Lelaki itu berdiri tegak menatap lukisan burung Phoenix besar yang terbentang di hadapannya. Di bawahnya tertulis sebuah nama yang ditulis dengan bahasa Persia. Simurgh Sajm. Lelaki itu menyeringai, puas dengan pencapaian yang ia peroleh selama ini. Menjadi pemimpin sebuah organisasi besar dalam usia muda. Lamunannya terhenti saat mendengar ketukan di pintu. “Masuk,” perintahnya. Asistennya sudah memberi tahu siapa yang akan datang. “Wajahmu sangat tak enak dipandang, Bass. Kau harus banyak-banyak bercermin biar tahu sejelek apa wajahmu kalau sedang kesal,” ujarnya tertawa pada perwira polisi yang usianya dua kali lipat di atasnya. “Anak itu kabur lagi, Tuan. Aku dan intel terbaikku mengawasi mereka selama tiga bulan dan mereka kabur sia-sia. Moreno sialan!” makinya. “Hmm, sudah kubilang, jangan panggil aku Tuan. Aku Bos. Tuan hanya panggilan pria renta sementara aku masih muda, heh.” Lelaki itu mendelik. “Baik, Bos.” Bass mengangkat
“Viraaa, bangun! Ayo lari!” Seorang bocah perempuan yang Davira duga adalah dirinya, menggeliat. Dengan mata terpejam, ia berusaha mencari asal suara cadel tersebut.“Ayo! Buka matamu!” bentak suara itu.Bocah perempuan itu membuka mata. Bangkit dan kepalanya berputar.“Aku di sini,” ujarnya.Bocah perempuan itu berhenti. Ia tersenyum meski dalam muram karena telah menemukan orang yang selama ini ia cari. Bocah perempuan itu mengulurkan tangannya seperti ingin meraih seseorang. Tapi sebelum sempat meraih apa pun, terdengar jeritan melengking. “Viraaaaaa!” Davira terbangun, beringsut. Tangannya meraba pistol yang ada di bawah bantal. Setelah memastikan pistol itu berada di sana otaknya mulai berfikir jernih. Entah kenapa ia memimpikan dirinya saat kecil, padahal ia tak punya banyak ingatan tentang itu. Davira menoleh, menatap Alvaro yang meringkuk. Ia tergoda untuk menyentuh tubuh Alvaro. Tapi mereka terpisah oleh guling hingga pemuda itu cukup jauh dari j
“Apa yang kamu sembunyikan dariku, Vir?” ulang Alvaro. Davira bergeming. Misi dari Metira tentang anak dan kekhawatiran bahwa Alvaro mendengar obrolannya dengan wanita itu membuat Davira mengejang dalam pelukan Alvaro. Ia menggeliat dan mendorong tubuh Alvaro, menjauhi pemuda itu.“Apa yang kusembunyikan? Tidak ada. Apa aku seperti menyembunyikan sesuatu?” Suara Davira terdengar melengking. “Nggak. Hanya saja kamu menerima telepon di luar kamar. Alvaro mengangkat bahu dengan malas. Ia sedikit tersinggung oleh Davira yang mendorongnya. “Sudahlah, aku hanya asal bicara.” “Apa kamu sudah lama terbangun?” tanya Davira sambil berbalik. Ia tak ingin Alvaro tahu akan kegugupannya. “Nggak juga.” Alvaro memasukkan kedua tangannya ke kantong. “Maaf, tapi jangan memelukku secara mendadak dari belakang seperti itu.” Alvaro bergeming. Tatapannya menghunjam perempuan itu. Ia memilih tak menjawab dan berbalik masuk ke dalam. Alva
