“Kau belum juga mengerti?” sinis Ferro.
“Kamu sengaja membiarkan Dokter Moreno dibunuh dengan orang Simurgh Sajm itu yang sebenarnya memang anak buahmu. Benar begitu?”
Bibir Ferro mengerucut. Ia seperti akan mengucapkan sesuatu. Air muka jijik Alvaro perlahan menghilang, digantikan tatapan kosong.
“Bukan! Bukan begitu! Yang benar adalah KAU YANG MEMBUNUHNYA! Darah di tanganmu bukan karena kau berusaha menutup luka di tenggorokannya, tapi itu darah yang menyembur saat kau menggoroknya! Dokter Moreno coba menyampaikan padaku saat sekarat dengan mengatakan kau bukan keponakannya!” Urat di pelipis Alvaro berdenyut. Dokter Shara terbelalak, air mata menggenang membasahi rambutnya yang kini lengket menutupi sebagian wajah. Ia semakin meronta di lantai.
Lutut Alvaro goyah. Diamnya Ferro mejawab semua. Ferro memang membunuh Dokter Moreno, tapi sejatinya, ialah penyebab tewasnya dokter itu. Seandainya ia tak
Ferro mengendap-endap keluar dari satu ruangan ke ruangan lain. Sampai di koridor ia menghela napas lega. Ada mobil jemputannya yang menunggu di dekat hutan. Maesa dan Selin telah mengaturnya dengan sangat baik sedari awal. Ia berjalan cepat. Mobilnya hanya tinggal enam meter di depan. Tapi saat sampai, air mukanya berubah. Ia melihat Bass berdiri di samping mobil menyambutnya. Ini tidak sesuai rencananya. “Aku ditugaskan untuk melindungimu, Bos.” Bass mencegat langkah Ferro yang akan masuk mobil. Rambut dan seragam Bass berantakan serta ada bercak darah di pipinya. “Kamu berantakan sekali. Apa kau ikut bergumul dengan mereka?” Dagu Ferro menunjuk keluar. Bass tertawa lemah. “Lebih buruk dari itu. Aku pergi dari Markas Timur. Markas kita di serang RB yang dapat bantuan Jenderal Morris. Mereka datang dalam jumlah besar. Aku melihat para anggota bergelimpangan dan panik. Aku tak pernah sekacau ini.” Bass memukul pohon di sisinya. “Sialan, aku tak
Alvaro perlahan mendekat, walau ia tahu Ferro pun bisa menembaknya detik itu juga. “Sebenarnya itu bukan sandiwara. Aku benar-benar menghabiskan hidupku dalam perundungan karena tubuhku yang ceking dan terlihat lemah serta wajahku pun terlihat lebih tua dari umurku yang sebenarnya. Kuharap serum ini bisa membuatku dan orang lain menjadi awet muda dan lebih bahagia. Lalu orang-orang akan berterima kasih padaku.” Ferro mengucapkannya dengan beringsut sekali lagi dan kini kunci mobil benar-benar berada di bawakinya. “Hanya segelintir orang yang akan berterima kasih. Sebagian besar lainnya akan menghujat ….” Ferro menginjak kunci itu dan suara alarm seketika melengking di udara. Suara itu begitu keras hingga membuat Alvaro berkedip. Hal itu membuat Ferro memiliki cukup waktu untuk melesat dan menjadikan suara gaduh itu untuk kabur. Namun itu ternyata tak cukup berhasil. Alvaro menangkap bayangan Ferro, lalu turut melesat ke sepanjang korid
Davira menerobos masuk ke dalam. Menyalakan saklar dan meletakkan bungkusan makanan ke atas meja di hadapan Alvaro. “Makanlah,” lirihnya. Alvaro menggeleng. “Matikan lampunya,” pintanya. “Hah?” “Matikan lampunya!” Davira mematikan saklar kembali dan duduk di sisi Alvaro dalam gelap. “Apa gelap membuatmu nyaman?” “Mungkin.” “Apa yang kau pikirkan?” “Tak ada.” Alvaro menyandarkan punggungnya di sofa. Tatapannya kosong. Davira tidak melihat air muka Alvaro, tapi ia bisa merasakan kemarahanya. “Kau marah karena ini pertama kalinya menembak orang hingga mati. Kau marah karena dikhianati orang-orang yang kau percaya. Kau marah karena orang-orang yang mulai kau sayangi pergi,” bisik Davira lirih. Alvaro menoleh, meraba wajah Davira dan dorongan itu begitu kuat. Untuk pertama kali, diciumnya istrinya itu dengan lembut dan sungguh-sungguh. Davira menahan nafas, terkejut, tapi membiarkannya. Waj
“Aku tak yakin … ya, akan kupikirkan caranya … Anda jangan lengah … baik ….” Davira menutup telepon. Rautnya muram. Ia melemparkan ponselnya di sofa. Alvaro yang baru keluar kamar mandi terkejut. “Hai, apa yang mengganggumu, My Wife?” Alvaro memeluknya dari belakang dan rambut basah Alvaro menempel di punggung Davira. “Hmm, Metira menemukan Dokter Shara. Ia mendesak Dokter untuk bergabung di RB lagi. Aku pikir, sudah cukup keterlibatan perempuan itu. Ia sudah banyak kehilangan.” Davira berbalik dan menemukan mata kehijauan milik Alvaro. “Metira memang menyebalkan. Tapi aku tak suka ia merusak hari-hari indah kita,” gerutu Alvaro. Davira tertawa. “Kau mandi pagi-pagi sekali. Mau kemana?” “Aku harus ke kampus. Ada janji dengan dosen dan juga berlatih dengan Dean. Tapi entahlah, sepertinya aku berubah pikiran.” Jemari Alvaro ditengkuk Davira. “Karena aku? Tidak, tidak.” Davira menggeliat melepaskan diri. “Aku senang kau
