Share

Bab 7. Sekolah Dasar Sambora

Davira menghentikan motornya dan menatap Alvaro dari kejauhan. Gadis itu membuka helmnya dan sebuah senyum mengejek tersungging di bibirnya. 

“Dasar Genus tak tahu berterima kasih,” gumamnya. Gadis itu menarik lepas ikat rambutnya sehingga rambut panjangnya kini tergerai di bahu. Memang seharusnya ia tidak mengasihani pemuda itu. 

Sebuah panggilan masuk di ponselnya. Davira segera mengangkatnya. “Davira, Genus Ribby dijebak. Polisi kini sedang menuju lokasi. Kau harus selamatkan dia.” Suara Metira terdengar di seberang sana.

“Apakah penyerantanya tidak berfungsi?” tanyanya heran. Selain itu ada gas air mata, pulpen penyetrum, kenapa Ribby tak memanfaatkannya untuk menyelamatkan diri?  Davira bertanya-tanya dalam hati.

“Pria itu mengetahuinya. Ia merebut tas Ribby dan penyerantanya tak bisa mendeteksi,” jawab Metira.

“Baik. Di mana posisinya?” Davira segera mencari file tentang Ribby untuk mengenali wajahnya dan melihat lokasi yang telah dikirim oleh Familia lainnya atas perintah Metira.

“Lokasinya cukup jauh. Berapa lama lagi polisi tiba, Metira? Aku harus memperkirakan apakah aku tepat waktu.” Davira mengernyitkan dahi.

“Kamu punya waktu delapan menit. Ribby masih berbicara dengan penjebaknya.”

Gadis itu menatap jam di pergelangan tangannya. Tanpa berkata apa-apa lagi, ia segera melajukan motornya menuju lokasi Ribby. Saat ia melintas di jalan raya, bunyi klakson, umpatan, teriakan peringatan dan siulan menggoda terdengar saling tumpang tindih mengiringi liukan motornya di antara padatnya lalu lintas dan bersahajanya para pejalan kaki. Semua itu tak mampu menghentikan kendaraan Davira yang terus melesat layaknya anak panah. 

Motor terus melaju meski sudah memasuki area sekolah dasar bernama Sambora. Bahkan ketika sudah sampai di dalam koridor, motor itu terus meraung. Davira menemukan Ribby dan pria yang menjebaknya di belakang sekolah.

 “Diam! Atau ia kutembak!” Seorang pria beraroma nikotin mengacungkan pistolnya, menempel ke kepala Ribby ketika melihat Davira tiba. 

Ribby terkejut dan baru menyadari situasinya. “Tapi, aku hanya datang untuk mendaftarkan adikku di sekolah ini.” Ia menelan ludah susah payah.

“Kau kira aku bodoh? Aku tahu kau  sudah mengincar Daine beberapa hari ini. Aku penjaga sekolah yang punya otak. Berbeda denganmu. Kau hanya penculik dungu.”

 “Owh, jangan gegabah,” ujar Davira sembari melirik ke arah anak perempuan di belakang pria itu. Usianya sekitar tujuh tahun. Pria itu memberi kode agar anak tersebut pergi dari situ. Ia pun lari tunggang langgang menuju ke luar taman.

 “Letakkan pistolmu di tanah. Aku akan mengatakan pada polisi bahwa temanmu ini akan menculik siswa di sekolah ini dan kau berkomplot dengannya.” Penjaga sekolah itu benar-benar marah. Dicengkeramnya lengan Ribby dengan kuat. Sementara dari kejauhan terdengar suara sirene mobil polisi. 

 Sudah tak ada waktu lagi. 

Davira melangkah perlahan mendekati mereka. Pria itu terperangah.

“Berhenti kataku!” bentaknya. 

Gadis itu semakin dekat. “Tembak saja kepalanya. Kami sudah tak membutuhkan penculik dungu,” kata Davira dengan tenang. 

Rupanya ucapan Davira membuat si pria panik. Ia menarik pelatuk pistolnya.

 Doorr.

 Bukannya Ribby yang terkapar. Justru pria itu yang tergeletak dengan luka tembak di bahu. Rupanya ia kalah cepat dengan si gadis.

 Davira segera berlari ke arah motornya, menghidupkan mesin dan melesat ke arah Ribby. 

 “Naik!” perintahnya pada pemuda itu. Ribby segera naik di boncengan Davira dan motor itu langsung melesat melalui pintu pagar belakang yang langsung remuk karena ditabrak oleh kendaraan gadis itu.

  Sementara di halaman depan, mobil polisi baru tiba. Mereka selanjutnya hanya menemukan pria penjaga sekolah yang pingsan akibat tertembak. Motor Davira telah lenyap.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status