Davira menghentikan motornya dan menatap Alvaro dari kejauhan. Gadis itu membuka helmnya dan sebuah senyum mengejek tersungging di bibirnya.
“Dasar Genus tak tahu berterima kasih,” gumamnya. Gadis itu menarik lepas ikat rambutnya sehingga rambut panjangnya kini tergerai di bahu. Memang seharusnya ia tidak mengasihani pemuda itu.
Sebuah panggilan masuk di ponselnya. Davira segera mengangkatnya. “Davira, Genus Ribby dijebak. Polisi kini sedang menuju lokasi. Kau harus selamatkan dia.” Suara Metira terdengar di seberang sana.
“Apakah penyerantanya tidak berfungsi?” tanyanya heran. Selain itu ada gas air mata, pulpen penyetrum, kenapa Ribby tak memanfaatkannya untuk menyelamatkan diri? Davira bertanya-tanya dalam hati.
“Pria itu mengetahuinya. Ia merebut tas Ribby dan penyerantanya tak bisa mendeteksi,” jawab Metira.
“Baik. Di mana posisinya?” Davira segera mencari file tentang Ribby untuk mengenali wajahnya dan melihat lokasi yang telah dikirim oleh Familia lainnya atas perintah Metira.
“Lokasinya cukup jauh. Berapa lama lagi polisi tiba, Metira? Aku harus memperkirakan apakah aku tepat waktu.” Davira mengernyitkan dahi.
“Kamu punya waktu delapan menit. Ribby masih berbicara dengan penjebaknya.”
Gadis itu menatap jam di pergelangan tangannya. Tanpa berkata apa-apa lagi, ia segera melajukan motornya menuju lokasi Ribby. Saat ia melintas di jalan raya, bunyi klakson, umpatan, teriakan peringatan dan siulan menggoda terdengar saling tumpang tindih mengiringi liukan motornya di antara padatnya lalu lintas dan bersahajanya para pejalan kaki. Semua itu tak mampu menghentikan kendaraan Davira yang terus melesat layaknya anak panah.
Motor terus melaju meski sudah memasuki area sekolah dasar bernama Sambora. Bahkan ketika sudah sampai di dalam koridor, motor itu terus meraung. Davira menemukan Ribby dan pria yang menjebaknya di belakang sekolah.
“Diam! Atau ia kutembak!” Seorang pria beraroma nikotin mengacungkan pistolnya, menempel ke kepala Ribby ketika melihat Davira tiba.
Ribby terkejut dan baru menyadari situasinya. “Tapi, aku hanya datang untuk mendaftarkan adikku di sekolah ini.” Ia menelan ludah susah payah.
“Kau kira aku bodoh? Aku tahu kau sudah mengincar Daine beberapa hari ini. Aku penjaga sekolah yang punya otak. Berbeda denganmu. Kau hanya penculik dungu.”“Owh, jangan gegabah,” ujar Davira sembari melirik ke arah anak perempuan di belakang pria itu. Usianya sekitar tujuh tahun. Pria itu memberi kode agar anak tersebut pergi dari situ. Ia pun lari tunggang langgang menuju ke luar taman.
“Letakkan pistolmu di tanah. Aku akan mengatakan pada polisi bahwa temanmu ini akan menculik siswa di sekolah ini dan kau berkomplot dengannya.” Penjaga sekolah itu benar-benar marah. Dicengkeramnya lengan Ribby dengan kuat. Sementara dari kejauhan terdengar suara sirene mobil polisi.
Sudah tak ada waktu lagi.
Davira melangkah perlahan mendekati mereka. Pria itu terperangah.
“Berhenti kataku!” bentaknya.Gadis itu semakin dekat. “Tembak saja kepalanya. Kami sudah tak membutuhkan penculik dungu,” kata Davira dengan tenang.
Rupanya ucapan Davira membuat si pria panik. Ia menarik pelatuk pistolnya.
Doorr.
Bukannya Ribby yang terkapar. Justru pria itu yang tergeletak dengan luka tembak di bahu. Rupanya ia kalah cepat dengan si gadis.Davira segera berlari ke arah motornya, menghidupkan mesin dan melesat ke arah Ribby.
“Naik!” perintahnya pada pemuda itu. Ribby segera naik di boncengan Davira dan motor itu langsung melesat melalui pintu pagar belakang yang langsung remuk karena ditabrak oleh kendaraan gadis itu.
Sementara di halaman depan, mobil polisi baru tiba. Mereka selanjutnya hanya menemukan pria penjaga sekolah yang pingsan akibat tertembak. Motor Davira telah lenyap.
