Hari ini Kamis. Alvaro bangun lebih awal. Davira sudah tidak ada di sisinya. Ia ke dapur dan melihat ke arah taman yang terhubung ke dapur melalui sebuah jendela kaca berukuran besar. Davira sedang melakukan latihan ketangkasan. Alvaro mengunyah roti buatan Davira dengan cepat. Davira masuk ke dapur dan terheran-heran. “Kamu sudah mandi? Mau kemana?” Alvaro tak menjawab. Ia mengelap bibir dan bangkit. Lengannya melingkari pinggang Davira. Davira berkeringat tapi ia tak merasa risih. “Ikutlah. Aku membuat sebuah keputusan.” “Apa?” “Aku akan ke rumah Dhia,” kata Alvaro. Davira terbelalak dan tertawa senang. “Kamu membuat moodku sangat baik,” pujinya. “Oh, tentu saja itu bukan karena Dhia. Itu pasti karena pernyataanku semalam.” Alvaro mengedipkan mata. “Tentu saja karena Dhia.” Davira mencibir. “Tolong jangan ge-er.” “Ah, masa’?” Alvaro pura-pura kaget. “Latihannya sampai sepagi itu. Pasti nggak bisa
Di hadapan Alvaro, tiga air terjun berada dalam satu lokasi. Airnya yang tertimpa matahari berkilauan. Alvaro tak pernah tau ternyata lembah Ceruk Batu memiliki air terjun seindah ini. “Jangan ke sana! Ada hal yang lebih penting,” ucap Davira saat melihat gelagat Alvaro yang ingin mendekat ke air terjun. Davira berjalan ke samping air terjun yang ditutupi pepohonan rindang dan menyibaknya.Tubuh Dokter Moreno dan Dokter Shara seketika menegang, gemetar.“Shara, syukurlah, ternyata mereka yang datang!” seru Dokter Moreno gembira saat melihat yang datang adalah Alvaro dan Davira.“Aku sudah sangat pesimis kalian akan datang.” Dokter Shara menahan tangis. Ragu-ragu Dokter Shara memegang lengan Davira mengingat perempuan itu seorang Familia. Tapi saat Davira memeluknya, isaknya pecah. “Apa yang terjadi? Kenapa Dhia?” tanya Alvaro saat melihat Dhia dalam pelukan ayahnya, terkulai. “Sudah beberapa hari ini aku merasa ada yang mengawasi kami. Puncaknya
Lelaki itu berdiri tegak menatap lukisan burung Phoenix besar yang terbentang di hadapannya. Di bawahnya tertulis sebuah nama yang ditulis dengan bahasa Persia. Simurgh Sajm. Lelaki itu menyeringai, puas dengan pencapaian yang ia peroleh selama ini. Menjadi pemimpin sebuah organisasi besar dalam usia muda. Lamunannya terhenti saat mendengar ketukan di pintu. “Masuk,” perintahnya. Asistennya sudah memberi tahu siapa yang akan datang. “Wajahmu sangat tak enak dipandang, Bass. Kau harus banyak-banyak bercermin biar tahu sejelek apa wajahmu kalau sedang kesal,” ujarnya tertawa pada perwira polisi yang usianya dua kali lipat di atasnya. “Anak itu kabur lagi, Tuan. Aku dan intel terbaikku mengawasi mereka selama tiga bulan dan mereka kabur sia-sia. Moreno sialan!” makinya. “Hmm, sudah kubilang, jangan panggil aku Tuan. Aku Bos. Tuan hanya panggilan pria renta sementara aku masih muda, heh.” Lelaki itu mendelik. “Baik, Bos.” Bass mengangkat
“Viraaa, bangun! Ayo lari!” Seorang bocah perempuan yang Davira duga adalah dirinya, menggeliat. Dengan mata terpejam, ia berusaha mencari asal suara cadel tersebut.“Ayo! Buka matamu!” bentak suara itu.Bocah perempuan itu membuka mata. Bangkit dan kepalanya berputar.“Aku di sini,” ujarnya.Bocah perempuan itu berhenti. Ia tersenyum meski dalam muram karena telah menemukan orang yang selama ini ia cari. Bocah perempuan itu mengulurkan tangannya seperti ingin meraih seseorang. Tapi sebelum sempat meraih apa pun, terdengar jeritan melengking. “Viraaaaaa!” Davira terbangun, beringsut. Tangannya meraba pistol yang ada di bawah bantal. Setelah memastikan pistol itu berada di sana otaknya mulai berfikir jernih. Entah kenapa ia memimpikan dirinya saat kecil, padahal ia tak punya banyak ingatan tentang itu. Davira menoleh, menatap Alvaro yang meringkuk. Ia tergoda untuk menyentuh tubuh Alvaro. Tapi mereka terpisah oleh guling hingga pemuda itu cukup jauh dari j
