“Hai, kukira kau tak datang, Nak,” sapa Alton riang melihat kehadiran Alvaro di ruang klinik. Ruang itu ternyata sudah direnovasi dan terlalu mewah untuk ukuran Panti Asuhan. Alvaro tak menjawab, ia melirik Metira yang berada di sisi kirinya. Metira mengangkat dagu dan memandangnya dengan gusar. “Kau menyalahi peraturan yang kita buat untuk datang secara berkala ke RB.” “Aku sudah datang. Apa yang harus kulakukan sekarang?” sergah Alvaro. “Seperti biasa, ada pelanggan yang membutuhkan darahmu,” jelas Metira. “Dokter Bais, silakan Anda periksa dulu kondisinya.” Metira memanggil dokter klinik tersebut. “Tunggu! Sebelumnya aku ingin tahu terlebih dahulu, siapa pelanggan donor darahku itu?” tanya Alvaro penasaran. “Alvaro, kau menyalahi norma dalam donor darah. Pihak pendonor tak diizinkan tahu siapa penerima donornya begitu juga sebaliknya,” bantah Metira. Alvaro menggeleng. “Maaf, aku nggak akan mendonorkan darah sampai aku ta
Saat membuka mata, Alvaro menemukan dirinya berada dalam kamarnya yang dulu. Kepalanya cukup pusing akibat terlalu banyak darah yang ia donorkan. Namun saat melihat kamar itu tertata seperti sebelum ia tinggalkan, pusingnya segera terabaikan. Ia senang kamar itu belum terisi yang lain. Biasanya kamar yang kosong segera terisi oleh yang lain tapi tidak dengan kamarnya ini. “Aku nggak mengerti, kenapa Metira belum memerintahkan agar ranjangmu itu diisi yang lain. Terlalu disayangi seperti itu, membuatmu besar kepala,” canda Gio seolah mengetahui isi pikiran Alvaro. “Kalau butuh teman, kamu boleh minta pada Metira teman baru. Jangan menungguku.” Alvaro menepuk pundak Gio. Ia segera bangkit untuk berpakaian karena mengingat janjinya pada Ferro untuk menemui Dokter Moreno. Rasa tersengat yang tiba-tiba di dalam kepalanya membuat pemuda itu nyaris terjengkang jika tidak berpegangan pada tepi ranjang. “Hei, kamu nggak apa-apa, Bro?” Gio membantu menaha
Toko Savana Jewelry adalah sebuah toko perhiasan di pusat kota yang banyak dikunjungi orang-orang berkelas. Bass menuju ke sana dengan tergesa. Ia membuka pintu dan melihat jam tangan di pergelangan kirinya. Pria ambisius berselera tinggi yang terobsesi untuk awet muda itu tak sabar ingin bertemu si Bos. Pemuda yang ia temui tersenyum lebar saat melihat kedatangannya. “Kau pasti tak sabar mendengar berita ini.” Si Bos bertepuk tangan riang, mengabaikan wajah Bass yang tak sabaran. “Info apa yang ingin kau berikan padaku, Bos? Sampai tak mau dibicarakan lewat telepon tapi harus bertemu langsung seperti ini,” celetuk bass. “Kalau kau dengar berita ini, kau pasti tutup mulut dan berhenti protes, Bass.” “Baik Bos, tolong beri tahu berita apa yang kau maksud?” “Baiklah, bisa diibaratkan, satu peluru mengenai dua sasaran. Siang ini, Alvaro, si pemuda Golden Blood akan pergi ke rumah Moreno. Kalau kau bisa sampai di sana tepat wakt