Menatap kamar, kesedihan semakin membuncah. Alvaro melihat Davira di ranjang, di sofa, di depan cermin, di dekat tirai, di lantai. Ia memutuskan segera berkemas dan menuju kampus. Setelah sekian lama vakum, halo apa kabar kampus? “Alvarooooo!!” teriak Dean mengejutkan Alvaro saat ia baru menjejakkan kaki di lantai kampus. Lelaki itu merangkul dan menggebuk punggungnya girang. “Kamu kemana aja?” Kehangatan Dean menyebar. Beberapa teman ikut mengerubutinya dan ber-toss ria dengannya. “Gimana kabarmu, Al? Kamu cuti selama ini?” Mereka terus bertanya dan Alvaro hanya tersenyum lebar. Mereka menceritakan beberapa kejadian lucu saat bersamanya dulu dan tak satu pun yang membahas tentang penculikannya saat itu. Keceriaan yang terkesan basa-basi tapi ternyata ia merindukan ini semua. “Jadikan kamu ikut tim basketku, Al?” Dean menariknya dari keramaian. “Kalau kamu masih butuh tim, aku bergabung. Kalau udah cukup, ya aku mundurlah. Terserah ket
“Tapi itulah yang mereka tuduhkan pada Om Moreno. Entahlah, mungkin saja benar. Karena Om Moreno menikahnya dalam usia yang sudah nggak muda lagi dan belum dikaruniai anak setelah belasan tahun pernikahan mereka. Mereka sangat menginginkan anak.” Ferro terpekur. “Aku nggak percaya,” geleng Alvaro. Ferro mengangkat kepala. “Kenapa? Bukankah kamu belum terlalu mengenal Om Moreno? Tapi percayalah, dia memang orang baik.” “Karena ….” Alvaro memiringkan kepalanya. “Karena aku bertemu dengannya dan cukup kesal karena kamu nggak bilang kalau Dokter Shara adalah istri Dokter Moreno.” “Di mana kamu melihatnya, Al?” Mata Ferro berbinar. Alvaro terdiam sesaat, tampak berfikir. “Akan kutunjukkan,” putusnya.*** “Ijinkan aku masuk,” pinta Davira tegas. Dokter Shara menatapnya dengan terheran-heran. “Kamu tidak bersama Alvaro?” tanyanya sambil cepat-cepat menutup pintu setelah memastikan tak ada orang yang melihat mereka. Davira d
“Tidak, bukan aku.” Dokter Moreno bersikeras. Dokter Shara spontan menarik Dhia. “Dhia, kita masuk, Nak,” perintahnya. Dhia mengikuti langkah ibunya dengan kaku dan melirik ayahnya sesekali. Seolah ia berharap kehadirannya di situ dapat meringankan beban ayahnya. “Lalu apa hubungan Dhia dengan ini semua?” tanya Davira sengit. Dokter Moreno terhuyung. Napasnya terdengar berat. “Mereka sudah begitu banyak mengeluarkan dana untuk penelitianku dan menganggap hasilnya nihil. Maka sebagai gantinya, mereka memaksaku menyuntik … Dhia.” “Ajaibnya, Dhia tidak mati. Bahkan saat dicek, darahnya rhesus null. Artinya, darahnya telah berubah menjadi Golden Blood. Saat itu, kami tak tahu harus bahagia atau berduka. Bahagia karena dalam bayanganku, manusia yang memiliki Golden Blood adalah manusia istimewa. Berduka karena mereka pasti akan mengambil Dhia dariku jika tahu kenyataan itu. Tapi ternyata, hasilnya tak sesuai harapan. Kesehatan Dhia terus memb
“Hai, kukira kau tak datang, Nak,” sapa Alton riang melihat kehadiran Alvaro di ruang klinik. Ruang itu ternyata sudah direnovasi dan terlalu mewah untuk ukuran Panti Asuhan. Alvaro tak menjawab, ia melirik Metira yang berada di sisi kirinya. Metira mengangkat dagu dan memandangnya dengan gusar. “Kau menyalahi peraturan yang kita buat untuk datang secara berkala ke RB.” “Aku sudah datang. Apa yang harus kulakukan sekarang?” sergah Alvaro. “Seperti biasa, ada pelanggan yang membutuhkan darahmu,” jelas Metira. “Dokter Bais, silakan Anda periksa dulu kondisinya.” Metira memanggil dokter klinik tersebut. “Tunggu! Sebelumnya aku ingin tahu terlebih dahulu, siapa pelanggan donor darahku itu?” tanya Alvaro penasaran. “Alvaro, kau menyalahi norma dalam donor darah. Pihak pendonor tak diizinkan tahu siapa penerima donornya begitu juga sebaliknya,” bantah Metira. Alvaro menggeleng. “Maaf, aku nggak akan mendonorkan darah sampai aku ta
