Saat membuka mata, Alvaro menemukan dirinya berada dalam kamarnya yang dulu. Kepalanya cukup pusing akibat terlalu banyak darah yang ia donorkan. Namun saat melihat kamar itu tertata seperti sebelum ia tinggalkan, pusingnya segera terabaikan. Ia senang kamar itu belum terisi yang lain. Biasanya kamar yang kosong segera terisi oleh yang lain tapi tidak dengan kamarnya ini. “Aku nggak mengerti, kenapa Metira belum memerintahkan agar ranjangmu itu diisi yang lain. Terlalu disayangi seperti itu, membuatmu besar kepala,” canda Gio seolah mengetahui isi pikiran Alvaro. “Kalau butuh teman, kamu boleh minta pada Metira teman baru. Jangan menungguku.” Alvaro menepuk pundak Gio. Ia segera bangkit untuk berpakaian karena mengingat janjinya pada Ferro untuk menemui Dokter Moreno. Rasa tersengat yang tiba-tiba di dalam kepalanya membuat pemuda itu nyaris terjengkang jika tidak berpegangan pada tepi ranjang. “Hei, kamu nggak apa-apa, Bro?” Gio membantu menaha
Toko Savana Jewelry adalah sebuah toko perhiasan di pusat kota yang banyak dikunjungi orang-orang berkelas. Bass menuju ke sana dengan tergesa. Ia membuka pintu dan melihat jam tangan di pergelangan kirinya. Pria ambisius berselera tinggi yang terobsesi untuk awet muda itu tak sabar ingin bertemu si Bos. Pemuda yang ia temui tersenyum lebar saat melihat kedatangannya. “Kau pasti tak sabar mendengar berita ini.” Si Bos bertepuk tangan riang, mengabaikan wajah Bass yang tak sabaran. “Info apa yang ingin kau berikan padaku, Bos? Sampai tak mau dibicarakan lewat telepon tapi harus bertemu langsung seperti ini,” celetuk bass. “Kalau kau dengar berita ini, kau pasti tutup mulut dan berhenti protes, Bass.” “Baik Bos, tolong beri tahu berita apa yang kau maksud?” “Baiklah, bisa diibaratkan, satu peluru mengenai dua sasaran. Siang ini, Alvaro, si pemuda Golden Blood akan pergi ke rumah Moreno. Kalau kau bisa sampai di sana tepat wakt
Dokter Moreno terkejut. Pistol itu terlempar dari tangannya dan terjatuh di lantai. Pria itu membuka mata. Sementara Davira tetap berdiri tegak dan tenang. memejamkan mata dengan damai, seolah seluruh sel tubuhnya siap menerima kematian. “Kumohon, jangan Vira!” bujuk Alvaro. Teriakan Alvaro tadi membuat Dokter Shara dan dhia berlari ke luar. Dokter Shara terbelalak melihat Davira. Dhia seketika bersembunyi di belakang ibunya dan terisak lirih. Ia menyukai Davira dan tak ingin Davira mati. “Davira!” bentak Alvaro demi melihat Davira yang bergeming. Perlahan Davira membuka mata, pistol yang berada di dahinya terangkat, lalu ia acungkan ke depan, ke arah Alvaro. Semua orang berseru kaget. Alvaro tak bergerak. Sesuatu menyedot kakinya dengan kuat hingga seolah kaki itu terbenam. Seperti ada besi berkarat yang dimasukkan dalam kerongkongan hingga ia pun kesulitan menelan ludah. Davira meremas pelatuk. Peluru itu meluncur, Alvaro sekua
Pistol yang dipegangnya terasa basah dan licin. Alvaro belum terbiasa menggunakan pistol karena Genus hanya terbiasa memegang pulpen listrik. Kalau pun harus bersenjata yang lain, maka senjata yang paling bisa dianggap mematikan baru sebatas pisau lipat. Bahkan Alvaro cukup percaya diri untuk mengatakan bahwa ia mahir menggunakan senjata jenis itu. Sekali lagi Alvaro mengintip dari balik kaca untuk memastikan apakah lewat pintu depan cukup aman. Menghitung berapa kira-kira langkah yang harus ia gunakan untuk mencapai motornya. Alvaro memilih menggunakan jendela samping untuk keluar. Angin berdesing-desing saat Alvaro membuka jendela. Akibat tubuhnya yang setinggi 178 cm, ia harus susah payah keluar dengan menjulurkan kaki dan menekuk lutut berusaha keluar. Ia hampir berhasil ketika tiba-tiba ia mendengar sebuah benda berdebam di lantai. Sangat keras! Alvaro menahan napas. Ia menarik kembali kakinya dan bergegas ke garasi. Pemandangan yang ada di
