“Apa?! Aku hanya dapat honor segitu untuk peran tokoh utama? Terlalu!” desis wanita itu kesal. Ia berbicara dengan seseorang melalui ponselnya. Tubuhnya yang ramping sebagian menutupi kereta dorong yang berisi seorang bayi dua tahun yang tertidur pulas. Taman kota hari ini tampak sepi.
“Tolong sampaikan, aku mengundurkan diri jika ....” Ucapan wanita itu terputus.
Seorang bocah perempuan berkulit putih menangis tersedu di sisi kereta dorong bayinya. Wanita itu menutup telepon dan menatap anak itu.
“Hai, jangan menangis. Di mana orangtuamu? Apa kau terpisah,” tanyanya.
Bocah petrempuan itu kini menangis lebih kencang. Sangat sedih. Wanita itu gugup. Ia melirik ke kereta dorong dan khawatir bayinya terbangun. Dengan gugup ia berbalik dan menekan tombol di ponselnya. Nomor kepolisian.
Telepon itu tersambung. Wanita cantik itu baru akan membuka mulutnya dan berbalik untuk melihat si bocah perempuan. Bocah berusia sekitar empat tahun itu tidak ada. Si wanita tercengang lalu menoleh ke arah kereta dorong. Hatinya mencelus.
Bayinya yang tampan telah lenyap. Hilang tanpa jejak. Si wanita merasakan lututnya goyah.“Tidaaaak, jangan ambil anakkuu!” teriaknya. Lalu wanita itu jatuh pingsan.
***
“Kasus penculikan anak belakangan ini semakin merebak. Sekitar 475 kasus anak hilang terjadi dari tahun 2017-2020. Perubahan tren penculikan anak pun terjadi. Pelaku bukan hanya berasal dari orang dewasa, namun kini juga melibatkan sesama anak. Modus pertemanan dan kedekatan menjadi jalan bagi tindakan kriminal ini.” Dialog itu terdengar jelas dari penyiar berita televisi di sudut rumah makan cepat saji Boobsger.
Alvaro Daharyadika, bocah berusia sembilan tahun mengabaikan siaran berita itu. Ia memilih untuk tidak melepaskan pandangannya pada seorang bocah laki-laki yang menjadi korban perundungan oleh empat bocah lain sebayanya.
“Sini, lempar ke aku! Yes, aku mendapatkan tas buntalan ajaib!” seru salah satu dari keempat bocah itu yang bertubuh ceking diiringi oleh gelak tawa teman-temannya.
Tian, bocah yang sedang dirundung itu berlari ke arah bocah bertubuh ceking untuk mengambil tasnya. Saat akan sampai, tas itu dilempar lagi dan berpindah tangan ke bocah yang lain hingga membuat Tian merasa frustasi.
Tian nyaris menangis ketika akhirnya tas itu dijatuhkan oleh anak lelaki bertubuh paling tambun ke arah tanah becek bekas hujan semalam. Setelah anak-anak iseng itu pergi, Tian tersedu dan mengambil tas miliknya dengan gontai. Ia sedikit lega, setidaknya lepas dari anak-anak berbahaya itu. Ia tidak sadar, bahaya yang lebih besar mengintainya.
Alvaro mengikuti Tian dengan langkah cepat tapi tetap berjarak. Ia tak boleh menyolok karena itu akan sangat berakibat fatal. “Tak terlihat, tak terlihat,” desisnya terus-menerus pada dirinya.
Ini tugas pertama Alvaro untuk menculik bocah yang usianya tidak jauh darinya, untuk membuktikan bahwa dirinya layak untuk menjadi seorang Genus. Selama Alvaro mengikuti dan mengamati targetnya, sebuah tim sudah menunggu tanda panggilan dari Alvaro untuk menculik targetnya.
Di sebuah persimpangan, Tian berhenti. Menoleh ke kanan dan ke kiri. Alvaro bersiap, dengan gugup ia meraba ujung kerahnya. Ia telah mencoba ini beberapa kali untuk tetap tenang. Namun, tetap saja degup jantungnya tak pernah normal. Sebuah tombol penyeranta berbentuk kancing yang tersemat di bajunya berhasil teraba oleh Alvaro.
Satu, dua, tiga. Hitungnya dalam hati. Ia menekan tombol itu.
