Begitu tiba di dalam gedung Panti Asuhan Rumah Berwarna, Haldis dan empat orang Familia berbadan besar menyambut kedatangan mereka. Haldis tersenyum lebar pada Davira.
“Bagus. Lagi-lagi kau melaksanakan tugasmu dengan baik, Davira,” puji Haldis tampak puas.
Gadis itu hanya menarik sedikit ujung bibirnya. “Apa masih ada tugas untukku, Pak?” tanya Davira. Matanya melirik jarum suntik berukuran cukup besar di genggaman Haldis. Ia tahu bagaimana nasib Ribby selanjutnya.
“Kau boleh kembali ke ruanganmu atau memeriksa isi rekeningmu. Silakan pesta belanja, Nona.” Haldis tergelak hingga wajahnya memerah.
Di belakang Davira, Ribby mulai meronta dalam cengkeraman ke empat pria itu.
“Kumohon beri aku kesempatan sekali lagi. Aku akan lebih banyak menghasilkan Spesies dan lebih hati-hati,” lelaki itu mengiba.
“Kesalahanmu fatal. Kau tak tahu sudah berhadapan dengan siapa tadi. Sungguh tak berguna.” Tawa Haldis lenyap dan wajahnya mendadak bengis. Ia mendekat pada Ribby lalu menghujamkan jarum suntik itu ke leher Ribby. Ribby berkelojotan sesaat lalu tubuhnya tak berkutik lagi.
Davira mendengarkan itu semua tanpa menoleh. Kemudian ia melangkah dengan tenang meninggalkan ruangan depan dan terdengar suara gesekan tumit Ribby pada lantai menandakan lelaki itu diseret pergi.
Sampai di kamar, gadis itu meletakkan semua senjata dan peralatan elektronik yang melekat di tubuhnya dan bergegas ke kamar mandi. Ia mengatur pemanas air lebih tinggi dari biasanya dan membiarkan air itu membasahi tubuhnya yang masih berpakaian lengkap.
Siluet Ribby menari di benaknya. Ia ragu masih bisa melihat kembali lelaki berwajah bulat itu.
***
“Penerima donor dengan Rhesus positif bisa menerima darah pendonor dengan Rhesus positif ataupun negatif. Tetapi penerima donor dengan Rhesus negatif tidak bisa menerima donor darah dari pendonor dengan Rhesus positif. Apa yang terjadi jika kondisi itu terjadi?” Dokter Shara menatap seluruh wajah di ruangan kelas. Alvaro memilih menghindar dengan menunduk, memperhatikan buku di hadapannya.
“Akan terjadi komplikasi yang berbahaya,” jawab Ferro setelah mengangkat tangan kanannya.
“Apa contohnya?” tanya Dokter Shara kembali.
Ferro menoleh pada Alvaro. “Alvaro yang akan menjawab, Bu. Kulihat dia banyak membaca referensi tentang itu di perpustakaan.”
Alvaro terkesiap. Dia tak menyangka Ferro menunjuk dirinya.
“Bagaimana, Alvaro?” kejar Dokter Shara.
Alvaro melirik kesal pada Ferro. “Salah satunya akan terjadi hemolitik imun akut.” Kemudian tanpa sadar Alvaro menjelaskan tentang jwabannya itu secara panjang lebar dan lancar hingga Dokter Shara terkesan.
Lalu bel berbunyi. Alvaro merapikan buku dan memasukkannya ke tas dengan cepat. Ia mengabaikan saat mengetahui bahwa Ferro mengikutinya. Sampai di dekat anak tangga yang sepi, Alvaro secepat kilat menyambar tubuh Ferro dan mendorongnya ke dinding. Sikunya menekan tenggorokan Ferro.
“Berhenti megikutiku dan jangan menunjuk diriku di kelas. Kau ini sangat menjengkelkan.” Tatapan Alvaro seperti hendak menerkam lelaki itu. Ferro tersengal dan mendorong tubuh Alvaro ketika terdengar ada langkah di tangga.
“Aku ingin kau menunjukkan seperti apa dirimu di kelas, di kampus. Kenapa tidak menjadi dirimu sendiri. Tunjukkan bahwa kau secerdas itu dan sepemarah ini. Rasakan betapa leganya hati kita setelah itu.” Masih dengan tersengal, Ferro berusaha menjelaskan.
