“Hai, bukan begitu cara menyambut teman lama, Alvaro Sayang.” Perempuan yang duduk di sisi kanan pintu itu tersenyum dibuat-buat. “Lihatlah Maesa, Alvaro masih tampan seperti biasanya. Bahkan kini tubuhnya lebih tegap dan kekar,” timpal teman di sebelahnya. Mereka lalu saling berpandangan dan tersenyum lebar. “Oh, jadi sekarang kalian sudah jadi tokoh antagonis? Bocah peliharaan Simurgh Sajm? Dibayar begitu tinggi, ya, sampai mau mengemis dengan mereka setelah sebelumnya diculik?” jawab Alvaro. Maesa mengangkat alis. “Diculik? Yang benar saja.” Perempuan itu terkikik geli. “Kok diculik sih? Yang benar kami bekerja dari dulu untuk Sajm dan ditugaskan untuk menjebakmu, Alvaro Sang Genus.” Selin menyeringai. Alvaro terperangah sesaat, tapi segera saja ia paham kondisinya. Kini giliran pemuda itu yang tertawa. “Aku begitu bodoh, ya. Aku nggak sadar kalau kalian mendekatiku itu adalah bagian dari rencana. Aku pikir saat itu kalian meman
“Kau belum juga mengerti?” sinis Ferro.“Kamu sengaja membiarkan Dokter Moreno dibunuh dengan orang Simurgh Sajm itu yang sebenarnya memang anak buahmu. Benar begitu?”Bibir Ferro mengerucut. Ia seperti akan mengucapkan sesuatu. Air muka jijik Alvaro perlahan menghilang, digantikan tatapan kosong.“Bukan! Bukan begitu! Yang benar adalah KAU YANG MEMBUNUHNYA! Darah di tanganmu bukan karena kau berusaha menutup luka di tenggorokannya, tapi itu darah yang menyembur saat kau menggoroknya! Dokter Moreno coba menyampaikan padaku saat sekarat dengan mengatakan kau bukan keponakannya!” Urat di pelipis Alvaro berdenyut. Dokter Shara terbelalak, air mata menggenang membasahi rambutnya yang kini lengket menutupi sebagian wajah. Ia semakin meronta di lantai.Lutut Alvaro goyah. Diamnya Ferro mejawab semua. Ferro memang membunuh Dokter Moreno, tapi sejatinya, ialah penyebab tewasnya dokter itu. Seandainya ia tak
Ferro mengendap-endap keluar dari satu ruangan ke ruangan lain. Sampai di koridor ia menghela napas lega. Ada mobil jemputannya yang menunggu di dekat hutan. Maesa dan Selin telah mengaturnya dengan sangat baik sedari awal. Ia berjalan cepat. Mobilnya hanya tinggal enam meter di depan. Tapi saat sampai, air mukanya berubah. Ia melihat Bass berdiri di samping mobil menyambutnya. Ini tidak sesuai rencananya. “Aku ditugaskan untuk melindungimu, Bos.” Bass mencegat langkah Ferro yang akan masuk mobil. Rambut dan seragam Bass berantakan serta ada bercak darah di pipinya. “Kamu berantakan sekali. Apa kau ikut bergumul dengan mereka?” Dagu Ferro menunjuk keluar. Bass tertawa lemah. “Lebih buruk dari itu. Aku pergi dari Markas Timur. Markas kita di serang RB yang dapat bantuan Jenderal Morris. Mereka datang dalam jumlah besar. Aku melihat para anggota bergelimpangan dan panik. Aku tak pernah sekacau ini.” Bass memukul pohon di sisinya. “Sialan, aku tak