Dalam waktu lima menit, sebuah mobil melaju kencang menuju ke arah Tian. Sangat cepat, sangat dekat. Lalu tiba-tiba Alvaro memucat. Tanpa diduga Tian berlari menghambur ke pelukan seorang lelaki dewasa yang tampak seperti ayahnya di saat yang hampir bersamaan dengan kedatangan tim. Alvaro terperangah, sebelum tersadar sebuah tangan meraihnya dan tiba-tiba ia sudah berada dalam mobil tersebut.
Dua orang pria yang meraihnya membuka topeng mereka menampakkan wajah kesal karena kegagalan Alvaro.
Plak!
Sebuah tamparan keras mendarat di pipi Alvaro hingga membuat bibir tipis Alvaro sobek. Alvaro mengernyit nyeri sembari memegangi bagian wajahnya yang terasa panas dan perih.
“Genus goblok! Sudah berulang kali Metira berpesan, jangan menekan tombolnya jika masih ada kemungkinan target meleset. Kau membahayakan kita semua. Bocah sialan!” hardik pria dewasa yang baru saja menampar Alvaro.
Tiba-tiba lelaki di samping supir menoleh. Sebuah kaliber teracung, mengarah tepat di kepala Alvaro. Senyum lelaki itu begitu bengis. Alvaro menutup mata. Degup jantungnya terdengar keras. Namun, Ia pasrah.
“Doorr!” teriak lelaki itu, lalu tertawa. Alvaro membuka mata, berkedip, dan menggembungkan pipinya dengan marah.
“Kenapa, Bocah? Kau marah, heh? Punya nyali? Kau ini lebih tepat menjadi Spesies ketimbang Genus,” ledek lelaki di samping Alvaro yang membuat mereka semua tertawa, kecuali Alvaro.
Mobil berhenti di sebuah bangunan luas berpagar baja tinggi. Penjaganya adalah empat orang berseragam hitam. Di depan bangunan bertuliskan ‘Panti Asuhan Rumah Berwarna (RB)’.Alvaro didorong ke luar. Bocah lelaki itu hampir terjungkal. Ia berbalik dan menggigit tangan pria yang mendorongnya.
“Brengsek!” Pria itu mengumpat dan tangannya berusaha mencengkeram Alvaro. Namun, Alvaro berkelit, lalu berlari tunggang langgang ke arah sayap kiri bangunan, ke tempat tinggal para Genus dan Spesies seusianya.
Di organisasi terlarang berkedok panti asuhan inilah, Alvaro dan anak-anak korban penculikan—yang disebut dengan Spesies—tinggal untuk menanti giliran diekstraksi demi sebuah produk kecantikan dengan harga yang fantastis..
Sepuluh tahun kemudian.Alvaro tersadar dari lamunannya. Rambutnya yang sedikit memanjang dan ikal jatuh mengenai wajahnya. Ia menatap hasil coretannya dan membuang sktetsa itu ke tempat sampah di sisinya lalu ia memandang ke sekeliling. Rekan sesama Genus berjumlah sekitar 60 orang berada di ruangan yang sama dengannya. Genus adalah sebutan untuk anggota organisasi dengan level usia nol sampai sembilan belas tahun. Alvaro kini sudah berumur sembilan belas tahun dan setelah itu ia tak tahu masa depan seperti apa yang menantinya di organisasi ini.“Oke, perhatikan di depan. Lihat alat-alat ini!” Suara Metira Jovanka menggema di sudut-sudut ruangan. “Selain alat pemanggil yang tentunya sudah familiar oleh kalian, kini saya ingin memberi tambahan senjata untuk kalian.” Wanita itu mulai menunjukkan senjata tambahan tersebut. Sebuah buku yang bisa membius saat dibuka lembarannya, alat tulis yang akan memberi kejutan listrik ji
Tidaaak, jangan ambil anakkuu!”Alvaro terbangun dari tidurnya. Napasnya terengah dan peluh membasahi dahi, punggung serta dadanya. Lelaki itu membuka kaos putihnya yang terasa lengket, lalu tercenung. Ia tak mampu mengingat persis mimpinya, yang mampu ia ingat hanyalah teriakan seorang wanita dan sebuah simbol yang berdenyar seperti kilatan cahaya. Sudah beberapa hari ini mimpi itu datang padanya.“Hai, Bro, kamu nggak kenapa-kenapa ‘kan?” Gio rekan sekamar Alvaro menatap Alvaro dengan wajah khawatir. Di sisinya ada Ribby, penghuni kamar sebelah yang ikut melongo menatapnya.“Jangan khawatir, hanya mimpi.” Alvaro meraih air mineral di atas nakas dan meminumnya.“Dia sering mimpi sampai teriak-teriak begitu?” tanya Ribby pada Gio, menunjuk Alvaro.“Sering. Kadang sampai menjambakku,” sungut Gio menggoda Alvaro.“Hiih, aku nggak kuat punya teman sekamar kayak gitu,” Ribby