Saat membuka mata, Alvaro menemukan dirinya berada dalam kamarnya yang dulu. Kepalanya cukup pusing akibat terlalu banyak darah yang ia donorkan. Namun saat melihat kamar itu tertata seperti sebelum ia tinggalkan, pusingnya segera terabaikan. Ia senang kamar itu belum terisi yang lain. Biasanya kamar yang kosong segera terisi oleh yang lain tapi tidak dengan kamarnya ini. “Aku nggak mengerti, kenapa Metira belum memerintahkan agar ranjangmu itu diisi yang lain. Terlalu disayangi seperti itu, membuatmu besar kepala,” canda Gio seolah mengetahui isi pikiran Alvaro. “Kalau butuh teman, kamu boleh minta pada Metira teman baru. Jangan menungguku.” Alvaro menepuk pundak Gio. Ia segera bangkit untuk berpakaian karena mengingat janjinya pada Ferro untuk menemui Dokter Moreno. Rasa tersengat yang tiba-tiba di dalam kepalanya membuat pemuda itu nyaris terjengkang jika tidak berpegangan pada tepi ranjang. “Hei, kamu nggak apa-apa, Bro?” Gio membantu menaha
Alvaro berbaring di samping Davira. Mereka bertatapan, tersenyum canggung. Jemarinya mengelus pipi halus Davira. “Maaf, aku tak menanyakan kesiapanmu. Ini menjadi tak seromantis yang diinginkan oleh setiap wanita.” sesal Alvaro. “Apa yang diinginkan oleh setiap wanita?” Davira tersenyum. “Aku tahu hari itu akan tiba. Hari di mana aku menjadi istri sesungguhnya. Aku sudah cukup siap.” “Kau membuatnya menjadi seperti melakukan kewajiban saja. Aku suami yang buruk.” Alvaro megerang. Elusannya di pipi Davira terhenti.” “Tidak, bukan begitu. Itu sangat luar biasa, sungguh.” Davira meremas tangan Alvaro, cemas oleh kekecewaan yang tergurat di wajah kekasihnya. “Meski rasanya aneh karena kita sangat terburu-buru. Tiba-tiba saja aku menjadi berbeda dan ada sesuatu yang menggelegak di tubuhku dan menuntut untuk dipenuhi.” Ucapan itu membuat Alvaro tersentak. Ia pun memikirkan hal yang sama. “Kau benar, Vira. Aku menjadi sangat bergairah sejak memasuki ka
Alvaro dan Davira tak pernah menyangka bahwa di Rumah Berwarna ada kamar seluas dan seindah itu. Lantainya mengkilat dan separuhnya ditutupi dengan karpet empuk dan tebal berwarna hijau mint. Ranjang di tengah ruangan berukuran king ditutupi seprei lembut dan wangi. Di dalamnya terdapat kamar mandi dengan bath up yang besar. “Aku tak percaya bahwa kita masih menginjakkan kaki di RB. Ini sangat kontras dengan seluruh ruangan di RB yang kaku dan hanya berwarna silver,” ucap Davira meraba furniture dan seprei dengan hati-hati. “Kau salah. Seharusnya justru kamar ini representasi dari RB. RB itu artinya rumah berwarna. Tapi kenyataannya, tak ada warna dalam kehidupan RB. Kita tak dibiarkan memilih ‘warna’ kita sendiri.” Alvaro bersungut-sungut. Mengerjapkan mata, Davira tersadar Alvaro masih kesal. Sebuah kulkas berwarna merah elegan menarik perhatiannya. Ia menuju ke sana, membuka pintunya dan melongok isinya. Sebotol air dingin, sirup lemon dan bua
