"Kenapa kamu diam saja? Kamu gak suka Mas mau bagi-bagi uang?" Tanya Dika yang melihat respon Ananda diam.
"Kenapa aku harus gak suka? Uang itu milikmu! Apa hak ku untuk menolak?" Jawan Ananda ketus. Toh percuma juga walaupun Ananda menerangkan panjang lebar, protes kalau sikap Dika itu salah, bukannya paham, Dika pasti malah marah dan tak terima. "Baguslah kalau memang kamu paham," imbuh Dika lagi. Perjalanan panjang yang ditempuh dari Jakarta ke Jogjakarta pasti akan membuat lelah dan payah. Dika berhenti di sebuah rumah makan yang ada di pinggir jalan. Ia hentikan sejenak mobilnya di area parkir. "Kita makan dulu," ucap Dika sambil membuka sabuk pengaman miliknya. Ananda hanya diam, ia takut salah kalau harus ikut turun. "Kenapa gak ikut keluar? Ayo kita makan dulu!" Ajak Dika pada istrinya. "Kamu serius ajak aku makan?" Tanya Ananda tak percaya. "Iya, perjalanan masih jauh. Kalau sampai kamu pingsan, siapa yang repot? Lagipula mengajakmu makan sekali-kali tak akan menghabiskan tabunganku," jawbnya lagi acuh. Memang jawaban Dika tak pernah bisa membuat hati Ananda senang. Tapi setidaknya dia sudah berbaik hati mau memberinya makan saja sudah syukur Alhamdulillah. Ananda turun dari mobil menguntit Dika di belakangnya. Ia tak berani berjalan beriringan layaknya sepasang suami istri seperti yang lainnya. Dika memilih banyak makanan yang akan ia makan, sedang Ananda hanya memilih satu lauk saja untuk ia makan. "Baguslah kamu masih bisa mengukur diri, satu lauk saja memang sudah cukup untukmu," bisik Dika pada Ananda yang mematung. Perempuan itu hanya menelan saliva mendengar perkataan menyedihkan dari suaminya. Mereka duduk berhadapan, sangat terlihat sekali perbedaan di antara keduanya. Ananda tak begitu menikmati makan siangnya, hanya saja ia butuh makan untuk mengisi perutnya. "Hai Dika ya?" Sapa seseorang dan tiba-tiba duduk disamping Dika yang tengah fokus makan. "Iya, Intan?" Tanya Dika pada perempuan berambut panjang dan berwarna hitam legam itu. "Kamu bisa ada disini? Lagi apa?" Tanya Intan kemudian. "Lagi makan lah! Masa lagi ngamen," celetuk Dika pada perempuan itu. Sikap laki-laki berusia 32 tahun itu sangatlah hangat dan humoris pada perempuan lain. Beda hal nya dengan Ananda, ia tak pernah diajak bercanda, diajak berbicara saja hanya saat butuhnya saja. Ternyata perempuan itu adalah teman kuliah Dika dulu. "Kamu kenapa dulu resign kerja sih? Padahal rancangan baju kamu itu bagus banget lho, kalau kamu masih bekerja disana, pasti gaji kamu sudah sangat besar sekali," tanya Intan lagi. Perempuan itu begitu dekat dengan Dika, tanpa bertanya siapa sosok Ananda yang duduk berdampingan dengan Dika. "Aku suruh nikah sama ibu, terpaksa aku keluar dan buka jahit sendiri di rumah," jawab Dika penuh penyesalan. "Nikah? Istrimu mana?" Tanya Intan lagi. Sedari tadi Ananda menghentikan makannya. Selera makannya hilang begitu saja melihat kedekatan suaminya dengan perempuan lain di depan matanya. "Saya istrinya," jawab Ananda memberanikan diri. Amarahnya yang sudah memuncak, membuat keberanian nya tiba-tiba muncul begitu saja. "Owh, jadi Mbak istrinya? Maaf ya, tadi saya kira siapanya, makanya saya gak tanya Mbak," jawab Intan sambil menjauh dari Dika. Mimik wajahnya berubah drastis setelah mendengar perkataan Ananda. "Kalau begitu saya permisi dulu ya Dika, kebetulan saya juga mau berangkat lagi ini, dah!" Kata Intan sambil berlalu meninggalkan Dika dan Ananda. Sepasang suami istri itu kini hanya saling hening. Dika menyimpan makanannya, dan kini menatap tajam ke arah Ananda. "Apa tujuanmu mengakui kalau kau istriku?" Tanya Dika datar. Terlihat dari sorotan matanya, nampak ia sangat tak suka. "Kamu kenapa tak mengenalkan kalau aku istrimu? Jelas-jelas aku ada di depanmu, kau malah asyik berbincang dengan perempuan lain? Bercanda dengannya?" "Apa hak mu untuk marah?" "Ya karena aku istrimu!" Tegas Ananda lagi. "Tapi aku tak mencintaimu!" Tegas Dika sambil