? Setidaknya bisa bantu keuangan, biar Mas gak harus kasih kamu uang terus," ucapnya sambil bangun dari duduknya dan mencuci tangan setelah selesai makan."Lalu kamu kerja buat apa? Bukannya buat nafkahin istri kamu Mas?" Pamas rasanya hati Ananda mendengar ucapan Dika.Lelaki itu menoleh sinis, menyunggingkan sebelah senyumnya."Kamu sudah dikasih numpang di kontrakan ini, siapa yang bayar?
Sesampainya dirumah ....Nampak suaminya sudah pulang lebih dulu. Lelaki itu memijat kepalanya yang terasa sakit sekali."Kamu kenapa Mas? Kok tumben udah pulang?" Tanya Ananda basa-basi."Hemm, kamu gak lihat suami kamu lagi sakit gini hah?" Jawab Dika ketus."Mau saya pijitin Mas," tawar Ananda pelan."Tak usah disuruh harusnya kamu udah ngerti dong tugas kamu," timpal Dika lagi. Lalu Ananda menyimpan tas berisi uang ke kamar lebih dulu. Ia menyimpan dengan rapat uang itu didalam lemari pakaian miliknya.Lantas ia memijat kepala Dika dengan penuh kelembutan."Kamu tahu gak kenapa kepalaku sakit?" Tanya Dika membuka percakapan diantara keduanya."Kamu kurang istirahat Mas. Kemarin pas pulang dari Jogja harusnya kamu istirahat dulu lah, masa kamu langsung kerja aja. Badan kamu juga butuh istirahat," jawab Ananda kembali."Sok tahu kamu ini. Bukan karena itu, gak ada masalah sama badanku. Aku gak punya riwayat penyakit apapun,""Terus? Kamu sakit kenapa Mas?" Ananda balik bertanya."Ah
Dika sudah berniat untuk menguntit istrinya pagi ini. Memainkan sandiwara nya, berpura-pura sakit, agar rencananya berjalan lancar. "Mas, aku sudah masak untuk sarapanmu. Kamu kok tumben belum bangun? Katanya banyak pekerjaan?" tanya Ananda, membangunkan Dika yang masih berbaring. Lelaki itu menggeliatkan tubuhnya perlahan. "Ah, tubuhku sakit sekali Nanda, aku sakit. Sepertinya aku tidak kerja dulu hari ini," lirih Dika, menirukan suara orang yang benar-benar sakit. Ananda duduk disamping Suaminya, memberanikan diri memberikan perhatian pada Dika. "Kamu sakit sejak kapan Mas?" reflek tangan itu memegang kening Dika. Sekelebat, tangan Ananda tersingkir dari kening Dika, karena tepisan tangan Dika. "Apa sih kamu pegang-pegang? Alasan kamu ya, mengambil kesempatan saat aku sakit iya?" Dika mengelap bekas tangan Ananda dari keningnya. Entah kenapa sombong sekali Dika pada istrinya sendiri, merasa kalau Ananda itu tak pantas menyentuhnya. Perlahan Ananda menjauh, niat hati memberi p
Dika yang menguntit Ananda ke rumah Bu Siroh, mengendap dibalik pintu. Kakinya mengangkat beberapa centi, berniat mengintip istrinya."Dimana sih si Nanda, kok gak ada? Gak kelihatan dia lagi ngapain," desisnya. Ia sangat penasaran sekali."Masa kerja jadi babu dibayar mahal, sampai dia bisa belanja daging sapi segala, jangan-jangan dia kerja yang aneh-aneh," imbuhnya kembali.Tiba-tiba...."Ehemmm. Maaf, Mas sedang apa ya di depan rumah majikan saya?" suara perempuan setengah baya mengagetkan Dika. Lelaki itu terperanjat dengan muka yang merah. Malu bukan main saat kedapati dirinya tengah mengintip."Kamu mau maling ya?" Tebak Mbok Dimah, pembantu Bu Siroh yang baru datang. Ia tak kenal dengan Dika, yang terkenal sebagai pengusaha muda yang kaya raya di kampung itu."Eh sembarangan ya kalau ngomong, siapa yang mau maling? Kamu gak kenal sama saya hah?" Tantang Dika. Untuk menutupi rasa malunya, ia malah meninggikan suaranya, menyombongkan diri."Memang siapa kamu? Biarpun kamu pejaba
"Mas cuma mau memastikan saja kalau memang kamu benar-benar ada di sini," kata Dika. Wajahnya memerah, menahan malu karena ketahuan menguntit istrinya."Kamu lihat sendiri kan Mas sekarang aku ada di sini?" tanya Dinda kemudian. "Ya sudah kalau memang kamu memang ada di sini. Mas balik lagi, masih banyak pekerjaan yang harus diselesaikan," kadung ketahuan Dika akhirnya pergi. Kali ini niatnya untuk mencari tahu pekerjaan istrinya tidak berhasil. "ingat ya Dinda, kamu jangan besar kepala dulu. Saya datang ke sini hanya untuk memastikan kalau kamu memang benar-benar bekerja. Kamu masih ingin kan menjadi istri saya? Jadi tolong jaga nama baik saya! Jangan sampai pekerjaanmu itu membuat malu nama baik saya, oke!"Dika menekankan. Adinda hanya membuang nafasnya berat. Sudah hal biasa kalau Dika selalu menyakitinya dengan kata-katanya, tadinya dia sudah senang karena suaminya mencarinya ternyata semua tidak seperti apa yang dia pikirkan."kenapa katanya Bu Siro yang tiba-tiba datang dari