Metira Jovanka melangkah cepat lalu berhenti dan mengarahkan wajahnya pada alat pemindai. Pintu baja itu terbuka. Di dalamnya, seorang pria paruh baya menyambut Metira dan meminta wanita itu duduk.
“Metira Jovanka, apa pendapatmu tentang jumlah Spesies yang terus merosot selama 10 tahun terakhir?” tanya pria itu tanpa basa-basi.
“Maaf, Tuan Alton. Laporan analisa tentang itu sudah saya serahkan setiap bulannya. Saya kira Anda memahami bagaimana kualitas Genus kita belakangan ini? Terlalu beretika dan basa-basi. Ini buruk bagi organisasi kita,” jawab Metira, mencebikkan bibirnya yang merah menyala.
Alton berdehem dan menangkupkan kedua tangannya. “Metira, menurutku yang kurang tepat adalah pendekatan yang kau gunakan. Pendekatanmu terlalu konvensional dan kurang mengikuti perkembangan zaman. Sudah saatnya menjadikan para Genus kita populer. Berprestasi di luar. Dandani mereka, jadikan pusat perhatian. Dengan begitu dia akan menjadi magnet bagi teman-temannya.”
Metira Jovanka terperangah. “Menjadikan mereka populer akan membuat mereka mudah dikenali dan terlihat. Itu pedekatan yang mengerikan, Tuan Alton,” sanggahnya.
“Jovanka, terimalah bahwa mereka bukan Jovanka muda yang saat itu depresi dan sangat tertutup. Mereka memiliki potensi untuk populer. Harusnya ini bisa berjalan lebih alami.” Alton sepertinya mulai kesal dan memanggil nama Jovanka secara langsung tanpa embel-embel Metira. Metira adalah panggilan kehormatan yang artinya ‘ibu’.
“Anda lupa selain stok Spesies yang menipis, jumlah Genus kita juga menurun. Menjadikan mereka populer seperti Anda di masa muda juga terlalu beresiko.” Suara Metira meninggi.
“Jangan bersuara tinggi terhadapku, Jovanka. Aku tahu bagaimana prosesmu bisa sampai berada di tingkat Classis. Aku bisa mengembalikanmu ke Familia kalau kau mau,” desis Alton di telinga Jovanka.
Wanita paruh baya itu berdiri, sedikit terhuyung. “Anda lupa Tuan Alton. Phylum seperti anda tidak akan bisa berbuat apa-apa tanpa saya,” tangan wanita itu mencengkeran pinggiran kursi.
“Oh, kau tersinggung? Tidak masalah Jovanka. Kita bisa melihat nanti, seberapa siap saya tanpa kau di sini.” Alton tertawa. Suaranya memuakkan Metira Jovanka.
Wanita itu melangkah ke luar, hatinya sakit saat mendengar tawa Alton masih tertinggal di belakangnya.
***
“Berhenti! Jangan lompat!” Alvaro berteriak.
“Bukan urusanmu!” Gadis yang sudah berada di tepi jembatan itu berpaling, maskaranya luntur akibat air mata yang mengering. Tapi hanya sebentar, selanjutnya ia kembali bersiap melompat.
Alvaro merasakan jantungnya berdegup kencang. Ia pernah berada di posisi itu, berdiri di sana dan mencoba mengakhiri hidup. Namun saat itu Davira datang, menggagalkan rencananya. Kini ada gadis yang tak dikenalnya, melakukan hal serupa. Ia hampir tak peduli, namun bayangan akan dirinya saat itu datang. Aaah, harusnya ia mengabaikan saja bayangan itu.
“Turun! Atau aku dorong sekalian dirimu agar jatuh!” makinya kesal. Si gadis menoleh lagi. Lalu seketika air mata mengalir deras di pipinya.
“Benar-benar tak ada yang peduli padaku.” Si gadis lalu melompat. Tubuhnya meluncur ke bawah tapi sebuah tangan menangkap pergelangannya. Ia meronta, berusaha melepaskan diri.
“Alvaro, bantu aku! Jangan mematung di sana!” pekik Davira sambil meringis. Tangannya sangat sakit. Alvaro tersadar, ditariknya tubuh Davira yang hampir ikut terjungkal. Gadis yang ingin bunuh diri ikut tertarik ke atas. Lalu tubuh ke tiganya terpental di koridor dengan napas terengah. Davira tertawa lirih. Alvaro memperhatikan wajah gadis itu yang kotor terkena tanah.
Davira mendudukkan si gadis di koridor itu. Si gadis tersedu, memukul-mukul Davira yang coba menghindar.
“Dari pada kamu mati sia-sia, setidaknya kamu bisa mati berguna untuk orang lain,” dengus Davira.
“Jangan mengguruiku. Aku memilih mati konyol dari pada melihat orang tuaku bercerai,” sergah gadis itu.
“Coba kita lihat, sepeduli apa orang tuamu saat mengetahui bahwa kau menghilang untuk selamanya.” Davira mengulum senyum.
