Alvaro menarik wajahnya lalu berdiri. Kedekatan yang baru terbangun seketika memudar. Alvaro merasa Davira demikian asing di matanya. Ia berdiri cukup lama untuk memandangi Davira yang menunduk menekuri lantai. Menunggu kemarahan Alvaro yang meledak-ledak seperti biasanya.
“Katakan sesuatu, Al,” lirih Davira hampir tak terdengar di telinganya.
Lelaki itu tidak menjawab. Ia bahkan mundur dan melangkah mendekati jendela. Sekejap saja bayangannya menghilang.
Baik Alvaro mau pun Davira tak menyadari, ada sepasang mata yang menyaksikan perjumpaan mereka.
 
Pembicaraan kemping ke Balakosa Park sepertinya menjadi topik panas bagi mahasiswa semester lima. Apalagi ketika Dekan ketok palu bahwa yang berangkat sebanyak tiga jurusan, mahasiswa spontan menyambut dengan antusias. Maesa dan Selin, gadis-gadis yang pernah diselamatkan oleh Alvaro dari hantaman bola di lapangan basket masih rajin mengekor pada Alvaro. “Al, di bus nanti kami boleh duduk di sebelahmu, ya?” Maesa menangkupkan kedua telapak tangannnya di depan dada. “Please, Alvaro,” Selin ikut memohon. Alvaro menggeleng. Alvaro sekarang tak segalak yang dulu. Ia lebih bisa menghargai orang lain. “Aku duduk dengan Ferro,” tolaknya halus.&n
Alvaro dan teman-temannya berdecak kagum saat melihat areal Balakosa Park yang terbentang luas. Balakosa Park adalah sebuah camping ground dengan danau luas berwarna biru kehijauan berada di tengah-tengahnya. Pohon-pohon rindang berjajar di sekitarnya seakan menyembunyikan keberadaan danau tersebut. “Selamat datang di Balakosa Park. Salah satu camping ground terindah di pulau ini. Silakan memasang tenda kalian dan rapikan semua barang-barang. Jam satu siang kita akan makan bersama. Setelahnya kita akan ke danau dan sedikit berkeliling untuk melihat dan mempelajari sekitar kita.” Pak Son memberikan beberapa intruksi termasuk beberapa larangan dalam berkemah.“Untuk nanti malam, jam sebelas kalian sudah harus masuk dalam tenda masing-masing. Tidak boleh ada yang berkeliaran lagi,” terang Pak Son lagi.Setelah selesai diberi peng
Malam mulai merangkak naik. Tak bisa dipungkiri, mimpi tentang Ribby dan rencana berburu Spesies baru mengganggu mood Alvaro. Ia lebih banyak diam dan sulit fokus mengikuti agenda kegiatan. Raes dan teman-temannya dengan riang bernyanyi di tengah-tengah lapangan diiringi petikan gitar Dean. Gio berbicara santai dengan Ferro sambil menikmati menu barbeku. Api unggun terus-menerus ditambah kayu bakar. Alvaro meragukan para mahasiswa ini sudi mengikuti perintah Pak Son untuk masuk ke tenda tepat pukul sebelas. Maesa dan Selin, dua gadis itu terlihat sangat ceria malam ini. Tertawa cekikikan dengan cokelat panas di tangan dan duduk menjelepok di rerumputan. Jauh dari kesan orang kaya manja seperti yang biasa terlihat di kampus. Alvaro menghela napas. Ia merasa bersalah sempat berfikir menargetkan kedua gadis itu sebagai Spesies baru. Tapi jika b
Mendengar jeritan histeris Maesa dan Selin, Alvaro berlari mendekat. Herannya, tak satu pun dari anggota kemping yang terbangun selain mereka bertiga dengan jeritan sekeras itu. Pandangan Alvaro langsung tertuju pada danau. Pemuda itu segera sadar, hal apa yang membuat kedua gadis tersebut panik. Sesosok mayat terapung di tepi danau, tepat di sisi mereka. Kondisinya mengenaskan dengan posisi wajah ke atas. Jantung Alvaro mencelus. Di bawah sinar rembulan dan cahaya senternya, Alvaro mengenali mayat itu. "Ribby,” desis Alvaro. dadanya bagai diremas dan ia hampir tak mampu bernapas. Lututnya lemas demi melihat mayat Ribby. Seluruh tubuh mayat itu bengkak dan menghitam. Alvaro menjatuhkan diri di rerumputan. Merapatkan tubuhnya hingga menempel pada tepi danau dan berupaya menggapai jasad itu. Saat itulah ia mendengar ada suara di belakangnya. “Aaa