Dokter Moreno terkejut. Pistol itu terlempar dari tangannya dan terjatuh di lantai. Pria itu membuka mata. Sementara Davira tetap berdiri tegak dan tenang. memejamkan mata dengan damai, seolah seluruh sel tubuhnya siap menerima kematian. “Kumohon, jangan Vira!” bujuk Alvaro. Teriakan Alvaro tadi membuat Dokter Shara dan dhia berlari ke luar. Dokter Shara terbelalak melihat Davira. Dhia seketika bersembunyi di belakang ibunya dan terisak lirih. Ia menyukai Davira dan tak ingin Davira mati. “Davira!” bentak Alvaro demi melihat Davira yang bergeming. Perlahan Davira membuka mata, pistol yang berada di dahinya terangkat, lalu ia acungkan ke depan, ke arah Alvaro. Semua orang berseru kaget. Alvaro tak bergerak. Sesuatu menyedot kakinya dengan kuat hingga seolah kaki itu terbenam. Seperti ada besi berkarat yang dimasukkan dalam kerongkongan hingga ia pun kesulitan menelan ludah. Davira meremas pelatuk. Peluru itu meluncur, Alvaro sekua
Pistol yang dipegangnya terasa basah dan licin. Alvaro belum terbiasa menggunakan pistol karena Genus hanya terbiasa memegang pulpen listrik. Kalau pun harus bersenjata yang lain, maka senjata yang paling bisa dianggap mematikan baru sebatas pisau lipat. Bahkan Alvaro cukup percaya diri untuk mengatakan bahwa ia mahir menggunakan senjata jenis itu. Sekali lagi Alvaro mengintip dari balik kaca untuk memastikan apakah lewat pintu depan cukup aman. Menghitung berapa kira-kira langkah yang harus ia gunakan untuk mencapai motornya. Alvaro memilih menggunakan jendela samping untuk keluar. Angin berdesing-desing saat Alvaro membuka jendela. Akibat tubuhnya yang setinggi 178 cm, ia harus susah payah keluar dengan menjulurkan kaki dan menekuk lutut berusaha keluar. Ia hampir berhasil ketika tiba-tiba ia mendengar sebuah benda berdebam di lantai. Sangat keras! Alvaro menahan napas. Ia menarik kembali kakinya dan bergegas ke garasi. Pemandangan yang ada di
Perempuan itu sudah tak menangis lagi. Ia hanya tersandar lemas di bahu Davira dengan Dhia dalam dekapannya. Mata sembabnya menatap hampa jalan besar yang mereka lalui. “Aku tahu bukan berita baik sampai kalian tidak membawa Renoku turut serta. Aku hanya ingin tahu apa yang terjadi. Tolong ceritakan!” Perempuan itu memohon. Alvaro menoleh. “Ceritain, Fer. Kau yang ada di sana.” Ferro menunduk memainkan jemarinya. Sedari tadi ia terlihat gelisah seolah bayangan Dokter Moreno mengikutinya. “Kejadiannya begitu cepat. Om berjalan ke arah dapur dan aku mengutinya dari belakang. Tapi mataku sempat teralihkan oleh foto Dhia dan aku berhenti sejenak untuk melihatnya. Lalu aku mendengar suara jeritan tertahan dan mendengar suara berdebum di lantai. Aku mengendap-endap ke arah garasi dan melihat lelaki berkepala plontos itu berdiri menatap Om. Aku duga, lelaki itu menyergapnya dari belakang.” Ferro melirik Dhia dan memelankan suaranya. “Sebelum Om sadar,
Gio meraih botol cairan tersebut dan memutar dan mengguncang isinya dengan jemari. Menebak-nebak cairan apa itu? Melihat cara Metira menyimpan, bisa dipastikan ini adalah benda yang penting untuk wanita itu. Serum Kelahiran? Gio merasa aneh dengan nama itu. Apakah yang menggunakan serum itu akan terlahir kembali dalam artian menjadi bayi lagi? “Harga segitu terlalu rendah, Nyonya. Naikkan harganya maka Anda akan saya beri bonus. Percayalah ini permanen dan saya pastikan Anda akan puas dengan hasilnya. Kalaupun ingin pengisian lagi, itu sifatnya hanya perawatan.” Suara Metira terdengar jelas dari balik pintu. Gio memucat. Ada semburan uap panas yang seolah menghantam tubuhnya. Sialan! Kenapa sebelumnya tidak terdengar ada langkah dan suara Metira? Kini perempuan itu sudah ada di depan pintu! Ia tak tahu nasib apa yang akan diterimanya jika Metira tahu ia menyelinap diam-diam ke kantor wanita dingin itu. Gio berpikir dengan cepat. Semula ia ingin meleta