Perempuan itu sedang menatap layar laptopnya saat Alvaro dan Davira menyerbu masuk ke ruangan kerjanya. Di belakangnya, petugas keamanan tergesa mengikuti. “Maaf Metira, saya sudah menahan mereka tapi mereka memaksa masuk,” ucap petugas itu khawatir. Sebagai jawaban, Metira menggeleng dan memberi isyarat agar petugas itu pergi. “Hai, kalian rindu padaku? Terima kasih akhirnya kalian mau mendatangi ibu kalian ini,” sindirnya. Senyum sinis terukir di bibirnya. “Tak perlu basa-basi. Kembalikan gadis itu. Kau menginginkanku. Bukan dia,” sergah Davira, kesal. “Aku menginginkanmu?” Metira mengangkat alisnya. “Yang tepat adalah, aku menginginkan kalian. Kau dan terutama Alvaro.” “Aku tahu. Kau butuh darahku dan ketangguhan Davira,” timpal Alvaro tanpa menyembunyikan kekesalannya. “Ya.” Metira menjetikkan jari. “Jika kemurnian darah Alvaro bisa didapat dengan keturunan, maka aku mau kalian punya anak. Generasi yan
Davira memerhatikan garis pembatas putih di jalan raya. Ia tak bicara sepatah kata pun selama di mobil. Saat mengisi bahan bakar, Alvaro mampir ke mini market dan membelikan air mineral dingin untuknya. Davira menerimanya dalam diam tapi kemudian ia sadar, Alvaro mengkhawatirkan dirinya. “Hai, apa kau pikir reaksiku tadi berlebihan?” tanyanya sedikit malu. Alvaro menatapnya lembut. “Aku tahu. Tak apa. Kau panik. Kau tak suka dengan seseorang yang terlalu banyak bicara apalagi itu mengenai sesuatu tentangmu.” Davira mengangkat kepalanya. “Selama sembilan belas tahun aku bertanya-tanya, apa di luar sana aku memiliki keluarga? Seperti apa mereka? apakah rambutnya selurus rambutku dan bola matanya coklat sepertiku? Dan apa yang ia katakan tadi ….” Napas Davira tercekat.“Adalah jawaban yang selama ini aku cari. Aku tak siap. Fakta tentang saudara kembarnya yang hilang saat berumur tiga tahun dan itu adalah usia saat aku diculik. Warna biru itu ….” Ia
Apa yang akan dilakukan seseorang ketika bertemu dengan orang yang begitu mirip dengannya? Apakah ia akan antusias bertanya berasal dari mana ia? Siapa namanya? Mengapa mereka bisa memiliki tekstur rambut dan gigi yang sama seolah Tuhan menuangkan mereka pada cetakan yang sama? Alih-alih melemparkan semua pertanyaan itu, Davira justru duduk menatap perempuan di depannya dengan senyuman kaku. Meski ia mengenal dirinya seorang yang cukup mudah bergaul. Dulu, dulu sekali, kemampuannya itu ia gunakan untuk mendapatkan Spesies dengan mudah. Itu sebabnya Metira bangga padanya. Mengingatnya justru memperburuk keadaan. Perasaan aneh yang karib tadi hadir semakin kuat. “Aku Davira. Maaf ya, aku biasanya tak secanggung ini terhadap orang baru. Tapi kita benar-benar mirip … meski kuakui kau lebih lembut atau feminin? Ah semacam itu.” Davira berusaha mencairkan suasana dan tertawa. Geisha ikut tertawa lirih. “Tapi lekuk tubuhmu lebih feminin. Kau pasti seo
“Hai, sudah berapa lama kau temukan kafe ini? Minumannya enak.” Davira menyeruput es kopinya dengan nikmat. “Aku baru sekali ke sini. Dean yang mengajakku,” jawab Alvaro. Tubuhnya condong ke depan dan lagi-lagi ia melirik meja bar.“Kulihat kau gelisah dari tadi. Kenapa, Al?” Alis Davira terangkat, menyentuh jemari Alvaro. Lelaki itu sudah dari setengah jam yang lalu terus-menerus menatap ke sekeliling mereka. Bahkan pelayan yang menyajikan pesanan mereka tadi, Alvaro tatap berkali-kali. Alvaro meringis, menggeleng pelan. “Nggak. Nggak ada masalah,” jawabnya kikuk. Dielusnya jemari Davira yang berada di atas meja untuk meyakinkan perempuan itu, sementara pupilnya tetap bergerak-gerak gelisah. “Ada yang kau tunggu, Al? Dean?” “Nggak. Sudahlah, aku ke toilet dulu, ya.” Alvaro buru-buru berdiri, menghindar dari pertanyaan Davira dengan melangkah cepat, meninggalkan perempuan itu. Davira menggigit-gigit sedotan minumannya. Aura kegelisaha
