Dokter Shara kembali berurai air mata. Kehilangan suami sudah membuatnya terpukul. Kini, Dhia, anak semata wayangnya pun dalam kondisi sekarat. “Aku pikir … darahku bisa menyembuhkannya.” Alvaro meremas rambutnya, bingung. Dokter Shara menggeleng. “Darahmu tidak bisa menyembuhkannya, hanya bisa meringankan penderitaannya. Sewaktu-waktu, Dhia akan bisa kambuh kembali. Apalagi ditambah, kematian ayahnya.” Suara Dokter Shara tersendat-sendat. “Dhia sepertinya sangat terpukul.” “Ternyata darah Alvaro tak sesakti itu,” gumam Davira. “Ampuh tapi tidak permanen. Davira, kau masih ingat, saat Moreno cerita padamu tentang Serum Kelahiran? Serum itu penyebab perubahan pada Dhia. Maka kemungkinannya, serum itu yang bisa mengembalikan Dhia.” “Serum Kelahiran?” Ferro menatap bingung. “Serum Kelahiran tidak akan menyembuhkan Dhia, Dokter. Karena Dokter Moreno sudah mencobanya pada Dhia dan tidak berhasil,” bantah Davira, mengabai
“Apakah darahku mereka pakai untuk kecantikan dan ketampanan?” gumam Alvaro. Pupil matanya yang kehijauan mengelam. Davira menatap iba pemuda itu.Dokter Shara mengangguk. “Kukira kau paham sejak lama.”“Itu sebabnya Pak Daniel, Alton dan Metira, mereka tetap bugar dan terlihat muda.” Davira menyimpulkan.“Waktu itu Pak Daniel bilang dia punya penyakit … ah sudahlah. Sekarang aku sudah tahu kebenarannya.” Alvaro mengibaskan tangannya. Gusar.“Sekarang, tolong kalian tinggalkan aku. Aku butuh waktu untuk mengekstraksi darah Alvaro dan mencampurnya dengan Serum Kelahiran. Selama aku melakukan ini, tolong jaga Dhia, Davira. Aku percayakan anakku padamu.” Dokter Shara menyentuh lengan Davira.Davira menatap Dokter Shara, bimbang. “Kau yakin percaya padaku?”“Maaf kalau aku pernah tidak menyukaimu karena kau selalu memburuku dan Moreno. Tapi sekarang aku tahu, kau orang baik. Selama ini, kau hanya menjalankan tugas,” sesal Dokter Shara.Davira menatap Dokter Shara sekilas, mengangguk. “Aku
“Hai, bukan begitu cara menyambut teman lama, Alvaro Sayang.” Perempuan yang duduk di sisi kanan pintu itu tersenyum dibuat-buat. “Lihatlah Maesa, Alvaro masih tampan seperti biasanya. Bahkan kini tubuhnya lebih tegap dan kekar,” timpal teman di sebelahnya. Mereka lalu saling berpandangan dan tersenyum lebar. “Oh, jadi sekarang kalian sudah jadi tokoh antagonis? Bocah peliharaan Simurgh Sajm? Dibayar begitu tinggi, ya, sampai mau mengemis dengan mereka setelah sebelumnya diculik?” jawab Alvaro. Maesa mengangkat alis. “Diculik? Yang benar saja.” Perempuan itu terkikik geli. “Kok diculik sih? Yang benar kami bekerja dari dulu untuk Sajm dan ditugaskan untuk menjebakmu, Alvaro Sang Genus.” Selin menyeringai. Alvaro terperangah sesaat, tapi segera saja ia paham kondisinya. Kini giliran pemuda itu yang tertawa. “Aku begitu bodoh, ya. Aku nggak sadar kalau kalian mendekatiku itu adalah bagian dari rencana. Aku pikir saat itu kalian meman
“Kau belum juga mengerti?” sinis Ferro.“Kamu sengaja membiarkan Dokter Moreno dibunuh dengan orang Simurgh Sajm itu yang sebenarnya memang anak buahmu. Benar begitu?”Bibir Ferro mengerucut. Ia seperti akan mengucapkan sesuatu. Air muka jijik Alvaro perlahan menghilang, digantikan tatapan kosong.“Bukan! Bukan begitu! Yang benar adalah KAU YANG MEMBUNUHNYA! Darah di tanganmu bukan karena kau berusaha menutup luka di tenggorokannya, tapi itu darah yang menyembur saat kau menggoroknya! Dokter Moreno coba menyampaikan padaku saat sekarat dengan mengatakan kau bukan keponakannya!” Urat di pelipis Alvaro berdenyut. Dokter Shara terbelalak, air mata menggenang membasahi rambutnya yang kini lengket menutupi sebagian wajah. Ia semakin meronta di lantai.Lutut Alvaro goyah. Diamnya Ferro mejawab semua. Ferro memang membunuh Dokter Moreno, tapi sejatinya, ialah penyebab tewasnya dokter itu. Seandainya ia tak
