Setelah memasukkan buku-bukunya ke dalam tas, Alvaro bergegas ke luar kelas. Di luar sudah riuh oleh para mahasiswa yang berseliweran di sepanjang koridor. Tanpa peduli apa pun, Alvaro terus melangkah menuju gedung di seberang fakultas.
“Bisakah kau berhenti mengikutiku,” desis Alvaro pada seseorang di belakangnya tanpa menoleh.
Ferro, pemuda berkaca mata tebal itu seketika menghentikan langkah. “Aku lihat kamu mau ke perpustakaan. Mungkin kita bisa bareng. Manusia pendiam seperti kita harus berteman,” jawabnya sambil melirik takut-takut sekelompok pemuda bertampang angkuh di pinggir lapangan.
“Aku nggak mau berjalan dan berteman dengan siapa pun. Jauh-jauh dariku, ok?”
“Kumohon, aku nggak bisa melewati mereka sendirian. Mereka akan menggangguku.” Tangan Ferro terlihat gemetar.
“Aku nggak peduli. Itu urusanmu dan bukan urusanku.” Setelah berkata begitu, Alvaro mempercepat langkah. Terdengar suara para pemuda angkuh itu menggoda Ferro. Alvaro tak peduli. Ada sesuatu yang harus ia lakukan.
Di perpustakaan, Alvaro mencari artikel tentang Panti Asuhan Rumah Berwarna (RB), tempat ia dibesarkan. Ia berharap ini bisa menjawab rasa penasarannya tentang organisasi yang membesarkannya itu. Anehnya, tak ada satu pun artikel itu yang dapat dibuka. Alvaro sampai mengulangnya beberapa kali.
“Kamu tidak akan mendapatkan info apapun dari situ.” Suara dari arah belakang mengejutkan Alvaro. Ia menutup layar laptopnya dengan kasar. Dokter Moreno berdiri di belakangnya sembari menyeringai. Alvaro memucat. Apa maksud dari perkataan Dokter itu? Ia ingin bertanya namun khawatir keanggotaannya di RB akan terbongkar. Jadi ia memilih tergesa ke luar dari perpustakaan.
“Hei, kau, jangan pergi!”
Dokter Moreno memanggilnya namun ia sudah terlanjur ke luar.
***
Alvaro berhenti di sebuah toko pakaian. Ia masuk dan memilih beberapa helai celana, kaos dan kemeja. Semua berwarna gelap.
“Kenapa tidak memilih kemeja yang ini, Tuan? Ini sangat cocok dengan wajah Tuan yang tampan,” saran seorang pelayan toko wanita seraya mengangkat setelan kemeja dan celana yang tampak modis.
Alvaro meraba kemeja itu. Bahannya halus dan berkelas. Namun kemudian ia menggeleng. Bayangan teman perempuannya yang disetrum oleh Metira di aula melintas di kepalanya.
“Tidak terimakasih, yang ini saja.” Alvaro meninggalkan pelayan yang rautnya terlihat kecewa. Sebelum ke kasir, pemuda itu mengambil sebuah ransel dengan banyak kantung berwarna coklat. Ia merasa bisa menyembunyikan alat-alat ajaibnya lebih aman di sana. Sayangnya setiba di kasir saat Alvaro menyerahkan kartu debetnya, ia harus kecewa karena kasir mengatakan saldonya tidak cukup. Ia teringat sudah sebulan ini ia tidak mendapatkan seorang Spesies pun. Itu sebabnya saldonya minim.
Alvaro sedikit membanting pintu karena kesal ketika ke luar dari toko. Saat itulah ia melihat Ferro yang berjalan bergegas. “Fer!” panggilnya.
Ferro menghampirinya dengan enggan dan wajah cemberut. Ia masih kesal dengan Alvaro yang telah mengusirnya hingga pria-pria angkuh itu kembali merundungnya. “Mau apa?” ketusnya.
“Ikuti aku,” perintahnya lalu berjalan mendahului Ferro. Setiba di sebuah jalan yang cukup sepi, Alvaro menunjuk sebuah mesin minuman yang berada di sisi jalan.
“Aku belikan minuman,” ujarnya sambil memasukkan uang ke dalam mesin dan mengambil minuman yang mereka inginkan.
“Kamu kenapa tiba-tiba jadi baik?” Ferro membetulkan letak kacamatanya saat mereka duduk di sebuah bangku panjang.
Alvaro tidak menggubris pertanyaan Ferro dan memilih meneguk minumannya. Sudut matanya menangkap situasi sekitarnya yang semakin sepi. Sore semakin datang. Ia mulai meraba tombol kecil di balik kerah bajunya.
“Aku melihatmu semakin sering ke perpustakaan. Buku yang kau baca pun kelas berat. Buku-buku referensi yang kau pilih itu setingkat dengan mahasiswa pascasarjana. Tapi aku heran, kenapa nilaimu tak lebih dari B. Seperti ada yang kau tahan,” cerocos Ferro.