Begitu tiba di dalam gedung Panti Asuhan Rumah Berwarna, Haldis dan empat orang Familia berbadan besar menyambut kedatangan mereka. Haldis tersenyum lebar pada Davira.“Bagus. Lagi-lagi kau melaksanakan tugasmu dengan baik, Davira,” puji Haldis tampak puas.Gadis itu hanya menarik sedikit ujung bibirnya. “Apa masih ada tugas untukku, Pak?” tanya Davira. Matanya melirik jarum suntik berukuran cukup besar di genggaman Haldis. Ia tahu bagaimana nasib Ribby selanjutnya.“Kau boleh kembali ke ruanganmu atau memeriksa isi rekeningmu. Silakan pesta belanja, Nona.” Haldis tergelak hingga wajahnya memerah.Di belakang Davira, Ribby mulai meronta dalam cengkeraman ke empat pria itu.“Kumohon beri aku kesempatan sekali lagi. Aku akan lebih banyak menghasilkan Spesies dan lebih hati-hati,” lelaki itu mengiba.“Kesalahanmu fatal. Kau tak tahu sudah berhadapan dengan siapa tadi.
“Jadi apa maumu?” Alvaro berjalan tergesa. Menatap sekitarnya dengan waspada. Ia merasa ada yang mengawasi mereka. “Tak ada. Hanya ingin berteman.” Ferro mengangkat bahu dan mengikutinya. Mereka terus melangkah dan sampai di lapangan basket. Dua orang gadis tampak cekikikan di kursi penonton menyaksikan beberapa pemain basket yang berpeluh. Alvaro mengenal mereka. Gadis-gadis kaya dan manja itu kuliah jurusan Bisnis. Saat sedang sibuk mengawasi, sudut mata Alvaro menangkap sebuah bola melayang ke arah kedua gadis tersebut. Terdengar jeritan tertahan. Entah bagaimana caranya, tiba-tiba Alvaro sigap melompat dan menangkap bola tersebut. Tubuh lelaki itu sedikit terhempas. Namun bola itu kini berada dalam dekapannya. “Ya ampun, cowok
“Jadi Ribby juga nggak pamit sama kamu?” Alvaro menatap penuh selidik pada teman sekamar Ribby. “Nggak ada. Aku pulang dan melihat barang-barang Ribby sudah raib begitu juga Ribby. Bahkan hari ini sudah ada penghuni baru.” Lelaki itu menunjuk ranjang di seberangnya yang mulai terisi barang. “Apa kamu nggak ingin menanyakan dengan yang lain? Siapa tau ada yang melihat Ribby terakhir kali,” desak Alvaro. “Al, kamu ini membahayakan posisi kita. Aku nggak mau disetrum listrik karena mempermasalahkan ini. Mari kita berfikir kalau Ribby dideportasi karena tidak lolos ‘kenaikan tingkat’. Selesai,” gusar lelaki itu. Baru selesai berbicara demikian, tiba-t
Davira menepati janji. Ia menemui Alvaro di belakang kampus saat jam kuliah usai. “Kenapa kamu tau kelasku di situ? Bukannya kamu nggak pernah kuliah di sini?” Alvaro menatap Davira penuh selidik. “Mempertanyakan hal-hal sesepele itu memalukan bagi anggota Rumah Berwarna. Ada pertanyaan yang lebih cerdas?” Davira tertawa kecil, memperlihatkan deretan gigi putihnya. “Sialan. Jangan-jangan kamu yang mengawasiku selama ini,” Alvaro meringis. Davira tertawa kembali dan itu seolah menghipnotis Alvaro. Lelaki itu menyukai bagaimana cara Davira tertawa hingga ekor kudanya bergerak ke kiri dan ke kanan. “Kutunjukkan sesuatu,” ujar Davira. Ia melangkah ke parkiran dengan santai. Beberapa mahasiswa menatapnya dengan terpesona. Davira membiarkan Alvaro mengikutinya. Gadis itu terus melajukan motornya, melewati jalan yang sepi,
Pagi-pagi sekali Alvaro sudah berangkat ke kampus. Ia sedikit mengantuk karena tadi malam ia menyelinap ke luar menuju gedung Familia yang berada di sayap kiri bangunan. Ia sangat berharap bisa menemui Davira untuk menanyakan perihal simbol itu. Lelaki itu menduga kuat bahwa simbol itu ada hubungan dengan dirinya di masa lalu. Ia yakin simbol itu sebuah déjà vu yang hadir dalam mimpinya. Itu sebabnya ia selalu mencari tahu makna simbol tersebut dan selalu menyangka hanya ia yang penasaran setengah mati dengan simbol tersebut. Ternyata kini, ia mengetahui bahwa ada orang lain yang mengetahui simbol tersebut dan itu membuat penasarannya semakin meningkat. Apa Davira mengetahui sesuatu tentang simbol tersebut? Apa Davira ada hubungannya dengan itu semua? Setelah cukup lama mengendap-endap di gedung Familia dan hampir kepergok beberapa kali, akhirnya Alvaro kembali ke gedungnya. Ia memutuskan meringkuk dalam selimutnya yang hangat dan m