Dokter Shara kembali berurai air mata. Kehilangan suami sudah membuatnya terpukul. Kini, Dhia, anak semata wayangnya pun dalam kondisi sekarat. “Aku pikir … darahku bisa menyembuhkannya.” Alvaro meremas rambutnya, bingung. Dokter Shara menggeleng. “Darahmu tidak bisa menyembuhkannya, hanya bisa meringankan penderitaannya. Sewaktu-waktu, Dhia akan bisa kambuh kembali. Apalagi ditambah, kematian ayahnya.” Suara Dokter Shara tersendat-sendat. “Dhia sepertinya sangat terpukul.” “Ternyata darah Alvaro tak sesakti itu,” gumam Davira. “Ampuh tapi tidak permanen. Davira, kau masih ingat, saat Moreno cerita padamu tentang Serum Kelahiran? Serum itu penyebab perubahan pada Dhia. Maka kemungkinannya, serum itu yang bisa mengembalikan Dhia.” “Serum Kelahiran?” Ferro menatap bingung. “Serum Kelahiran tidak akan menyembuhkan Dhia, Dokter. Karena Dokter Moreno sudah mencobanya pada Dhia dan tidak berhasil,” bantah Davira, mengabai
Alvaro berbaring di samping Davira. Mereka bertatapan, tersenyum canggung. Jemarinya mengelus pipi halus Davira. “Maaf, aku tak menanyakan kesiapanmu. Ini menjadi tak seromantis yang diinginkan oleh setiap wanita.” sesal Alvaro. “Apa yang diinginkan oleh setiap wanita?” Davira tersenyum. “Aku tahu hari itu akan tiba. Hari di mana aku menjadi istri sesungguhnya. Aku sudah cukup siap.” “Kau membuatnya menjadi seperti melakukan kewajiban saja. Aku suami yang buruk.” Alvaro megerang. Elusannya di pipi Davira terhenti.” “Tidak, bukan begitu. Itu sangat luar biasa, sungguh.” Davira meremas tangan Alvaro, cemas oleh kekecewaan yang tergurat di wajah kekasihnya. “Meski rasanya aneh karena kita sangat terburu-buru. Tiba-tiba saja aku menjadi berbeda dan ada sesuatu yang menggelegak di tubuhku dan menuntut untuk dipenuhi.” Ucapan itu membuat Alvaro tersentak. Ia pun memikirkan hal yang sama. “Kau benar, Vira. Aku menjadi sangat bergairah sejak memasuki ka
Alvaro dan Davira tak pernah menyangka bahwa di Rumah Berwarna ada kamar seluas dan seindah itu. Lantainya mengkilat dan separuhnya ditutupi dengan karpet empuk dan tebal berwarna hijau mint. Ranjang di tengah ruangan berukuran king ditutupi seprei lembut dan wangi. Di dalamnya terdapat kamar mandi dengan bath up yang besar. “Aku tak percaya bahwa kita masih menginjakkan kaki di RB. Ini sangat kontras dengan seluruh ruangan di RB yang kaku dan hanya berwarna silver,” ucap Davira meraba furniture dan seprei dengan hati-hati. “Kau salah. Seharusnya justru kamar ini representasi dari RB. RB itu artinya rumah berwarna. Tapi kenyataannya, tak ada warna dalam kehidupan RB. Kita tak dibiarkan memilih ‘warna’ kita sendiri.” Alvaro bersungut-sungut. Mengerjapkan mata, Davira tersadar Alvaro masih kesal. Sebuah kulkas berwarna merah elegan menarik perhatiannya. Ia menuju ke sana, membuka pintunya dan melongok isinya. Sebotol air dingin, sirup lemon dan bua