Alvaro membatalkan niatnya menekan tombol pemanggil. Ia baru sadar ternyata Ferro memperhatikannya selama ini. “Menahan apa? Ada-ada saja.” Alvaro mengangkat bahunya, berusaha acuh.
“Menahan kepandaianmu. Kau pura-pura bodoh, Al.”
“Kamu terlalu banyak bicara, Fer,” balas Alvaro.
“Oke, kamu nggak mau ngaku. Asal kau tahu, ya, bahkan Dokter Moreno juga sudah tahu tentang itu.”
Mendengar nama Dokter Moreno disebut, Alvaro merasakan jantungnya berdebar. Ia teringat Dokter yang tadi memergokinya mencari artikel tentang RB. Alvaro menurunkan tangannya, tak jadi menekan tombol, ditatapnya Ferro dengan sungguh-sungguh. “Seberapa dekat kamu dengan Dokter Moreno?” tanyanya.
“Cukup dekat.” Ferro tersenyum misterius. “Yang jelas aku tahu, Dokter Moreno bisa memberikan informasi yang kamu cari.
Buukk Sebuah tendangan telak mengenai rahang Alvaro. Lelaki itu mendengus. Antara gengsi dan kekaguman menguar di dirinya karena tendangan bertubi itu datang dari seorang gadis. Davira Friska Gauri, gadis itu memperkenalkan diri sebelum sparring dimulai. Ia menjadi lawan yang tangguh. Buukk Kali ini tulang keringnya yang menjadi sasaran empuk pukulan gadis itu. Sialan. Makinya dalam hati. Alvaro mulai kesal. Ia benci terlihat lemah apalagi di hadapan seorang perempuan. Davira sangat gesit dan saat bergerak kaki indahnya seolah tak menapak lantai. Alvaro semakin geram mengingat betapa cantiknya lawan sparring-nya ini. Gadis itu tersenyum miring. Ia seperti sengaja mempermainkan Alvaro. Meminta lelaki itu menyerang tapi tiba-tiba berkelit dengan mudah. Sreeett. Pukulan Davira hampir saja mengenai kepala Alvaro andai lelaki itu tidak sigap menutupi kepalanya dengan tangan. “Perhatikan kakimu, perhatikan sikumu!” teriak Haldis
Metira Jovanka melangkah cepat lalu berhenti dan mengarahkan wajahnya pada alat pemindai. Pintu baja itu terbuka. Di dalamnya, seorang pria paruh baya menyambut Metira dan meminta wanita itu duduk.“Metira Jovanka, apa pendapatmu tentang jumlah Spesies yang terus merosot selama 10 tahun terakhir?” tanya pria itu tanpa basa-basi.“Maaf, Tuan Alton. Laporan analisa tentang itu sudah saya serahkan setiap bulannya. Saya kira Anda memahami bagaimana kualitas Genus kita belakangan ini? Terlalu beretika dan basa-basi. Ini buruk bagi organisasi kita,” jawab Metira, mencebikkan bibirnya yang merah menyala.Alton berdehem dan menangkupkan kedua tangannya. “Metira, menurutku yang kurang tepat adalah pendekatan yang kau gunakan. Pendekatanmu terlalu konvensional dan kurang mengikuti perkembangan zaman. Sudah saatnya menjadikan para Genus kita populer. Berprestasi di luar. Dandani mereka, jadikan pusat perhatian. Dengan begitu
Davira menghentikan motornya dan menatap Alvaro dari kejauhan. Gadis itu membuka helmnya dan sebuah senyum mengejek tersungging di bibirnya.“Dasar Genus tak tahu berterima kasih,” gumamnya. Gadis itu menarik lepas ikat rambutnya sehingga rambut panjangnya kini tergerai di bahu. Memang seharusnya ia tidak mengasihani pemuda itu.Sebuah panggilan masuk di ponselnya. Davira segera mengangkatnya. “Davira, Genus Ribby dijebak. Polisi kini sedang menuju lokasi. Kau harus selamatkan dia.” Suara Metira terdengar di seberang sana.“Apakah penyerantanya tidak berfungsi?” tanyanya heran. Selain itu ada gas air mata, pulpen penyetrum, kenapa Ribby tak memanfaatkannya untuk menyelamatkan diri? Davira bertanya-tanya dalam hati.“Pria itu mengetahuinya. Ia merebut tas Ribby dan penyerantanya tak bisa mendeteksi,” jawab Metira.“Baik. Di mana posisinya?” Davira segera mencari file tenta
Begitu tiba di dalam gedung Panti Asuhan Rumah Berwarna, Haldis dan empat orang Familia berbadan besar menyambut kedatangan mereka. Haldis tersenyum lebar pada Davira.“Bagus. Lagi-lagi kau melaksanakan tugasmu dengan baik, Davira,” puji Haldis tampak puas.Gadis itu hanya menarik sedikit ujung bibirnya. “Apa masih ada tugas untukku, Pak?” tanya Davira. Matanya melirik jarum suntik berukuran cukup besar di genggaman Haldis. Ia tahu bagaimana nasib Ribby selanjutnya.“Kau boleh kembali ke ruanganmu atau memeriksa isi rekeningmu. Silakan pesta belanja, Nona.” Haldis tergelak hingga wajahnya memerah.Di belakang Davira, Ribby mulai meronta dalam cengkeraman ke empat pria itu.“Kumohon beri aku kesempatan sekali lagi. Aku akan lebih banyak menghasilkan Spesies dan lebih hati-hati,” lelaki itu mengiba.“Kesalahanmu fatal. Kau tak tahu sudah berhadapan dengan siapa tadi.
