"Lho, Bukannya istri itu pakaian suami dan sebaliknya ya? Kalau kamu menceritakan hal yang baik tentang Mas, berarti kamu sudah menjaga Marwah rumah tangga kita, mengharumkan nama Mas. Salahnya dimana?" Tanya Dika masih dengan rasa tak bersalah.
"Tapi kamu kan tidak seperti itu aslinya," celetuk Ananda tak mau kalah. Ia ingin sekali saja Dika sadar kalau selama ini ia menjadi seorang suami yang perhitungan terhadap istrinya. Sedikit saja uang yang ia berikan, pasti akan selalu diungkit dan merasa paling berjasa dengan pemberiannya. "Sudah deh jangan mulai lagi, aku sedang tak ingin berdebat denganmu. Kamu tinggal turutin saja apa kataku tadi. Toh ini juga demi kebaikan rumah tangga kita," imbuh lelaki itu lagi. "Ya terserah kamu lah, lagian juga mereka gak peduli kok mau kamu kasih aku uang berapapun setiap harinya, mereka hanya ingin tahu saja, tak lebih. Lagipula untuk apa ingin diakui hebat? Apa untungnya?" Jawab Ananda pelan. Jika biasanya Dika akan kembali menjawab, tapi kali ini ia memilih untuk diam, karena memang sedang tak mood untuk banyak berbicara dengan istrinya itu. Sayur sudah matang dan Dika sudah sarapan. Ia pun pergi berangkat ke tempat jahitnya. Memang jarak dari rumah ke tempat jahit tak begini jauh, hanya butuh beberapa menit saja maka ia sudah sampai disana. "Nanti kamu siapin pakaian buat aku selama disana ya, beresin baju-bajuku, masukin dalam koper," pesannya sebelum ia berangkat. Seperti apa yang Dika pesankan, Ananda pun masuk ke dalam kamar milik suaminya. Lantas ia memilih pakaian yang akan ia packing, alangkah kagetnya saat ia mengangkat pakaian yang paling bawah. Banyaknya uang berhamburan jatuh dari sana. Tak bisa dihitung, mungkin lebih dari seratus lembar uang nominal 100 ribuan. "Astaghfirullah, kok bisa ada uang sebanyak ini di dalam lemari? Uang apa ini? Dan kenapa dia menyimpan uang sebanyak ini didalam lemari? Kenapa dia tak menyimpannya dalam tabungan saja?" Gumam Ananda yang kaget, dan langsung membereskan satu persatu lembaran uang itu. Ada rasa was-was, takut kalau tiba-tiba suami pelitnya itu datang dan menyangkanya yang tidak-tidak. Ada juga perasaan sedih, kecewa dan sakit melihatnya uang sebanyak itu milik suaminya. Ia hanya bisa melihat gundukan uang yang banyak, sedang ia tak bisa menikmatinya sama sekali. Untuk apa Dika mengumpulkan banyak uang, tetapi pada istrinya ia sangat pelit dan perhitungan? Pikirnya. "Suatu saat aku akan punya uang sebanyak ini dari hasil jeri payahku, dan aku tak perlu lagi kau biayai Mas. Kau tak perlu repot-repot mengeluarkan uang tiga puluh ribumu untukku setiap hari," janjinya dalam hati. Sungguh sakit bukan main menjadi Ananda. Setelah selesai melipat pakaian dan menyiapkan keperluan Dika, Ananda lekas pergi ke rumah Bu Siroh, ia ingin membayar sebagian hutangnya bekas kemarin. "Makasih banyak ya Ananda, padahal kalau belum ada tak usah dipaksakan, Ibu juga enggak apa-apa kok, pakai saja dulu! Takutnya kamu masih perlu," jawab Bu Siroh ketika Ananda membayar sebagian utangnya. "Enggak Bu, mumpung ada saya bayar dulu 50 ribu ya, besok sisanya kalau aku ada uang, aku pasti lunasin. Maaf ya Bu