Ananda memilih pasar sederhana saja untuk memilih pakaian. Nampak kini matanya berbinar karena kapan lagi Dika memberinya uang dan kesempatan untuk membeli pakaian. Bibir pink natural nya tersenyum manis, saat ia menatap satu baju yang tergantung di depannya. Bola matanya terlihat membulat, ia jatuh cinta pada pakaian berbunga itu. Tak sadar, tangannya memegang pakaian itu, dan mengusapnya.
"Cantik sekali, warna nya juga segar, aku suka. Tapi... Harganya berapa ya?" Tanya Ananda, mencoba mencari bandrol harga. "150 ribu? Mahal gak ya? Kalau aku beli ini satu, masih banyak sisanya. Tapi aku harus beli sekitar 3 atau 4 baju, karena aku gak tahu mau berapa hari kita di Jogja," Ananda berbicara sendiri. Ia letakkan kembali pakaian yang sudah membuatnya jatuh cinta itu, namun matanya masih terus menatap pakaian itu. "Misi mbak, mau baju yang mana?" Tanya seorang pelayan di toko tersebut. "Ah saya lagi cari pakaian yang pas buat saya mbak, tapi yang agak murah. Ada nggak mbak?" Tanya Ananda memelankan suaranya. Terpaksa ia buang rasa malunya, agar ia bisa membagi uang yang Dika berikan padanya, bukan hanya untuk pakaian saja. "Kalau mau yang murah, itu di sebelah sana Mbak. Kalau disini minimal 15-500 ribuan," jawab pelayan tersebut ramah. Ananda tersenyum sipu mendengar jawaban pelayan tersebut, lalu ia melangkahkan kakinya ke tempat yang pelayan tersebut maksud. "Tak apa lah yang murah, asal baru dan pantas dipakai," ujar Ananda, sembari memilih beberapa pakaian. Tangannya menggenggam beberapa baju yang ia kira pas untuk badannya. Saat ia tengah fokus, tiba-tiba suara seorang laki-laki memanggilnya. "Hei kamu!" Teriak laki-laki itu. Ananda menoleh kesana kemari. Kebetulan didalam toko itu hanya ada dirinya sendiri. "Iya kamu, kapan pulang? Kenapa kamu ada disini?" Tanya laki-laki berpenampilan rapi dan wangi itu. "Saya?" Tanya Ananda menunjuk dirinya sendiri. "Iya, kamu. Masa lupa sama saya? Saya Tio, kamu Ayu kan? Teman SMA dulu? Masih inget gak?" Tanya lelaki itu masih sok kenal. Ananda mundur beberapa langkah, ia mencoba menjauhi laki-laki itu yang terus mendekat. "Maaf Mas, anda salah orang. Saya Ananda, bukan Ayu," jawab Ananda sedikit menghindar. Seketika laki-laki itu terdiam mendengar jawaban Ananda. Wajahnya yang sedikit merah karena malu sudah salah orang. "Astaghfirullah, maaf Mbak. Saya kira anda Ayu teman SMA saya, wajah anda mirip sekali dengan Ayu," kata Laki-laki itu lagi. "Gak apa-apa," Ananda membatalkan niatnya untuk membeli baju disana. Dia takut akan jadi salah paham kalau sampai ada orang melihatnya dekat dengan laki-laki lain. "Mbak, sekali lagi saya minta maaf. Hmm, dan sebagai permintaan maaf dari saya, anda boleh pilih pakaian mana saja yang anda mau, tak perlu anda bayar, saya beri gratis sebagai permintaan maaf saya karena sudah mengganggu kenyamanan anda," ucap laki-laki tersebut dengan sopan seraya membungkukkan sedikit tubuhnya yang tinggi dan tegap itu. "Oh tidak perlu. Kalau begitu saya permisi dulu," Ucap Ananda semakin ketakutan. Namun niatnya untuk pergi tak mudah, lelaki itu menyuruh pelayan untuk menutup pintu toko dan memaksa Ananda memilih beberapa pakaian. "Mbak tenang saja, beliau itu bos disini, beliau yang punya toko ini. Anggap saja ini rejeki anda Mbak, beliau memang orangnya baik, bahkan sangat baik," ucap salah satu pelayan yang menghadangnya untuk tidak keluar toko lebih dulu. "Ah, ada