Setelah memasukkan buku-bukunya ke dalam tas, Alvaro bergegas ke luar kelas. Di luar sudah riuh oleh para mahasiswa yang berseliweran di sepanjang koridor. Tanpa peduli apa pun, Alvaro terus melangkah menuju gedung di seberang fakultas.“Bisakah kau berhenti mengikutiku,” desis Alvaro pada seseorang di belakangnya tanpa menoleh.Ferro, pemuda berkaca mata tebal itu seketika menghentikan langkah. “Aku lihat kamu mau ke perpustakaan. Mungkin kita bisa bareng. Manusia pendiam seperti kita harus berteman,” jawabnya sambil melirik takut-takut sekelompok pemuda bertampang angkuh di pinggir lapangan.“Aku nggak mau berjalan dan berteman dengan siapa pun. Jauh-jauh dariku, ok?”“Kumohon, aku nggak bisa melewati mereka sendirian. Mereka akan menggangguku.” Tangan Ferro terlihat gemetar.“Aku nggak peduli. Itu urusanmu dan bukan urusanku.” Setelah berkata begitu,
Buukk Sebuah tendangan telak mengenai rahang Alvaro. Lelaki itu mendengus. Antara gengsi dan kekaguman menguar di dirinya karena tendangan bertubi itu datang dari seorang gadis. Davira Friska Gauri, gadis itu memperkenalkan diri sebelum sparring dimulai. Ia menjadi lawan yang tangguh. Buukk Kali ini tulang keringnya yang menjadi sasaran empuk pukulan gadis itu. Sialan. Makinya dalam hati. Alvaro mulai kesal. Ia benci terlihat lemah apalagi di hadapan seorang perempuan. Davira sangat gesit dan saat bergerak kaki indahnya seolah tak menapak lantai. Alvaro semakin geram mengingat betapa cantiknya lawan sparring-nya ini. Gadis itu tersenyum miring. Ia seperti sengaja mempermainkan Alvaro. Meminta lelaki itu menyerang tapi tiba-tiba berkelit dengan mudah. Sreeett. Pukulan Davira hampir saja mengenai kepala Alvaro andai lelaki itu tidak sigap menutupi kepalanya dengan tangan. “Perhatikan kakimu, perhatikan sikumu!” teriak Haldis
Metira Jovanka melangkah cepat lalu berhenti dan mengarahkan wajahnya pada alat pemindai. Pintu baja itu terbuka. Di dalamnya, seorang pria paruh baya menyambut Metira dan meminta wanita itu duduk.“Metira Jovanka, apa pendapatmu tentang jumlah Spesies yang terus merosot selama 10 tahun terakhir?” tanya pria itu tanpa basa-basi.“Maaf, Tuan Alton. Laporan analisa tentang itu sudah saya serahkan setiap bulannya. Saya kira Anda memahami bagaimana kualitas Genus kita belakangan ini? Terlalu beretika dan basa-basi. Ini buruk bagi organisasi kita,” jawab Metira, mencebikkan bibirnya yang merah menyala.Alton berdehem dan menangkupkan kedua tangannya. “Metira, menurutku yang kurang tepat adalah pendekatan yang kau gunakan. Pendekatanmu terlalu konvensional dan kurang mengikuti perkembangan zaman. Sudah saatnya menjadikan para Genus kita populer. Berprestasi di luar. Dandani mereka, jadikan pusat perhatian. Dengan begitu