Ferro mengendap-endap keluar dari satu ruangan ke ruangan lain. Sampai di koridor ia menghela napas lega. Ada mobil jemputannya yang menunggu di dekat hutan. Maesa dan Selin telah mengaturnya dengan sangat baik sedari awal. Ia berjalan cepat. Mobilnya hanya tinggal enam meter di depan. Tapi saat sampai, air mukanya berubah. Ia melihat Bass berdiri di samping mobil menyambutnya. Ini tidak sesuai rencananya. “Aku ditugaskan untuk melindungimu, Bos.” Bass mencegat langkah Ferro yang akan masuk mobil. Rambut dan seragam Bass berantakan serta ada bercak darah di pipinya. “Kamu berantakan sekali. Apa kau ikut bergumul dengan mereka?” Dagu Ferro menunjuk keluar. Bass tertawa lemah. “Lebih buruk dari itu. Aku pergi dari Markas Timur. Markas kita di serang RB yang dapat bantuan Jenderal Morris. Mereka datang dalam jumlah besar. Aku melihat para anggota bergelimpangan dan panik. Aku tak pernah sekacau ini.” Bass memukul pohon di sisinya. “Sialan, aku tak
Alvaro perlahan mendekat, walau ia tahu Ferro pun bisa menembaknya detik itu juga. “Sebenarnya itu bukan sandiwara. Aku benar-benar menghabiskan hidupku dalam perundungan karena tubuhku yang ceking dan terlihat lemah serta wajahku pun terlihat lebih tua dari umurku yang sebenarnya. Kuharap serum ini bisa membuatku dan orang lain menjadi awet muda dan lebih bahagia. Lalu orang-orang akan berterima kasih padaku.” Ferro mengucapkannya dengan beringsut sekali lagi dan kini kunci mobil benar-benar berada di bawakinya. “Hanya segelintir orang yang akan berterima kasih. Sebagian besar lainnya akan menghujat ….” Ferro menginjak kunci itu dan suara alarm seketika melengking di udara. Suara itu begitu keras hingga membuat Alvaro berkedip. Hal itu membuat Ferro memiliki cukup waktu untuk melesat dan menjadikan suara gaduh itu untuk kabur. Namun itu ternyata tak cukup berhasil. Alvaro menangkap bayangan Ferro, lalu turut melesat ke sepanjang korid
Davira menerobos masuk ke dalam. Menyalakan saklar dan meletakkan bungkusan makanan ke atas meja di hadapan Alvaro. “Makanlah,” lirihnya. Alvaro menggeleng. “Matikan lampunya,” pintanya. “Hah?” “Matikan lampunya!” Davira mematikan saklar kembali dan duduk di sisi Alvaro dalam gelap. “Apa gelap membuatmu nyaman?” “Mungkin.” “Apa yang kau pikirkan?” “Tak ada.” Alvaro menyandarkan punggungnya di sofa. Tatapannya kosong. Davira tidak melihat air muka Alvaro, tapi ia bisa merasakan kemarahanya. “Kau marah karena ini pertama kalinya menembak orang hingga mati. Kau marah karena dikhianati orang-orang yang kau percaya. Kau marah karena orang-orang yang mulai kau sayangi pergi,” bisik Davira lirih. Alvaro menoleh, meraba wajah Davira dan dorongan itu begitu kuat. Untuk pertama kali, diciumnya istrinya itu dengan lembut dan sungguh-sungguh. Davira menahan nafas, terkejut, tapi membiarkannya. Waj
“Aku tak yakin … ya, akan kupikirkan caranya … Anda jangan lengah … baik ….” Davira menutup telepon. Rautnya muram. Ia melemparkan ponselnya di sofa. Alvaro yang baru keluar kamar mandi terkejut. “Hai, apa yang mengganggumu, My Wife?” Alvaro memeluknya dari belakang dan rambut basah Alvaro menempel di punggung Davira. “Hmm, Metira menemukan Dokter Shara. Ia mendesak Dokter untuk bergabung di RB lagi. Aku pikir, sudah cukup keterlibatan perempuan itu. Ia sudah banyak kehilangan.” Davira berbalik dan menemukan mata kehijauan milik Alvaro. “Metira memang menyebalkan. Tapi aku tak suka ia merusak hari-hari indah kita,” gerutu Alvaro. Davira tertawa. “Kau mandi pagi-pagi sekali. Mau kemana?” “Aku harus ke kampus. Ada janji dengan dosen dan juga berlatih dengan Dean. Tapi entahlah, sepertinya aku berubah pikiran.” Jemari Alvaro ditengkuk Davira. “Karena aku? Tidak, tidak.” Davira menggeliat melepaskan diri. “Aku senang kau