“Cepat turun, Dav! Bawa Spesies itu! Kami menyusul!” teriak Vena. Dia adalah salah satu Familia perempuan selain Davira.
Lantai di bawah Alvaro serasa bergetar. Ia masih berada di bawah pengaruh obat bius. Ketika berlari layaknya kesetanan tadi, suara angin seperti gemuruh di telinganya. Ia menangkap keraguan Davira untuk meninggalkan anggota Familia yang lain.
“Cepat!” Vena mendorong bahu Davira.
Davira melemparkan senapannya yang telah kehabisan peluru. Tak ada pilihan lain, ia menarik Alvaro dan Gio, menuntun mereka turun menggunakan tali. Alvaro hampir merasa lega saat tiba di balkon bawah. Tapi seorang lelaki berpakaian militer tiba-tiba muncul di hadapan mereka. lelaki itu memegang pistol dan mengarahkannya ke dahi Alvaro, melirik Davira dan Gio bergantian.
&n
Sebuah ketukan di pintu. Alvaro membuka mata. Sudah tiga hari ia dirawat di klinik RB. Berharap Davira berdiri di ambangnya sekadar melihat keadaannya. Tapi ternyata tidak, seraut Gio yang muncul dari balik pintu. “Hai, gimana keadaanmu? Merasa baikan?” Gio melangkah masuk dan meremas bahunya. “Sudah tiga hari di sini. Apa aku terlihat baik-baik saja?” Alvaro meringis. Infus di tangannya bergoyang. Gio tertawa. “Nikmati ajalah. Jarang-jarang bisa bersantai tanpa ada target mendapatkan Spesies dan memikirkan tugas kuliah,” candanya. Tapi frasa Spesies agaknya masih sensitif untuk Alvaro. Pemuda itu terdiam, menerawang kejadian di Balakosa Park. “Ha
Tak banyak orang yang tau tentang keberadaan Lembah Ceruk Batu. Letaknya di tengah bukit dan di kelilingi oleh batu-batu cadas dan pepohonan rimbun. Hanya lima puluh meter dari lembah, sebuah mata air mengalir dari celah-celah bebatuan. “Sudah kuduga, kamu pasti ada di sini.” Alvaro melompat di antara bebatuan. Davira mencibir. “Jangan sok menduga. Aku tau kamu mengikutiku,” tandasnya. Batu yang ia duduki datar dan berukuran besar. Cahaya matahari menimpa kulitnya yang berkilau akibat peluh. “Kamu yang duluan mengikutiku ke kampus,” Alvaro memutar matanya. “Tugasku memastikanmu aman setelah penculikan itu.”&n
Rumah makan cepat saji Boobsger hari ini sepi pengunjung. Hanya ada lima orang pelanggan termasuk Alvaro. Pemuda itu menatap jam di pergelangan tangannya. “Tepat jam sebelas. Kamu gadis yang sangat disiplin. Familia sejati,” puji Alvaro begitu melihat sosok Davira datang dengan senyum menawan. Seperti biasa, gadis itu terlihat segar tanpa make up dalam penampilan casualnya. Davira melebarkan senyumnya. Memesan coffee latte dan duduk di hadapan pemuda itu. “Ngajak ketemuan jam segini. Ketahuan kamu bolos.” Davira menyesap kopinya perlahan. “Nggak apa-apa. Dosenku pengertian,” jawab Alvaro seenaknya. Tak ingin melepaskan momen itu, Alvaro segera m
Davira muncul empat hari kemudian ke hadapan Alvaro di taman samping Rumah Berwarna dengan rambut tergerai. Tubuhnya dibalut dress putih bermotif bunga-bunga kecil. Anggun dan sangat menawan. Alvaro tercengang, hampir tak mengenalinya. Tapi sorot tenang dan percaya diri yang terpancar di mata gadis itu meyakinkan Alvaro, itu adalah gadis yang sama dengan yang ia jumpai di Boobsger. “Kenapa kamu merubah penampilanmu?” selidik Alvaro. Ia menoleh ke kanan dan ke kiri untuk memastikan tak ada penjaga. “Setelah berita kriminal tempo hari, aku merasa seseorang terus membuntutiku. Ini membahayakan RB. Jadi aku merubah penampilanku saat keluar.” “Kamu bukan seperti Davira. Tapi seperti kembarannya.” Alvaro tersenyum, m
