Alvaro dan teman-temannya berdecak kagum saat melihat areal Balakosa Park yang terbentang luas. Balakosa Park adalah sebuah camping ground dengan danau luas berwarna biru kehijauan berada di tengah-tengahnya. Pohon-pohon rindang berjajar di sekitarnya seakan menyembunyikan keberadaan danau tersebut.
“Selamat datang di Balakosa Park. Salah satu camping ground terindah di pulau ini. Silakan memasang tenda kalian dan rapikan semua barang-barang. Jam satu siang kita akan makan bersama. Setelahnya kita akan ke danau dan sedikit berkeliling untuk melihat dan mempelajari sekitar kita.” Pak Son memberikan beberapa intruksi termasuk beberapa larangan dalam berkemah.
“Untuk nanti malam, jam sebelas kalian sudah harus masuk dalam tenda masing-masing. Tidak boleh ada yang berkeliaran lagi,” terang Pak Son lagi.
Setelah selesai diberi peng
Malam mulai merangkak naik. Tak bisa dipungkiri, mimpi tentang Ribby dan rencana berburu Spesies baru mengganggu mood Alvaro. Ia lebih banyak diam dan sulit fokus mengikuti agenda kegiatan. Raes dan teman-temannya dengan riang bernyanyi di tengah-tengah lapangan diiringi petikan gitar Dean. Gio berbicara santai dengan Ferro sambil menikmati menu barbeku. Api unggun terus-menerus ditambah kayu bakar. Alvaro meragukan para mahasiswa ini sudi mengikuti perintah Pak Son untuk masuk ke tenda tepat pukul sebelas. Maesa dan Selin, dua gadis itu terlihat sangat ceria malam ini. Tertawa cekikikan dengan cokelat panas di tangan dan duduk menjelepok di rerumputan. Jauh dari kesan orang kaya manja seperti yang biasa terlihat di kampus. Alvaro menghela napas. Ia merasa bersalah sempat berfikir menargetkan kedua gadis itu sebagai Spesies baru. Tapi jika b
Mendengar jeritan histeris Maesa dan Selin, Alvaro berlari mendekat. Herannya, tak satu pun dari anggota kemping yang terbangun selain mereka bertiga dengan jeritan sekeras itu. Pandangan Alvaro langsung tertuju pada danau. Pemuda itu segera sadar, hal apa yang membuat kedua gadis tersebut panik. Sesosok mayat terapung di tepi danau, tepat di sisi mereka. Kondisinya mengenaskan dengan posisi wajah ke atas. Jantung Alvaro mencelus. Di bawah sinar rembulan dan cahaya senternya, Alvaro mengenali mayat itu. "Ribby,” desis Alvaro. dadanya bagai diremas dan ia hampir tak mampu bernapas. Lututnya lemas demi melihat mayat Ribby. Seluruh tubuh mayat itu bengkak dan menghitam. Alvaro menjatuhkan diri di rerumputan. Merapatkan tubuhnya hingga menempel pada tepi danau dan berupaya menggapai jasad itu. Saat itulah ia mendengar ada suara di belakangnya. “Aaa
Lelaki itu merasakan tubuhnya seringan kapas. Ada lagu yang dimainkan berulang kali dalam kepalanya seolah tak mau pergi. Itu adalah lagu yang ia dengar saat masih bocah di restoran Boobsger. Tempat ia mengamati target Spesies. Rambut ikalnya jatuh di kening dan ia sangat ingin menyingkirkan. Tapi tangannya begitu kebas. Bahkan matanya tak sanggup terbuka sedikit pun seakan terbuat dari logam yang berat. “Hai, sepertinya dia sudah sadar. Apakah kita perlu membawanya ke Bos?” terdengar suara seseorang. “Jangan. Kita harus memastikan jenis darahnya sebelum dia dipindahkan,” timpal yang lain. “Aku pikir dia sudah diidentifikasi. Berarti keistimewaan dia masih isu,” sungut orang pertama. “Bisakah kau tidak berisik? Kita hanya perlu mematuhi peraturan. Titik.” Tegas suara orang kedua. Lelaki itu, yang ternyata Alvaro hanya diam mendengarkan. Lagu di kepalanya mulai sirna. Ia mulai bisa menyadari apa yang terjadi. Entah seberapa banyak b