Alvaro perlahan mendekat, walau ia tahu Ferro pun bisa menembaknya detik itu juga. “Sebenarnya itu bukan sandiwara. Aku benar-benar menghabiskan hidupku dalam perundungan karena tubuhku yang ceking dan terlihat lemah serta wajahku pun terlihat lebih tua dari umurku yang sebenarnya. Kuharap serum ini bisa membuatku dan orang lain menjadi awet muda dan lebih bahagia. Lalu orang-orang akan berterima kasih padaku.” Ferro mengucapkannya dengan beringsut sekali lagi dan kini kunci mobil benar-benar berada di bawakinya. “Hanya segelintir orang yang akan berterima kasih. Sebagian besar lainnya akan menghujat ….” Ferro menginjak kunci itu dan suara alarm seketika melengking di udara. Suara itu begitu keras hingga membuat Alvaro berkedip. Hal itu membuat Ferro memiliki cukup waktu untuk melesat dan menjadikan suara gaduh itu untuk kabur. Namun itu ternyata tak cukup berhasil. Alvaro menangkap bayangan Ferro, lalu turut melesat ke sepanjang korid
Davira menerobos masuk ke dalam. Menyalakan saklar dan meletakkan bungkusan makanan ke atas meja di hadapan Alvaro. “Makanlah,” lirihnya. Alvaro menggeleng. “Matikan lampunya,” pintanya. “Hah?” “Matikan lampunya!” Davira mematikan saklar kembali dan duduk di sisi Alvaro dalam gelap. “Apa gelap membuatmu nyaman?” “Mungkin.” “Apa yang kau pikirkan?” “Tak ada.” Alvaro menyandarkan punggungnya di sofa. Tatapannya kosong. Davira tidak melihat air muka Alvaro, tapi ia bisa merasakan kemarahanya. “Kau marah karena ini pertama kalinya menembak orang hingga mati. Kau marah karena dikhianati orang-orang yang kau percaya. Kau marah karena orang-orang yang mulai kau sayangi pergi,” bisik Davira lirih. Alvaro menoleh, meraba wajah Davira dan dorongan itu begitu kuat. Untuk pertama kali, diciumnya istrinya itu dengan lembut dan sungguh-sungguh. Davira menahan nafas, terkejut, tapi membiarkannya. Waj
“Aku tak yakin … ya, akan kupikirkan caranya … Anda jangan lengah … baik ….” Davira menutup telepon. Rautnya muram. Ia melemparkan ponselnya di sofa. Alvaro yang baru keluar kamar mandi terkejut. “Hai, apa yang mengganggumu, My Wife?” Alvaro memeluknya dari belakang dan rambut basah Alvaro menempel di punggung Davira. “Hmm, Metira menemukan Dokter Shara. Ia mendesak Dokter untuk bergabung di RB lagi. Aku pikir, sudah cukup keterlibatan perempuan itu. Ia sudah banyak kehilangan.” Davira berbalik dan menemukan mata kehijauan milik Alvaro. “Metira memang menyebalkan. Tapi aku tak suka ia merusak hari-hari indah kita,” gerutu Alvaro. Davira tertawa. “Kau mandi pagi-pagi sekali. Mau kemana?” “Aku harus ke kampus. Ada janji dengan dosen dan juga berlatih dengan Dean. Tapi entahlah, sepertinya aku berubah pikiran.” Jemari Alvaro ditengkuk Davira. “Karena aku? Tidak, tidak.” Davira menggeliat melepaskan diri. “Aku senang kau
Tubuh ramping berbalut setelan peach bermotif kupu-kupu. Rambut panjangnya dibiarkan tergerai menutupi punggung. Alvaro terdorong untuk mendekat dan berdiri di sisi perempuan itu. Ia sedang mencatat pesanan pelanggan dan bagian depan tubuhnya ditutupi celemek. Gerakannya anggun dan sangat gemulai.Alvaro berharap perempuan itu segera menoleh dan menjelaskan alasan kenapa ia berada di sini dan bekerja sebagai pelayan. Namun harapan itu memudar seiring perasaan asing yang merambat di benaknya. Ia seolah tak pernah mengenal perempuan itu.Berbalik dan duduk kembali bersama Dean dan yang lain, menunggu perempuan itu yang mendatanginya. Keputusan itu baru akan diambil Alvaro. Belum sempat ia berbalik, perempuan itu menoleh dan tersenyum.Titik pandang mereka bertemu. Perempuan muda itu nyaris sama dengan Davira. Tinggi tubuh, warna kulit, hingga raut wajah. Alvaro saja sampai terperangah dibuatnya.“Hai, teman, di mana tempat dudukmu? Di sana masih kosong. Aku antar, yuk. Sekalia