Alvaro terperangah. Ia mulai mengerti ke arah mana pembicaraan Davira. Sebelum sadar sepenuhnya, tiba-tiba Davira mendekati Alvaro dan menekan tombol penyeranta milik lelaki itu.
“Sialan, tidakk!” Alvaro memaki. Dicekiknya leher Davira. Gadis itu terbelalak lalu menendangkan kakinya ke arah selangkangan Alvaro. Alvaro mengaduh dan tubuhnya terjatuh. Si gadis yang ingin bunuh diri memperhatikan mereka dengan bingung. Ia tidak mengerti mengapa dua orang yang baru menolongnya itu kini berkelahi.
Saat gadis itu terbengong-bengong, sebuah mobil meluncur cepat. Berhenti tepat di sisinya. Dua orang berpakaian hitam turun, membekapnya dengan sapu tangan. Si gadis berkelojotan, lalu tubuhnya hilang bersama mobil tersebut.
Davira terbatuk-batuk. Lehernya yang putih jenjang berbekas merah. Setengah terhuyung gadis itu meraih motornya yang terparkir tak jauh dari sana.
“Hei, aku belum selesai denganmu!” Alvaro mengejar gadis itu dengan terpincang-pincang.
Davira menoleh, menatap sengit padanya. “Ucapan terimakasih yang sangat manis,” dengusnya. Lalu ia pergi.
Buru-buru Alvaro meraih motornya dan melaju menyusul gadis itu. Ia benar-benar kesal dengan gadis itu sekarang. Saat melintasi rel kereta api, terdengar bunyi peluit panjang. Alvaro seketika berhenti. Matanya terbelalak dan ia menahan napas melihat motor Davira tetap melintas dengan kecepatan tinggi. Selama menunggu ular besi itu melintas, selama itu pula jantungnya berdebar.
Kereta api berlalu. Alvaro membayangkan akan menyaksikan sebuah pemandangan seram; mayat Davira tercabik di bawah lintasan kereta api. Namun ia tercengang. Davira tak ada di sana. bahkan motornya telah raib bersamanya.
Davira menghentikan motornya dan menatap Alvaro dari kejauhan. Gadis itu membuka helmnya dan sebuah senyum mengejek tersungging di bibirnya.“Dasar Genus tak tahu berterima kasih,” gumamnya. Gadis itu menarik lepas ikat rambutnya sehingga rambut panjangnya kini tergerai di bahu. Memang seharusnya ia tidak mengasihani pemuda itu.Sebuah panggilan masuk di ponselnya. Davira segera mengangkatnya. “Davira, Genus Ribby dijebak. Polisi kini sedang menuju lokasi. Kau harus selamatkan dia.” Suara Metira terdengar di seberang sana.“Apakah penyerantanya tidak berfungsi?” tanyanya heran. Selain itu ada gas air mata, pulpen penyetrum, kenapa Ribby tak memanfaatkannya untuk menyelamatkan diri? Davira bertanya-tanya dalam hati.“Pria itu mengetahuinya. Ia merebut tas Ribby dan penyerantanya tak bisa mendeteksi,” jawab Metira.“Baik. Di mana posisinya?” Davira segera mencari file tenta
Begitu tiba di dalam gedung Panti Asuhan Rumah Berwarna, Haldis dan empat orang Familia berbadan besar menyambut kedatangan mereka. Haldis tersenyum lebar pada Davira.“Bagus. Lagi-lagi kau melaksanakan tugasmu dengan baik, Davira,” puji Haldis tampak puas.Gadis itu hanya menarik sedikit ujung bibirnya. “Apa masih ada tugas untukku, Pak?” tanya Davira. Matanya melirik jarum suntik berukuran cukup besar di genggaman Haldis. Ia tahu bagaimana nasib Ribby selanjutnya.“Kau boleh kembali ke ruanganmu atau memeriksa isi rekeningmu. Silakan pesta belanja, Nona.” Haldis tergelak hingga wajahnya memerah.Di belakang Davira, Ribby mulai meronta dalam cengkeraman ke empat pria itu.“Kumohon beri aku kesempatan sekali lagi. Aku akan lebih banyak menghasilkan Spesies dan lebih hati-hati,” lelaki itu mengiba.“Kesalahanmu fatal. Kau tak tahu sudah berhadapan dengan siapa tadi.