Davira menghentikan motornya dan menatap Alvaro dari kejauhan. Gadis itu membuka helmnya dan sebuah senyum mengejek tersungging di bibirnya.“Dasar Genus tak tahu berterima kasih,” gumamnya. Gadis itu menarik lepas ikat rambutnya sehingga rambut panjangnya kini tergerai di bahu. Memang seharusnya ia tidak mengasihani pemuda itu.Sebuah panggilan masuk di ponselnya. Davira segera mengangkatnya. “Davira, Genus Ribby dijebak. Polisi kini sedang menuju lokasi. Kau harus selamatkan dia.” Suara Metira terdengar di seberang sana.“Apakah penyerantanya tidak berfungsi?” tanyanya heran. Selain itu ada gas air mata, pulpen penyetrum, kenapa Ribby tak memanfaatkannya untuk menyelamatkan diri? Davira bertanya-tanya dalam hati.“Pria itu mengetahuinya. Ia merebut tas Ribby dan penyerantanya tak bisa mendeteksi,” jawab Metira.“Baik. Di mana posisinya?” Davira segera mencari file tenta
Begitu tiba di dalam gedung Panti Asuhan Rumah Berwarna, Haldis dan empat orang Familia berbadan besar menyambut kedatangan mereka. Haldis tersenyum lebar pada Davira.“Bagus. Lagi-lagi kau melaksanakan tugasmu dengan baik, Davira,” puji Haldis tampak puas.Gadis itu hanya menarik sedikit ujung bibirnya. “Apa masih ada tugas untukku, Pak?” tanya Davira. Matanya melirik jarum suntik berukuran cukup besar di genggaman Haldis. Ia tahu bagaimana nasib Ribby selanjutnya.“Kau boleh kembali ke ruanganmu atau memeriksa isi rekeningmu. Silakan pesta belanja, Nona.” Haldis tergelak hingga wajahnya memerah.Di belakang Davira, Ribby mulai meronta dalam cengkeraman ke empat pria itu.“Kumohon beri aku kesempatan sekali lagi. Aku akan lebih banyak menghasilkan Spesies dan lebih hati-hati,” lelaki itu mengiba.“Kesalahanmu fatal. Kau tak tahu sudah berhadapan dengan siapa tadi.
“Jadi apa maumu?” Alvaro berjalan tergesa. Menatap sekitarnya dengan waspada. Ia merasa ada yang mengawasi mereka. “Tak ada. Hanya ingin berteman.” Ferro mengangkat bahu dan mengikutinya. Mereka terus melangkah dan sampai di lapangan basket. Dua orang gadis tampak cekikikan di kursi penonton menyaksikan beberapa pemain basket yang berpeluh. Alvaro mengenal mereka. Gadis-gadis kaya dan manja itu kuliah jurusan Bisnis. Saat sedang sibuk mengawasi, sudut mata Alvaro menangkap sebuah bola melayang ke arah kedua gadis tersebut. Terdengar jeritan tertahan. Entah bagaimana caranya, tiba-tiba Alvaro sigap melompat dan menangkap bola tersebut. Tubuh lelaki itu sedikit terhempas. Namun bola itu kini berada dalam dekapannya. “Ya ampun, cowok
Alvaro berbaring di samping Davira. Mereka bertatapan, tersenyum canggung. Jemarinya mengelus pipi halus Davira. “Maaf, aku tak menanyakan kesiapanmu. Ini menjadi tak seromantis yang diinginkan oleh setiap wanita.” sesal Alvaro. “Apa yang diinginkan oleh setiap wanita?” Davira tersenyum. “Aku tahu hari itu akan tiba. Hari di mana aku menjadi istri sesungguhnya. Aku sudah cukup siap.” “Kau membuatnya menjadi seperti melakukan kewajiban saja. Aku suami yang buruk.” Alvaro megerang. Elusannya di pipi Davira terhenti.” “Tidak, bukan begitu. Itu sangat luar biasa, sungguh.” Davira meremas tangan Alvaro, cemas oleh kekecewaan yang tergurat di wajah kekasihnya. “Meski rasanya aneh karena kita sangat terburu-buru. Tiba-tiba saja aku menjadi berbeda dan ada sesuatu yang menggelegak di tubuhku dan menuntut untuk dipenuhi.” Ucapan itu membuat Alvaro tersentak. Ia pun memikirkan hal yang sama. “Kau benar, Vira. Aku menjadi sangat bergairah sejak memasuki ka
Alvaro dan Davira tak pernah menyangka bahwa di Rumah Berwarna ada kamar seluas dan seindah itu. Lantainya mengkilat dan separuhnya ditutupi dengan karpet empuk dan tebal berwarna hijau mint. Ranjang di tengah ruangan berukuran king ditutupi seprei lembut dan wangi. Di dalamnya terdapat kamar mandi dengan bath up yang besar. “Aku tak percaya bahwa kita masih menginjakkan kaki di RB. Ini sangat kontras dengan seluruh ruangan di RB yang kaku dan hanya berwarna silver,” ucap Davira meraba furniture dan seprei dengan hati-hati. “Kau salah. Seharusnya justru kamar ini representasi dari RB. RB itu artinya rumah berwarna. Tapi kenyataannya, tak ada warna dalam kehidupan RB. Kita tak dibiarkan memilih ‘warna’ kita sendiri.” Alvaro bersungut-sungut. Mengerjapkan mata, Davira tersadar Alvaro masih kesal. Sebuah kulkas berwarna merah elegan menarik perhatiannya. Ia menuju ke sana, membuka pintunya dan melongok isinya. Sebotol air dingin, sirup lemon dan bua