Lelaki itu merasakan tubuhnya seringan kapas. Ada lagu yang dimainkan berulang kali dalam kepalanya seolah tak mau pergi. Itu adalah lagu yang ia dengar saat masih bocah di restoran Boobsger. Tempat ia mengamati target Spesies. Rambut ikalnya jatuh di kening dan ia sangat ingin menyingkirkan. Tapi tangannya begitu kebas. Bahkan matanya tak sanggup terbuka sedikit pun seakan terbuat dari logam yang berat. “Hai, sepertinya dia sudah sadar. Apakah kita perlu membawanya ke Bos?” terdengar suara seseorang. “Jangan. Kita harus memastikan jenis darahnya sebelum dia dipindahkan,” timpal yang lain. “Aku pikir dia sudah diidentifikasi. Berarti keistimewaan dia masih isu,” sungut orang pertama. “Bisakah kau tidak berisik? Kita hanya perlu mematuhi peraturan. Titik.” Tegas suara orang kedua. Lelaki itu, yang ternyata Alvaro hanya diam mendengarkan. Lagu di kepalanya mulai sirna. Ia mulai bisa menyadari apa yang terjadi. Entah seberapa banyak b
“Kenapa kau nekat menghubungiku?” Angin kencang meniup rambut ekor kuda gadis itu. Sol sepatunya menginjak ranting dan menimbulkan suara gemeretak. “Entahlah. Aku liat kamu cukup dekat dengan Alvaro. Aku hanya nggak ingin kehilangan seorang teman lagi setelah Ribby pergi.” “Kamu datang pada orang yang salah. Aku nggak sedekat itu.” Gadis itu mengangkat bahu. “Kumohon. Aku tau kamu sangat peduli pada Alvaro. Kenapa sekarang tidak?” Gio menatap sungguh-sungguh. “Siapa bilang aku peduli?” Gadis itu menaikkan alis. Tenang seperti biasa, “Kamu peduli, Dav. Sangat peduli. Karena aku membersam
Kebebasan, mungkin memang tak pernah menjadi miliknya. Tapi diculik oleh orang yang tak ia kenal jauh lebih buruk. Alvaro memandangi dua lelaki yang masih mengamati objek darahnya sambil memikirkan cara untuk kabur. Irisnya menyusuri sekitar ranjang, siapa tahu ada benda berujung tajam yang bisa membantunya melepaskan diri. Pintu di sisinya terbuka. Tiga orang berpakaian ala militer melangkah masuk. “Bagaimana hasil pemeriksaan? Apakah sesuai?” tanya salah satu dari mereka. Mores mengangguk. Menepi, mempersilakan orang yang bertanya melihat objek di bawah mikroskop. Lelaki tersebut mengamati sesaat lalu menoleh, memberi isyarat pada kedua lelaki yang datang bersamanya. “Kami akan membawanya ke ruang ma
“Cepat turun, Dav! Bawa Spesies itu! Kami menyusul!” teriak Vena. Dia adalah salah satu Familia perempuan selain Davira. Lantai di bawah Alvaro serasa bergetar. Ia masih berada di bawah pengaruh obat bius. Ketika berlari layaknya kesetanan tadi, suara angin seperti gemuruh di telinganya. Ia menangkap keraguan Davira untuk meninggalkan anggota Familia yang lain. “Cepat!” Vena mendorong bahu Davira. Davira melemparkan senapannya yang telah kehabisan peluru. Tak ada pilihan lain, ia menarik Alvaro dan Gio, menuntun mereka turun menggunakan tali. Alvaro hampir merasa lega saat tiba di balkon bawah. Tapi seorang lelaki berpakaian militer tiba-tiba muncul di hadapan mereka. lelaki itu memegang pistol dan mengarahkannya ke dahi Alvaro, melirik Davira dan Gio bergantian. &n
Alvaro berbaring di samping Davira. Mereka bertatapan, tersenyum canggung. Jemarinya mengelus pipi halus Davira. “Maaf, aku tak menanyakan kesiapanmu. Ini menjadi tak seromantis yang diinginkan oleh setiap wanita.” sesal Alvaro. “Apa yang diinginkan oleh setiap wanita?” Davira tersenyum. “Aku tahu hari itu akan tiba. Hari di mana aku menjadi istri sesungguhnya. Aku sudah cukup siap.” “Kau membuatnya menjadi seperti melakukan kewajiban saja. Aku suami yang buruk.” Alvaro megerang. Elusannya di pipi Davira terhenti.” “Tidak, bukan begitu. Itu sangat luar biasa, sungguh.” Davira meremas tangan Alvaro, cemas oleh kekecewaan yang tergurat di wajah kekasihnya. “Meski rasanya aneh karena kita sangat terburu-buru. Tiba-tiba saja aku menjadi berbeda dan ada sesuatu yang menggelegak di tubuhku dan menuntut untuk dipenuhi.” Ucapan itu membuat Alvaro tersentak. Ia pun memikirkan hal yang sama. “Kau benar, Vira. Aku menjadi sangat bergairah sejak memasuki ka