benarnya juga kata pelayan ini, mungkin ini rejeki saya," gumam Ananda dalam hatinya. Walaupun sebenarnya ia malu menerima tawaran itu, tapi ini adalah rejekinya, kesempatan yang sangat bagus yang entah akan datang lagi atau tidak. Akhirnya Ananda pun memilih beberapa lembar pakaian dan berpamitan. "Jangan kapok untuk berbelanja disini," ucap Laki-laki pemilik toko tersebut dengan senyum hangatnya. Ananda tak herani menatap mata lelaki itu, dan ia memilih untuk segera pergi dari toko. Sesampainya dirumah, Ananda mencoba satu persatu pakaian yang sudah ia pilih. Nampak senyum lebar di wajahnya yang sangat bahagia. Selama tiga tahun menjadi istri Dika, ini adalah kali kedua ia dibelikan baju oleh suaminya. Dulu, ketika Dika membawa seserahan, dan inilah yang kedua kalinya. Bahkan saat lebaran tiba, Dika enggan membelikan pakaian baru untuknya, ia berinisiatif untuk memberikan pakaian jika memang ada sisa bahan dari tempatnya menjahit. "Hmm, mana baju barunya? Itu?" Tanya Dika sinis. Tatapan merendahkan tak pernah lepas darinya untuk Ananda. "Ah iya Mas. Makasih banyak ya, ini bajunya," "Bajunya bagus, tapi apa pantas dipakai sama kamu? Kayaknya model baju sebagus apapun kalau kamu yang pakai tetep kurang pas deh, kurang cantik," hina Dika pada istrinya. Perempuan itu terdiam, mencoba menahan amarah yang bergelayut dalam hatinya. Kali ini ia harus bisa lebih sabar menghadapi Dika, apalagi karena Dika sudah memberinya uang yang lebih besar dari biasanya. "Udah gak usah dicobain! Simpan aja di lemari, bikinin aku makan siang, terus nanti kamu siap-siap!! Besok kita berangkat pagi sekali," titah Dika sembari berjalan ke arah dapur. Sama sekali tak ada sedikitpun pujian untuk perempuan yang selalu menghormatinya. "Apa aku seburuk itu?" Gumamnya. Ananda kembali melipat pakaian baru nya. Belum juga ia coba semua pakaian itu, ia terpaksa harus menyimpan nya lebih dulu karena Dika meminta makan siang. "Uangnya masih sisa kan yang tadi? Kamu beli baju berapa itu?" Tanya Dika membuat bibir Ananda sedikit kelu. "A_anu Mas. Uangnya sisa 150rb lagi. Tadi aku habiskan uang untuk beli pakaian dan sandal," jawab Ananda ragu. "Bagus kalau memang masih ada sisa. Lagipula sayang uang kalau harus beli barang yang mahal, toh wajahmu tak akan pernah berubah, masih kayak begitu aja," celetuk Dika, membuat Ananda kembali menciut. Rasanya deg-degan bukan main, karena selama ia menjadi istri Dika, belum pernah ia berbohong sekalipun. Apalagi masalah uang, dia sangat tak berani. Namun kali ini, ia terpaksa berbohong karena ia sangat butuh uang itu, untuk ia pakai sebagai bekal jika nanti ke Jogja. Apa jadinya kalau sampai ia tak memegang uang sepeser pun padahal ia sedang berada di luar kota? Tak menjamin kalau Dika akan memberikannya uang bekal. Dengan segera ia memasak sayur yang ada didalam kulkas. Tadi pagi ia memang sengaja membeli sayur beberapa macam, agar ia tak harus bolak-balik ke pasar. "Nanda, besok kalau kamu ditanya sama temen atau Saudara Mas, bilang kalau Mas kasih kamu uang sehari 200ribu. Jangan sampai kamu katakan hal yang jujur sama mereka," kata Dika membuat Ananda yang semula sedang mengaduk sayur menghentikan pekerjaannya. "Kenapa aku harus berbohong untuk hal yang tak pernah kau lakukan Mas?""Lho, Bukannya istri itu pakaian suami dan sebaliknya ya? Kalau kamu menceritakan hal yang baik tentang Mas, berarti kamu sudah menjaga Marwah rumah tangga