Share

Selalu Menyakiti

Setelah perutnya kenyang terisi, lelaki bertubuh tegap dan berkulit putih itu kembali pulang ke rumahnya. Jam sudah menunjukkan pukul 09 malam, sudah saatnya ia tidur dan melepaskan semua rasa lelah yang memenuhi pikirannya seharian ini.

Baru saja beberapa langkah ia berjalan, ponsel miliknya berdering. Dengan segera, Dika mengangkat panggilan tersebut.

"Assalamualaikum Mas Muh, ada apa nih tumben banget telepon?" Tanya Dika pada Muhsin, saudaranya yang ada Di Jogja.

"Alhamdulillah baik Mas Dika, sampean sendiri gimana? Kok lama sekali gak ada kabarnya to?"

"Ah iya Mas, aku sibuk banget soalnya,"

"Ah percaya aku lah, sukses ya di Jakarta, sampai lupa ke kampung halaman,"

"Hahaha, bisa saja kamu ini Mas,"

Mereka berbicara panjang lebar, dan sampai intinya, Muhsin mengundang Dika dan Ananda untuk datang ke pernikahan anaknya Muhsin yang akan dilaksanakan minggu besok.

"Haduh, aku harus datang nih, kesempatan bisa bertemu keluarga besar dan pamer kalau sekarang aku sudah sukses. Tapi...

Terlintas wajah Ananda di pikirannya. Perempuan yang sudah menemaninya beberapa tahun itu memang masih belum berhasil membuatnya jatuh cinta. Dulu memang mereka menikah karena di jodohkan. Ibu dari Dika, sengaja mencari perempuan yang sholehah, yang belum kenal dunia luar, tidak senang bermain hura-hura, makanya ia cari perempuan dari panti asuhan dan adalah Ananda anak paling baik dan berprestasi di panti asuhan kala itu.

Dika segera menghentikan lamunannya, lalu segera melangkah kembali ke rumahnya. Nampak perempuan yang selalu setia menunggunya pulang sedang duduk dengan kedua tangannya menjadi bantal kepalanya.

"Assalamualaikum," Suara Dika membangunnya.

"Wa'alaikumsalam Mas, kamu baru pulang?" Jawab Ananda, sambil sesekali mengucek matanya yang terasa sepet karena baru saja terpejam.

"Ngapain kamu tidur disini?"

"Ah, aku nungguin kamu pulang Mas. Kamu sudah makan?" Tanya Ananda dengan suara yang lembut dan sedikit serak.

"Sudah!" Jawab Dika lagi dengan singkat. Ananda hanya tersenyum kecut mendengar jawaban tak menyenangkan dari suaminya.

"Nanda, Mas mau pergi ke Jogja minggu besok, kamu ikut;" ajak Dika, membuat Ananda tak berkedip beberapa detik. Mendengar ajakan Dika yang baginya seperti angin segar yang bertiup sejuk di telinganya.

"A_apa Mas?"

"Iya, kamu ikut. Tolong persiapkan diri, jangan sampai kamu bikin malu disana. Akan ada banyak saudaraku dan teman-teman lamaku, aku tak mau penampilan mu menyakiti mata mereka," kata Dika sembari berlalu ke kamarnya.

"Apa? Penampilan ku menyakitkan mata? Apa selama ini karena itu juga Mas Dika begitu acuh padaku? Dia seolah enggan dekat-dekat denganku dan malu punya istri seperti aku?" Lirihnya lagi. Matanya mengembun, ia hanya bisa melihat Dika yang menghilang dan tenggelam dibalik pintu kamarnya. Sedang Ananda, Ia melangkah menuju kamarnya, membuka lemari pakaian miliknya.

Matanya menatap seluruh isi ruangan lemari. Berkeliaran kesana kemari, melihat pakaian yang tergantung dan tersusun rapi.

"Tak ada pakaian baru. Semua sudah usang. Lalu pakaian mana yang akan aku pakai nanti?" Tangannya terus memilah dan memilih, siapa tahu ada pakaian yang layak dan masih bagus untuk ia gunakan minggu besok.

"Lagi ngapain kamu?" Tanya Dika yang tiba-tiba masuk begitu saja. Nampak suara deritan lemari baju Ananda membuatnya terbangun.

"Mas, aku lagi pilih-pilih baju buat besok kesana," jawab Ananda pelan. Dika mengerucutkan alisnya.

