“Balakosa Park?!” pekik Davira melihat tempat yang dikatakan indah oleh Alvaro. Sebuah danau terbentang, di kelilingi pepohonan rindang yang rantingnya menjulur rendah, seolah siap merangkul siapa saja yang berteduh di bawahnya. Hamparan bunga berwarna-warni tumbuh di sebelah luarnya. Mau tak mau Davira harus mengakui tempat itu memang indah. Ada beberapa pasangan dan keluarga yang berada di sana selain mereka. Davira merasakan dadanya menghangat. Ia tersadar Alvaro sedang menggenggam jemarinya cukup erat. Tatapan Alvaro lekat pada tepi danau, tepat pada lokasi ditemukannya Ribby dan tempat ia diculik. “Al,” panggil Davira lembut. “Kau tak perlu mengajakku ke sini kalau kau belum siap. Masih banyak tempat indah yang lain,” bisiknya. Alvaro menggeleng. Ia menarik Davira lebih dekat ke lokasi tersebut dan mulai menggelar karpetnya di sana. Davira menghela napas lalu membantu Alvaro menata perbekalan. “Aku harus melawan setiap ketakutanku.
“Dari mana kamu kenal orang ini, Al?” tanya Davira. mereka kini berada dalam mobil. Davira duduk di jok belakang bersama lelaki yang diburunya sementara Alvaro berada di belakang kemudi. “Dia, salah satu dosenku. Dokter Moreno. Tapi aku belum mengambil mata kuliahnya.” Alvaro mengamati lelaki itu melalui spion mobil. Ia yakin betul lelaki itu Dokter Moreno. “Jadi, Anda sekarang sudah berganti nama, Dok?” “Aku tidak berganti nama. Ario itu namaku. Moreno juga namaku. Lengkapnya Ario Moreno. Kau yang tidak teliti, Alvaro.” Lelaki itu bersungut-sungut. Melepas kacamatanya, mengelap dan memakainya kembali. “Hah? Iya aku ingat sekarang! Aku melihat nama Anda di diktat kuliah Anda yang ada di perpustakaan!” seru Alvaro. “Aku sering memperhatikanmu, tapi kau tak memperhatikanku, Alvaro.” Dokter Moreno memutar matanya. “Dokter Ario eh Moreno, ah terserahlah. Kenapa Anda memperhatikan Alvaro? Apa ia terlalu menyolok?” selidik
Sebuah ketukan di pintu. Di baliknya, muncul wanita berpiyama. Tampak cemberut saat melihat Moreno muncul dengan wajah kusut. “Kenapa pulangnya telat? Kasihan Dhia menunggumu dari tadi. Dia udah nggak sabar liat foto-fotonya,” gerutunya. “Mohon maaf tadi aku ketemu teman lama. Sepertinya, kau juga mengenal mereka,” lirih Moreno. Tubuhnya bergeser dan terlihatlah dua tamu yang ia bawa. Alvaro dan Davira. Semula wanita itu tersenyum samar saat melihat Alvaro. Namun saat melihat Davira, senyumnya luruh dan tubuhnya gemetar. “Kenapa kau membawa mereka ke sini, Reno?” Wanita itu terkejut. “Dokter Shara?” Alvaro mengerutkan dahi. “Kalian suami istri?”Belum habis keterkejutan Alvaro, seorang bocah perempuan muncul dari belakang wanita itu. “Papa sudah pulang? Mana foto-fotonya? Aku ingin lihat, Pa,” ujarnya. Wajahnya yang mirip Dokter Moreno semringah. Alvaro termangu. Davira bahkan kehilangan kata-kata. “Tolong jangan ganggu kelua
Jika boleh memilih, Alvaro ingin menjadi seorang yang biasa-biasa saja. Bukan manusia langka yang keberadaannya bahkan diperebutkan oleh dunia. “Apa artinya, Dok? Apa istimewanya?” tanya Alvaro. “Darahmu memiliki Rhesus Null atau Rh Null yang artinya bisa cocok dengan semua orang dan semua DNA. Maka jika ada orang yang memiliki kelainan genetika atau kelainan darah, maka sumbangan darahmu akan sangat berharga bagi mereka. Intinya, dengan darahmu, kau bisa menyelamatkan banyak orang, Alvaro.” Kata-kata Dokter Moreno mengalir dengan penuh tekanan. “Lalu, bagaimana jika Alvaro yang membutuhkan darah? Tipe darah apa yang bisa membantunya?” tanya Davira hati-hati. “Darah dengan tipe Golden Blood sangat langka. Hanya ada sekitar dua puluh tiga manusia. Belum ada kabar apakah sudah ada yang meninggal. Jika ada, maka jumlahnya pasti akan lebih kecil dari itu. Jadi saranku ….” Dokter Moreno menjilat bibirnya yang kering. “Ia harus lebih berhati