kalau saya bayarnya cicil," kata Ananda tak enak. "Gak apa-apa, ibu seneng kalau kamu ada apapun ngomong sama ibu, jangan sungkan! Anggap saja ibu ini ibumu ya," kata Bu Siroh lagi. Memang ibu satu ini selalu berbuat baik pada Ananda. Janda tua dan kaya raya itu tak punya turunan, ia hanya hidup sebatang kara karena suaminya sudah meninggal. Hanya ada beberapa pembantu di rumahnya yang siap melayani semua kebutuhannya. "Oh iya Ananda, katanya kamu bilang mau cari kerja? Ibu ada info pekerjaan buat kamu. Memang tak seberapa, tapi lumayan lah buat tambahan sehari-hari," Ananda mengerucutkan keningnya. "Kerja apa Bu? Terus tempatnya dimana?" Tanya Ananda lagi. "Kerjanya dirumah aja. Kamu bisa memayet pakaian tidak?" Tanya Bu Siroh lagi. "Memasang manik-manik kah Bu?" "Iya, benar sekali. Memasang manik-manik baju gaun. Bayarannya lumayan mahal nan, soalnya juga kerjaannya butuh skill, dan memang harus benar-benar rapi sekali," "Wah aku mau Bu. Aku mau coba kalau begitu," "Baiklah, kapan kamu mau mulai? Nanti biar ibu bilang sama orangnya," "Hmm, tapi paling saya mau mulai hari kamis bu, soalnya besok saya mau pergi ke Jogja tiga hari," jawab Ananda kembali. Bu Siroh diam sejenak. Lalu ia mengeluarkan uang dua lembar seratus ribuan. "Ambillah!!" Ujarnya, menyodorkan uang tersebut pada Ananda. "Uang apa ini?" Tanya Ananda heran. "Kamu mau ka Jogja kan? Pasti kamu gak punya bekal kan? Ambil uang sedikit ini, buat jajan dijalan," ucap Bu Siroh kembali. Ananda hanya tersenyum, lalu memeluk tubuh renta Bu Siroh. Sungguh baik sekali perempuan tua itu. "Alhamdulillah, rejeki memang datang dari mana saja. Padahal utangnya pada Bu Siroh saja baru dibayar separuh, Bu Siroh malah kasih aku uang? Sungguh kalkulator Allah itu hanya rahasia Allah," batin Ananda. Keesokan harinya... Dika sudah bersiap dengan semuanya. Ia memanggil Ananda yang masih berdandan di kamarnya. Jangan heran, walaupun mereka sudah menikah selama tiga tahun, tapi mereka tidur di kamar masing-masing. Dika yang belum mau membuka hatinya untuk Ananda, hanya sesekali saja menyentuh istrinya itu. Ia tak mau buru-buru punya anak, karena baginya anak itu harus lahir dari rasa saling cinta. "Ananda ayo!" Teriak Dika sambil membetulkan jam tangannya. "Sebentar Mas!" Ananda berlari kecil dari kamarnya sambil membawa barang-barang bawaannya. Tatapan mata Dika terkunci pada perempuan didepannya, yang sangat asing terlihat. Rambut sebahu Ananda yang biasanya hanya dicepol ke belakang, berantakan tak terurus, wajahnya yang selalu berminyak, bibirnya yang tak pernah berwarna oleh lipstik, kini tampil berbeda sekali. Ananda berubah bak seperti seorang model. Ia sangat cantik. "Ehem, ayo kita berangkat!" Ajak Dika, yang tak mau terlalu lama melihat kecantikan istrinya. Kali ini ia akui, kalau ternyata Ananda cantik. "Kamu duduk didepan," titah Dika pada Ananda. "Aku di depan?" Tanya Ananda tak percaya. "Iya, memang kenapa? Gak mau?" Dika bertanya balik. Bukan hal yang biasa kalau Dika menyuruh istrinya itu untuk duduk didepan. Pasalnya, Dika selalu menyuruh Ananda untuk duduk di belakang, dengan alasan tak nyaman berdekatan dengan