Alvaro dan Davira tak pernah menyangka bahwa di Rumah Berwarna ada kamar seluas dan seindah itu. Lantainya mengkilat dan separuhnya ditutupi dengan karpet empuk dan tebal berwarna hijau mint. Ranjang di tengah ruangan berukuran king ditutupi seprei lembut dan wangi. Di dalamnya terdapat kamar mandi dengan bath up yang besar. “Aku tak percaya bahwa kita masih menginjakkan kaki di RB. Ini sangat kontras dengan seluruh ruangan di RB yang kaku dan hanya berwarna silver,” ucap Davira meraba furniture dan seprei dengan hati-hati. “Kau salah. Seharusnya justru kamar ini representasi dari RB. RB itu artinya rumah berwarna. Tapi kenyataannya, tak ada warna dalam kehidupan RB. Kita tak dibiarkan memilih ‘warna’ kita sendiri.” Alvaro bersungut-sungut. Mengerjapkan mata, Davira tersadar Alvaro masih kesal. Sebuah kulkas berwarna merah elegan menarik perhatiannya. Ia menuju ke sana, membuka pintunya dan melongok isinya. Sebotol air dingin, sirup lemon dan bua
Perempuan itu sedang menatap layar laptopnya saat Alvaro dan Davira menyerbu masuk ke ruangan kerjanya. Di belakangnya, petugas keamanan tergesa mengikuti. “Maaf Metira, saya sudah menahan mereka tapi mereka memaksa masuk,” ucap petugas itu khawatir. Sebagai jawaban, Metira menggeleng dan memberi isyarat agar petugas itu pergi. “Hai, kalian rindu padaku? Terima kasih akhirnya kalian mau mendatangi ibu kalian ini,” sindirnya. Senyum sinis terukir di bibirnya. “Tak perlu basa-basi. Kembalikan gadis itu. Kau menginginkanku. Bukan dia,” sergah Davira, kesal. “Aku menginginkanmu?” Metira mengangkat alisnya. “Yang tepat adalah, aku menginginkan kalian. Kau dan terutama Alvaro.” “Aku tahu. Kau butuh darahku dan ketangguhan Davira,” timpal Alvaro tanpa menyembunyikan kekesalannya. “Ya.” Metira menjetikkan jari. “Jika kemurnian darah Alvaro bisa didapat dengan keturunan, maka aku mau kalian punya anak. Generasi yan
Davira memerhatikan garis pembatas putih di jalan raya. Ia tak bicara sepatah kata pun selama di mobil. Saat mengisi bahan bakar, Alvaro mampir ke mini market dan membelikan air mineral dingin untuknya. Davira menerimanya dalam diam tapi kemudian ia sadar, Alvaro mengkhawatirkan dirinya. “Hai, apa kau pikir reaksiku tadi berlebihan?” tanyanya sedikit malu. Alvaro menatapnya lembut. “Aku tahu. Tak apa. Kau panik. Kau tak suka dengan seseorang yang terlalu banyak bicara apalagi itu mengenai sesuatu tentangmu.” Davira mengangkat kepalanya. “Selama sembilan belas tahun aku bertanya-tanya, apa di luar sana aku memiliki keluarga? Seperti apa mereka? apakah rambutnya selurus rambutku dan bola matanya coklat sepertiku? Dan apa yang ia katakan tadi ….” Napas Davira tercekat.“Adalah jawaban yang selama ini aku cari. Aku tak siap. Fakta tentang saudara kembarnya yang hilang saat berumur tiga tahun dan itu adalah usia saat aku diculik. Warna biru itu ….” Ia
Apa yang akan dilakukan seseorang ketika bertemu dengan orang yang begitu mirip dengannya? Apakah ia akan antusias bertanya berasal dari mana ia? Siapa namanya? Mengapa mereka bisa memiliki tekstur rambut dan gigi yang sama seolah Tuhan menuangkan mereka pada cetakan yang sama? Alih-alih melemparkan semua pertanyaan itu, Davira justru duduk menatap perempuan di depannya dengan senyuman kaku. Meski ia mengenal dirinya seorang yang cukup mudah bergaul. Dulu, dulu sekali, kemampuannya itu ia gunakan untuk mendapatkan Spesies dengan mudah. Itu sebabnya Metira bangga padanya. Mengingatnya justru memperburuk keadaan. Perasaan aneh yang karib tadi hadir semakin kuat. “Aku Davira. Maaf ya, aku biasanya tak secanggung ini terhadap orang baru. Tapi kita benar-benar mirip … meski kuakui kau lebih lembut atau feminin? Ah semacam itu.” Davira berusaha mencairkan suasana dan tertawa. Geisha ikut tertawa lirih. “Tapi lekuk tubuhmu lebih feminin. Kau pasti seo