kita, mengharumkan nama Mas. Salahnya dimana?" Tanya Dika masih dengan rasa tak bersalah."Tapi kamu kan tidak seperti itu aslinya," celetuk Ananda tak mau kalah. Ia ingin sekali saja Dika sadar kalau selama ini ia menjadi seorang suami yang perhitungan terhadap istrinya. Sedikit saja uang yang ia berikan, pasti akan selalu diungkit dan merasa paling berjasa dengan pemberiannya."Sudah deh jangan mulai lagi, aku sedang tak ingin berdebat denganmu. Kamu tinggal turutin saja apa kataku tadi. Toh ini juga demi kebaikan rumah tangga kita," imbuh lelaki itu lagi. "Ya terserah kamu lah, lagian juga mereka gak peduli kok mau kamu kasih aku uang berapapun setiap harinya, mereka hanya ingin tahu saja, tak lebih. Lagipula untuk apa ingin diakui hebat? Apa untungnya?" Jawab Ananda pelan. Jika biasanya Dika akan kembali menjawab, tapi kali in
"Kenapa kamu diam saja? Kamu gak suka Mas mau bagi-bagi uang?" Tanya Dika yang melihat respon Ananda diam."Kenapa aku harus gak suka? Uang itu milikmu! Apa hak ku untuk menolak?" Jawan Ananda ketus. Toh percuma juga walaupun Ananda menerangkan panjang lebar, protes kalau sikap Dika itu salah, bukannya paham, Dika pasti malah marah dan tak terima."Baguslah kalau memang kamu paham," imbuh Dika lagi.Perjalanan panjang yang ditempuh dari Jakarta ke Jogjakarta pasti akan membuat lelah dan payah. Dika berhenti di sebuah rumah makan yang ada di pinggir jalan. Ia hentikan sejenak mobilnya di area parkir."Kita makan dulu," ucap Dika sambil membuka sabuk pengaman miliknya. Ananda hanya diam, ia takut salah kalau harus ikut turun. "Kenapa gak ikut keluar? Ayo kita makan dulu!" Ajak Dika pada istrinya."Kamu serius ajak aku makan?" Tanya Ananda tak percaya."Iya, perjalanan masih jauh. Kalau sampai kamu pingsan, siapa yang repot? Lagipula mengajakmu makan sekali-kali tak akan menghabiskan ta
"Bu Siroh terus, Bu Siroh terus yang kau sebut. Memangnya dia sudah kasih uang berapa sama kamu sampai kamu berani menceramahi ku begitu?" Suasana semakin tak terkontrol. Emosi Dika semakin meletup. "Astaghfirullah Mas, hati-hati! Kamu gak sadar kamu nyetir ngebut begini?" Ananda mencoba menyadarkan Dika yang semakin kalap. Seketika ia menghentikan laju mobilnya, dan meminggirkan mobilnya."Ini semua gara-gara kamu! Kamu yang terlalu banyak bicara, kamu terlalu banyak menuntut, sedangkan kamu sendiri tak bisa menjadi istri yang membahagiakan suami," Dika terus menyalahkan Ananda. Dadanya bergemuruh, menahan sejuta amarah yang terpendam. Sedang Ananda, ia memegang keningnya yang terasa pusing karena terbentur jok depan. Ia meringis kesakitan."Auw, kepala ku pusing Mas,"keluh Ananda. Dika hanya menyeringai tak peduli. "Masa bodoh! Itu setimpal untuk perempuan macam kamu yang pandai berbicara," ujar Dika yang kembali melajukan mobilnya. Ananda sebisa mungkin menahan sakit di kepalanya
Uang yang dibawa Dika sudah hampir habis. Didepan Mas Muh dan istrinya, Dika memberikan dompet miliknya. Biasa, ia hanya ingin mencari simpati dari orang lain. Apalah arti sebuah nama baik, jika pada kenyataannya itu tidaklah benar."Hmm sayang, ini dompet Mas," sedikit ragu, Ananda menerima dompet suaminya."Ambil sayang," ujar Dika sekali lagi. Matanya berkedip sesekali, untuk memberi kode pada perempuan yang sudah dinikahinya beberapa tahun itu. Sampai akhirnya, kini dompet Dika berpindah tangan di Ananda."Wah jadi yang pegang uang Mbak Ananda ya?""Iya lah. Suami hanya bekerja, istri yang memanage uang kita," jawab Dika menyebalkan. Ananda hanya membuang muka mendengar cerita palsu suaminya itu.***Waktu menjelang malam. Acara pernikahan yang akan dihelar hari esok membuat semua orang sibuk, termasuk Muhsin dan Nafa pemilik hajatan. Dika menghampiri istrinya yang sedang termenung dibalik jendela kamar yang sudah disiapkan untuk mereka."Dompet Mas mana?" Tangan Dika menengadah,