“Berikan nasehatmu itu pada dirimu sendiri. Lihatlah dirimu, kau yakin jati dirimu adalah lelaki pengecut yang selalu menghindar dari para perundung? Semenyedihkan itukah dirimu?” ejek Alvaro.
Ferro bergeming. Menatap Alvaro dengan sendu. Saat itulah Raes, kepala perundung di kelas mereka lewat di antara mahasiswa lain.
“Hai Raes!” teriak Ferro secara tiba-tiba. Lelaki bertubuh besar itu menoleh. “Aku tak takut dengan tubuh besarmu yang hanya berisi gumpalan lemak,” sambungnya. Tubuhnya berdiri tegak dengan lutut sedikit bergetar.
Para mahasiswa terperangah. Alvaro ternganga. Raes disertai beberapa temannya mendekat. Lalu sekali hantam pada perut Ferro, lelaki itu terjengkang. Merosot di bawah kaki Raes.
Raes menyeringai. “Ini bukan gumpalan lemak, bodoh. Ini kumpulan otot.” Raes menunjukkan tinjunya pada Ferro lalu berbalik pergi diiringi dengan tawa kecil teman-temannya.
“Lihat, Alvaro. Aku sudah menunjukkan siapa diriku sebenarnya. Sekarang giliranmu.” Ferro berusaha bangkit dengan susah payah.
Alvaro menggembungkan pipinya. “Aku baru tahu ternyata kamu gila.”“Jadi apa maumu?” Alvaro berjalan tergesa. Menatap sekitarnya dengan waspada. Ia merasa ada yang mengawasi mereka. “Tak ada. Hanya ingin berteman.” Ferro mengangkat bahu dan mengikutinya. Mereka terus melangkah dan sampai di lapangan basket. Dua orang gadis tampak cekikikan di kursi penonton menyaksikan beberapa pemain basket yang berpeluh. Alvaro mengenal mereka. Gadis-gadis kaya dan manja itu kuliah jurusan Bisnis. Saat sedang sibuk mengawasi, sudut mata Alvaro menangkap sebuah bola melayang ke arah kedua gadis tersebut. Terdengar jeritan tertahan. Entah bagaimana caranya, tiba-tiba Alvaro sigap melompat dan menangkap bola tersebut. Tubuh lelaki itu sedikit terhempas. Namun bola itu kini berada dalam dekapannya. “Ya ampun, cowok
“Jadi Ribby juga nggak pamit sama kamu?” Alvaro menatap penuh selidik pada teman sekamar Ribby. “Nggak ada. Aku pulang dan melihat barang-barang Ribby sudah raib begitu juga Ribby. Bahkan hari ini sudah ada penghuni baru.” Lelaki itu menunjuk ranjang di seberangnya yang mulai terisi barang. “Apa kamu nggak ingin menanyakan dengan yang lain? Siapa tau ada yang melihat Ribby terakhir kali,” desak Alvaro. “Al, kamu ini membahayakan posisi kita. Aku nggak mau disetrum listrik karena mempermasalahkan ini. Mari kita berfikir kalau Ribby dideportasi karena tidak lolos ‘kenaikan tingkat’. Selesai,” gusar lelaki itu. Baru selesai berbicara demikian, tiba-t
Davira menepati janji. Ia menemui Alvaro di belakang kampus saat jam kuliah usai. “Kenapa kamu tau kelasku di situ? Bukannya kamu nggak pernah kuliah di sini?” Alvaro menatap Davira penuh selidik. “Mempertanyakan hal-hal sesepele itu memalukan bagi anggota Rumah Berwarna. Ada pertanyaan yang lebih cerdas?” Davira tertawa kecil, memperlihatkan deretan gigi putihnya. “Sialan. Jangan-jangan kamu yang mengawasiku selama ini,” Alvaro meringis. Davira tertawa kembali dan itu seolah menghipnotis Alvaro. Lelaki itu menyukai bagaimana cara Davira tertawa hingga ekor kudanya bergerak ke kiri dan ke kanan. “Kutunjukkan sesuatu,” ujar Davira. Ia melangkah ke parkiran dengan santai. Beberapa mahasiswa menatapnya dengan terpesona. Davira membiarkan Alvaro mengikutinya. Gadis itu terus melajukan motornya, melewati jalan yang sepi,
