Beranda / Pernikahan / Ambil Saja Uangmu Mas!! / Baik sama Orang, Pelit Sama istri Sendiri

Share

Baik sama Orang, Pelit Sama istri Sendiri

"Lho, Bukannya istri itu pakaian suami dan sebaliknya ya? Kalau kamu menceritakan hal yang baik tentang Mas, berarti kamu sudah menjaga Marwah rumah tangga kita, mengharumkan nama Mas. Salahnya dimana?" Tanya Dika masih dengan rasa tak bersalah.

"Tapi kamu kan tidak seperti itu aslinya," celetuk Ananda tak mau kalah. Ia ingin sekali saja Dika sadar kalau selama ini ia menjadi seorang suami yang perhitungan terhadap istrinya. Sedikit saja uang yang ia berikan, pasti akan selalu diungkit dan merasa paling berjasa dengan pemberiannya.

"Sudah deh jangan mulai lagi, aku sedang tak ingin berdebat denganmu. Kamu tinggal turutin saja apa kataku tadi. Toh ini juga demi kebaikan rumah tangga kita," imbuh lelaki itu lagi.

"Ya terserah kamu lah, lagian juga mereka gak peduli kok mau kamu kasih aku uang berapapun setiap harinya, mereka hanya ingin tahu saja, tak lebih. Lagipula untuk apa ingin diakui hebat? Apa untungnya?" Jawab Ananda pelan. Jika biasanya Dika akan kembali menjawab, tapi kali ini ia memilih untuk diam, karena memang sedang tak mood untuk banyak berbicara dengan istrinya itu.

Sayur sudah matang dan Dika sudah sarapan. Ia pun pergi berangkat ke tempat jahitnya. Memang jarak dari rumah ke tempat jahit tak begini jauh, hanya butuh beberapa menit saja maka ia sudah sampai disana.

"Nanti kamu siapin pakaian buat aku selama disana ya, beresin baju-bajuku, masukin dalam koper," pesannya sebelum ia berangkat.

Seperti apa yang Dika pesankan, Ananda pun masuk ke dalam kamar milik suaminya. Lantas ia memilih pakaian yang akan ia packing, alangkah kagetnya saat ia mengangkat pakaian yang paling bawah. Banyaknya uang berhamburan jatuh dari sana. Tak bisa dihitung, mungkin lebih dari seratus lembar uang nominal 100 ribuan.

"Astaghfirullah, kok bisa ada uang sebanyak ini di dalam lemari? Uang apa ini? Dan kenapa dia menyimpan uang sebanyak ini didalam lemari? Kenapa dia tak menyimpannya dalam tabungan saja?" Gumam Ananda yang kaget, dan langsung membereskan satu persatu lembaran uang itu.

Ada rasa was-was, takut kalau tiba-tiba suami pelitnya itu datang dan menyangkanya yang tidak-tidak. Ada juga perasaan sedih, kecewa dan sakit melihatnya uang sebanyak itu milik suaminya.

Ia hanya bisa melihat gundukan uang yang banyak, sedang ia tak bisa menikmatinya sama sekali. Untuk apa Dika mengumpulkan banyak uang, tetapi pada istrinya ia sangat pelit dan perhitungan? Pikirnya.

"Suatu saat aku akan punya uang sebanyak ini dari hasil jeri payahku, dan aku tak perlu lagi kau biayai Mas. Kau tak perlu repot-repot mengeluarkan uang tiga puluh ribumu untukku setiap hari," janjinya dalam hati. Sungguh sakit bukan main menjadi Ananda.

Setelah selesai melipat pakaian dan menyiapkan keperluan Dika, Ananda lekas pergi ke rumah Bu Siroh, ia ingin membayar sebagian hutangnya bekas kemarin.

"Makasih banyak ya Ananda, padahal kalau belum ada tak usah dipaksakan, Ibu juga enggak apa-apa kok, pakai saja dulu! Takutnya kamu masih perlu," jawab Bu Siroh ketika Ananda membayar sebagian utangnya.

"Enggak Bu, mumpung ada saya bayar dulu 50 ribu ya, besok sisanya kalau aku ada uang, aku pasti lunasin. Maaf ya Bu kalau saya bayarnya cicil," kata Ananda tak enak.

"Gak apa-apa, ibu seneng kalau kamu ada apapun ngomong sama ibu, jangan sungkan! Anggap saja ibu ini ibumu ya," kata Bu Siroh lagi. Memang ibu satu ini selalu berbuat baik pada Ananda. Janda tua dan kaya raya itu tak punya turunan, ia hanya hidup sebatang kara karena suaminya sudah meninggal. Hanya ada beberapa pembantu di rumahnya yang siap melayani semua kebutuhannya.

"Oh iya Ananda, katanya kamu bilang mau cari kerja? Ibu ada info pekerjaan buat kamu. Memang tak seberapa, tapi lumayan lah buat tambahan sehari-hari,"

Ananda mengerucutkan keningnya.

"Kerja apa Bu? Terus tempatnya dimana?" Tanya Ananda lagi.

