Sebuah ketukan di pintu. Di baliknya, muncul wanita berpiyama. Tampak cemberut saat melihat Moreno muncul dengan wajah kusut. “Kenapa pulangnya telat? Kasihan Dhia menunggumu dari tadi. Dia udah nggak sabar liat foto-fotonya,” gerutunya. “Mohon maaf tadi aku ketemu teman lama. Sepertinya, kau juga mengenal mereka,” lirih Moreno. Tubuhnya bergeser dan terlihatlah dua tamu yang ia bawa. Alvaro dan Davira. Semula wanita itu tersenyum samar saat melihat Alvaro. Namun saat melihat Davira, senyumnya luruh dan tubuhnya gemetar. “Kenapa kau membawa mereka ke sini, Reno?” Wanita itu terkejut. “Dokter Shara?” Alvaro mengerutkan dahi. “Kalian suami istri?”Belum habis keterkejutan Alvaro, seorang bocah perempuan muncul dari belakang wanita itu. “Papa sudah pulang? Mana foto-fotonya? Aku ingin lihat, Pa,” ujarnya. Wajahnya yang mirip Dokter Moreno semringah. Alvaro termangu. Davira bahkan kehilangan kata-kata. “Tolong jangan ganggu kelua
Jika boleh memilih, Alvaro ingin menjadi seorang yang biasa-biasa saja. Bukan manusia langka yang keberadaannya bahkan diperebutkan oleh dunia. “Apa artinya, Dok? Apa istimewanya?” tanya Alvaro. “Darahmu memiliki Rhesus Null atau Rh Null yang artinya bisa cocok dengan semua orang dan semua DNA. Maka jika ada orang yang memiliki kelainan genetika atau kelainan darah, maka sumbangan darahmu akan sangat berharga bagi mereka. Intinya, dengan darahmu, kau bisa menyelamatkan banyak orang, Alvaro.” Kata-kata Dokter Moreno mengalir dengan penuh tekanan. “Lalu, bagaimana jika Alvaro yang membutuhkan darah? Tipe darah apa yang bisa membantunya?” tanya Davira hati-hati. “Darah dengan tipe Golden Blood sangat langka. Hanya ada sekitar dua puluh tiga manusia. Belum ada kabar apakah sudah ada yang meninggal. Jika ada, maka jumlahnya pasti akan lebih kecil dari itu. Jadi saranku ….” Dokter Moreno menjilat bibirnya yang kering. “Ia harus lebih berhati
Alvaro menarik tubuh Davira untuk mendekat. Davira berbau udara segar dan musk. Rambutnya terasa masih basah di tangan Alvaro. Matanya yang selalu terbuka, menelisik dan waspada meredup. Alvaro tergoda. Tapi ia tersadar. Ia tak bisa bersama Davira hanya untuk melupakan rasa sedih. Lelaki itu beringsut menjauh. Untuk beberapa saat, mereka terbaring memandang langit-langit kamar dalam diam. “Maaf,” kata Alvaro. Davira menjawab dengan lembut. “Jangan minta maaf.” Ia menoleh. “Kau akan baik-baik saja.” “Kita akan baik-baik saja,” tegas Alvaro. “Ya, kita.” Davira mengangguk. Alvaro mendekat kembali. Meletakkan kepala Davira di lengannya dengan pelan. “Kumohon satu hal, berhentilah merasa bersalah karena telah menculikku,” ucapnya hati-hati. Pupil Davira melebar. Ia membuat gerakan seolah ingin bangun tapi Alvaro menahan bahunya sehingga ia tetap berbaring dengan dada turun naik. Ia tak ingin menangis. Tapi bera
Hari ini Kamis. Alvaro bangun lebih awal. Davira sudah tidak ada di sisinya. Ia ke dapur dan melihat ke arah taman yang terhubung ke dapur melalui sebuah jendela kaca berukuran besar. Davira sedang melakukan latihan ketangkasan. Alvaro mengunyah roti buatan Davira dengan cepat. Davira masuk ke dapur dan terheran-heran. “Kamu sudah mandi? Mau kemana?” Alvaro tak menjawab. Ia mengelap bibir dan bangkit. Lengannya melingkari pinggang Davira. Davira berkeringat tapi ia tak merasa risih. “Ikutlah. Aku membuat sebuah keputusan.” “Apa?” “Aku akan ke rumah Dhia,” kata Alvaro. Davira terbelalak dan tertawa senang. “Kamu membuat moodku sangat baik,” pujinya. “Oh, tentu saja itu bukan karena Dhia. Itu pasti karena pernyataanku semalam.” Alvaro mengedipkan mata. “Tentu saja karena Dhia.” Davira mencibir. “Tolong jangan ge-er.” “Ah, masa’?” Alvaro pura-pura kaget. “Latihannya sampai sepagi itu. Pasti nggak bisa