Perempuan itu sedang menatap layar laptopnya saat Alvaro dan Davira menyerbu masuk ke ruangan kerjanya. Di belakangnya, petugas keamanan tergesa mengikuti. “Maaf Metira, saya sudah menahan mereka tapi mereka memaksa masuk,” ucap petugas itu khawatir. Sebagai jawaban, Metira menggeleng dan memberi isyarat agar petugas itu pergi. “Hai, kalian rindu padaku? Terima kasih akhirnya kalian mau mendatangi ibu kalian ini,” sindirnya. Senyum sinis terukir di bibirnya. “Tak perlu basa-basi. Kembalikan gadis itu. Kau menginginkanku. Bukan dia,” sergah Davira, kesal. “Aku menginginkanmu?” Metira mengangkat alisnya. “Yang tepat adalah, aku menginginkan kalian. Kau dan terutama Alvaro.” “Aku tahu. Kau butuh darahku dan ketangguhan Davira,” timpal Alvaro tanpa menyembunyikan kekesalannya. “Ya.” Metira menjetikkan jari. “Jika kemurnian darah Alvaro bisa didapat dengan keturunan, maka aku mau kalian punya anak. Generasi yan
Davira memerhatikan garis pembatas putih di jalan raya. Ia tak bicara sepatah kata pun selama di mobil. Saat mengisi bahan bakar, Alvaro mampir ke mini market dan membelikan air mineral dingin untuknya. Davira menerimanya dalam diam tapi kemudian ia sadar, Alvaro mengkhawatirkan dirinya. “Hai, apa kau pikir reaksiku tadi berlebihan?” tanyanya sedikit malu. Alvaro menatapnya lembut. “Aku tahu. Tak apa. Kau panik. Kau tak suka dengan seseorang yang terlalu banyak bicara apalagi itu mengenai sesuatu tentangmu.” Davira mengangkat kepalanya. “Selama sembilan belas tahun aku bertanya-tanya, apa di luar sana aku memiliki keluarga? Seperti apa mereka? apakah rambutnya selurus rambutku dan bola matanya coklat sepertiku? Dan apa yang ia katakan tadi ….” Napas Davira tercekat.“Adalah jawaban yang selama ini aku cari. Aku tak siap. Fakta tentang saudara kembarnya yang hilang saat berumur tiga tahun dan itu adalah usia saat aku diculik. Warna biru itu ….” Ia
Apa yang akan dilakukan seseorang ketika bertemu dengan orang yang begitu mirip dengannya? Apakah ia akan antusias bertanya berasal dari mana ia? Siapa namanya? Mengapa mereka bisa memiliki tekstur rambut dan gigi yang sama seolah Tuhan menuangkan mereka pada cetakan yang sama? Alih-alih melemparkan semua pertanyaan itu, Davira justru duduk menatap perempuan di depannya dengan senyuman kaku. Meski ia mengenal dirinya seorang yang cukup mudah bergaul. Dulu, dulu sekali, kemampuannya itu ia gunakan untuk mendapatkan Spesies dengan mudah. Itu sebabnya Metira bangga padanya. Mengingatnya justru memperburuk keadaan. Perasaan aneh yang karib tadi hadir semakin kuat. “Aku Davira. Maaf ya, aku biasanya tak secanggung ini terhadap orang baru. Tapi kita benar-benar mirip … meski kuakui kau lebih lembut atau feminin? Ah semacam itu.” Davira berusaha mencairkan suasana dan tertawa. Geisha ikut tertawa lirih. “Tapi lekuk tubuhmu lebih feminin. Kau pasti seo
“Hai, sudah berapa lama kau temukan kafe ini? Minumannya enak.” Davira menyeruput es kopinya dengan nikmat. “Aku baru sekali ke sini. Dean yang mengajakku,” jawab Alvaro. Tubuhnya condong ke depan dan lagi-lagi ia melirik meja bar.“Kulihat kau gelisah dari tadi. Kenapa, Al?” Alis Davira terangkat, menyentuh jemari Alvaro. Lelaki itu sudah dari setengah jam yang lalu terus-menerus menatap ke sekeliling mereka. Bahkan pelayan yang menyajikan pesanan mereka tadi, Alvaro tatap berkali-kali. Alvaro meringis, menggeleng pelan. “Nggak. Nggak ada masalah,” jawabnya kikuk. Dielusnya jemari Davira yang berada di atas meja untuk meyakinkan perempuan itu, sementara pupilnya tetap bergerak-gerak gelisah. “Ada yang kau tunggu, Al? Dean?” “Nggak. Sudahlah, aku ke toilet dulu, ya.” Alvaro buru-buru berdiri, menghindar dari pertanyaan Davira dengan melangkah cepat, meninggalkan perempuan itu. Davira menggigit-gigit sedotan minumannya. Aura kegelisaha
