Makan malam bagi warga RB adalah momen di mana mereka dapat bertemu satu sama lain. Meski Genus dan Familia tidak dalam satu meja, tetapi mereka bisa saling melihat satu sama lain.
“Al, daging wagyu ini lembut sekali. Sangat beda dengan makanan di kampus. Aku senang makanan di sini enak-enak,” cengir Gio sembari memandangi daging pada garpunya.
“Ya, harus. Setiap tiga bulan sekali kita harus mendonorkan darah kita. Kalau nggak ditunjang dengan makanan bergizi seperti ini, kita bisa seperti zombie,” jawab Alvaro. Sembari mengunyah, irisnya mengitari ruangan. Terlihat para Ordo di bagian balkon yang makan menghadap ke arah mereka.
“Haha, nggak apa-apa deh jadi zombie. Aku pengen ngerasain daging Familia
15 jam sebelumnya. “Kau yakin sudah memberikan seluruh barang penyelidikan, Davira?” Iris Metira seakan ingin menelanjangi gadis itu. Davira menatap lurus ke meja, berusaha menyembunyikan wajahnya yang sedikit memucat akibat pertanyaan itu. “Sudah, Metira,” jawabnya.“Biar kubantu menggeledahnya, Metira,” seringai Haldis.“Bisa kau tutup mulut dulu, Haldis? Aku sedang berbicara dengan Davira,” bentak Metira Jovanka.Haldis bergeming dengan raut masam.“Aku ingin mengetahui apa yang sebenarnya mereka inginkan dan penelitian apa yang mereka kembangkan. Itu yang seharusnya kalian cari. Tapi setidaknya dengan semua barang petunjuk ini, aku jadi benar-benar tau bahwa mereka memang ada dan mengincar kita.”“Sia
Hari ini berbeda. Alvaro terlihat lebih sumringah dari biasanya. Senyum sesekali menghias rautnya yang biasanya dingin dan acuh. “Dean, aku siap gabung dengan tim basketmu.” Alvaro tiba-tiba mendatangi Dean dan berucap demikian. Spontan tim basket Dean bersorak. Mereka mengangkat tubuh Alvaro dan melambungkannya ke atas sembari berteriak. Meski kikuk, Alvaro mengurai senyum menerima perlakuan itu. Saat praktikum Entomologi, Alvaro membimbing teman-temannya dengan sabar dan teratur. Tak ada yang merasa diabaikan baik laki-laki mau pun perempuan. Dalam waktu sekejap, Alvaro mendapatkan tempat di hati para mahasiswa yang sejurusan atau di luar jurusan. Namun demikian, Alvaro menyadari ada yang mengawasi dirinya. Ia yakin bukan Davira orangnya karena gadis i
Alvaro tersenyum simpul mendengar jawaban Dokter Moreno. Ia mulai rileks demi melihat keramahan Dokter Moreno. “Saya benar-benar tidak mengerti kenapa Dokter ingin tahu tentang saya. Tapi baik, saya akan memberikan sebuah informasi dengan satu syarat, saya ingin Dokter menjawab sebuah pertanyaan dari saya.” “Baik, sepakat.” Dokter Moreno mengangkat jempolnya. Saat mereka saling sepakat itulah, terdengar teriakan di luar. “Toloooooong! Namura hilaaang!” Alvaro terperanjat dan segera menghambur ke luar. Di lorong panjang kampus, Sansan menangis histeris dikerumuni mahasiswa lain. Alvaro mengenal gadis itu juga gadis ya
Alvaro menarik wajahnya lalu berdiri. Kedekatan yang baru terbangun seketika memudar. Alvaro merasa Davira demikian asing di matanya. Ia berdiri cukup lama untuk memandangi Davira yang menunduk menekuri lantai. Menunggu kemarahan Alvaro yang meledak-ledak seperti biasanya. “Katakan sesuatu, Al,” lirih Davira hampir tak terdengar di telinganya. Lelaki itu tidak menjawab. Ia bahkan mundur dan melangkah mendekati jendela. Sekejap saja bayangannya menghilang. Baik Alvaro mau pun Davira tak menyadari, ada sepasang mata yang menyaksikan perjumpaan mereka.  
