Davira menepati janji. Ia menemui Alvaro di belakang kampus saat jam kuliah usai.
“Kenapa kamu tau kelasku di situ? Bukannya kamu nggak pernah kuliah di sini?” Alvaro menatap Davira penuh selidik.
“Mempertanyakan hal-hal sesepele itu memalukan bagi anggota Rumah Berwarna. Ada pertanyaan yang lebih cerdas?” Davira tertawa kecil, memperlihatkan deretan gigi putihnya.
“Sialan. Jangan-jangan kamu yang mengawasiku selama ini,” Alvaro meringis.
Davira tertawa kembali dan itu seolah menghipnotis Alvaro. Lelaki itu menyukai bagaimana cara Davira tertawa hingga ekor kudanya bergerak ke kiri dan ke kanan.
“Kutunjukkan sesuatu,” ujar Davira. Ia melangkah ke parkiran dengan santai. Beberapa mahasiswa menatapnya dengan terpesona.
Davira membiarkan Alvaro mengikutinya. Gadis itu terus melajukan motornya, melewati jalan yang sepi,
“Davira, satu-satunya alasan aku sering melukismu adalah, karena kau seni yang paling indah. Di alam ini, hanya wajahmu yang pantas untuk digoreskan dalam tinta. Aku, tak pernah tertarik melukis yang lain.” --Alvaro--
Pagi-pagi sekali Alvaro sudah berangkat ke kampus. Ia sedikit mengantuk karena tadi malam ia menyelinap ke luar menuju gedung Familia yang berada di sayap kiri bangunan. Ia sangat berharap bisa menemui Davira untuk menanyakan perihal simbol itu. Lelaki itu menduga kuat bahwa simbol itu ada hubungan dengan dirinya di masa lalu. Ia yakin simbol itu sebuah déjà vu yang hadir dalam mimpinya. Itu sebabnya ia selalu mencari tahu makna simbol tersebut dan selalu menyangka hanya ia yang penasaran setengah mati dengan simbol tersebut. Ternyata kini, ia mengetahui bahwa ada orang lain yang mengetahui simbol tersebut dan itu membuat penasarannya semakin meningkat. Apa Davira mengetahui sesuatu tentang simbol tersebut? Apa Davira ada hubungannya dengan itu semua? Setelah cukup lama mengendap-endap di gedung Familia dan hampir kepergok beberapa kali, akhirnya Alvaro kembali ke gedungnya. Ia memutuskan meringkuk dalam selimutnya yang hangat dan m
“Kita harus menyelidiki markas mereka.” Alton memberi lingkaran pada peta besar yang ada di hadapan mereka. Selain Alton, di dalam ruangan itu ada Metira Jovanka, Haldis, Davira dan tiga Ordo lainnya yang sedang menatap serius ke arah peta. “Kami curiga kalau mereka bermarkas di sebuah gudang tua bekas pabrik yang sudah lama tak terpakai,” kata Metira sambil bersedekap. Davira memperhatikan peta tersebut dengan seksama. Mempelajari segala yang ia lihat dengan cermat. “Ini peta gudang tersebut. Davira akan masuk lewat pintu kiri dan memasang pengait di dinding yang berdekatan dengan lubang angin. Haldis masuk melalui lubang angin di sebelah timur. Sementara itu dua Familia akan mengendap-endap di bagian utara memastikan tak ada yang
Langit demikian gelap saat Davira dan yang lain bergerak ke gudang tua bekas pabrik yang diduga sarang musuh mereka. Mereka mengendap-endap dalam gelap dan bau debu beterbangan menyerang pernapasan. Haldis menyelinap dari pintu sebelah kiri diikuti dengan Davira dan tujuh Familia yang lain. Sampai di sebuah ruangan yang beraroma lembab Haldis memasang pengait pada sebuah tiang. “Davira, kau masuk ke lubang angin duluan. Nanti kau masuk ke jalur kiri. Aku melewati tepi dinding dan menunggu di atas. Sementara yang lain ikut aku ke atas, dua orang berjaga di sini,” bisik Haldis tegas. “Aku dengar dari Pak Alton, Anda yang lewat lubang angin,” tegas Davira. “Siapa pemimpi