Suara ketukan di pintu seolah palu godam yang menghantam kepala Davira. Saat matanya terbuka dan kesadaran menyentaknya, ia pun menyadari bahwa suara menggelegar itu hanya ada di mimpinya. Pada kenyataannya, ketukan itu terdengar lembut dan berirama. Segera diraihnya pistol dari laci dan berjingkat menuruni anak tangga menuju lantai bawah. Meski ia sudah menduga siapa pemilik ketukan berirama itu, ia tetap harus waspada. Sambil mengintip keluar, Davira mengarahkan pistolnya ke pintu sementara sebelah tangannya membuka slot. Namun saat melihat yang datang adalah sosok sesuai dugaannya, Davira menurunkan pistol dan menyembunyikannya dipinggang. Sosok yang dimaksud adalah seorang perempuan berambut cokelat ikal dengan topi lebar yang hampir menutup seluruh wajahnya. “Hai, kau merindukanku, Dav?” sapa perempuan itu dan langsung menyelinap masuk. Davira menutup pintu di belakangnya dan mengikuti langkah perempuan itu dengan wajah kusut. “
Alvaro berbaring di samping Davira. Mereka bertatapan, tersenyum canggung. Jemarinya mengelus pipi halus Davira. “Maaf, aku tak menanyakan kesiapanmu. Ini menjadi tak seromantis yang diinginkan oleh setiap wanita.” sesal Alvaro. “Apa yang diinginkan oleh setiap wanita?” Davira tersenyum. “Aku tahu hari itu akan tiba. Hari di mana aku menjadi istri sesungguhnya. Aku sudah cukup siap.” “Kau membuatnya menjadi seperti melakukan kewajiban saja. Aku suami yang buruk.” Alvaro megerang. Elusannya di pipi Davira terhenti.” “Tidak, bukan begitu. Itu sangat luar biasa, sungguh.” Davira meremas tangan Alvaro, cemas oleh kekecewaan yang tergurat di wajah kekasihnya. “Meski rasanya aneh karena kita sangat terburu-buru. Tiba-tiba saja aku menjadi berbeda dan ada sesuatu yang menggelegak di tubuhku dan menuntut untuk dipenuhi.” Ucapan itu membuat Alvaro tersentak. Ia pun memikirkan hal yang sama. “Kau benar, Vira. Aku menjadi sangat bergairah sejak memasuki ka
Alvaro dan Davira tak pernah menyangka bahwa di Rumah Berwarna ada kamar seluas dan seindah itu. Lantainya mengkilat dan separuhnya ditutupi dengan karpet empuk dan tebal berwarna hijau mint. Ranjang di tengah ruangan berukuran king ditutupi seprei lembut dan wangi. Di dalamnya terdapat kamar mandi dengan bath up yang besar. “Aku tak percaya bahwa kita masih menginjakkan kaki di RB. Ini sangat kontras dengan seluruh ruangan di RB yang kaku dan hanya berwarna silver,” ucap Davira meraba furniture dan seprei dengan hati-hati. “Kau salah. Seharusnya justru kamar ini representasi dari RB. RB itu artinya rumah berwarna. Tapi kenyataannya, tak ada warna dalam kehidupan RB. Kita tak dibiarkan memilih ‘warna’ kita sendiri.” Alvaro bersungut-sungut. Mengerjapkan mata, Davira tersadar Alvaro masih kesal. Sebuah kulkas berwarna merah elegan menarik perhatiannya. Ia menuju ke sana, membuka pintunya dan melongok isinya. Sebotol air dingin, sirup lemon dan bua