meninggalkan Ananda. Ia berjalan ke arah kasir untuk membayar semua makanannya. Padahal masih sangat banyak sekali makanan yang belum ia makan. Hanya karena Ananda mengakui statusnya, Dika bisa marah sampai seperti itu? "Kamu bayar sendiri makanan mu! Aku tak mau mengeluarkan uangku untuk membayar makanan yang kau makan!" Tegas Dika pada Ananda. Jika biasanya Ananda kuat, ia sudah terbiasa dengan sikap dan kelakuan Dika, namun kenapa kali ini ia terasa sangat lemah, sakit sekali rasanya tak diakui sebagai istri didepan temannya. Bukan masalah harus bayar sendiri, tapi sikap Dika yang malu mengakui keberadaan Ananda lah yang membuatnya sangat sakit. Ia usap bulir bening yang tiba-tiba turun dari pelupuk matanya. Lantas ia berjalan ke tempat kasir. Untung saja ia membawa uang pemberian Bu Siroh dan sisa dari membeli baju, makanya ia bisa bayar makanan yang diambilnya itu. Selesai membayar makanan, Ananda berlari menyusul Dika yang saat ini sudah berada didalam mobil. Ia membuka pintu depan, namun sepertinya kali ini Dika tak mengijinkannya untuk duduk lagi di depan. "Kamu duduk dibelakang saja," titahnya tanpa menatap sekejap pun pada Ananda yang berdiri disamping mobilnya. Ia pun menurut, dan kini Ananda duduk di belakang. Sepanjang perjalanan Dika sama sekali tak mengajaknya berbicara. Sepertinya ia sangat marah dengan Ananda. Memang apa salahnya kalau dia mengakui statusnya? Kenapa Dika sampai marah begitu? Menjadi tanda tanya besar dalam hati Ananda. "Mas, a_aku mau tanya," akhirnya Ananda memberanikan diri untuk bertanya. Ia tak nyaman kalau harus berdiaman seperti ini. "Hmmm," jawab Dika seperti biasa. "Salahku dimana ya sampai kamu marah? Kamu juga tak mau membayar makananku, padahal kamu sudah janji akan membayarnya?" Tanya Ananda menghilangkan kepanasarannya. "Masih tanya salahmu dimana?" "Aku rasa aku tak punya salah apapun padamu," "Kamu tak lihat penampilanmu dikaca? Kamu pikir aku tak malu punya istri macam kamu? Apa jadinya kalau sampai Intan bercerita pada teman-teman lamaku, kalau istrinya Dika sangat buruk," jawab Dika membuat bibir Ananda terkunci rapat. Tak ada lagi yang ingin oa pertanyakan lagi. Sudah jelas, kalau ternyata memang Dika malu membawanya sebagai istrinya. "Dan kamu! Darimana kamu bisa punya uang untuk membayar makanan itu? Kamu bilang kemarin kamu tak membawa uang ku kan?" "Untuk apa aku harus mencuri uangmu? Aku bisa punya uang walaupun kau tak memberinya!" "Jangan bohong kamu! Jujur saja, kamu ambil berapa uangku?" Fitnah Dika pada Ananda. "Astaghfirullah Mas! Ini bukan uangmu! Ini uangku sendiri, Bu Siroh yang sudah memberinya untukku! Jadi jangan fitnah sembarangan ya kamu!" Tegas Ananda tak suka. "Harusnya kamu malu Mas, tugasmu menafkahi istrimu tak kamu laksanakan! Buat apa kamu cari uang pagi sampai malam, tapi kamu tak mendapatkan pahala atasnya? Allah tak ridho karena kau tak memberi nafkah yang layak untukku,""Bu Siroh terus, Bu Siroh terus yang kau sebut. Memangnya dia sudah kasih uang berapa sama kamu sampai kamu berani menceramahi ku begitu?" Suasana semakin tak terkontrol. Emosi Dika semakin meletup. "Astaghfirullah Mas, hati-hati! Kamu gak sadar kamu nyetir ngebut begini?" Ananda mencoba menyadarkan Dika yang semakin kalap. Seketika ia menghentikan laju mobilnya, dan meminggirkan mobilnya."Ini semua gara-gara kamu! Kamu yang terlalu banyak bicara, kamu terlalu banyak menuntut, sedangkan kamu sendiri tak bisa menjadi istri yang membahagiakan suami," Dika terus menyalahkan Ananda. Dadanya bergemuruh, menahan sejuta amarah yang terpendam. Sedang Ananda, ia memegang keningnya yang terasa pusing karena terbentur jok depan. Ia meringis kesakitan."Auw, kepala ku pusing Mas,"keluh Ananda. Dika hanya menyeringai tak peduli. "Masa bodoh! Itu setimpal untuk perempuan macam kamu yang pandai berbicara," ujar Dika yang kembali melajukan mobilnya. Ananda sebisa mungkin menahan sakit di kepalanya