Dengan tergesa-gesa, Dika kembali ke rumahnya dengan motornya. "Ananda! Nanda!" Belum juga sampai, Dika sudah berteriak memanggil istrinya dengan suara yang tinggi. Tak ada sahutan dari dalam. Biasanya kalau ia memanggil nama Ananda, batang hidung perempuan itu langsung nampak."Kemana sih tuh orang sebenarnya! Awas saja, gak akan dikasih uang kau ya Ananda!" Umpatnya lagi. Ia matikan motornya, lalu berjalan dengan cepat ke rumahnya.Ternyata pintunya juga dikunci? Semakin menjadi lah amarah laki-laki itu."Sialan! Dikunci lagi!" Umpatnya kembali. Dika menggaruk kepalanya, menoleh kesana kemari, berharap kalau ada seseorang yang bisa ia tanyai. Kebetulan sekali ada Bu Hindun tetangganya lewat."Maaf Bu, lihat Ananda tidak? Kenapa dia gak ada dirumah ya?" Tanya Dika bersikap ramah."Oh Mbak Ananda, tadi sih saya lihat beliau ke rumahnya Bu Siroh,""Oh iya. Makasih banyak Bu," jawab Dika mengeratkan giginya."Sudah kuduga! Rumah nenek tua itu lagi. Ada apa sih sebenarnya disana, senen
Setelah mengambil kain dari rumahnya, Dika kembali berangkat ke tempatnya bekerja. Ananda hanya bisa mengelus dada mendapat perlakuan buruk dari suaminya itu. "Astaghfirullah, kapan kamu bisa menghargai aku sebagai istri mu Mas? Aku takut suatu saat nanti kesabaran ku akan hilang, dan aku menyerah dengan semua ini. Padahal aku inginnya menikah hanya sekali saja seumur hidupku. Semoga Allah melembutkan hatimu," do'a Ananda dalam diamnya. Dika pulang hanya sekedar mengambil kain, bukannya itu bisa ia lakukan sendiri? Kenapa harus ia menyuruh Ananda pulang dan menghentikan pekerjaannya? Pikir Bu Siroh yang masih khawatir dengan keadaan Ananda. Ia menunggu Ananda balik lagi ke rumahnya. Senyumnya melebar saat terlihat sosok Ananda mendekati rumahnya. "Syukurlah kamu balik lagi. Ibu sangat khawatir sekali sama kamu," kata Bu Siroh pada Ananda. "Gak apa kok Bu, sudah biasa," "Dia gak marahin kamu kan?" "Enggak Bu. Mas Dika itu jarang marahin aku kok," "Iya jarang marahin kam
"Oh ya, kamu jangan bilang-bilang sama orang kalau kamu kerja dirumahnya si nenek itu ya. Nanti Mas yang malu. Disini kita terkenal orang berada, masa istrinya kerja jadi pembantu," tukas Dika, disela makannya. Ananda menoleh kesal, menatap laki-laki yang masih berkutat dengan nasi dan lauknya itu."Iya" jawab Ananda singkat. Harga diri, nama baik, itu selalu yang Dika utamakan. "Gaji kamu berapa memangnya?" Tanya Dika lagi. Rupanya dia tertarik untuk membahas pekerjaan baru istrinya."Kerja hanya jadi babu, mana besar Mas," jawab Ananda merendah."Ya mau gimana lagi, namanya juga kamu lulusan SMP? Setidaknya bisa bantu keuangan, biar Mas gak harus kasih kamu uang terus," ucapnya sambil bangun dari duduknya dan mencuci tangan setelah selesai makan."Lalu kamu kerja buat apa? Bukannya buat nafkahin istri kamu Mas?" Pamas rasanya hati Ananda mendengar ucapan Dika.Lelaki itu menoleh sinis, menyunggingkan sebelah senyumnya."Kamu sudah dikasih numpang di kontrakan ini, siapa yang bayar?