“Hai, sudah berapa lama kau temukan kafe ini? Minumannya enak.” Davira menyeruput es kopinya dengan nikmat. “Aku baru sekali ke sini. Dean yang mengajakku,” jawab Alvaro. Tubuhnya condong ke depan dan lagi-lagi ia melirik meja bar.“Kulihat kau gelisah dari tadi. Kenapa, Al?” Alis Davira terangkat, menyentuh jemari Alvaro. Lelaki itu sudah dari setengah jam yang lalu terus-menerus menatap ke sekeliling mereka. Bahkan pelayan yang menyajikan pesanan mereka tadi, Alvaro tatap berkali-kali. Alvaro meringis, menggeleng pelan. “Nggak. Nggak ada masalah,” jawabnya kikuk. Dielusnya jemari Davira yang berada di atas meja untuk meyakinkan perempuan itu, sementara pupilnya tetap bergerak-gerak gelisah. “Ada yang kau tunggu, Al? Dean?” “Nggak. Sudahlah, aku ke toilet dulu, ya.” Alvaro buru-buru berdiri, menghindar dari pertanyaan Davira dengan melangkah cepat, meninggalkan perempuan itu. Davira menggigit-gigit sedotan minumannya. Aura kegelisaha
Melangkah menuju mobil, Metira memegangi ujung topi bulat pada bagian depan agar wajahnya lebih tersembunyi. Ia tak suka wajahnya diketahui orang dan dihubungkan dengan peristiwa di kampus beberapa bulan yang lalu. Saat sampai di mobil, ia dengan segera melempar topinya ke jok penumpang, memperbaiki kaca spion untuk melihat rumah mungil di belakangnya. Ia tahu pemuda itu tadi ada di sana, di ruangan itu, saat ia berbicara dengan Davira. Ia sengaja menyinggung masa lalu Davira agar pemuda itu terusik. Metira akhirnya tersenyum penuh kemenangan. *** Meski pemuda itu sudah berusaha berubah menjadi lebih penyabar, bayangan Alvaro yang marah tetap mendominasi benaknya. Davira langsung berbalik dan bergegas mengambil apron, menyibukkan diri di dapur. “Kau sudah lama pulangnya? Biasanya kau langsung menemuiku setiap kali pulang ke rumah. Pasti karena lapar, ya?” oceh Davira. Ia
Suara ketukan di pintu seolah palu godam yang menghantam kepala Davira. Saat matanya terbuka dan kesadaran menyentaknya, ia pun menyadari bahwa suara menggelegar itu hanya ada di mimpinya. Pada kenyataannya, ketukan itu terdengar lembut dan berirama. Segera diraihnya pistol dari laci dan berjingkat menuruni anak tangga menuju lantai bawah. Meski ia sudah menduga siapa pemilik ketukan berirama itu, ia tetap harus waspada. Sambil mengintip keluar, Davira mengarahkan pistolnya ke pintu sementara sebelah tangannya membuka slot. Namun saat melihat yang datang adalah sosok sesuai dugaannya, Davira menurunkan pistol dan menyembunyikannya dipinggang. Sosok yang dimaksud adalah seorang perempuan berambut cokelat ikal dengan topi lebar yang hampir menutup seluruh wajahnya. “Hai, kau merindukanku, Dav?” sapa perempuan itu dan langsung menyelinap masuk. Davira menutup pintu di belakangnya dan mengikuti langkah perempuan itu dengan wajah kusut. “
Tubuh ramping berbalut setelan peach bermotif kupu-kupu. Rambut panjangnya dibiarkan tergerai menutupi punggung. Alvaro terdorong untuk mendekat dan berdiri di sisi perempuan itu. Ia sedang mencatat pesanan pelanggan dan bagian depan tubuhnya ditutupi celemek. Gerakannya anggun dan sangat gemulai.Alvaro berharap perempuan itu segera menoleh dan menjelaskan alasan kenapa ia berada di sini dan bekerja sebagai pelayan. Namun harapan itu memudar seiring perasaan asing yang merambat di benaknya. Ia seolah tak pernah mengenal perempuan itu.Berbalik dan duduk kembali bersama Dean dan yang lain, menunggu perempuan itu yang mendatanginya. Keputusan itu baru akan diambil Alvaro. Belum sempat ia berbalik, perempuan itu menoleh dan tersenyum.Titik pandang mereka bertemu. Perempuan muda itu nyaris sama dengan Davira. Tinggi tubuh, warna kulit, hingga raut wajah. Alvaro saja sampai terperangah dibuatnya.“Hai, teman, di mana tempat dudukmu? Di sana masih kosong. Aku antar, yuk. Sekalia