Makan malam bagi warga RB adalah momen di mana mereka dapat bertemu satu sama lain. Meski Genus dan Familia tidak dalam satu meja, tetapi mereka bisa saling melihat satu sama lain. “Al, daging wagyu ini lembut sekali. Sangat beda dengan makanan di kampus. Aku senang makanan di sini enak-enak,” cengir Gio sembari memandangi daging pada garpunya. “Ya, harus. Setiap tiga bulan sekali kita harus mendonorkan darah kita. Kalau nggak ditunjang dengan makanan bergizi seperti ini, kita bisa seperti zombie,” jawab Alvaro. Sembari mengunyah, irisnya mengitari ruangan. Terlihat para Ordo di bagian balkon yang makan menghadap ke arah mereka. “Haha, nggak apa-apa deh jadi zombie. Aku pengen ngerasain daging Familia
15 jam sebelumnya. “Kau yakin sudah memberikan seluruh barang penyelidikan, Davira?” Iris Metira seakan ingin menelanjangi gadis itu. Davira menatap lurus ke meja, berusaha menyembunyikan wajahnya yang sedikit memucat akibat pertanyaan itu. “Sudah, Metira,” jawabnya.“Biar kubantu menggeledahnya, Metira,” seringai Haldis.“Bisa kau tutup mulut dulu, Haldis? Aku sedang berbicara dengan Davira,” bentak Metira Jovanka.Haldis bergeming dengan raut masam.“Aku ingin mengetahui apa yang sebenarnya mereka inginkan dan penelitian apa yang mereka kembangkan. Itu yang seharusnya kalian cari. Tapi setidaknya dengan semua barang petunjuk ini, aku jadi benar-benar tau bahwa mereka memang ada dan mengincar kita.”“Sia
Hari ini berbeda. Alvaro terlihat lebih sumringah dari biasanya. Senyum sesekali menghias rautnya yang biasanya dingin dan acuh. “Dean, aku siap gabung dengan tim basketmu.” Alvaro tiba-tiba mendatangi Dean dan berucap demikian. Spontan tim basket Dean bersorak. Mereka mengangkat tubuh Alvaro dan melambungkannya ke atas sembari berteriak. Meski kikuk, Alvaro mengurai senyum menerima perlakuan itu. Saat praktikum Entomologi, Alvaro membimbing teman-temannya dengan sabar dan teratur. Tak ada yang merasa diabaikan baik laki-laki mau pun perempuan. Dalam waktu sekejap, Alvaro mendapatkan tempat di hati para mahasiswa yang sejurusan atau di luar jurusan. Namun demikian, Alvaro menyadari ada yang mengawasi dirinya. Ia yakin bukan Davira orangnya karena gadis i
Alvaro tersenyum simpul mendengar jawaban Dokter Moreno. Ia mulai rileks demi melihat keramahan Dokter Moreno. “Saya benar-benar tidak mengerti kenapa Dokter ingin tahu tentang saya. Tapi baik, saya akan memberikan sebuah informasi dengan satu syarat, saya ingin Dokter menjawab sebuah pertanyaan dari saya.” “Baik, sepakat.” Dokter Moreno mengangkat jempolnya. Saat mereka saling sepakat itulah, terdengar teriakan di luar. “Toloooooong! Namura hilaaang!” Alvaro terperanjat dan segera menghambur ke luar. Di lorong panjang kampus, Sansan menangis histeris dikerumuni mahasiswa lain. Alvaro mengenal gadis itu juga gadis ya
Alvaro menarik wajahnya lalu berdiri. Kedekatan yang baru terbangun seketika memudar. Alvaro merasa Davira demikian asing di matanya. Ia berdiri cukup lama untuk memandangi Davira yang menunduk menekuri lantai. Menunggu kemarahan Alvaro yang meledak-ledak seperti biasanya. “Katakan sesuatu, Al,” lirih Davira hampir tak terdengar di telinganya. Lelaki itu tidak menjawab. Ia bahkan mundur dan melangkah mendekati jendela. Sekejap saja bayangannya menghilang. Baik Alvaro mau pun Davira tak menyadari, ada sepasang mata yang menyaksikan perjumpaan mereka.