"Kerjanya dirumah aja. Kamu bisa memayet pakaian tidak?" Tanya Bu Siroh lagi.

"Memasang manik-manik kah Bu?"

"Iya, benar sekali. Memasang manik-manik baju gaun. Bayarannya lumayan mahal nan, soalnya juga kerjaannya butuh skill, dan memang harus benar-benar rapi sekali,"

"Wah aku mau Bu. Aku mau coba kalau begitu,"

"Baiklah, kapan kamu mau mulai? Nanti biar ibu bilang sama orangnya,"

"Hmm, tapi paling saya mau mulai hari kamis bu, soalnya besok saya mau pergi ke Jogja tiga hari," jawab Ananda kembali. Bu Siroh diam sejenak. Lalu ia mengeluarkan uang dua lembar seratus ribuan.

"Ambillah!!" Ujarnya, menyodorkan uang tersebut pada Ananda.

"Uang apa ini?" Tanya Ananda heran.

"Kamu mau ka Jogja kan? Pasti kamu gak punya bekal kan? Ambil uang sedikit ini, buat jajan dijalan," ucap Bu Siroh kembali. Ananda hanya tersenyum, lalu memeluk tubuh renta Bu Siroh. Sungguh baik sekali perempuan tua itu.

"Alhamdulillah, rejeki memang datang dari mana saja. Padahal utangnya pada Bu Siroh saja baru dibayar separuh, Bu Siroh malah kasih aku uang? Sungguh kalkulator Allah itu hanya rahasia Allah," batin Ananda.

Keesokan harinya...

Dika sudah bersiap dengan semuanya. Ia memanggil Ananda yang masih berdandan di kamarnya. Jangan heran, walaupun mereka sudah menikah selama tiga tahun, tapi mereka tidur di kamar masing-masing. Dika yang belum mau membuka hatinya untuk Ananda, hanya sesekali saja menyentuh istrinya itu. Ia tak mau buru-buru punya anak, karena baginya anak itu harus lahir dari rasa saling cinta.

"Ananda ayo!" Teriak Dika sambil membetulkan jam tangannya.

"Sebentar Mas!" Ananda berlari kecil dari kamarnya sambil membawa barang-barang bawaannya. Tatapan mata Dika terkunci pada perempuan didepannya, yang sangat asing terlihat. Rambut sebahu Ananda yang biasanya hanya dicepol ke belakang, berantakan tak terurus, wajahnya yang selalu berminyak, bibirnya yang tak pernah berwarna oleh lipstik, kini tampil berbeda sekali. Ananda berubah bak seperti seorang model. Ia sangat cantik.

"Ehem, ayo kita berangkat!" Ajak Dika, yang tak mau terlalu lama melihat kecantikan istrinya. Kali ini ia akui, kalau ternyata Ananda cantik.

"Kamu duduk didepan," titah Dika pada Ananda.

"Aku di depan?" Tanya Ananda tak percaya.

"Iya, memang kenapa? Gak mau?" Dika bertanya balik. Bukan hal yang biasa kalau Dika menyuruh istrinya itu untuk duduk didepan. Pasalnya, Dika selalu menyuruh Ananda untuk duduk di belakang, dengan alasan tak nyaman berdekatan dengan istrinya. Ananda hanya tersenyum malu mendengar titahan suaminya.

"Tak usah berlebihan! Hanya duduk didepan saja, bukan berarti aku membuka hati untukmu! Aku hanya takut mengantuk saja saat menyetir, ini kan perjalanan jauh," ucap Dika kembali mematahkan hati Ananda.

"Baiklah, aku sadar diri kok," jawab Ananda kemudian.

Dika mulai menancap gas, dia sengaja menjalankan mobil dengan kecepatan sedang saja. Mobil yang ia beli beberapa bulan lalu, memang hanya digunakan sesekali saja saat ada perjalanan jauh seperti ini. Kalau untuk pergi ke tempatnya bekerja, Dika hanya menggunakan sepeda motor maticnya.

"Kamu lihat uang dibawah pakaian Mas kemarin?" Tanya Dika membuyarkan lamunan Ananda seketika.

"Iya. Tapi aku tak mengambilnya, aku juga tak sengaja menjatuhkan Uangmu. Lagipula, aku tak tahu ada uang dibawah bajumu Mas," jawab Ananda membela diri.

"Iya aku tahu uangnya masih pas. Kamu harus tahu, uang itu sengaja aku siapkan untuk nanti kubagikan ke keluarga ku, dan saudara-saudara ku disana. Aku juga mau ke panti asuhan bekasmu dulu,"

"Kau mau membagikan uang sebanyak itu untuk mereka?" Tanya Ananda kaget bukan main.

"Iya, kenapa?"

Ananda hanya menelan saliva. Bisa-bisanya ia tanya kenapa? Sebenarnya dia paham atau tidak tentang hak dan kewajibannya sebagai seorang suami? Bukankah seharusnya ia memenuhi dulu hak istrinya, lalu ia boleh menyenangkan orang lain? Tapi ini? Apa yang dia lakukan? Ananda sama sekali tak habis pikir.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status