Alvaro menarik tubuh Davira untuk mendekat. Davira berbau udara segar dan musk. Rambutnya terasa masih basah di tangan Alvaro. Matanya yang selalu terbuka, menelisik dan waspada meredup. Alvaro tergoda. Tapi ia tersadar. Ia tak bisa bersama Davira hanya untuk melupakan rasa sedih. Lelaki itu beringsut menjauh. Untuk beberapa saat, mereka terbaring memandang langit-langit kamar dalam diam. “Maaf,” kata Alvaro. Davira menjawab dengan lembut. “Jangan minta maaf.” Ia menoleh. “Kau akan baik-baik saja.” “Kita akan baik-baik saja,” tegas Alvaro. “Ya, kita.” Davira mengangguk. Alvaro mendekat kembali. Meletakkan kepala Davira di lengannya dengan pelan. “Kumohon satu hal, berhentilah merasa bersalah karena telah menculikku,” ucapnya hati-hati. Pupil Davira melebar. Ia membuat gerakan seolah ingin bangun tapi Alvaro menahan bahunya sehingga ia tetap berbaring dengan dada turun naik. Ia tak ingin menangis. Tapi bera
Hari ini Kamis. Alvaro bangun lebih awal. Davira sudah tidak ada di sisinya. Ia ke dapur dan melihat ke arah taman yang terhubung ke dapur melalui sebuah jendela kaca berukuran besar. Davira sedang melakukan latihan ketangkasan. Alvaro mengunyah roti buatan Davira dengan cepat. Davira masuk ke dapur dan terheran-heran. “Kamu sudah mandi? Mau kemana?” Alvaro tak menjawab. Ia mengelap bibir dan bangkit. Lengannya melingkari pinggang Davira. Davira berkeringat tapi ia tak merasa risih. “Ikutlah. Aku membuat sebuah keputusan.” “Apa?” “Aku akan ke rumah Dhia,” kata Alvaro. Davira terbelalak dan tertawa senang. “Kamu membuat moodku sangat baik,” pujinya. “Oh, tentu saja itu bukan karena Dhia. Itu pasti karena pernyataanku semalam.” Alvaro mengedipkan mata. “Tentu saja karena Dhia.” Davira mencibir. “Tolong jangan ge-er.” “Ah, masa’?” Alvaro pura-pura kaget. “Latihannya sampai sepagi itu. Pasti nggak bisa
Di hadapan Alvaro, tiga air terjun berada dalam satu lokasi. Airnya yang tertimpa matahari berkilauan. Alvaro tak pernah tau ternyata lembah Ceruk Batu memiliki air terjun seindah ini. “Jangan ke sana! Ada hal yang lebih penting,” ucap Davira saat melihat gelagat Alvaro yang ingin mendekat ke air terjun. Davira berjalan ke samping air terjun yang ditutupi pepohonan rindang dan menyibaknya.Tubuh Dokter Moreno dan Dokter Shara seketika menegang, gemetar.“Shara, syukurlah, ternyata mereka yang datang!” seru Dokter Moreno gembira saat melihat yang datang adalah Alvaro dan Davira.“Aku sudah sangat pesimis kalian akan datang.” Dokter Shara menahan tangis. Ragu-ragu Dokter Shara memegang lengan Davira mengingat perempuan itu seorang Familia. Tapi saat Davira memeluknya, isaknya pecah. “Apa yang terjadi? Kenapa Dhia?” tanya Alvaro saat melihat Dhia dalam pelukan ayahnya, terkulai. “Sudah beberapa hari ini aku merasa ada yang mengawasi kami. Puncaknya
Lelaki itu berdiri tegak menatap lukisan burung Phoenix besar yang terbentang di hadapannya. Di bawahnya tertulis sebuah nama yang ditulis dengan bahasa Persia. Simurgh Sajm. Lelaki itu menyeringai, puas dengan pencapaian yang ia peroleh selama ini. Menjadi pemimpin sebuah organisasi besar dalam usia muda. Lamunannya terhenti saat mendengar ketukan di pintu. “Masuk,” perintahnya. Asistennya sudah memberi tahu siapa yang akan datang. “Wajahmu sangat tak enak dipandang, Bass. Kau harus banyak-banyak bercermin biar tahu sejelek apa wajahmu kalau sedang kesal,” ujarnya tertawa pada perwira polisi yang usianya dua kali lipat di atasnya. “Anak itu kabur lagi, Tuan. Aku dan intel terbaikku mengawasi mereka selama tiga bulan dan mereka kabur sia-sia. Moreno sialan!” makinya. “Hmm, sudah kubilang, jangan panggil aku Tuan. Aku Bos. Tuan hanya panggilan pria renta sementara aku masih muda, heh.” Lelaki itu mendelik. “Baik, Bos.” Bass mengangkat