“Jadi apa maumu?” Alvaro berjalan tergesa. Menatap sekitarnya dengan waspada. Ia merasa ada yang mengawasi mereka. “Tak ada. Hanya ingin berteman.” Ferro mengangkat bahu dan mengikutinya. Mereka terus melangkah dan sampai di lapangan basket. Dua orang gadis tampak cekikikan di kursi penonton menyaksikan beberapa pemain basket yang berpeluh. Alvaro mengenal mereka. Gadis-gadis kaya dan manja itu kuliah jurusan Bisnis. Saat sedang sibuk mengawasi, sudut mata Alvaro menangkap sebuah bola melayang ke arah kedua gadis tersebut. Terdengar jeritan tertahan. Entah bagaimana caranya, tiba-tiba Alvaro sigap melompat dan menangkap bola tersebut. Tubuh lelaki itu sedikit terhempas. Namun bola itu kini berada dalam dekapannya. “Ya ampun, cowok
“Jadi Ribby juga nggak pamit sama kamu?” Alvaro menatap penuh selidik pada teman sekamar Ribby. “Nggak ada. Aku pulang dan melihat barang-barang Ribby sudah raib begitu juga Ribby. Bahkan hari ini sudah ada penghuni baru.” Lelaki itu menunjuk ranjang di seberangnya yang mulai terisi barang. “Apa kamu nggak ingin menanyakan dengan yang lain? Siapa tau ada yang melihat Ribby terakhir kali,” desak Alvaro. “Al, kamu ini membahayakan posisi kita. Aku nggak mau disetrum listrik karena mempermasalahkan ini. Mari kita berfikir kalau Ribby dideportasi karena tidak lolos ‘kenaikan tingkat’. Selesai,” gusar lelaki itu. Baru selesai berbicara demikian, tiba-t
Davira menepati janji. Ia menemui Alvaro di belakang kampus saat jam kuliah usai. “Kenapa kamu tau kelasku di situ? Bukannya kamu nggak pernah kuliah di sini?” Alvaro menatap Davira penuh selidik. “Mempertanyakan hal-hal sesepele itu memalukan bagi anggota Rumah Berwarna. Ada pertanyaan yang lebih cerdas?” Davira tertawa kecil, memperlihatkan deretan gigi putihnya. “Sialan. Jangan-jangan kamu yang mengawasiku selama ini,” Alvaro meringis. Davira tertawa kembali dan itu seolah menghipnotis Alvaro. Lelaki itu menyukai bagaimana cara Davira tertawa hingga ekor kudanya bergerak ke kiri dan ke kanan. “Kutunjukkan sesuatu,” ujar Davira. Ia melangkah ke parkiran dengan santai. Beberapa mahasiswa menatapnya dengan terpesona. Davira membiarkan Alvaro mengikutinya. Gadis itu terus melajukan motornya, melewati jalan yang sepi,
Pagi-pagi sekali Alvaro sudah berangkat ke kampus. Ia sedikit mengantuk karena tadi malam ia menyelinap ke luar menuju gedung Familia yang berada di sayap kiri bangunan. Ia sangat berharap bisa menemui Davira untuk menanyakan perihal simbol itu. Lelaki itu menduga kuat bahwa simbol itu ada hubungan dengan dirinya di masa lalu. Ia yakin simbol itu sebuah déjà vu yang hadir dalam mimpinya. Itu sebabnya ia selalu mencari tahu makna simbol tersebut dan selalu menyangka hanya ia yang penasaran setengah mati dengan simbol tersebut. Ternyata kini, ia mengetahui bahwa ada orang lain yang mengetahui simbol tersebut dan itu membuat penasarannya semakin meningkat. Apa Davira mengetahui sesuatu tentang simbol tersebut? Apa Davira ada hubungannya dengan itu semua? Setelah cukup lama mengendap-endap di gedung Familia dan hampir kepergok beberapa kali, akhirnya Alvaro kembali ke gedungnya. Ia memutuskan meringkuk dalam selimutnya yang hangat dan m