Di hadapan Alvaro, tiga air terjun berada dalam satu lokasi. Airnya yang tertimpa matahari berkilauan. Alvaro tak pernah tau ternyata lembah Ceruk Batu memiliki air terjun seindah ini. “Jangan ke sana! Ada hal yang lebih penting,” ucap Davira saat melihat gelagat Alvaro yang ingin mendekat ke air terjun. Davira berjalan ke samping air terjun yang ditutupi pepohonan rindang dan menyibaknya.Tubuh Dokter Moreno dan Dokter Shara seketika menegang, gemetar.“Shara, syukurlah, ternyata mereka yang datang!” seru Dokter Moreno gembira saat melihat yang datang adalah Alvaro dan Davira.“Aku sudah sangat pesimis kalian akan datang.” Dokter Shara menahan tangis. Ragu-ragu Dokter Shara memegang lengan Davira mengingat perempuan itu seorang Familia. Tapi saat Davira memeluknya, isaknya pecah. “Apa yang terjadi? Kenapa Dhia?” tanya Alvaro saat melihat Dhia dalam pelukan ayahnya, terkulai. “Sudah beberapa hari ini aku merasa ada yang mengawasi kami. Puncaknya
Lelaki itu berdiri tegak menatap lukisan burung Phoenix besar yang terbentang di hadapannya. Di bawahnya tertulis sebuah nama yang ditulis dengan bahasa Persia. Simurgh Sajm. Lelaki itu menyeringai, puas dengan pencapaian yang ia peroleh selama ini. Menjadi pemimpin sebuah organisasi besar dalam usia muda. Lamunannya terhenti saat mendengar ketukan di pintu. “Masuk,” perintahnya. Asistennya sudah memberi tahu siapa yang akan datang. “Wajahmu sangat tak enak dipandang, Bass. Kau harus banyak-banyak bercermin biar tahu sejelek apa wajahmu kalau sedang kesal,” ujarnya tertawa pada perwira polisi yang usianya dua kali lipat di atasnya. “Anak itu kabur lagi, Tuan. Aku dan intel terbaikku mengawasi mereka selama tiga bulan dan mereka kabur sia-sia. Moreno sialan!” makinya. “Hmm, sudah kubilang, jangan panggil aku Tuan. Aku Bos. Tuan hanya panggilan pria renta sementara aku masih muda, heh.” Lelaki itu mendelik. “Baik, Bos.” Bass mengangkat
“Viraaa, bangun! Ayo lari!” Seorang bocah perempuan yang Davira duga adalah dirinya, menggeliat. Dengan mata terpejam, ia berusaha mencari asal suara cadel tersebut.“Ayo! Buka matamu!” bentak suara itu.Bocah perempuan itu membuka mata. Bangkit dan kepalanya berputar.“Aku di sini,” ujarnya.Bocah perempuan itu berhenti. Ia tersenyum meski dalam muram karena telah menemukan orang yang selama ini ia cari. Bocah perempuan itu mengulurkan tangannya seperti ingin meraih seseorang. Tapi sebelum sempat meraih apa pun, terdengar jeritan melengking. “Viraaaaaa!” Davira terbangun, beringsut. Tangannya meraba pistol yang ada di bawah bantal. Setelah memastikan pistol itu berada di sana otaknya mulai berfikir jernih. Entah kenapa ia memimpikan dirinya saat kecil, padahal ia tak punya banyak ingatan tentang itu. Davira menoleh, menatap Alvaro yang meringkuk. Ia tergoda untuk menyentuh tubuh Alvaro. Tapi mereka terpisah oleh guling hingga pemuda itu cukup jauh dari j
“Apa yang kamu sembunyikan dariku, Vir?” ulang Alvaro. Davira bergeming. Misi dari Metira tentang anak dan kekhawatiran bahwa Alvaro mendengar obrolannya dengan wanita itu membuat Davira mengejang dalam pelukan Alvaro. Ia menggeliat dan mendorong tubuh Alvaro, menjauhi pemuda itu.“Apa yang kusembunyikan? Tidak ada. Apa aku seperti menyembunyikan sesuatu?” Suara Davira terdengar melengking. “Nggak. Hanya saja kamu menerima telepon di luar kamar. Alvaro mengangkat bahu dengan malas. Ia sedikit tersinggung oleh Davira yang mendorongnya. “Sudahlah, aku hanya asal bicara.” “Apa kamu sudah lama terbangun?” tanya Davira sambil berbalik. Ia tak ingin Alvaro tahu akan kegugupannya. “Nggak juga.” Alvaro memasukkan kedua tangannya ke kantong. “Maaf, tapi jangan memelukku secara mendadak dari belakang seperti itu.” Alvaro bergeming. Tatapannya menghunjam perempuan itu. Ia memilih tak menjawab dan berbalik masuk ke dalam. Alva