istrinya. Ananda hanya tersenyum malu mendengar titahan suaminya. "Tak usah berlebihan! Hanya duduk didepan saja, bukan berarti aku membuka hati untukmu! Aku hanya takut mengantuk saja saat menyetir, ini kan perjalanan jauh," ucap Dika kembali mematahkan hati Ananda. "Baiklah, aku sadar diri kok," jawab Ananda kemudian. Dika mulai menancap gas, dia sengaja menjalankan mobil dengan kecepatan sedang saja. Mobil yang ia beli beberapa bulan lalu, memang hanya digunakan sesekali saja saat ada perjalanan jauh seperti ini. Kalau untuk pergi ke tempatnya bekerja, Dika hanya menggunakan sepeda motor maticnya. "Kamu lihat uang dibawah pakaian Mas kemarin?" Tanya Dika membuyarkan lamunan Ananda seketika. "Iya. Tapi aku tak mengambilnya, aku juga tak sengaja menjatuhkan Uangmu. Lagipula, aku tak tahu ada uang dibawah bajumu Mas," jawab Ananda membela diri. "Iya aku tahu uangnya masih pas. Kamu harus tahu, uang itu sengaja aku siapkan untuk nanti kubagikan ke keluarga ku, dan saudara-saudara ku disana. Aku juga mau ke panti asuhan bekasmu dulu," "Kau mau membagikan uang sebanyak itu untuk mereka?" Tanya Ananda kaget bukan main. "Iya, kenapa?" Ananda hanya menelan saliva. Bisa-bisanya ia tanya kenapa? Sebenarnya dia paham atau tidak tentang hak dan kewajibannya sebagai seorang suami? Bukankah seharusnya ia memenuhi dulu hak istrinya, lalu ia boleh menyenangkan orang lain? Tapi ini? Apa yang dia lakukan? Ananda sama sekali tak habis pikir."Kenapa kamu diam saja? Kamu gak suka Mas mau bagi-bagi uang?" Tanya Dika yang melihat respon Ananda diam."Kenapa aku harus gak suka? Uang itu milikmu! Apa hak ku untuk menolak?" Jawan Ananda ketus. Toh percuma juga walaupun Ananda menerangkan panjang lebar, protes kalau sikap Dika itu salah, bukannya paham, Dika pasti malah marah dan tak terima."Baguslah kalau memang kamu paham," imbuh Dika lagi.Perjalanan panjang yang ditempuh dari Jakarta ke Jogjakarta pasti akan membuat lelah dan payah. Dika berhenti di sebuah rumah makan yang ada di pinggir jalan. Ia hentikan sejenak mobilnya di area parkir."Kita makan dulu," ucap Dika sambil membuka sabuk pengaman miliknya. Ananda hanya diam, ia takut salah kalau harus ikut turun. "Kenapa gak ikut keluar? Ayo kita makan dulu!" Ajak Dika pada istrinya."Kamu serius ajak aku makan?" Tanya Ananda tak percaya."Iya, perjalanan masih jauh. Kalau sampai kamu pingsan, siapa yang repot? Lagipula mengajakmu makan sekali-kali tak akan menghabiskan ta
"Bu Siroh terus, Bu Siroh terus yang kau sebut. Memangnya dia sudah kasih uang berapa sama kamu sampai kamu berani menceramahi ku begitu?" Suasana semakin tak terkontrol. Emosi Dika semakin meletup. "Astaghfirullah Mas, hati-hati! Kamu gak sadar kamu nyetir ngebut begini?" Ananda mencoba menyadarkan Dika yang semakin kalap. Seketika ia menghentikan laju mobilnya, dan meminggirkan mobilnya."Ini semua gara-gara kamu! Kamu yang terlalu banyak bicara, kamu terlalu banyak menuntut, sedangkan kamu sendiri tak bisa menjadi istri yang membahagiakan suami," Dika terus menyalahkan Ananda. Dadanya bergemuruh, menahan sejuta amarah yang terpendam. Sedang Ananda, ia memegang keningnya yang terasa pusing karena terbentur jok depan. Ia meringis kesakitan."Auw, kepala ku pusing Mas,"keluh Ananda. Dika hanya menyeringai tak peduli. "Masa bodoh! Itu setimpal untuk perempuan macam kamu yang pandai berbicara," ujar Dika yang kembali melajukan mobilnya. Ananda sebisa mungkin menahan sakit di kepalanya