Tubuh ramping berbalut setelan peach bermotif kupu-kupu. Rambut panjangnya dibiarkan tergerai menutupi punggung. Alvaro terdorong untuk mendekat dan berdiri di sisi perempuan itu. Ia sedang mencatat pesanan pelanggan dan bagian depan tubuhnya ditutupi celemek. Gerakannya anggun dan sangat gemulai.Alvaro berharap perempuan itu segera menoleh dan menjelaskan alasan kenapa ia berada di sini dan bekerja sebagai pelayan. Namun harapan itu memudar seiring perasaan asing yang merambat di benaknya. Ia seolah tak pernah mengenal perempuan itu.Berbalik dan duduk kembali bersama Dean dan yang lain, menunggu perempuan itu yang mendatanginya. Keputusan itu baru akan diambil Alvaro. Belum sempat ia berbalik, perempuan itu menoleh dan tersenyum.Titik pandang mereka bertemu. Perempuan muda itu nyaris sama dengan Davira. Tinggi tubuh, warna kulit, hingga raut wajah. Alvaro saja sampai terperangah dibuatnya.“Hai, teman, di mana tempat dudukmu? Di sana masih kosong. Aku antar, yuk. Sekalia
Suara ketukan di pintu seolah palu godam yang menghantam kepala Davira. Saat matanya terbuka dan kesadaran menyentaknya, ia pun menyadari bahwa suara menggelegar itu hanya ada di mimpinya. Pada kenyataannya, ketukan itu terdengar lembut dan berirama. Segera diraihnya pistol dari laci dan berjingkat menuruni anak tangga menuju lantai bawah. Meski ia sudah menduga siapa pemilik ketukan berirama itu, ia tetap harus waspada. Sambil mengintip keluar, Davira mengarahkan pistolnya ke pintu sementara sebelah tangannya membuka slot. Namun saat melihat yang datang adalah sosok sesuai dugaannya, Davira menurunkan pistol dan menyembunyikannya dipinggang. Sosok yang dimaksud adalah seorang perempuan berambut cokelat ikal dengan topi lebar yang hampir menutup seluruh wajahnya. “Hai, kau merindukanku, Dav?” sapa perempuan itu dan langsung menyelinap masuk. Davira menutup pintu di belakangnya dan mengikuti langkah perempuan itu dengan wajah kusut. “
Melangkah menuju mobil, Metira memegangi ujung topi bulat pada bagian depan agar wajahnya lebih tersembunyi. Ia tak suka wajahnya diketahui orang dan dihubungkan dengan peristiwa di kampus beberapa bulan yang lalu. Saat sampai di mobil, ia dengan segera melempar topinya ke jok penumpang, memperbaiki kaca spion untuk melihat rumah mungil di belakangnya. Ia tahu pemuda itu tadi ada di sana, di ruangan itu, saat ia berbicara dengan Davira. Ia sengaja menyinggung masa lalu Davira agar pemuda itu terusik. Metira akhirnya tersenyum penuh kemenangan. *** Meski pemuda itu sudah berusaha berubah menjadi lebih penyabar, bayangan Alvaro yang marah tetap mendominasi benaknya. Davira langsung berbalik dan bergegas mengambil apron, menyibukkan diri di dapur. “Kau sudah lama pulangnya? Biasanya kau langsung menemuiku setiap kali pulang ke rumah. Pasti karena lapar, ya?” oceh Davira. Ia
“Hai, sudah berapa lama kau temukan kafe ini? Minumannya enak.” Davira menyeruput es kopinya dengan nikmat. “Aku baru sekali ke sini. Dean yang mengajakku,” jawab Alvaro. Tubuhnya condong ke depan dan lagi-lagi ia melirik meja bar.“Kulihat kau gelisah dari tadi. Kenapa, Al?” Alis Davira terangkat, menyentuh jemari Alvaro. Lelaki itu sudah dari setengah jam yang lalu terus-menerus menatap ke sekeliling mereka. Bahkan pelayan yang menyajikan pesanan mereka tadi, Alvaro tatap berkali-kali. Alvaro meringis, menggeleng pelan. “Nggak. Nggak ada masalah,” jawabnya kikuk. Dielusnya jemari Davira yang berada di atas meja untuk meyakinkan perempuan itu, sementara pupilnya tetap bergerak-gerak gelisah. “Ada yang kau tunggu, Al? Dean?” “Nggak. Sudahlah, aku ke toilet dulu, ya.” Alvaro buru-buru berdiri, menghindar dari pertanyaan Davira dengan melangkah cepat, meninggalkan perempuan itu. Davira menggigit-gigit sedotan minumannya. Aura kegelisaha