Serentak semua orang yang berada dalam ruangan itu menoleh keluar. Bocah-bocah panti berlarian menuju pintu. Penjaga masih bersungut-sungut mengawasi sepasang muda mudi itu. Alvaro segera paham situasi. Dia mempererat genggamannya pada jemari Davira. “Maaf, Pak. Kami baru jadian. Di panti ini banyak yang mengawasi, jadi kami bersembunyi di situ. Yah, kukira itu tempat yang aman karena pepohonannya rimbun. Ternyata ah, aku salah. Maaf, kami tidak akan berkencan di sekitar sini lagi.” Alvaro menggaruk belakang telinganya. Davira terkejut dengan pernyataan Alvaro. Namun segera gadis itu menunduk, memasang raut malu-malu. “Maaf Metira, sudah kubilang padanya, jangan di situ. Lihatlah, adik-adik ini ikut menonton kita,” ungkapnya. “Maaf, Sayang.” S
Jantung Alvaro seolah hendak melompat keluar dari kerongkongan mendengar ucapan Metira. Davira bahkan berpegangan pada kursi agar tak limbung. Ucapan Metira membuat jantung keduanya berdetak lebih cepat. “Me-mengapa harus menikah?” Alvaro gagap seketika. “Ya, nggak harus seekstrim itu juga, ‘kan?” Raut Davira memucat. Metira menyilangkan kedua tangannya di depan dada. “Ya, harus. Misi ini harus sempurna.” Perempuan itu mengerjap. “Bukankah kau ingin mengetahui alasan Simurgh Sajm menculikmu dan alasan kami mempertahankanmu, Alvaro?” Hening. Alvaro mengangguk pelan. “Bukankah kau
Davira menatap keluar jendela dengan gelisah. Ia gadis yang tenang, tapi tidak kali ini. Cincin pernikahan yang baru disematkan Alvaro di jari manisnya sudah puluhan kali ia putar-putar dengan telunjuk dan jempolnya. Alvaro bukannya tidak memperhatikan. Ia juga tak kalah gugup. Ia senang Davira bisa sering bersamanya nanti. Tapi umurnya baru sembilan belas tahun dan ia tak punya banyak pengalaman menghadapi perempuan, apalagi seorang istri. “Bisakah kamu menghentikan gerakanmu itu, Dav? Kamu perempuan paling tenang yang pernah aku temui. Menyusup ke dalam sarang musuh dan dikeroyok saja kamu bisa lakukan dengan bibir tersenyum. Kenapa saat ini tidak? Ini mengganggu konsentrasi menyetirku,” kata Alvaro. “Ah, sialan kau, Alvaro. ini jauh lebih menegangkan dari pada misi-misi sebelumnya. Aku tak pernah membayangk
Davira terdengar seperti kesulitan bernapas saat melanjutkan ceritanya. “Aku pernah memiliki teman sekamar. Di Familia, ia bertugas menjadi seorang pemburu. Kamu tahu pemburu? Mereka adalah Familia yang berada dalam mobil untuk menjemput Spesies saat kita menekan tombol pemanggil. Setiap malam ia bermimpi buruk. Melihat anak-anak meraung, mengerumuninya. Akhirnya ia memutuskan untuk selalu terjaga. Kelelahan dan rasa bersalah yang dalam menyiksanya. Suatu hari, saat aku ke kamar selesai bertugas, aku menemukannya ….” Davira memucat. “… menemukan tubuhnya tergantung di langit-langit kamar. Ia depresi dan mengakhiri hidup. Itu mengerikan sekaligus menyakitkan.” Tatapan Davira hampa. “Kami takut menikah apalagi memiliki anak. Kami dibayang-bayangi akan adanya karma bahwa anak kami akan mendapatkan balasan yang sama. Hidup normal itu terdengar seperti omong kosong.” Alvaro mengelus punggung perempuan itu untuk menenangkannya. “Sebenarnya, tanpa pernikahan i