Share

Bab 6

"Kenapa kamu diam saja? Kamu gak suka Mas mau bagi-bagi uang?" Tanya Dika yang melihat respon Ananda diam.

"Kenapa aku harus gak suka? Uang itu milikmu! Apa hak ku untuk menolak?" Jawan Ananda ketus. Toh percuma juga walaupun Ananda menerangkan panjang lebar, protes kalau sikap Dika itu salah, bukannya paham, Dika pasti malah marah dan tak terima.

"Baguslah kalau memang kamu paham," imbuh Dika lagi.

Perjalanan panjang yang ditempuh dari Jakarta ke Jogjakarta pasti akan membuat lelah dan payah. Dika berhenti di sebuah rumah makan yang ada di pinggir jalan. Ia hentikan sejenak mobilnya di area parkir.

"Kita makan dulu," ucap Dika sambil membuka sabuk pengaman miliknya. Ananda hanya diam, ia takut salah kalau harus ikut turun. 

"Kenapa gak ikut keluar? Ayo kita makan dulu!" Ajak Dika pada istrinya.

"Kamu serius ajak aku makan?" Tanya Ananda tak percaya.

"Iya, perjalanan masih jauh. Kalau sampai kamu pingsan, siapa yang repot? Lagipula mengajakmu makan sekali-kali tak akan menghabiskan tabunganku," jawbnya lagi acuh. Memang jawaban Dika tak pernah bisa membuat hati Ananda senang. Tapi setidaknya dia sudah berbaik hati mau memberinya makan saja sudah syukur Alhamdulillah.

Ananda turun dari mobil menguntit Dika di belakangnya. Ia tak berani berjalan beriringan layaknya sepasang suami istri seperti yang lainnya.

Dika memilih banyak makanan yang akan ia makan, sedang Ananda hanya memilih satu lauk saja untuk ia makan.

"Baguslah kamu masih bisa mengukur diri, satu lauk saja memang sudah cukup untukmu," bisik Dika pada Ananda yang mematung. Perempuan itu hanya menelan saliva mendengar perkataan menyedihkan dari suaminya.

Mereka duduk berhadapan, sangat terlihat sekali perbedaan di antara keduanya. Ananda tak begitu menikmati makan siangnya, hanya saja ia butuh makan untuk mengisi perutnya.

"Hai Dika ya?" Sapa seseorang dan tiba-tiba duduk disamping Dika yang tengah fokus makan.

"Iya, Intan?" Tanya Dika pada perempuan berambut panjang dan berwarna hitam legam itu.

"Kamu bisa ada disini? Lagi apa?" Tanya Intan kemudian.

"Lagi makan lah! Masa lagi ngamen," celetuk Dika pada perempuan itu. Sikap laki-laki berusia 32 tahun itu sangatlah hangat dan humoris pada perempuan lain. Beda hal nya dengan Ananda, ia tak pernah diajak bercanda, diajak berbicara saja hanya saat butuhnya saja. Ternyata perempuan itu adalah teman kuliah Dika dulu.

"Kamu kenapa dulu resign kerja sih? Padahal rancangan baju kamu itu bagus banget lho, kalau kamu masih bekerja disana, pasti gaji kamu sudah sangat besar sekali," tanya Intan lagi. Perempuan itu begitu dekat dengan Dika, tanpa bertanya siapa sosok Ananda yang duduk berdampingan dengan Dika.

"Aku suruh nikah sama ibu, terpaksa aku keluar dan buka jahit sendiri di rumah," jawab Dika penuh penyesalan.

"Nikah? Istrimu mana?" Tanya Intan lagi. Sedari tadi Ananda menghentikan makannya. Selera makannya hilang begitu saja melihat kedekatan suaminya dengan perempuan lain di depan matanya.

"Saya istrinya," jawab Ananda memberanikan diri. Amarahnya yang sudah memuncak, membuat keberanian nya tiba-tiba muncul begitu saja. 

"Owh, jadi Mbak istrinya? Maaf ya, tadi saya kira siapanya, makanya saya gak tanya Mbak," jawab Intan sambil menjauh dari Dika. Mimik wajahnya berubah drastis setelah mendengar perkataan Ananda. 

"Kalau begitu saya permisi dulu ya Dika, kebetulan saya juga mau berangkat lagi ini, dah!" Kata Intan sambil berlalu meninggalkan Dika dan Ananda.