Perempuan itu sedang menatap layar laptopnya saat Alvaro dan Davira menyerbu masuk ke ruangan kerjanya. Di belakangnya, petugas keamanan tergesa mengikuti. “Maaf Metira, saya sudah menahan mereka tapi mereka memaksa masuk,” ucap petugas itu khawatir. Sebagai jawaban, Metira menggeleng dan memberi isyarat agar petugas itu pergi. “Hai, kalian rindu padaku? Terima kasih akhirnya kalian mau mendatangi ibu kalian ini,” sindirnya. Senyum sinis terukir di bibirnya. “Tak perlu basa-basi. Kembalikan gadis itu. Kau menginginkanku. Bukan dia,” sergah Davira, kesal. “Aku menginginkanmu?” Metira mengangkat alisnya. “Yang tepat adalah, aku menginginkan kalian. Kau dan terutama Alvaro.” “Aku tahu. Kau butuh darahku dan ketangguhan Davira,” timpal Alvaro tanpa menyembunyikan kekesalannya. “Ya.” Metira menjetikkan jari. “Jika kemurnian darah Alvaro bisa didapat dengan keturunan, maka aku mau kalian punya anak. Generasi yan
Davira memerhatikan garis pembatas putih di jalan raya. Ia tak bicara sepatah kata pun selama di mobil. Saat mengisi bahan bakar, Alvaro mampir ke mini market dan membelikan air mineral dingin untuknya. Davira menerimanya dalam diam tapi kemudian ia sadar, Alvaro mengkhawatirkan dirinya. “Hai, apa kau pikir reaksiku tadi berlebihan?” tanyanya sedikit malu. Alvaro menatapnya lembut. “Aku tahu. Tak apa. Kau panik. Kau tak suka dengan seseorang yang terlalu banyak bicara apalagi itu mengenai sesuatu tentangmu.” Davira mengangkat kepalanya. “Selama sembilan belas tahun aku bertanya-tanya, apa di luar sana aku memiliki keluarga? Seperti apa mereka? apakah rambutnya selurus rambutku dan bola matanya coklat sepertiku? Dan apa yang ia katakan tadi ….” Napas Davira tercekat.“Adalah jawaban yang selama ini aku cari. Aku tak siap. Fakta tentang saudara kembarnya yang hilang saat berumur tiga tahun dan itu adalah usia saat aku diculik. Warna biru itu ….” Ia
Apa yang akan dilakukan seseorang ketika bertemu dengan orang yang begitu mirip dengannya? Apakah ia akan antusias bertanya berasal dari mana ia? Siapa namanya? Mengapa mereka bisa memiliki tekstur rambut dan gigi yang sama seolah Tuhan menuangkan mereka pada cetakan yang sama? Alih-alih melemparkan semua pertanyaan itu, Davira justru duduk menatap perempuan di depannya dengan senyuman kaku. Meski ia mengenal dirinya seorang yang cukup mudah bergaul. Dulu, dulu sekali, kemampuannya itu ia gunakan untuk mendapatkan Spesies dengan mudah. Itu sebabnya Metira bangga padanya. Mengingatnya justru memperburuk keadaan. Perasaan aneh yang karib tadi hadir semakin kuat. “Aku Davira. Maaf ya, aku biasanya tak secanggung ini terhadap orang baru. Tapi kita benar-benar mirip … meski kuakui kau lebih lembut atau feminin? Ah semacam itu.” Davira berusaha mencairkan suasana dan tertawa. Geisha ikut tertawa lirih. “Tapi lekuk tubuhmu lebih feminin. Kau pasti seo
