Menatap kamar, kesedihan semakin membuncah. Alvaro melihat Davira di ranjang, di sofa, di depan cermin, di dekat tirai, di lantai. Ia memutuskan segera berkemas dan menuju kampus. Setelah sekian lama vakum, halo apa kabar kampus? “Alvarooooo!!” teriak Dean mengejutkan Alvaro saat ia baru menjejakkan kaki di lantai kampus. Lelaki itu merangkul dan menggebuk punggungnya girang. “Kamu kemana aja?” Kehangatan Dean menyebar. Beberapa teman ikut mengerubutinya dan ber-toss ria dengannya. “Gimana kabarmu, Al? Kamu cuti selama ini?” Mereka terus bertanya dan Alvaro hanya tersenyum lebar. Mereka menceritakan beberapa kejadian lucu saat bersamanya dulu dan tak satu pun yang membahas tentang penculikannya saat itu. Keceriaan yang terkesan basa-basi tapi ternyata ia merindukan ini semua. “Jadikan kamu ikut tim basketku, Al?” Dean menariknya dari keramaian. “Kalau kamu masih butuh tim, aku bergabung. Kalau udah cukup, ya aku mundurlah. Terserah ket
“Tapi itulah yang mereka tuduhkan pada Om Moreno. Entahlah, mungkin saja benar. Karena Om Moreno menikahnya dalam usia yang sudah nggak muda lagi dan belum dikaruniai anak setelah belasan tahun pernikahan mereka. Mereka sangat menginginkan anak.” Ferro terpekur. “Aku nggak percaya,” geleng Alvaro. Ferro mengangkat kepala. “Kenapa? Bukankah kamu belum terlalu mengenal Om Moreno? Tapi percayalah, dia memang orang baik.” “Karena ….” Alvaro memiringkan kepalanya. “Karena aku bertemu dengannya dan cukup kesal karena kamu nggak bilang kalau Dokter Shara adalah istri Dokter Moreno.” “Di mana kamu melihatnya, Al?” Mata Ferro berbinar. Alvaro terdiam sesaat, tampak berfikir. “Akan kutunjukkan,” putusnya.*** “Ijinkan aku masuk,” pinta Davira tegas. Dokter Shara menatapnya dengan terheran-heran. “Kamu tidak bersama Alvaro?” tanyanya sambil cepat-cepat menutup pintu setelah memastikan tak ada orang yang melihat mereka. Davira d
“Tidak, bukan aku.” Dokter Moreno bersikeras. Dokter Shara spontan menarik Dhia. “Dhia, kita masuk, Nak,” perintahnya. Dhia mengikuti langkah ibunya dengan kaku dan melirik ayahnya sesekali. Seolah ia berharap kehadirannya di situ dapat meringankan beban ayahnya. “Lalu apa hubungan Dhia dengan ini semua?” tanya Davira sengit. Dokter Moreno terhuyung. Napasnya terdengar berat. “Mereka sudah begitu banyak mengeluarkan dana untuk penelitianku dan menganggap hasilnya nihil. Maka sebagai gantinya, mereka memaksaku menyuntik … Dhia.” “Ajaibnya, Dhia tidak mati. Bahkan saat dicek, darahnya rhesus null. Artinya, darahnya telah berubah menjadi Golden Blood. Saat itu, kami tak tahu harus bahagia atau berduka. Bahagia karena dalam bayanganku, manusia yang memiliki Golden Blood adalah manusia istimewa. Berduka karena mereka pasti akan mengambil Dhia dariku jika tahu kenyataan itu. Tapi ternyata, hasilnya tak sesuai harapan. Kesehatan Dhia terus memb
“Hai, kukira kau tak datang, Nak,” sapa Alton riang melihat kehadiran Alvaro di ruang klinik. Ruang itu ternyata sudah direnovasi dan terlalu mewah untuk ukuran Panti Asuhan. Alvaro tak menjawab, ia melirik Metira yang berada di sisi kirinya. Metira mengangkat dagu dan memandangnya dengan gusar. “Kau menyalahi peraturan yang kita buat untuk datang secara berkala ke RB.” “Aku sudah datang. Apa yang harus kulakukan sekarang?” sergah Alvaro. “Seperti biasa, ada pelanggan yang membutuhkan darahmu,” jelas Metira. “Dokter Bais, silakan Anda periksa dulu kondisinya.” Metira memanggil dokter klinik tersebut. “Tunggu! Sebelumnya aku ingin tahu terlebih dahulu, siapa pelanggan donor darahku itu?” tanya Alvaro penasaran. “Alvaro, kau menyalahi norma dalam donor darah. Pihak pendonor tak diizinkan tahu siapa penerima donornya begitu juga sebaliknya,” bantah Metira. Alvaro menggeleng. “Maaf, aku nggak akan mendonorkan darah sampai aku ta