Sepasang suami istri itu kini hanya saling hening. Dika menyimpan makanannya, dan kini menatap tajam ke arah Ananda.

"Apa tujuanmu mengakui kalau kau istriku?" Tanya Dika datar. Terlihat dari sorotan matanya, nampak ia sangat tak suka.

"Kamu kenapa tak mengenalkan kalau aku istrimu? Jelas-jelas aku ada di depanmu, kau malah asyik berbincang dengan perempuan lain? Bercanda dengannya?" 

"Apa hak mu untuk marah?"

"Ya karena aku istrimu!" Tegas Ananda lagi.

"Tapi aku tak mencintaimu!" Tegas Dika sambil meninggalkan Ananda. Ia berjalan ke arah kasir untuk membayar semua makanannya. Padahal masih sangat banyak sekali makanan yang belum ia makan. Hanya karena Ananda mengakui statusnya, Dika bisa marah sampai seperti itu?

"Kamu bayar sendiri makanan mu! Aku tak mau mengeluarkan uangku untuk membayar makanan yang kau makan!" Tegas Dika pada Ananda. Jika biasanya Ananda kuat, ia sudah terbiasa dengan sikap dan kelakuan Dika, namun kenapa kali ini ia terasa sangat lemah, sakit sekali rasanya tak diakui sebagai istri didepan temannya. Bukan masalah harus bayar sendiri, tapi sikap Dika yang malu mengakui keberadaan Ananda lah yang membuatnya sangat sakit.

Ia usap bulir bening yang tiba-tiba turun dari pelupuk matanya. Lantas ia berjalan ke tempat kasir. Untung saja ia membawa uang pemberian Bu Siroh dan sisa dari membeli baju, makanya ia bisa bayar makanan yang diambilnya itu. 

Selesai membayar makanan, Ananda berlari menyusul Dika yang saat ini sudah berada didalam mobil. Ia membuka pintu depan, namun sepertinya kali ini Dika tak mengijinkannya untuk duduk lagi di depan.

"Kamu duduk dibelakang saja," titahnya tanpa menatap sekejap pun pada Ananda yang berdiri disamping mobilnya. Ia pun menurut, dan kini Ananda duduk di belakang.

Sepanjang perjalanan Dika sama sekali tak mengajaknya berbicara. Sepertinya ia sangat marah dengan Ananda. Memang apa salahnya kalau dia mengakui statusnya? Kenapa Dika sampai marah begitu? Menjadi tanda tanya besar dalam hati Ananda.

"Mas, a_aku mau tanya," akhirnya Ananda memberanikan diri untuk bertanya. Ia tak nyaman kalau harus berdiaman seperti ini.

"Hmmm," jawab Dika seperti biasa.

"Salahku dimana ya sampai kamu marah? Kamu juga tak mau membayar makananku, padahal kamu sudah janji akan membayarnya?" Tanya Ananda menghilangkan kepanasarannya.

"Masih tanya salahmu dimana?"

"Aku rasa aku tak punya salah apapun padamu,"

"Kamu tak lihat penampilanmu dikaca? Kamu pikir aku tak malu punya istri macam kamu? Apa jadinya kalau sampai Intan bercerita pada teman-teman lamaku, kalau istrinya Dika sangat buruk," jawab Dika membuat bibir Ananda terkunci rapat. Tak ada lagi yang ingin oa pertanyakan lagi. Sudah jelas, kalau ternyata memang Dika malu membawanya sebagai istrinya.

"Dan kamu! Darimana kamu bisa punya uang untuk membayar makanan itu? Kamu bilang kemarin kamu tak membawa uang ku kan?" 

"Untuk apa aku harus mencuri uangmu? Aku bisa punya uang walaupun kau tak memberinya!"

"Jangan bohong kamu! Jujur saja, kamu ambil berapa uangku?" Fitnah Dika pada Ananda.

"Astaghfirullah Mas! Ini bukan uangmu! Ini uangku sendiri, Bu Siroh yang sudah memberinya untukku! Jadi jangan fitnah sembarangan ya kamu!" Tegas Ananda tak suka.

"Harusnya kamu malu Mas, tugasmu menafkahi istrimu tak kamu laksanakan! Buat apa kamu cari uang pagi sampai malam, tapi kamu tak mendapatkan pahala atasnya? Allah tak ridho karena kau tak memberi nafkah yang layak untukku," 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status