“Kita harus menyelidiki markas mereka.” Alton memberi lingkaran pada peta besar yang ada di hadapan mereka. Selain Alton, di dalam ruangan itu ada Metira Jovanka, Haldis, Davira dan tiga Ordo lainnya yang sedang menatap serius ke arah peta. “Kami curiga kalau mereka bermarkas di sebuah gudang tua bekas pabrik yang sudah lama tak terpakai,” kata Metira sambil bersedekap. Davira memperhatikan peta tersebut dengan seksama. Mempelajari segala yang ia lihat dengan cermat. “Ini peta gudang tersebut. Davira akan masuk lewat pintu kiri dan memasang pengait di dinding yang berdekatan dengan lubang angin. Haldis masuk melalui lubang angin di sebelah timur. Sementara itu dua Familia akan mengendap-endap di bagian utara memastikan tak ada yang
Langit demikian gelap saat Davira dan yang lain bergerak ke gudang tua bekas pabrik yang diduga sarang musuh mereka. Mereka mengendap-endap dalam gelap dan bau debu beterbangan menyerang pernapasan. Haldis menyelinap dari pintu sebelah kiri diikuti dengan Davira dan tujuh Familia yang lain. Sampai di sebuah ruangan yang beraroma lembab Haldis memasang pengait pada sebuah tiang. “Davira, kau masuk ke lubang angin duluan. Nanti kau masuk ke jalur kiri. Aku melewati tepi dinding dan menunggu di atas. Sementara yang lain ikut aku ke atas, dua orang berjaga di sini,” bisik Haldis tegas. “Aku dengar dari Pak Alton, Anda yang lewat lubang angin,” tegas Davira. “Siapa pemimpi
Makan malam bagi warga RB adalah momen di mana mereka dapat bertemu satu sama lain. Meski Genus dan Familia tidak dalam satu meja, tetapi mereka bisa saling melihat satu sama lain. “Al, daging wagyu ini lembut sekali. Sangat beda dengan makanan di kampus. Aku senang makanan di sini enak-enak,” cengir Gio sembari memandangi daging pada garpunya. “Ya, harus. Setiap tiga bulan sekali kita harus mendonorkan darah kita. Kalau nggak ditunjang dengan makanan bergizi seperti ini, kita bisa seperti zombie,” jawab Alvaro. Sembari mengunyah, irisnya mengitari ruangan. Terlihat para Ordo di bagian balkon yang makan menghadap ke arah mereka. “Haha, nggak apa-apa deh jadi zombie. Aku pengen ngerasain daging Familia
Alvaro berbaring di samping Davira. Mereka bertatapan, tersenyum canggung. Jemarinya mengelus pipi halus Davira. “Maaf, aku tak menanyakan kesiapanmu. Ini menjadi tak seromantis yang diinginkan oleh setiap wanita.” sesal Alvaro. “Apa yang diinginkan oleh setiap wanita?” Davira tersenyum. “Aku tahu hari itu akan tiba. Hari di mana aku menjadi istri sesungguhnya. Aku sudah cukup siap.” “Kau membuatnya menjadi seperti melakukan kewajiban saja. Aku suami yang buruk.” Alvaro megerang. Elusannya di pipi Davira terhenti.” “Tidak, bukan begitu. Itu sangat luar biasa, sungguh.” Davira meremas tangan Alvaro, cemas oleh kekecewaan yang tergurat di wajah kekasihnya. “Meski rasanya aneh karena kita sangat terburu-buru. Tiba-tiba saja aku menjadi berbeda dan ada sesuatu yang menggelegak di tubuhku dan menuntut untuk dipenuhi.” Ucapan itu membuat Alvaro tersentak. Ia pun memikirkan hal yang sama. “Kau benar, Vira. Aku menjadi sangat bergairah sejak memasuki ka