Saat membuka mata, Alvaro menemukan dirinya berada dalam kamarnya yang dulu. Kepalanya cukup pusing akibat terlalu banyak darah yang ia donorkan. Namun saat melihat kamar itu tertata seperti sebelum ia tinggalkan, pusingnya segera terabaikan. Ia senang kamar itu belum terisi yang lain. Biasanya kamar yang kosong segera terisi oleh yang lain tapi tidak dengan kamarnya ini. “Aku nggak mengerti, kenapa Metira belum memerintahkan agar ranjangmu itu diisi yang lain. Terlalu disayangi seperti itu, membuatmu besar kepala,” canda Gio seolah mengetahui isi pikiran Alvaro. “Kalau butuh teman, kamu boleh minta pada Metira teman baru. Jangan menungguku.” Alvaro menepuk pundak Gio. Ia segera bangkit untuk berpakaian karena mengingat janjinya pada Ferro untuk menemui Dokter Moreno. Rasa tersengat yang tiba-tiba di dalam kepalanya membuat pemuda itu nyaris terjengkang jika tidak berpegangan pada tepi ranjang. “Hei, kamu nggak apa-apa, Bro?” Gio membantu menaha
Toko Savana Jewelry adalah sebuah toko perhiasan di pusat kota yang banyak dikunjungi orang-orang berkelas. Bass menuju ke sana dengan tergesa. Ia membuka pintu dan melihat jam tangan di pergelangan kirinya. Pria ambisius berselera tinggi yang terobsesi untuk awet muda itu tak sabar ingin bertemu si Bos. Pemuda yang ia temui tersenyum lebar saat melihat kedatangannya. “Kau pasti tak sabar mendengar berita ini.” Si Bos bertepuk tangan riang, mengabaikan wajah Bass yang tak sabaran. “Info apa yang ingin kau berikan padaku, Bos? Sampai tak mau dibicarakan lewat telepon tapi harus bertemu langsung seperti ini,” celetuk bass. “Kalau kau dengar berita ini, kau pasti tutup mulut dan berhenti protes, Bass.” “Baik Bos, tolong beri tahu berita apa yang kau maksud?” “Baiklah, bisa diibaratkan, satu peluru mengenai dua sasaran. Siang ini, Alvaro, si pemuda Golden Blood akan pergi ke rumah Moreno. Kalau kau bisa sampai di sana tepat wakt
Dokter Moreno terkejut. Pistol itu terlempar dari tangannya dan terjatuh di lantai. Pria itu membuka mata. Sementara Davira tetap berdiri tegak dan tenang. memejamkan mata dengan damai, seolah seluruh sel tubuhnya siap menerima kematian. “Kumohon, jangan Vira!” bujuk Alvaro. Teriakan Alvaro tadi membuat Dokter Shara dan dhia berlari ke luar. Dokter Shara terbelalak melihat Davira. Dhia seketika bersembunyi di belakang ibunya dan terisak lirih. Ia menyukai Davira dan tak ingin Davira mati. “Davira!” bentak Alvaro demi melihat Davira yang bergeming. Perlahan Davira membuka mata, pistol yang berada di dahinya terangkat, lalu ia acungkan ke depan, ke arah Alvaro. Semua orang berseru kaget. Alvaro tak bergerak. Sesuatu menyedot kakinya dengan kuat hingga seolah kaki itu terbenam. Seperti ada besi berkarat yang dimasukkan dalam kerongkongan hingga ia pun kesulitan menelan ludah. Davira meremas pelatuk. Peluru itu meluncur, Alvaro sekua
Pistol yang dipegangnya terasa basah dan licin. Alvaro belum terbiasa menggunakan pistol karena Genus hanya terbiasa memegang pulpen listrik. Kalau pun harus bersenjata yang lain, maka senjata yang paling bisa dianggap mematikan baru sebatas pisau lipat. Bahkan Alvaro cukup percaya diri untuk mengatakan bahwa ia mahir menggunakan senjata jenis itu. Sekali lagi Alvaro mengintip dari balik kaca untuk memastikan apakah lewat pintu depan cukup aman. Menghitung berapa kira-kira langkah yang harus ia gunakan untuk mencapai motornya. Alvaro memilih menggunakan jendela samping untuk keluar. Angin berdesing-desing saat Alvaro membuka jendela. Akibat tubuhnya yang setinggi 178 cm, ia harus susah payah keluar dengan menjulurkan kaki dan menekuk lutut berusaha keluar. Ia hampir berhasil ketika tiba-tiba ia mendengar sebuah benda berdebam di lantai. Sangat keras! Alvaro menahan napas. Ia menarik kembali kakinya dan bergegas ke garasi. Pemandangan yang ada di