Melangkah menuju mobil, Metira memegangi ujung topi bulat pada bagian depan agar wajahnya lebih tersembunyi. Ia tak suka wajahnya diketahui orang dan dihubungkan dengan peristiwa di kampus beberapa bulan yang lalu. Saat sampai di mobil, ia dengan segera melempar topinya ke jok penumpang, memperbaiki kaca spion untuk melihat rumah mungil di belakangnya. Ia tahu pemuda itu tadi ada di sana, di ruangan itu, saat ia berbicara dengan Davira. Ia sengaja menyinggung masa lalu Davira agar pemuda itu terusik. Metira akhirnya tersenyum penuh kemenangan. *** Meski pemuda itu sudah berusaha berubah menjadi lebih penyabar, bayangan Alvaro yang marah tetap mendominasi benaknya. Davira langsung berbalik dan bergegas mengambil apron, menyibukkan diri di dapur. “Kau sudah lama pulangnya? Biasanya kau langsung menemuiku setiap kali pulang ke rumah. Pasti karena lapar, ya?” oceh Davira. Ia
Suara ketukan di pintu seolah palu godam yang menghantam kepala Davira. Saat matanya terbuka dan kesadaran menyentaknya, ia pun menyadari bahwa suara menggelegar itu hanya ada di mimpinya. Pada kenyataannya, ketukan itu terdengar lembut dan berirama. Segera diraihnya pistol dari laci dan berjingkat menuruni anak tangga menuju lantai bawah. Meski ia sudah menduga siapa pemilik ketukan berirama itu, ia tetap harus waspada. Sambil mengintip keluar, Davira mengarahkan pistolnya ke pintu sementara sebelah tangannya membuka slot. Namun saat melihat yang datang adalah sosok sesuai dugaannya, Davira menurunkan pistol dan menyembunyikannya dipinggang. Sosok yang dimaksud adalah seorang perempuan berambut cokelat ikal dengan topi lebar yang hampir menutup seluruh wajahnya. “Hai, kau merindukanku, Dav?” sapa perempuan itu dan langsung menyelinap masuk. Davira menutup pintu di belakangnya dan mengikuti langkah perempuan itu dengan wajah kusut. “
Tubuh ramping berbalut setelan peach bermotif kupu-kupu. Rambut panjangnya dibiarkan tergerai menutupi punggung. Alvaro terdorong untuk mendekat dan berdiri di sisi perempuan itu. Ia sedang mencatat pesanan pelanggan dan bagian depan tubuhnya ditutupi celemek. Gerakannya anggun dan sangat gemulai.Alvaro berharap perempuan itu segera menoleh dan menjelaskan alasan kenapa ia berada di sini dan bekerja sebagai pelayan. Namun harapan itu memudar seiring perasaan asing yang merambat di benaknya. Ia seolah tak pernah mengenal perempuan itu.Berbalik dan duduk kembali bersama Dean dan yang lain, menunggu perempuan itu yang mendatanginya. Keputusan itu baru akan diambil Alvaro. Belum sempat ia berbalik, perempuan itu menoleh dan tersenyum.Titik pandang mereka bertemu. Perempuan muda itu nyaris sama dengan Davira. Tinggi tubuh, warna kulit, hingga raut wajah. Alvaro saja sampai terperangah dibuatnya.“Hai, teman, di mana tempat dudukmu? Di sana masih kosong. Aku antar, yuk. Sekalia