Perempuan itu sedang menatap layar laptopnya saat Alvaro dan Davira menyerbu masuk ke ruangan kerjanya. Di belakangnya, petugas keamanan tergesa mengikuti. “Maaf Metira, saya sudah menahan mereka tapi mereka memaksa masuk,” ucap petugas itu khawatir. Sebagai jawaban, Metira menggeleng dan memberi isyarat agar petugas itu pergi. “Hai, kalian rindu padaku? Terima kasih akhirnya kalian mau mendatangi ibu kalian ini,” sindirnya. Senyum sinis terukir di bibirnya. “Tak perlu basa-basi. Kembalikan gadis itu. Kau menginginkanku. Bukan dia,” sergah Davira, kesal. “Aku menginginkanmu?” Metira mengangkat alisnya. “Yang tepat adalah, aku menginginkan kalian. Kau dan terutama Alvaro.” “Aku tahu. Kau butuh darahku dan ketangguhan Davira,” timpal Alvaro tanpa menyembunyikan kekesalannya. “Ya.” Metira menjetikkan jari. “Jika kemurnian darah Alvaro bisa didapat dengan keturunan, maka aku mau kalian punya anak. Generasi yan
Davira memerhatikan garis pembatas putih di jalan raya. Ia tak bicara sepatah kata pun selama di mobil. Saat mengisi bahan bakar, Alvaro mampir ke mini market dan membelikan air mineral dingin untuknya. Davira menerimanya dalam diam tapi kemudian ia sadar, Alvaro mengkhawatirkan dirinya. “Hai, apa kau pikir reaksiku tadi berlebihan?” tanyanya sedikit malu. Alvaro menatapnya lembut. “Aku tahu. Tak apa. Kau panik. Kau tak suka dengan seseorang yang terlalu banyak bicara apalagi itu mengenai sesuatu tentangmu.” Davira mengangkat kepalanya. “Selama sembilan belas tahun aku bertanya-tanya, apa di luar sana aku memiliki keluarga? Seperti apa mereka? apakah rambutnya selurus rambutku dan bola matanya coklat sepertiku? Dan apa yang ia katakan tadi ….” Napas Davira tercekat.“Adalah jawaban yang selama ini aku cari. Aku tak siap. Fakta tentang saudara kembarnya yang hilang saat berumur tiga tahun dan itu adalah usia saat aku diculik. Warna biru itu ….” Ia
Apa yang akan dilakukan seseorang ketika bertemu dengan orang yang begitu mirip dengannya? Apakah ia akan antusias bertanya berasal dari mana ia? Siapa namanya? Mengapa mereka bisa memiliki tekstur rambut dan gigi yang sama seolah Tuhan menuangkan mereka pada cetakan yang sama? Alih-alih melemparkan semua pertanyaan itu, Davira justru duduk menatap perempuan di depannya dengan senyuman kaku. Meski ia mengenal dirinya seorang yang cukup mudah bergaul. Dulu, dulu sekali, kemampuannya itu ia gunakan untuk mendapatkan Spesies dengan mudah. Itu sebabnya Metira bangga padanya. Mengingatnya justru memperburuk keadaan. Perasaan aneh yang karib tadi hadir semakin kuat. “Aku Davira. Maaf ya, aku biasanya tak secanggung ini terhadap orang baru. Tapi kita benar-benar mirip … meski kuakui kau lebih lembut atau feminin? Ah semacam itu.” Davira berusaha mencairkan suasana dan tertawa. Geisha ikut tertawa lirih. “Tapi lekuk tubuhmu lebih feminin. Kau pasti seo
“Hai, sudah berapa lama kau temukan kafe ini? Minumannya enak.” Davira menyeruput es kopinya dengan nikmat. “Aku baru sekali ke sini. Dean yang mengajakku,” jawab Alvaro. Tubuhnya condong ke depan dan lagi-lagi ia melirik meja bar.“Kulihat kau gelisah dari tadi. Kenapa, Al?” Alis Davira terangkat, menyentuh jemari Alvaro. Lelaki itu sudah dari setengah jam yang lalu terus-menerus menatap ke sekeliling mereka. Bahkan pelayan yang menyajikan pesanan mereka tadi, Alvaro tatap berkali-kali. Alvaro meringis, menggeleng pelan. “Nggak. Nggak ada masalah,” jawabnya kikuk. Dielusnya jemari Davira yang berada di atas meja untuk meyakinkan perempuan itu, sementara pupilnya tetap bergerak-gerak gelisah. “Ada yang kau tunggu, Al? Dean?” “Nggak. Sudahlah, aku ke toilet dulu, ya.” Alvaro buru-buru berdiri, menghindar dari pertanyaan Davira dengan melangkah cepat, meninggalkan perempuan itu. Davira menggigit-gigit sedotan minumannya. Aura kegelisaha