Uang yang dibawa Dika sudah hampir habis. Didepan Mas Muh dan istrinya, Dika memberikan dompet miliknya. Biasa, ia hanya ingin mencari simpati dari orang lain. Apalah arti sebuah nama baik, jika pada kenyataannya itu tidaklah benar."Hmm sayang, ini dompet Mas," sedikit ragu, Ananda menerima dompet suaminya."Ambil sayang," ujar Dika sekali lagi. Matanya berkedip sesekali, untuk memberi kode pada perempuan yang sudah dinikahinya beberapa tahun itu. Sampai akhirnya, kini dompet Dika berpindah tangan di Ananda."Wah jadi yang pegang uang Mbak Ananda ya?""Iya lah. Suami hanya bekerja, istri yang memanage uang kita," jawab Dika menyebalkan. Ananda hanya membuang muka mendengar cerita palsu suaminya itu.***Waktu menjelang malam. Acara pernikahan yang akan dihelar hari esok membuat semua orang sibuk, termasuk Muhsin dan Nafa pemilik hajatan. Dika menghampiri istrinya yang sedang termenung dibalik jendela kamar yang sudah disiapkan untuk mereka."Dompet Mas mana?" Tangan Dika menengadah,
Dengan tergesa-gesa, Dika kembali ke rumahnya dengan motornya. "Ananda! Nanda!" Belum juga sampai, Dika sudah berteriak memanggil istrinya dengan suara yang tinggi. Tak ada sahutan dari dalam. Biasanya kalau ia memanggil nama Ananda, batang hidung perempuan itu langsung nampak."Kemana sih tuh orang sebenarnya! Awas saja, gak akan dikasih uang kau ya Ananda!" Umpatnya lagi. Ia matikan motornya, lalu berjalan dengan cepat ke rumahnya.Ternyata pintunya juga dikunci? Semakin menjadi lah amarah laki-laki itu."Sialan! Dikunci lagi!" Umpatnya kembali. Dika menggaruk kepalanya, menoleh kesana kemari, berharap kalau ada seseorang yang bisa ia tanyai. Kebetulan sekali ada Bu Hindun tetangganya lewat."Maaf Bu, lihat Ananda tidak? Kenapa dia gak ada dirumah ya?" Tanya Dika bersikap ramah."Oh Mbak Ananda, tadi sih saya lihat beliau ke rumahnya Bu Siroh,""Oh iya. Makasih banyak Bu," jawab Dika mengeratkan giginya."Sudah kuduga! Rumah nenek tua itu lagi. Ada apa sih sebenarnya disana, senen
Setelah mengambil kain dari rumahnya, Dika kembali berangkat ke tempatnya bekerja. Ananda hanya bisa mengelus dada mendapat perlakuan buruk dari suaminya itu. "Astaghfirullah, kapan kamu bisa menghargai aku sebagai istri mu Mas? Aku takut suatu saat nanti kesabaran ku akan hilang, dan aku menyerah dengan semua ini. Padahal aku inginnya menikah hanya sekali saja seumur hidupku. Semoga Allah melembutkan hatimu," do'a Ananda dalam diamnya. Dika pulang hanya sekedar mengambil kain, bukannya itu bisa ia lakukan sendiri? Kenapa harus ia menyuruh Ananda pulang dan menghentikan pekerjaannya? Pikir Bu Siroh yang masih khawatir dengan keadaan Ananda. Ia menunggu Ananda balik lagi ke rumahnya. Senyumnya melebar saat terlihat sosok Ananda mendekati rumahnya. "Syukurlah kamu balik lagi. Ibu sangat khawatir sekali sama kamu," kata Bu Siroh pada Ananda. "Gak apa kok Bu, sudah biasa," "Dia gak marahin kamu kan?" "Enggak Bu. Mas Dika itu jarang marahin aku kok," "Iya jarang marahin kam