Uang yang dibawa Dika sudah hampir habis. Didepan Mas Muh dan istrinya, Dika memberikan dompet miliknya. Biasa, ia hanya ingin mencari simpati dari orang lain. Apalah arti sebuah nama baik, jika pada kenyataannya itu tidaklah benar."Hmm sayang, ini dompet Mas," sedikit ragu, Ananda menerima dompet suaminya."Ambil sayang," ujar Dika sekali lagi. Matanya berkedip sesekali, untuk memberi kode pada perempuan yang sudah dinikahinya beberapa tahun itu. Sampai akhirnya, kini dompet Dika berpindah tangan di Ananda."Wah jadi yang pegang uang Mbak Ananda ya?""Iya lah. Suami hanya bekerja, istri yang memanage uang kita," jawab Dika menyebalkan. Ananda hanya membuang muka mendengar cerita palsu suaminya itu.***Waktu menjelang malam. Acara pernikahan yang akan dihelar hari esok membuat semua orang sibuk, termasuk Muhsin dan Nafa pemilik hajatan. Dika menghampiri istrinya yang sedang termenung dibalik jendela kamar yang sudah disiapkan untuk mereka."Dompet Mas mana?" Tangan Dika menengadah,
Dengan tergesa-gesa, Dika kembali ke rumahnya dengan motornya. "Ananda! Nanda!" Belum juga sampai, Dika sudah berteriak memanggil istrinya dengan suara yang tinggi. Tak ada sahutan dari dalam. Biasanya kalau ia memanggil nama Ananda, batang hidung perempuan itu langsung nampak."Kemana sih tuh orang sebenarnya! Awas saja, gak akan dikasih uang kau ya Ananda!" Umpatnya lagi. Ia matikan motornya, lalu berjalan dengan cepat ke rumahnya.Ternyata pintunya juga dikunci? Semakin menjadi lah amarah laki-laki itu."Sialan! Dikunci lagi!" Umpatnya kembali. Dika menggaruk kepalanya, menoleh kesana kemari, berharap kalau ada seseorang yang bisa ia tanyai. Kebetulan sekali ada Bu Hindun tetangganya lewat."Maaf Bu, lihat Ananda tidak? Kenapa dia gak ada dirumah ya?" Tanya Dika bersikap ramah."Oh Mbak Ananda, tadi sih saya lihat beliau ke rumahnya Bu Siroh,""Oh iya. Makasih banyak Bu," jawab Dika mengeratkan giginya."Sudah kuduga! Rumah nenek tua itu lagi. Ada apa sih sebenarnya disana, senen
Setelah mengambil kain dari rumahnya, Dika kembali berangkat ke tempatnya bekerja. Ananda hanya bisa mengelus dada mendapat perlakuan buruk dari suaminya itu. "Astaghfirullah, kapan kamu bisa menghargai aku sebagai istri mu Mas? Aku takut suatu saat nanti kesabaran ku akan hilang, dan aku menyerah dengan semua ini. Padahal aku inginnya menikah hanya sekali saja seumur hidupku. Semoga Allah melembutkan hatimu," do'a Ananda dalam diamnya. Dika pulang hanya sekedar mengambil kain, bukannya itu bisa ia lakukan sendiri? Kenapa harus ia menyuruh Ananda pulang dan menghentikan pekerjaannya? Pikir Bu Siroh yang masih khawatir dengan keadaan Ananda. Ia menunggu Ananda balik lagi ke rumahnya. Senyumnya melebar saat terlihat sosok Ananda mendekati rumahnya. "Syukurlah kamu balik lagi. Ibu sangat khawatir sekali sama kamu," kata Bu Siroh pada Ananda. "Gak apa kok Bu, sudah biasa," "Dia gak marahin kamu kan?" "Enggak Bu. Mas Dika itu jarang marahin aku kok," "Iya jarang marahin kam
"Oh ya, kamu jangan bilang-bilang sama orang kalau kamu kerja dirumahnya si nenek itu ya. Nanti Mas yang malu. Disini kita terkenal orang berada, masa istrinya kerja jadi pembantu," tukas Dika, disela makannya. Ananda menoleh kesal, menatap laki-laki yang masih berkutat dengan nasi dan lauknya itu."Iya" jawab Ananda singkat. Harga diri, nama baik, itu selalu yang Dika utamakan. "Gaji kamu berapa memangnya?" Tanya Dika lagi. Rupanya dia tertarik untuk membahas pekerjaan baru istrinya."Kerja hanya jadi babu, mana besar Mas," jawab Ananda merendah."Ya mau gimana lagi, namanya juga kamu lulusan SMP? Setidaknya bisa bantu keuangan, biar Mas gak harus kasih kamu uang terus," ucapnya sambil bangun dari duduknya dan mencuci tangan setelah selesai makan."Lalu kamu kerja buat apa? Bukannya buat nafkahin istri kamu Mas?" Pamas rasanya hati Ananda mendengar ucapan Dika.Lelaki itu menoleh sinis, menyunggingkan sebelah senyumnya."Kamu sudah dikasih numpang di kontrakan ini, siapa yang bayar?