“Kenapa kau nekat menghubungiku?” Angin kencang meniup rambut ekor kuda gadis itu. Sol sepatunya menginjak ranting dan menimbulkan suara gemeretak. “Entahlah. Aku liat kamu cukup dekat dengan Alvaro. Aku hanya nggak ingin kehilangan seorang teman lagi setelah Ribby pergi.” “Kamu datang pada orang yang salah. Aku nggak sedekat itu.” Gadis itu mengangkat bahu. “Kumohon. Aku tau kamu sangat peduli pada Alvaro. Kenapa sekarang tidak?” Gio menatap sungguh-sungguh. “Siapa bilang aku peduli?” Gadis itu menaikkan alis. Tenang seperti biasa, “Kamu peduli, Dav. Sangat peduli. Karena aku membersam
Kebebasan, mungkin memang tak pernah menjadi miliknya. Tapi diculik oleh orang yang tak ia kenal jauh lebih buruk. Alvaro memandangi dua lelaki yang masih mengamati objek darahnya sambil memikirkan cara untuk kabur. Irisnya menyusuri sekitar ranjang, siapa tahu ada benda berujung tajam yang bisa membantunya melepaskan diri. Pintu di sisinya terbuka. Tiga orang berpakaian ala militer melangkah masuk. “Bagaimana hasil pemeriksaan? Apakah sesuai?” tanya salah satu dari mereka. Mores mengangguk. Menepi, mempersilakan orang yang bertanya melihat objek di bawah mikroskop. Lelaki tersebut mengamati sesaat lalu menoleh, memberi isyarat pada kedua lelaki yang datang bersamanya. “Kami akan membawanya ke ruang ma
“Cepat turun, Dav! Bawa Spesies itu! Kami menyusul!” teriak Vena. Dia adalah salah satu Familia perempuan selain Davira. Lantai di bawah Alvaro serasa bergetar. Ia masih berada di bawah pengaruh obat bius. Ketika berlari layaknya kesetanan tadi, suara angin seperti gemuruh di telinganya. Ia menangkap keraguan Davira untuk meninggalkan anggota Familia yang lain. “Cepat!” Vena mendorong bahu Davira. Davira melemparkan senapannya yang telah kehabisan peluru. Tak ada pilihan lain, ia menarik Alvaro dan Gio, menuntun mereka turun menggunakan tali. Alvaro hampir merasa lega saat tiba di balkon bawah. Tapi seorang lelaki berpakaian militer tiba-tiba muncul di hadapan mereka. lelaki itu memegang pistol dan mengarahkannya ke dahi Alvaro, melirik Davira dan Gio bergantian. &n
Sebuah ketukan di pintu. Alvaro membuka mata. Sudah tiga hari ia dirawat di klinik RB. Berharap Davira berdiri di ambangnya sekadar melihat keadaannya. Tapi ternyata tidak, seraut Gio yang muncul dari balik pintu. “Hai, gimana keadaanmu? Merasa baikan?” Gio melangkah masuk dan meremas bahunya. “Sudah tiga hari di sini. Apa aku terlihat baik-baik saja?” Alvaro meringis. Infus di tangannya bergoyang. Gio tertawa. “Nikmati ajalah. Jarang-jarang bisa bersantai tanpa ada target mendapatkan Spesies dan memikirkan tugas kuliah,” candanya. Tapi frasa Spesies agaknya masih sensitif untuk Alvaro. Pemuda itu terdiam, menerawang kejadian di Balakosa Park. “Ha
Tak banyak orang yang tau tentang keberadaan Lembah Ceruk Batu. Letaknya di tengah bukit dan di kelilingi oleh batu-batu cadas dan pepohonan rimbun. Hanya lima puluh meter dari lembah, sebuah mata air mengalir dari celah-celah bebatuan. “Sudah kuduga, kamu pasti ada di sini.” Alvaro melompat di antara bebatuan. Davira mencibir. “Jangan sok menduga. Aku tau kamu mengikutiku,” tandasnya. Batu yang ia duduki datar dan berukuran besar. Cahaya matahari menimpa kulitnya yang berkilau akibat peluh. “Kamu yang duluan mengikutiku ke kampus,” Alvaro memutar matanya. “Tugasku memastikanmu aman setelah penculikan itu.”&n