“Apa yang kamu sembunyikan dariku, Vir?” ulang Alvaro. Davira bergeming. Misi dari Metira tentang anak dan kekhawatiran bahwa Alvaro mendengar obrolannya dengan wanita itu membuat Davira mengejang dalam pelukan Alvaro. Ia menggeliat dan mendorong tubuh Alvaro, menjauhi pemuda itu.“Apa yang kusembunyikan? Tidak ada. Apa aku seperti menyembunyikan sesuatu?” Suara Davira terdengar melengking. “Nggak. Hanya saja kamu menerima telepon di luar kamar. Alvaro mengangkat bahu dengan malas. Ia sedikit tersinggung oleh Davira yang mendorongnya. “Sudahlah, aku hanya asal bicara.” “Apa kamu sudah lama terbangun?” tanya Davira sambil berbalik. Ia tak ingin Alvaro tahu akan kegugupannya. “Nggak juga.” Alvaro memasukkan kedua tangannya ke kantong. “Maaf, tapi jangan memelukku secara mendadak dari belakang seperti itu.” Alvaro bergeming. Tatapannya menghunjam perempuan itu. Ia memilih tak menjawab dan berbalik masuk ke dalam. Alva
Menatap kamar, kesedihan semakin membuncah. Alvaro melihat Davira di ranjang, di sofa, di depan cermin, di dekat tirai, di lantai. Ia memutuskan segera berkemas dan menuju kampus. Setelah sekian lama vakum, halo apa kabar kampus? “Alvarooooo!!” teriak Dean mengejutkan Alvaro saat ia baru menjejakkan kaki di lantai kampus. Lelaki itu merangkul dan menggebuk punggungnya girang. “Kamu kemana aja?” Kehangatan Dean menyebar. Beberapa teman ikut mengerubutinya dan ber-toss ria dengannya. “Gimana kabarmu, Al? Kamu cuti selama ini?” Mereka terus bertanya dan Alvaro hanya tersenyum lebar. Mereka menceritakan beberapa kejadian lucu saat bersamanya dulu dan tak satu pun yang membahas tentang penculikannya saat itu. Keceriaan yang terkesan basa-basi tapi ternyata ia merindukan ini semua. “Jadikan kamu ikut tim basketku, Al?” Dean menariknya dari keramaian. “Kalau kamu masih butuh tim, aku bergabung. Kalau udah cukup, ya aku mundurlah. Terserah ket
“Tapi itulah yang mereka tuduhkan pada Om Moreno. Entahlah, mungkin saja benar. Karena Om Moreno menikahnya dalam usia yang sudah nggak muda lagi dan belum dikaruniai anak setelah belasan tahun pernikahan mereka. Mereka sangat menginginkan anak.” Ferro terpekur. “Aku nggak percaya,” geleng Alvaro. Ferro mengangkat kepala. “Kenapa? Bukankah kamu belum terlalu mengenal Om Moreno? Tapi percayalah, dia memang orang baik.” “Karena ….” Alvaro memiringkan kepalanya. “Karena aku bertemu dengannya dan cukup kesal karena kamu nggak bilang kalau Dokter Shara adalah istri Dokter Moreno.” “Di mana kamu melihatnya, Al?” Mata Ferro berbinar. Alvaro terdiam sesaat, tampak berfikir. “Akan kutunjukkan,” putusnya.*** “Ijinkan aku masuk,” pinta Davira tegas. Dokter Shara menatapnya dengan terheran-heran. “Kamu tidak bersama Alvaro?” tanyanya sambil cepat-cepat menutup pintu setelah memastikan tak ada orang yang melihat mereka. Davira d
“Tidak, bukan aku.” Dokter Moreno bersikeras. Dokter Shara spontan menarik Dhia. “Dhia, kita masuk, Nak,” perintahnya. Dhia mengikuti langkah ibunya dengan kaku dan melirik ayahnya sesekali. Seolah ia berharap kehadirannya di situ dapat meringankan beban ayahnya. “Lalu apa hubungan Dhia dengan ini semua?” tanya Davira sengit. Dokter Moreno terhuyung. Napasnya terdengar berat. “Mereka sudah begitu banyak mengeluarkan dana untuk penelitianku dan menganggap hasilnya nihil. Maka sebagai gantinya, mereka memaksaku menyuntik … Dhia.” “Ajaibnya, Dhia tidak mati. Bahkan saat dicek, darahnya rhesus null. Artinya, darahnya telah berubah menjadi Golden Blood. Saat itu, kami tak tahu harus bahagia atau berduka. Bahagia karena dalam bayanganku, manusia yang memiliki Golden Blood adalah manusia istimewa. Berduka karena mereka pasti akan mengambil Dhia dariku jika tahu kenyataan itu. Tapi ternyata, hasilnya tak sesuai harapan. Kesehatan Dhia terus memb