Sesampainya dirumah ....Nampak suaminya sudah pulang lebih dulu. Lelaki itu memijat kepalanya yang terasa sakit sekali."Kamu kenapa Mas? Kok tumben udah pulang?" Tanya Ananda basa-basi."Hemm, kamu gak lihat suami kamu lagi sakit gini hah?" Jawab Dika ketus."Mau saya pijitin Mas," tawar Ananda pelan."Tak usah disuruh harusnya kamu udah ngerti dong tugas kamu," timpal Dika lagi. Lalu Ananda menyimpan tas berisi uang ke kamar lebih dulu. Ia menyimpan dengan rapat uang itu didalam lemari pakaian miliknya.Lantas ia memijat kepala Dika dengan penuh kelembutan."Kamu tahu gak kenapa kepalaku sakit?" Tanya Dika membuka percakapan diantara keduanya."Kamu kurang istirahat Mas. Kemarin pas pulang dari Jogja harusnya kamu istirahat dulu lah, masa kamu langsung kerja aja. Badan kamu juga butuh istirahat," jawab Ananda kembali."Sok tahu kamu ini. Bukan karena itu, gak ada masalah sama badanku. Aku gak punya riwayat penyakit apapun,""Terus? Kamu sakit kenapa Mas?" Ananda balik bertanya."Ah
"Mas cuma mau memastikan saja kalau memang kamu benar-benar ada di sini," kata Dika. Wajahnya memerah, menahan malu karena ketahuan menguntit istrinya."Kamu lihat sendiri kan Mas sekarang aku ada di sini?" tanya Dinda kemudian. "Ya sudah kalau memang kamu memang ada di sini. Mas balik lagi, masih banyak pekerjaan yang harus diselesaikan," kadung ketahuan Dika akhirnya pergi. Kali ini niatnya untuk mencari tahu pekerjaan istrinya tidak berhasil. "ingat ya Dinda, kamu jangan besar kepala dulu. Saya datang ke sini hanya untuk memastikan kalau kamu memang benar-benar bekerja. Kamu masih ingin kan menjadi istri saya? Jadi tolong jaga nama baik saya! Jangan sampai pekerjaanmu itu membuat malu nama baik saya, oke!"Dika menekankan. Adinda hanya membuang nafasnya berat. Sudah hal biasa kalau Dika selalu menyakitinya dengan kata-katanya, tadinya dia sudah senang karena suaminya mencarinya ternyata semua tidak seperti apa yang dia pikirkan."kenapa katanya Bu Siro yang tiba-tiba datang dari
Dika yang menguntit Ananda ke rumah Bu Siroh, mengendap dibalik pintu. Kakinya mengangkat beberapa centi, berniat mengintip istrinya."Dimana sih si Nanda, kok gak ada? Gak kelihatan dia lagi ngapain," desisnya. Ia sangat penasaran sekali."Masa kerja jadi babu dibayar mahal, sampai dia bisa belanja daging sapi segala, jangan-jangan dia kerja yang aneh-aneh," imbuhnya kembali.Tiba-tiba...."Ehemmm. Maaf, Mas sedang apa ya di depan rumah majikan saya?" suara perempuan setengah baya mengagetkan Dika. Lelaki itu terperanjat dengan muka yang merah. Malu bukan main saat kedapati dirinya tengah mengintip."Kamu mau maling ya?" Tebak Mbok Dimah, pembantu Bu Siroh yang baru datang. Ia tak kenal dengan Dika, yang terkenal sebagai pengusaha muda yang kaya raya di kampung itu."Eh sembarangan ya kalau ngomong, siapa yang mau maling? Kamu gak kenal sama saya hah?" Tantang Dika. Untuk menutupi rasa malunya, ia malah meninggikan suaranya, menyombongkan diri."Memang siapa kamu? Biarpun kamu pejaba