Alvaro dan Davira tak pernah menyangka bahwa di Rumah Berwarna ada kamar seluas dan seindah itu. Lantainya mengkilat dan separuhnya ditutupi dengan karpet empuk dan tebal berwarna hijau mint. Ranjang di tengah ruangan berukuran king ditutupi seprei lembut dan wangi. Di dalamnya terdapat kamar mandi dengan bath up yang besar. “Aku tak percaya bahwa kita masih menginjakkan kaki di RB. Ini sangat kontras dengan seluruh ruangan di RB yang kaku dan hanya berwarna silver,” ucap Davira meraba furniture dan seprei dengan hati-hati. “Kau salah. Seharusnya justru kamar ini representasi dari RB. RB itu artinya rumah berwarna. Tapi kenyataannya, tak ada warna dalam kehidupan RB. Kita tak dibiarkan memilih ‘warna’ kita sendiri.” Alvaro bersungut-sungut. Mengerjapkan mata, Davira tersadar Alvaro masih kesal. Sebuah kulkas berwarna merah elegan menarik perhatiannya. Ia menuju ke sana, membuka pintunya dan melongok isinya. Sebotol air dingin, sirup lemon dan bua
Perempuan itu sedang menatap layar laptopnya saat Alvaro dan Davira menyerbu masuk ke ruangan kerjanya. Di belakangnya, petugas keamanan tergesa mengikuti. “Maaf Metira, saya sudah menahan mereka tapi mereka memaksa masuk,” ucap petugas itu khawatir. Sebagai jawaban, Metira menggeleng dan memberi isyarat agar petugas itu pergi. “Hai, kalian rindu padaku? Terima kasih akhirnya kalian mau mendatangi ibu kalian ini,” sindirnya. Senyum sinis terukir di bibirnya. “Tak perlu basa-basi. Kembalikan gadis itu. Kau menginginkanku. Bukan dia,” sergah Davira, kesal. “Aku menginginkanmu?” Metira mengangkat alisnya. “Yang tepat adalah, aku menginginkan kalian. Kau dan terutama Alvaro.” “Aku tahu. Kau butuh darahku dan ketangguhan Davira,” timpal Alvaro tanpa menyembunyikan kekesalannya. “Ya.” Metira menjetikkan jari. “Jika kemurnian darah Alvaro bisa didapat dengan keturunan, maka aku mau kalian punya anak. Generasi yan
Davira memerhatikan garis pembatas putih di jalan raya. Ia tak bicara sepatah kata pun selama di mobil. Saat mengisi bahan bakar, Alvaro mampir ke mini market dan membelikan air mineral dingin untuknya. Davira menerimanya dalam diam tapi kemudian ia sadar, Alvaro mengkhawatirkan dirinya. “Hai, apa kau pikir reaksiku tadi berlebihan?” tanyanya sedikit malu. Alvaro menatapnya lembut. “Aku tahu. Tak apa. Kau panik. Kau tak suka dengan seseorang yang terlalu banyak bicara apalagi itu mengenai sesuatu tentangmu.” Davira mengangkat kepalanya. “Selama sembilan belas tahun aku bertanya-tanya, apa di luar sana aku memiliki keluarga? Seperti apa mereka? apakah rambutnya selurus rambutku dan bola matanya coklat sepertiku? Dan apa yang ia katakan tadi ….” Napas Davira tercekat.“Adalah jawaban yang selama ini aku cari. Aku tak siap. Fakta tentang saudara kembarnya yang hilang saat berumur tiga tahun dan itu adalah usia saat aku diculik. Warna biru itu ….” Ia
Apa yang akan dilakukan seseorang ketika bertemu dengan orang yang begitu mirip dengannya? Apakah ia akan antusias bertanya berasal dari mana ia? Siapa namanya? Mengapa mereka bisa memiliki tekstur rambut dan gigi yang sama seolah Tuhan menuangkan mereka pada cetakan yang sama? Alih-alih melemparkan semua pertanyaan itu, Davira justru duduk menatap perempuan di depannya dengan senyuman kaku. Meski ia mengenal dirinya seorang yang cukup mudah bergaul. Dulu, dulu sekali, kemampuannya itu ia gunakan untuk mendapatkan Spesies dengan mudah. Itu sebabnya Metira bangga padanya. Mengingatnya justru memperburuk keadaan. Perasaan aneh yang karib tadi hadir semakin kuat. “Aku Davira. Maaf ya, aku biasanya tak secanggung ini terhadap orang baru. Tapi kita benar-benar mirip … meski kuakui kau lebih lembut atau feminin? Ah semacam itu.” Davira berusaha mencairkan suasana dan tertawa. Geisha ikut tertawa lirih. “Tapi lekuk tubuhmu lebih feminin. Kau pasti seo