"Oh ya, kamu jangan bilang-bilang sama orang kalau kamu kerja dirumahnya si nenek itu ya. Nanti Mas yang malu. Disini kita terkenal orang berada, masa istrinya kerja jadi pembantu," tukas Dika, disela makannya. Ananda menoleh kesal, menatap laki-laki yang masih berkutat dengan nasi dan lauknya itu."Iya" jawab Ananda singkat. Harga diri, nama baik, itu selalu yang Dika utamakan. "Gaji kamu berapa memangnya?" Tanya Dika lagi. Rupanya dia tertarik untuk membahas pekerjaan baru istrinya."Kerja hanya jadi babu, mana besar Mas," jawab Ananda merendah."Ya mau gimana lagi, namanya juga kamu lulusan SMP? Setidaknya bisa bantu keuangan, biar Mas gak harus kasih kamu uang terus," ucapnya sambil bangun dari duduknya dan mencuci tangan setelah selesai makan."Lalu kamu kerja buat apa? Bukannya buat nafkahin istri kamu Mas?" Pamas rasanya hati Ananda mendengar ucapan Dika.Lelaki itu menoleh sinis, menyunggingkan sebelah senyumnya."Kamu sudah dikasih numpang di kontrakan ini, siapa yang bayar?
Sesampainya dirumah ....Nampak suaminya sudah pulang lebih dulu. Lelaki itu memijat kepalanya yang terasa sakit sekali."Kamu kenapa Mas? Kok tumben udah pulang?" Tanya Ananda basa-basi."Hemm, kamu gak lihat suami kamu lagi sakit gini hah?" Jawab Dika ketus."Mau saya pijitin Mas," tawar Ananda pelan."Tak usah disuruh harusnya kamu udah ngerti dong tugas kamu," timpal Dika lagi. Lalu Ananda menyimpan tas berisi uang ke kamar lebih dulu. Ia menyimpan dengan rapat uang itu didalam lemari pakaian miliknya.Lantas ia memijat kepala Dika dengan penuh kelembutan."Kamu tahu gak kenapa kepalaku sakit?" Tanya Dika membuka percakapan diantara keduanya."Kamu kurang istirahat Mas. Kemarin pas pulang dari Jogja harusnya kamu istirahat dulu lah, masa kamu langsung kerja aja. Badan kamu juga butuh istirahat," jawab Ananda kembali."Sok tahu kamu ini. Bukan karena itu, gak ada masalah sama badanku. Aku gak punya riwayat penyakit apapun,""Terus? Kamu sakit kenapa Mas?" Ananda balik bertanya."Ah
Dika sudah berniat untuk menguntit istrinya pagi ini. Memainkan sandiwara nya, berpura-pura sakit, agar rencananya berjalan lancar. "Mas, aku sudah masak untuk sarapanmu. Kamu kok tumben belum bangun? Katanya banyak pekerjaan?" tanya Ananda, membangunkan Dika yang masih berbaring. Lelaki itu menggeliatkan tubuhnya perlahan. "Ah, tubuhku sakit sekali Nanda, aku sakit. Sepertinya aku tidak kerja dulu hari ini," lirih Dika, menirukan suara orang yang benar-benar sakit. Ananda duduk disamping Suaminya, memberanikan diri memberikan perhatian pada Dika. "Kamu sakit sejak kapan Mas?" reflek tangan itu memegang kening Dika. Sekelebat, tangan Ananda tersingkir dari kening Dika, karena tepisan tangan Dika. "Apa sih kamu pegang-pegang? Alasan kamu ya, mengambil kesempatan saat aku sakit iya?" Dika mengelap bekas tangan Ananda dari keningnya. Entah kenapa sombong sekali Dika pada istrinya sendiri, merasa kalau Ananda itu tak pantas menyentuhnya. Perlahan Ananda menjauh, niat hati memberi p