Dika sudah berniat untuk menguntit istrinya pagi ini. Memainkan sandiwara nya, berpura-pura sakit, agar rencananya berjalan lancar. "Mas, aku sudah masak untuk sarapanmu. Kamu kok tumben belum bangun? Katanya banyak pekerjaan?" tanya Ananda, membangunkan Dika yang masih berbaring. Lelaki itu menggeliatkan tubuhnya perlahan. "Ah, tubuhku sakit sekali Nanda, aku sakit. Sepertinya aku tidak kerja dulu hari ini," lirih Dika, menirukan suara orang yang benar-benar sakit. Ananda duduk disamping Suaminya, memberanikan diri memberikan perhatian pada Dika. "Kamu sakit sejak kapan Mas?" reflek tangan itu memegang kening Dika. Sekelebat, tangan Ananda tersingkir dari kening Dika, karena tepisan tangan Dika. "Apa sih kamu pegang-pegang? Alasan kamu ya, mengambil kesempatan saat aku sakit iya?" Dika mengelap bekas tangan Ananda dari keningnya. Entah kenapa sombong sekali Dika pada istrinya sendiri, merasa kalau Ananda itu tak pantas menyentuhnya. Perlahan Ananda menjauh, niat hati memberi p
Sesampainya dirumah ....Nampak suaminya sudah pulang lebih dulu. Lelaki itu memijat kepalanya yang terasa sakit sekali."Kamu kenapa Mas? Kok tumben udah pulang?" Tanya Ananda basa-basi."Hemm, kamu gak lihat suami kamu lagi sakit gini hah?" Jawab Dika ketus."Mau saya pijitin Mas," tawar Ananda pelan."Tak usah disuruh harusnya kamu udah ngerti dong tugas kamu," timpal Dika lagi. Lalu Ananda menyimpan tas berisi uang ke kamar lebih dulu. Ia menyimpan dengan rapat uang itu didalam lemari pakaian miliknya.Lantas ia memijat kepala Dika dengan penuh kelembutan."Kamu tahu gak kenapa kepalaku sakit?" Tanya Dika membuka percakapan diantara keduanya."Kamu kurang istirahat Mas. Kemarin pas pulang dari Jogja harusnya kamu istirahat dulu lah, masa kamu langsung kerja aja. Badan kamu juga butuh istirahat," jawab Ananda kembali."Sok tahu kamu ini. Bukan karena itu, gak ada masalah sama badanku. Aku gak punya riwayat penyakit apapun,""Terus? Kamu sakit kenapa Mas?" Ananda balik bertanya."Ah
"Oh ya, kamu jangan bilang-bilang sama orang kalau kamu kerja dirumahnya si nenek itu ya. Nanti Mas yang malu. Disini kita terkenal orang berada, masa istrinya kerja jadi pembantu," tukas Dika, disela makannya. Ananda menoleh kesal, menatap laki-laki yang masih berkutat dengan nasi dan lauknya itu."Iya" jawab Ananda singkat. Harga diri, nama baik, itu selalu yang Dika utamakan. "Gaji kamu berapa memangnya?" Tanya Dika lagi. Rupanya dia tertarik untuk membahas pekerjaan baru istrinya."Kerja hanya jadi babu, mana besar Mas," jawab Ananda merendah."Ya mau gimana lagi, namanya juga kamu lulusan SMP? Setidaknya bisa bantu keuangan, biar Mas gak harus kasih kamu uang terus," ucapnya sambil bangun dari duduknya dan mencuci tangan setelah selesai makan."Lalu kamu kerja buat apa? Bukannya buat nafkahin istri kamu Mas?" Pamas rasanya hati Ananda mendengar ucapan Dika.Lelaki itu menoleh sinis, menyunggingkan sebelah senyumnya."Kamu sudah dikasih numpang di kontrakan ini, siapa yang bayar?