"Tak ada pakaian yang bagus! Semua sudah usang dan jadul begini! Kamu tak punya pakaian yang layak?" Tanya Dika kesal. Ia melempar ke atas ranjang beberapa lembar baju yang semula ia pegang. Dika lupa, kalau tugasnya sebagai suami harusnya membelikan pakaian untuk Ananda, istrinya.

"Aku tak punya uang untuk membeli baju Mas. Jangankan buat beli baju, buat kebutuhan sehari-hari saja aku harus putar otak Mas!" Jawab Ananda sedikit meninggikan suaranya. Capek rasanya terus disudutkan dan diperlakukan tak baik seperti ini.

"Ya makanya kerja! Ngapain jadi istri benalu yang hanya bisa menyusahkan dan menumpang dirumah suami? Kita gak punya anak kan? Jadi tak ada alasan untukmu tetap diam dirumah, hanya ongkang kaki menunggu uang dariku!" Tegas Dika, kembali membuat luka baru. Selalu saja begitu. Belum juga luka yang kemarin sembuh, Dika selalu membuat luka baru untuk istrinya.

"Bukankah tugasmu untuk memberikan uang dan mencukupi kebutuhan ku Mas? Kamu itu suamiku! Kewajiban mu menafkahi istrimu!"

"Selama ini kamu makan dari siapa? Hah?!"

Ananda terdiam. Memang selama ini ia makan ya dari hasil keringat Dika.

"Tapi kebutuhanku bukan hanya sekedar makan Mas!"

"Banyak menuntut kamu!"

Dika menutup pintu kamar dengan kasar. Ia sudah sangat marah setelah berdebat dengan Ananda. Ternyata perempuan itu banyak omong, bikin kesel saja," umpat Dika.

Ia memilih merebahkan tubuhnya yang lelah, karena pekerjaan yang menumpuk tadi siang.

Pikirannya terus dipengaruhi oleh kata-kata Ananda, tentang nafkah, tentang pakaian lusuh Ananda.

"Tapi kalau sampai Ananda buat aku malu dengan pakaiannya, aku juga yang dikira pelit dan tak bisa membuat istriku cantik. Ag dasar menyebalkan!"

Dika terpaksa kembali bangun dan membawa dompet tebalnya. Lalu ia mengeluarkan beberapa lembar uang berwarna merah dari dalam dompet berwarna hitam miliknya itu. Lalu ia kembali ke kamar Ananda, yang kini tengah sibuk merapikan kembali pakaian usangnya.

"Ini uang untukmu! Besok kamu beli pakaian yang bagus! Jangan bikin malu aku!" Uang itu dilempar tepat di muka Ananda.

Ananda menatap tajam suaminya. Apalah arti uang lima ratus ribu jika seperti itu cara ia memberikan nya?

"Kenapa lihat aku seperti itu? Itu uang buat kamu beli baju! Ingat ya, bukan karena aku mulai cinta sama kamu, aku hanya tak mau dibuat malu sama penampilan mu! Aku mau keluargaku tahu kalau aku di Jakarta sukses, jadi belilah pakaian bagus dan sandal yang bagus!" Tegas Dika sekali lagi. Ananda hanya menelan saliva, menahan nyeri dalam dadanya. Sesak rasanya tak bisa ia ungkapkan, rasa nyeri yang tertahan dan tak bisa ia ungkapkan pada laki-laki di depannya yang sudah menyakiti hatinya itu.

Ia usap air matanya yang mengalir tiba-tiba.

"Kalau saja aku bisa cari uang sendiri, tak akan ku terima uang darimu Mas! Aku tak akan mengemis nafkah yang seharusnya ku terima darimu," lirihnya berseling isak tangis.

Keesokan harinya

Ananda pagi-pagi sekali memasak seperti biasa. Dika tak lagi memberinya uang, karena baginya semalam ia sudah memberikan uang yang sangat banyak. Ananda harus bisa membagi uang yang ia beri semalam.

"Mas aku sudah masak, aku mau pergi ke pasar dulu," pesan Ananda pada Dika yang kini sudah siap untuk sarapan pagi. Tanpa menoleh sedikitpun ke arah Ananda, Dika hanya berdehem menjawab pertanyaan istrinya.

"Beli pakaian yang murah saja! Asal bersih dan rapi, itu sudah cukup! Jangan boros!" Sambung Dika, menghentikan ayunan kaki Ananda yang baru saja beberapa langkah.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status