Pagi-pagi sekali Alvaro sudah berangkat ke kampus. Ia sedikit mengantuk karena tadi malam ia menyelinap ke luar menuju gedung Familia yang berada di sayap kiri bangunan. Ia sangat berharap bisa menemui Davira untuk menanyakan perihal simbol itu. Lelaki itu menduga kuat bahwa simbol itu ada hubungan dengan dirinya di masa lalu. Ia yakin simbol itu sebuah déjà vu yang hadir dalam mimpinya. Itu sebabnya ia selalu mencari tahu makna simbol tersebut dan selalu menyangka hanya ia yang penasaran setengah mati dengan simbol tersebut. Ternyata kini, ia mengetahui bahwa ada orang lain yang mengetahui simbol tersebut dan itu membuat penasarannya semakin meningkat. Apa Davira mengetahui sesuatu tentang simbol tersebut? Apa Davira ada hubungannya dengan itu semua? Setelah cukup lama mengendap-endap di gedung Familia dan hampir kepergok beberapa kali, akhirnya Alvaro kembali ke gedungnya. Ia memutuskan meringkuk dalam selimutnya yang hangat dan m
“Kita harus menyelidiki markas mereka.” Alton memberi lingkaran pada peta besar yang ada di hadapan mereka. Selain Alton, di dalam ruangan itu ada Metira Jovanka, Haldis, Davira dan tiga Ordo lainnya yang sedang menatap serius ke arah peta. “Kami curiga kalau mereka bermarkas di sebuah gudang tua bekas pabrik yang sudah lama tak terpakai,” kata Metira sambil bersedekap. Davira memperhatikan peta tersebut dengan seksama. Mempelajari segala yang ia lihat dengan cermat. “Ini peta gudang tersebut. Davira akan masuk lewat pintu kiri dan memasang pengait di dinding yang berdekatan dengan lubang angin. Haldis masuk melalui lubang angin di sebelah timur. Sementara itu dua Familia akan mengendap-endap di bagian utara memastikan tak ada yang
Langit demikian gelap saat Davira dan yang lain bergerak ke gudang tua bekas pabrik yang diduga sarang musuh mereka. Mereka mengendap-endap dalam gelap dan bau debu beterbangan menyerang pernapasan. Haldis menyelinap dari pintu sebelah kiri diikuti dengan Davira dan tujuh Familia yang lain. Sampai di sebuah ruangan yang beraroma lembab Haldis memasang pengait pada sebuah tiang. “Davira, kau masuk ke lubang angin duluan. Nanti kau masuk ke jalur kiri. Aku melewati tepi dinding dan menunggu di atas. Sementara yang lain ikut aku ke atas, dua orang berjaga di sini,” bisik Haldis tegas. “Aku dengar dari Pak Alton, Anda yang lewat lubang angin,” tegas Davira. “Siapa pemimpi
Makan malam bagi warga RB adalah momen di mana mereka dapat bertemu satu sama lain. Meski Genus dan Familia tidak dalam satu meja, tetapi mereka bisa saling melihat satu sama lain. “Al, daging wagyu ini lembut sekali. Sangat beda dengan makanan di kampus. Aku senang makanan di sini enak-enak,” cengir Gio sembari memandangi daging pada garpunya. “Ya, harus. Setiap tiga bulan sekali kita harus mendonorkan darah kita. Kalau nggak ditunjang dengan makanan bergizi seperti ini, kita bisa seperti zombie,” jawab Alvaro. Sembari mengunyah, irisnya mengitari ruangan. Terlihat para Ordo di bagian balkon yang makan menghadap ke arah mereka. “Haha, nggak apa-apa deh jadi zombie. Aku pengen ngerasain daging Familia
15 jam sebelumnya. “Kau yakin sudah memberikan seluruh barang penyelidikan, Davira?” Iris Metira seakan ingin menelanjangi gadis itu. Davira menatap lurus ke meja, berusaha menyembunyikan wajahnya yang sedikit memucat akibat pertanyaan itu. “Sudah, Metira,” jawabnya.“Biar kubantu menggeledahnya, Metira,” seringai Haldis.“Bisa kau tutup mulut dulu, Haldis? Aku sedang berbicara dengan Davira,” bentak Metira Jovanka.Haldis bergeming dengan raut masam.“Aku ingin mengetahui apa yang sebenarnya mereka inginkan dan penelitian apa yang mereka kembangkan. Itu yang seharusnya kalian cari. Tapi setidaknya dengan semua barang petunjuk ini, aku jadi benar-benar tau bahwa mereka memang ada dan mengincar kita.”“Sia