Pembicaraan kemping ke Balakosa Park sepertinya menjadi topik panas bagi mahasiswa semester lima. Apalagi ketika Dekan ketok palu bahwa yang berangkat sebanyak tiga jurusan, mahasiswa spontan menyambut dengan antusias. Maesa dan Selin, gadis-gadis yang pernah diselamatkan oleh Alvaro dari hantaman bola di lapangan basket masih rajin mengekor pada Alvaro. “Al, di bus nanti kami boleh duduk di sebelahmu, ya?” Maesa menangkupkan kedua telapak tangannnya di depan dada. “Please, Alvaro,” Selin ikut memohon. Alvaro menggeleng. Alvaro sekarang tak segalak yang dulu. Ia lebih bisa menghargai orang lain. “Aku duduk dengan Ferro,” tolaknya halus.&n
Alvaro dan teman-temannya berdecak kagum saat melihat areal Balakosa Park yang terbentang luas. Balakosa Park adalah sebuah camping ground dengan danau luas berwarna biru kehijauan berada di tengah-tengahnya. Pohon-pohon rindang berjajar di sekitarnya seakan menyembunyikan keberadaan danau tersebut. “Selamat datang di Balakosa Park. Salah satu camping ground terindah di pulau ini. Silakan memasang tenda kalian dan rapikan semua barang-barang. Jam satu siang kita akan makan bersama. Setelahnya kita akan ke danau dan sedikit berkeliling untuk melihat dan mempelajari sekitar kita.” Pak Son memberikan beberapa intruksi termasuk beberapa larangan dalam berkemah.“Untuk nanti malam, jam sebelas kalian sudah harus masuk dalam tenda masing-masing. Tidak boleh ada yang berkeliaran lagi,” terang Pak Son lagi.Setelah selesai diberi peng
Malam mulai merangkak naik. Tak bisa dipungkiri, mimpi tentang Ribby dan rencana berburu Spesies baru mengganggu mood Alvaro. Ia lebih banyak diam dan sulit fokus mengikuti agenda kegiatan. Raes dan teman-temannya dengan riang bernyanyi di tengah-tengah lapangan diiringi petikan gitar Dean. Gio berbicara santai dengan Ferro sambil menikmati menu barbeku. Api unggun terus-menerus ditambah kayu bakar. Alvaro meragukan para mahasiswa ini sudi mengikuti perintah Pak Son untuk masuk ke tenda tepat pukul sebelas. Maesa dan Selin, dua gadis itu terlihat sangat ceria malam ini. Tertawa cekikikan dengan cokelat panas di tangan dan duduk menjelepok di rerumputan. Jauh dari kesan orang kaya manja seperti yang biasa terlihat di kampus. Alvaro menghela napas. Ia merasa bersalah sempat berfikir menargetkan kedua gadis itu sebagai Spesies baru. Tapi jika b
Mendengar jeritan histeris Maesa dan Selin, Alvaro berlari mendekat. Herannya, tak satu pun dari anggota kemping yang terbangun selain mereka bertiga dengan jeritan sekeras itu. Pandangan Alvaro langsung tertuju pada danau. Pemuda itu segera sadar, hal apa yang membuat kedua gadis tersebut panik. Sesosok mayat terapung di tepi danau, tepat di sisi mereka. Kondisinya mengenaskan dengan posisi wajah ke atas. Jantung Alvaro mencelus. Di bawah sinar rembulan dan cahaya senternya, Alvaro mengenali mayat itu. "Ribby,” desis Alvaro. dadanya bagai diremas dan ia hampir tak mampu bernapas. Lututnya lemas demi melihat mayat Ribby. Seluruh tubuh mayat itu bengkak dan menghitam. Alvaro menjatuhkan diri di rerumputan. Merapatkan tubuhnya hingga menempel pada tepi danau dan berupaya menggapai jasad itu. Saat itulah ia mendengar ada suara di belakangnya. “Aaa