“Hai, sudah berapa lama kau temukan kafe ini? Minumannya enak.” Davira menyeruput es kopinya dengan nikmat. “Aku baru sekali ke sini. Dean yang mengajakku,” jawab Alvaro. Tubuhnya condong ke depan dan lagi-lagi ia melirik meja bar.“Kulihat kau gelisah dari tadi. Kenapa, Al?” Alis Davira terangkat, menyentuh jemari Alvaro. Lelaki itu sudah dari setengah jam yang lalu terus-menerus menatap ke sekeliling mereka. Bahkan pelayan yang menyajikan pesanan mereka tadi, Alvaro tatap berkali-kali. Alvaro meringis, menggeleng pelan. “Nggak. Nggak ada masalah,” jawabnya kikuk. Dielusnya jemari Davira yang berada di atas meja untuk meyakinkan perempuan itu, sementara pupilnya tetap bergerak-gerak gelisah. “Ada yang kau tunggu, Al? Dean?” “Nggak. Sudahlah, aku ke toilet dulu, ya.” Alvaro buru-buru berdiri, menghindar dari pertanyaan Davira dengan melangkah cepat, meninggalkan perempuan itu. Davira menggigit-gigit sedotan minumannya. Aura kegelisaha
Melangkah menuju mobil, Metira memegangi ujung topi bulat pada bagian depan agar wajahnya lebih tersembunyi. Ia tak suka wajahnya diketahui orang dan dihubungkan dengan peristiwa di kampus beberapa bulan yang lalu. Saat sampai di mobil, ia dengan segera melempar topinya ke jok penumpang, memperbaiki kaca spion untuk melihat rumah mungil di belakangnya. Ia tahu pemuda itu tadi ada di sana, di ruangan itu, saat ia berbicara dengan Davira. Ia sengaja menyinggung masa lalu Davira agar pemuda itu terusik. Metira akhirnya tersenyum penuh kemenangan. *** Meski pemuda itu sudah berusaha berubah menjadi lebih penyabar, bayangan Alvaro yang marah tetap mendominasi benaknya. Davira langsung berbalik dan bergegas mengambil apron, menyibukkan diri di dapur. “Kau sudah lama pulangnya? Biasanya kau langsung menemuiku setiap kali pulang ke rumah. Pasti karena lapar, ya?” oceh Davira. Ia
Suara ketukan di pintu seolah palu godam yang menghantam kepala Davira. Saat matanya terbuka dan kesadaran menyentaknya, ia pun menyadari bahwa suara menggelegar itu hanya ada di mimpinya. Pada kenyataannya, ketukan itu terdengar lembut dan berirama. Segera diraihnya pistol dari laci dan berjingkat menuruni anak tangga menuju lantai bawah. Meski ia sudah menduga siapa pemilik ketukan berirama itu, ia tetap harus waspada. Sambil mengintip keluar, Davira mengarahkan pistolnya ke pintu sementara sebelah tangannya membuka slot. Namun saat melihat yang datang adalah sosok sesuai dugaannya, Davira menurunkan pistol dan menyembunyikannya dipinggang. Sosok yang dimaksud adalah seorang perempuan berambut cokelat ikal dengan topi lebar yang hampir menutup seluruh wajahnya. “Hai, kau merindukanku, Dav?” sapa perempuan itu dan langsung menyelinap masuk. Davira menutup pintu di belakangnya dan mengikuti langkah perempuan itu dengan wajah kusut. “
Tubuh ramping berbalut setelan peach bermotif kupu-kupu. Rambut panjangnya dibiarkan tergerai menutupi punggung. Alvaro terdorong untuk mendekat dan berdiri di sisi perempuan itu. Ia sedang mencatat pesanan pelanggan dan bagian depan tubuhnya ditutupi celemek. Gerakannya anggun dan sangat gemulai.Alvaro berharap perempuan itu segera menoleh dan menjelaskan alasan kenapa ia berada di sini dan bekerja sebagai pelayan. Namun harapan itu memudar seiring perasaan asing yang merambat di benaknya. Ia seolah tak pernah mengenal perempuan itu.Berbalik dan duduk kembali bersama Dean dan yang lain, menunggu perempuan itu yang mendatanginya. Keputusan itu baru akan diambil Alvaro. Belum sempat ia berbalik, perempuan itu menoleh dan tersenyum.Titik pandang mereka bertemu. Perempuan muda itu nyaris sama dengan Davira. Tinggi tubuh, warna kulit, hingga raut wajah. Alvaro saja sampai terperangah dibuatnya.“Hai, teman, di mana tempat dudukmu? Di sana masih kosong. Aku antar, yuk. Sekalia