Melangkah menuju mobil, Metira memegangi ujung topi bulat pada bagian depan agar wajahnya lebih tersembunyi. Ia tak suka wajahnya diketahui orang dan dihubungkan dengan peristiwa di kampus beberapa bulan yang lalu. Saat sampai di mobil, ia dengan segera melempar topinya ke jok penumpang, memperbaiki kaca spion untuk melihat rumah mungil di belakangnya. Ia tahu pemuda itu tadi ada di sana, di ruangan itu, saat ia berbicara dengan Davira. Ia sengaja menyinggung masa lalu Davira agar pemuda itu terusik. Metira akhirnya tersenyum penuh kemenangan. *** Meski pemuda itu sudah berusaha berubah menjadi lebih penyabar, bayangan Alvaro yang marah tetap mendominasi benaknya. Davira langsung berbalik dan bergegas mengambil apron, menyibukkan diri di dapur. “Kau sudah lama pulangnya? Biasanya kau langsung menemuiku setiap kali pulang ke rumah. Pasti karena lapar, ya?” oceh Davira. Ia
Suara ketukan di pintu seolah palu godam yang menghantam kepala Davira. Saat matanya terbuka dan kesadaran menyentaknya, ia pun menyadari bahwa suara menggelegar itu hanya ada di mimpinya. Pada kenyataannya, ketukan itu terdengar lembut dan berirama. Segera diraihnya pistol dari laci dan berjingkat menuruni anak tangga menuju lantai bawah. Meski ia sudah menduga siapa pemilik ketukan berirama itu, ia tetap harus waspada. Sambil mengintip keluar, Davira mengarahkan pistolnya ke pintu sementara sebelah tangannya membuka slot. Namun saat melihat yang datang adalah sosok sesuai dugaannya, Davira menurunkan pistol dan menyembunyikannya dipinggang. Sosok yang dimaksud adalah seorang perempuan berambut cokelat ikal dengan topi lebar yang hampir menutup seluruh wajahnya. “Hai, kau merindukanku, Dav?” sapa perempuan itu dan langsung menyelinap masuk. Davira menutup pintu di belakangnya dan mengikuti langkah perempuan itu dengan wajah kusut. “
Tubuh ramping berbalut setelan peach bermotif kupu-kupu. Rambut panjangnya dibiarkan tergerai menutupi punggung. Alvaro terdorong untuk mendekat dan berdiri di sisi perempuan itu. Ia sedang mencatat pesanan pelanggan dan bagian depan tubuhnya ditutupi celemek. Gerakannya anggun dan sangat gemulai.Alvaro berharap perempuan itu segera menoleh dan menjelaskan alasan kenapa ia berada di sini dan bekerja sebagai pelayan. Namun harapan itu memudar seiring perasaan asing yang merambat di benaknya. Ia seolah tak pernah mengenal perempuan itu.Berbalik dan duduk kembali bersama Dean dan yang lain, menunggu perempuan itu yang mendatanginya. Keputusan itu baru akan diambil Alvaro. Belum sempat ia berbalik, perempuan itu menoleh dan tersenyum.Titik pandang mereka bertemu. Perempuan muda itu nyaris sama dengan Davira. Tinggi tubuh, warna kulit, hingga raut wajah. Alvaro saja sampai terperangah dibuatnya.“Hai, teman, di mana tempat dudukmu? Di sana masih kosong. Aku antar, yuk. Sekalia