Sesampainya dirumah ....Nampak suaminya sudah pulang lebih dulu. Lelaki itu memijat kepalanya yang terasa sakit sekali."Kamu kenapa Mas? Kok tumben udah pulang?" Tanya Ananda basa-basi."Hemm, kamu gak lihat suami kamu lagi sakit gini hah?" Jawab Dika ketus."Mau saya pijitin Mas," tawar Ananda pelan."Tak usah disuruh harusnya kamu udah ngerti dong tugas kamu," timpal Dika lagi. Lalu Ananda menyimpan tas berisi uang ke kamar lebih dulu. Ia menyimpan dengan rapat uang itu didalam lemari pakaian miliknya.Lantas ia memijat kepala Dika dengan penuh kelembutan."Kamu tahu gak kenapa kepalaku sakit?" Tanya Dika membuka percakapan diantara keduanya."Kamu kurang istirahat Mas. Kemarin pas pulang dari Jogja harusnya kamu istirahat dulu lah, masa kamu langsung kerja aja. Badan kamu juga butuh istirahat," jawab Ananda kembali."Sok tahu kamu ini. Bukan karena itu, gak ada masalah sama badanku. Aku gak punya riwayat penyakit apapun,""Terus? Kamu sakit kenapa Mas?" Ananda balik bertanya."Ah
Dika sudah berniat untuk menguntit istrinya pagi ini. Memainkan sandiwara nya, berpura-pura sakit, agar rencananya berjalan lancar. "Mas, aku sudah masak untuk sarapanmu. Kamu kok tumben belum bangun? Katanya banyak pekerjaan?" tanya Ananda, membangunkan Dika yang masih berbaring. Lelaki itu menggeliatkan tubuhnya perlahan. "Ah, tubuhku sakit sekali Nanda, aku sakit. Sepertinya aku tidak kerja dulu hari ini," lirih Dika, menirukan suara orang yang benar-benar sakit. Ananda duduk disamping Suaminya, memberanikan diri memberikan perhatian pada Dika. "Kamu sakit sejak kapan Mas?" reflek tangan itu memegang kening Dika. Sekelebat, tangan Ananda tersingkir dari kening Dika, karena tepisan tangan Dika. "Apa sih kamu pegang-pegang? Alasan kamu ya, mengambil kesempatan saat aku sakit iya?" Dika mengelap bekas tangan Ananda dari keningnya. Entah kenapa sombong sekali Dika pada istrinya sendiri, merasa kalau Ananda itu tak pantas menyentuhnya. Perlahan Ananda menjauh, niat hati memberi p
Dika yang menguntit Ananda ke rumah Bu Siroh, mengendap dibalik pintu. Kakinya mengangkat beberapa centi, berniat mengintip istrinya."Dimana sih si Nanda, kok gak ada? Gak kelihatan dia lagi ngapain," desisnya. Ia sangat penasaran sekali."Masa kerja jadi babu dibayar mahal, sampai dia bisa belanja daging sapi segala, jangan-jangan dia kerja yang aneh-aneh," imbuhnya kembali.Tiba-tiba...."Ehemmm. Maaf, Mas sedang apa ya di depan rumah majikan saya?" suara perempuan setengah baya mengagetkan Dika. Lelaki itu terperanjat dengan muka yang merah. Malu bukan main saat kedapati dirinya tengah mengintip."Kamu mau maling ya?" Tebak Mbok Dimah, pembantu Bu Siroh yang baru datang. Ia tak kenal dengan Dika, yang terkenal sebagai pengusaha muda yang kaya raya di kampung itu."Eh sembarangan ya kalau ngomong, siapa yang mau maling? Kamu gak kenal sama saya hah?" Tantang Dika. Untuk menutupi rasa malunya, ia malah meninggikan suaranya, menyombongkan diri."Memang siapa kamu? Biarpun kamu pejaba