“Hai, sudah berapa lama kau temukan kafe ini? Minumannya enak.” Davira menyeruput es kopinya dengan nikmat. “Aku baru sekali ke sini. Dean yang mengajakku,” jawab Alvaro. Tubuhnya condong ke depan dan lagi-lagi ia melirik meja bar.“Kulihat kau gelisah dari tadi. Kenapa, Al?” Alis Davira terangkat, menyentuh jemari Alvaro. Lelaki itu sudah dari setengah jam yang lalu terus-menerus menatap ke sekeliling mereka. Bahkan pelayan yang menyajikan pesanan mereka tadi, Alvaro tatap berkali-kali. Alvaro meringis, menggeleng pelan. “Nggak. Nggak ada masalah,” jawabnya kikuk. Dielusnya jemari Davira yang berada di atas meja untuk meyakinkan perempuan itu, sementara pupilnya tetap bergerak-gerak gelisah. “Ada yang kau tunggu, Al? Dean?” “Nggak. Sudahlah, aku ke toilet dulu, ya.” Alvaro buru-buru berdiri, menghindar dari pertanyaan Davira dengan melangkah cepat, meninggalkan perempuan itu. Davira menggigit-gigit sedotan minumannya. Aura kegelisaha
Melangkah menuju mobil, Metira memegangi ujung topi bulat pada bagian depan agar wajahnya lebih tersembunyi. Ia tak suka wajahnya diketahui orang dan dihubungkan dengan peristiwa di kampus beberapa bulan yang lalu. Saat sampai di mobil, ia dengan segera melempar topinya ke jok penumpang, memperbaiki kaca spion untuk melihat rumah mungil di belakangnya. Ia tahu pemuda itu tadi ada di sana, di ruangan itu, saat ia berbicara dengan Davira. Ia sengaja menyinggung masa lalu Davira agar pemuda itu terusik. Metira akhirnya tersenyum penuh kemenangan. *** Meski pemuda itu sudah berusaha berubah menjadi lebih penyabar, bayangan Alvaro yang marah tetap mendominasi benaknya. Davira langsung berbalik dan bergegas mengambil apron, menyibukkan diri di dapur. “Kau sudah lama pulangnya? Biasanya kau langsung menemuiku setiap kali pulang ke rumah. Pasti karena lapar, ya?” oceh Davira. Ia
Suara ketukan di pintu seolah palu godam yang menghantam kepala Davira. Saat matanya terbuka dan kesadaran menyentaknya, ia pun menyadari bahwa suara menggelegar itu hanya ada di mimpinya. Pada kenyataannya, ketukan itu terdengar lembut dan berirama. Segera diraihnya pistol dari laci dan berjingkat menuruni anak tangga menuju lantai bawah. Meski ia sudah menduga siapa pemilik ketukan berirama itu, ia tetap harus waspada. Sambil mengintip keluar, Davira mengarahkan pistolnya ke pintu sementara sebelah tangannya membuka slot. Namun saat melihat yang datang adalah sosok sesuai dugaannya, Davira menurunkan pistol dan menyembunyikannya dipinggang. Sosok yang dimaksud adalah seorang perempuan berambut cokelat ikal dengan topi lebar yang hampir menutup seluruh wajahnya. “Hai, kau merindukanku, Dav?” sapa perempuan itu dan langsung menyelinap masuk. Davira menutup pintu di belakangnya dan mengikuti langkah perempuan itu dengan wajah kusut. “
Tubuh ramping berbalut setelan peach bermotif kupu-kupu. Rambut panjangnya dibiarkan tergerai menutupi punggung. Alvaro terdorong untuk mendekat dan berdiri di sisi perempuan itu. Ia sedang mencatat pesanan pelanggan dan bagian depan tubuhnya ditutupi celemek. Gerakannya anggun dan sangat gemulai.Alvaro berharap perempuan itu segera menoleh dan menjelaskan alasan kenapa ia berada di sini dan bekerja sebagai pelayan. Namun harapan itu memudar seiring perasaan asing yang merambat di benaknya. Ia seolah tak pernah mengenal perempuan itu.Berbalik dan duduk kembali bersama Dean dan yang lain, menunggu perempuan itu yang mendatanginya. Keputusan itu baru akan diambil Alvaro. Belum sempat ia berbalik, perempuan itu menoleh dan tersenyum.Titik pandang mereka bertemu. Perempuan muda itu nyaris sama dengan Davira. Tinggi tubuh, warna kulit, hingga raut wajah. Alvaro saja sampai terperangah dibuatnya.“Hai, teman, di mana tempat dudukmu? Di sana masih kosong. Aku antar, yuk. Sekalia