Melangkah menuju mobil, Metira memegangi ujung topi bulat pada bagian depan agar wajahnya lebih tersembunyi. Ia tak suka wajahnya diketahui orang dan dihubungkan dengan peristiwa di kampus beberapa bulan yang lalu. Saat sampai di mobil, ia dengan segera melempar topinya ke jok penumpang, memperbaiki kaca spion untuk melihat rumah mungil di belakangnya. Ia tahu pemuda itu tadi ada di sana, di ruangan itu, saat ia berbicara dengan Davira. Ia sengaja menyinggung masa lalu Davira agar pemuda itu terusik. Metira akhirnya tersenyum penuh kemenangan. *** Meski pemuda itu sudah berusaha berubah menjadi lebih penyabar, bayangan Alvaro yang marah tetap mendominasi benaknya. Davira langsung berbalik dan bergegas mengambil apron, menyibukkan diri di dapur. “Kau sudah lama pulangnya? Biasanya kau langsung menemuiku setiap kali pulang ke rumah. Pasti karena lapar, ya?” oceh Davira. Ia
Suara ketukan di pintu seolah palu godam yang menghantam kepala Davira. Saat matanya terbuka dan kesadaran menyentaknya, ia pun menyadari bahwa suara menggelegar itu hanya ada di mimpinya. Pada kenyataannya, ketukan itu terdengar lembut dan berirama. Segera diraihnya pistol dari laci dan berjingkat menuruni anak tangga menuju lantai bawah. Meski ia sudah menduga siapa pemilik ketukan berirama itu, ia tetap harus waspada. Sambil mengintip keluar, Davira mengarahkan pistolnya ke pintu sementara sebelah tangannya membuka slot. Namun saat melihat yang datang adalah sosok sesuai dugaannya, Davira menurunkan pistol dan menyembunyikannya dipinggang. Sosok yang dimaksud adalah seorang perempuan berambut cokelat ikal dengan topi lebar yang hampir menutup seluruh wajahnya. “Hai, kau merindukanku, Dav?” sapa perempuan itu dan langsung menyelinap masuk. Davira menutup pintu di belakangnya dan mengikuti langkah perempuan itu dengan wajah kusut. “
Tubuh ramping berbalut setelan peach bermotif kupu-kupu. Rambut panjangnya dibiarkan tergerai menutupi punggung. Alvaro terdorong untuk mendekat dan berdiri di sisi perempuan itu. Ia sedang mencatat pesanan pelanggan dan bagian depan tubuhnya ditutupi celemek. Gerakannya anggun dan sangat gemulai.Alvaro berharap perempuan itu segera menoleh dan menjelaskan alasan kenapa ia berada di sini dan bekerja sebagai pelayan. Namun harapan itu memudar seiring perasaan asing yang merambat di benaknya. Ia seolah tak pernah mengenal perempuan itu.Berbalik dan duduk kembali bersama Dean dan yang lain, menunggu perempuan itu yang mendatanginya. Keputusan itu baru akan diambil Alvaro. Belum sempat ia berbalik, perempuan itu menoleh dan tersenyum.Titik pandang mereka bertemu. Perempuan muda itu nyaris sama dengan Davira. Tinggi tubuh, warna kulit, hingga raut wajah. Alvaro saja sampai terperangah dibuatnya.“Hai, teman, di mana tempat dudukmu? Di sana masih kosong. Aku antar, yuk. Sekalia