Perempuan itu sudah tak menangis lagi. Ia hanya tersandar lemas di bahu Davira dengan Dhia dalam dekapannya. Mata sembabnya menatap hampa jalan besar yang mereka lalui. “Aku tahu bukan berita baik sampai kalian tidak membawa Renoku turut serta. Aku hanya ingin tahu apa yang terjadi. Tolong ceritakan!” Perempuan itu memohon. Alvaro menoleh. “Ceritain, Fer. Kau yang ada di sana.” Ferro menunduk memainkan jemarinya. Sedari tadi ia terlihat gelisah seolah bayangan Dokter Moreno mengikutinya. “Kejadiannya begitu cepat. Om berjalan ke arah dapur dan aku mengutinya dari belakang. Tapi mataku sempat teralihkan oleh foto Dhia dan aku berhenti sejenak untuk melihatnya. Lalu aku mendengar suara jeritan tertahan dan mendengar suara berdebum di lantai. Aku mengendap-endap ke arah garasi dan melihat lelaki berkepala plontos itu berdiri menatap Om. Aku duga, lelaki itu menyergapnya dari belakang.” Ferro melirik Dhia dan memelankan suaranya. “Sebelum Om sadar,
Gio meraih botol cairan tersebut dan memutar dan mengguncang isinya dengan jemari. Menebak-nebak cairan apa itu? Melihat cara Metira menyimpan, bisa dipastikan ini adalah benda yang penting untuk wanita itu. Serum Kelahiran? Gio merasa aneh dengan nama itu. Apakah yang menggunakan serum itu akan terlahir kembali dalam artian menjadi bayi lagi? “Harga segitu terlalu rendah, Nyonya. Naikkan harganya maka Anda akan saya beri bonus. Percayalah ini permanen dan saya pastikan Anda akan puas dengan hasilnya. Kalaupun ingin pengisian lagi, itu sifatnya hanya perawatan.” Suara Metira terdengar jelas dari balik pintu. Gio memucat. Ada semburan uap panas yang seolah menghantam tubuhnya. Sialan! Kenapa sebelumnya tidak terdengar ada langkah dan suara Metira? Kini perempuan itu sudah ada di depan pintu! Ia tak tahu nasib apa yang akan diterimanya jika Metira tahu ia menyelinap diam-diam ke kantor wanita dingin itu. Gio berpikir dengan cepat. Semula ia ingin meleta
Dokter Shara kembali berurai air mata. Kehilangan suami sudah membuatnya terpukul. Kini, Dhia, anak semata wayangnya pun dalam kondisi sekarat. “Aku pikir … darahku bisa menyembuhkannya.” Alvaro meremas rambutnya, bingung. Dokter Shara menggeleng. “Darahmu tidak bisa menyembuhkannya, hanya bisa meringankan penderitaannya. Sewaktu-waktu, Dhia akan bisa kambuh kembali. Apalagi ditambah, kematian ayahnya.” Suara Dokter Shara tersendat-sendat. “Dhia sepertinya sangat terpukul.” “Ternyata darah Alvaro tak sesakti itu,” gumam Davira. “Ampuh tapi tidak permanen. Davira, kau masih ingat, saat Moreno cerita padamu tentang Serum Kelahiran? Serum itu penyebab perubahan pada Dhia. Maka kemungkinannya, serum itu yang bisa mengembalikan Dhia.” “Serum Kelahiran?” Ferro menatap bingung. “Serum Kelahiran tidak akan menyembuhkan Dhia, Dokter. Karena Dokter Moreno sudah mencobanya pada Dhia dan tidak berhasil,” bantah Davira, mengabai
“Apakah darahku mereka pakai untuk kecantikan dan ketampanan?” gumam Alvaro. Pupil matanya yang kehijauan mengelam. Davira menatap iba pemuda itu.Dokter Shara mengangguk. “Kukira kau paham sejak lama.”“Itu sebabnya Pak Daniel, Alton dan Metira, mereka tetap bugar dan terlihat muda.” Davira menyimpulkan.“Waktu itu Pak Daniel bilang dia punya penyakit … ah sudahlah. Sekarang aku sudah tahu kebenarannya.” Alvaro mengibaskan tangannya. Gusar.“Sekarang, tolong kalian tinggalkan aku. Aku butuh waktu untuk mengekstraksi darah Alvaro dan mencampurnya dengan Serum Kelahiran. Selama aku melakukan ini, tolong jaga Dhia, Davira. Aku percayakan anakku padamu.” Dokter Shara menyentuh lengan Davira.Davira menatap Dokter Shara, bimbang. “Kau yakin percaya padaku?”“Maaf kalau aku pernah tidak menyukaimu karena kau selalu memburuku dan Moreno. Tapi sekarang aku tahu, kau orang baik. Selama ini, kau hanya menjalankan tugas,” sesal Dokter Shara.Davira menatap Dokter Shara sekilas, mengangguk. “Aku