“Jadi apa maumu?” Alvaro berjalan tergesa. Menatap sekitarnya dengan waspada. Ia merasa ada yang mengawasi mereka. “Tak ada. Hanya ingin berteman.” Ferro mengangkat bahu dan mengikutinya. Mereka terus melangkah dan sampai di lapangan basket. Dua orang gadis tampak cekikikan di kursi penonton menyaksikan beberapa pemain basket yang berpeluh. Alvaro mengenal mereka. Gadis-gadis kaya dan manja itu kuliah jurusan Bisnis. Saat sedang sibuk mengawasi, sudut mata Alvaro menangkap sebuah bola melayang ke arah kedua gadis tersebut. Terdengar jeritan tertahan. Entah bagaimana caranya, tiba-tiba Alvaro sigap melompat dan menangkap bola tersebut. Tubuh lelaki itu sedikit terhempas. Namun bola itu kini berada dalam dekapannya. “Ya ampun, cowok
“Jadi Ribby juga nggak pamit sama kamu?” Alvaro menatap penuh selidik pada teman sekamar Ribby. “Nggak ada. Aku pulang dan melihat barang-barang Ribby sudah raib begitu juga Ribby. Bahkan hari ini sudah ada penghuni baru.” Lelaki itu menunjuk ranjang di seberangnya yang mulai terisi barang. “Apa kamu nggak ingin menanyakan dengan yang lain? Siapa tau ada yang melihat Ribby terakhir kali,” desak Alvaro. “Al, kamu ini membahayakan posisi kita. Aku nggak mau disetrum listrik karena mempermasalahkan ini. Mari kita berfikir kalau Ribby dideportasi karena tidak lolos ‘kenaikan tingkat’. Selesai,” gusar lelaki itu. Baru selesai berbicara demikian, tiba-t
Davira menepati janji. Ia menemui Alvaro di belakang kampus saat jam kuliah usai. “Kenapa kamu tau kelasku di situ? Bukannya kamu nggak pernah kuliah di sini?” Alvaro menatap Davira penuh selidik. “Mempertanyakan hal-hal sesepele itu memalukan bagi anggota Rumah Berwarna. Ada pertanyaan yang lebih cerdas?” Davira tertawa kecil, memperlihatkan deretan gigi putihnya. “Sialan. Jangan-jangan kamu yang mengawasiku selama ini,” Alvaro meringis. Davira tertawa kembali dan itu seolah menghipnotis Alvaro. Lelaki itu menyukai bagaimana cara Davira tertawa hingga ekor kudanya bergerak ke kiri dan ke kanan. “Kutunjukkan sesuatu,” ujar Davira. Ia melangkah ke parkiran dengan santai. Beberapa mahasiswa menatapnya dengan terpesona. Davira membiarkan Alvaro mengikutinya. Gadis itu terus melajukan motornya, melewati jalan yang sepi,
Pagi-pagi sekali Alvaro sudah berangkat ke kampus. Ia sedikit mengantuk karena tadi malam ia menyelinap ke luar menuju gedung Familia yang berada di sayap kiri bangunan. Ia sangat berharap bisa menemui Davira untuk menanyakan perihal simbol itu. Lelaki itu menduga kuat bahwa simbol itu ada hubungan dengan dirinya di masa lalu. Ia yakin simbol itu sebuah déjà vu yang hadir dalam mimpinya. Itu sebabnya ia selalu mencari tahu makna simbol tersebut dan selalu menyangka hanya ia yang penasaran setengah mati dengan simbol tersebut. Ternyata kini, ia mengetahui bahwa ada orang lain yang mengetahui simbol tersebut dan itu membuat penasarannya semakin meningkat. Apa Davira mengetahui sesuatu tentang simbol tersebut? Apa Davira ada hubungannya dengan itu semua? Setelah cukup lama mengendap-endap di gedung Familia dan hampir kepergok beberapa kali, akhirnya Alvaro kembali ke gedungnya. Ia memutuskan meringkuk dalam selimutnya yang hangat dan m
“Kita harus menyelidiki markas mereka.” Alton memberi lingkaran pada peta besar yang ada di hadapan mereka. Selain Alton, di dalam ruangan itu ada Metira Jovanka, Haldis, Davira dan tiga Ordo lainnya yang sedang menatap serius ke arah peta. “Kami curiga kalau mereka bermarkas di sebuah gudang tua bekas pabrik yang sudah lama tak terpakai,” kata Metira sambil bersedekap. Davira memperhatikan peta tersebut dengan seksama. Mempelajari segala yang ia lihat dengan cermat. “Ini peta gudang tersebut. Davira akan masuk lewat pintu kiri dan memasang pengait di dinding yang berdekatan dengan lubang angin. Haldis masuk melalui lubang angin di sebelah timur. Sementara itu dua Familia akan mengendap-endap di bagian utara memastikan tak ada yang
Langit demikian gelap saat Davira dan yang lain bergerak ke gudang tua bekas pabrik yang diduga sarang musuh mereka. Mereka mengendap-endap dalam gelap dan bau debu beterbangan menyerang pernapasan. Haldis menyelinap dari pintu sebelah kiri diikuti dengan Davira dan tujuh Familia yang lain. Sampai di sebuah ruangan yang beraroma lembab Haldis memasang pengait pada sebuah tiang. “Davira, kau masuk ke lubang angin duluan. Nanti kau masuk ke jalur kiri. Aku melewati tepi dinding dan menunggu di atas. Sementara yang lain ikut aku ke atas, dua orang berjaga di sini,” bisik Haldis tegas. “Aku dengar dari Pak Alton, Anda yang lewat lubang angin,” tegas Davira. “Siapa pemimpi