Setelah mengambil kain dari rumahnya, Dika kembali berangkat ke tempatnya bekerja. Ananda hanya bisa mengelus dada mendapat perlakuan buruk dari suaminya itu. "Astaghfirullah, kapan kamu bisa menghargai aku sebagai istri mu Mas? Aku takut suatu saat nanti kesabaran ku akan hilang, dan aku menyerah dengan semua ini. Padahal aku inginnya menikah hanya sekali saja seumur hidupku. Semoga Allah melembutkan hatimu," do'a Ananda dalam diamnya. Dika pulang hanya sekedar mengambil kain, bukannya itu bisa ia lakukan sendiri? Kenapa harus ia menyuruh Ananda pulang dan menghentikan pekerjaannya? Pikir Bu Siroh yang masih khawatir dengan keadaan Ananda. Ia menunggu Ananda balik lagi ke rumahnya. Senyumnya melebar saat terlihat sosok Ananda mendekati rumahnya. "Syukurlah kamu balik lagi. Ibu sangat khawatir sekali sama kamu," kata Bu Siroh pada Ananda. "Gak apa kok Bu, sudah biasa," "Dia gak marahin kamu kan?" "Enggak Bu. Mas Dika itu jarang marahin aku kok," "Iya jarang marahin kam
Dengan tergesa-gesa, Dika kembali ke rumahnya dengan motornya. "Ananda! Nanda!" Belum juga sampai, Dika sudah berteriak memanggil istrinya dengan suara yang tinggi. Tak ada sahutan dari dalam. Biasanya kalau ia memanggil nama Ananda, batang hidung perempuan itu langsung nampak."Kemana sih tuh orang sebenarnya! Awas saja, gak akan dikasih uang kau ya Ananda!" Umpatnya lagi. Ia matikan motornya, lalu berjalan dengan cepat ke rumahnya.Ternyata pintunya juga dikunci? Semakin menjadi lah amarah laki-laki itu."Sialan! Dikunci lagi!" Umpatnya kembali. Dika menggaruk kepalanya, menoleh kesana kemari, berharap kalau ada seseorang yang bisa ia tanyai. Kebetulan sekali ada Bu Hindun tetangganya lewat."Maaf Bu, lihat Ananda tidak? Kenapa dia gak ada dirumah ya?" Tanya Dika bersikap ramah."Oh Mbak Ananda, tadi sih saya lihat beliau ke rumahnya Bu Siroh,""Oh iya. Makasih banyak Bu," jawab Dika mengeratkan giginya."Sudah kuduga! Rumah nenek tua itu lagi. Ada apa sih sebenarnya disana, senen
Uang yang dibawa Dika sudah hampir habis. Didepan Mas Muh dan istrinya, Dika memberikan dompet miliknya. Biasa, ia hanya ingin mencari simpati dari orang lain. Apalah arti sebuah nama baik, jika pada kenyataannya itu tidaklah benar."Hmm sayang, ini dompet Mas," sedikit ragu, Ananda menerima dompet suaminya."Ambil sayang," ujar Dika sekali lagi. Matanya berkedip sesekali, untuk memberi kode pada perempuan yang sudah dinikahinya beberapa tahun itu. Sampai akhirnya, kini dompet Dika berpindah tangan di Ananda."Wah jadi yang pegang uang Mbak Ananda ya?""Iya lah. Suami hanya bekerja, istri yang memanage uang kita," jawab Dika menyebalkan. Ananda hanya membuang muka mendengar cerita palsu suaminya itu.***Waktu menjelang malam. Acara pernikahan yang akan dihelar hari esok membuat semua orang sibuk, termasuk Muhsin dan Nafa pemilik hajatan. Dika menghampiri istrinya yang sedang termenung dibalik jendela kamar yang sudah disiapkan untuk mereka."Dompet Mas mana?" Tangan Dika menengadah,
"Bu Siroh terus, Bu Siroh terus yang kau sebut. Memangnya dia sudah kasih uang berapa sama kamu sampai kamu berani menceramahi ku begitu?" Suasana semakin tak terkontrol. Emosi Dika semakin meletup. "Astaghfirullah Mas, hati-hati! Kamu gak sadar kamu nyetir ngebut begini?" Ananda mencoba menyadarkan Dika yang semakin kalap. Seketika ia menghentikan laju mobilnya, dan meminggirkan mobilnya."Ini semua gara-gara kamu! Kamu yang terlalu banyak bicara, kamu terlalu banyak menuntut, sedangkan kamu sendiri tak bisa menjadi istri yang membahagiakan suami," Dika terus menyalahkan Ananda. Dadanya bergemuruh, menahan sejuta amarah yang terpendam. Sedang Ananda, ia memegang keningnya yang terasa pusing karena terbentur jok depan. Ia meringis kesakitan."Auw, kepala ku pusing Mas,"keluh Ananda. Dika hanya menyeringai tak peduli. "Masa bodoh! Itu setimpal untuk perempuan macam kamu yang pandai berbicara," ujar Dika yang kembali melajukan mobilnya. Ananda sebisa mungkin menahan sakit di kepalanya