Tidaaak, jangan ambil anakkuu!”
Alvaro terbangun dari tidurnya. Napasnya terengah dan peluh membasahi dahi, punggung serta dadanya. Lelaki itu membuka kaos putihnya yang terasa lengket, lalu tercenung. Ia tak mampu mengingat persis mimpinya, yang mampu ia ingat hanyalah teriakan seorang wanita dan sebuah simbol yang berdenyar seperti kilatan cahaya. Sudah beberapa hari ini mimpi itu datang padanya.
“Hai, Bro, kamu nggak kenapa-kenapa ‘kan?” Gio rekan sekamar Alvaro menatap Alvaro dengan wajah khawatir. Di sisinya ada Ribby, penghuni kamar sebelah yang ikut melongo menatapnya.
“Jangan khawatir, hanya mimpi.” Alvaro meraih air mineral di atas nakas dan meminumnya.
“Dia sering mimpi sampai teriak-teriak begitu?” tanya Ribby pada Gio, menunjuk Alvaro.
“Sering. Kadang sampai menjambakku,” sungut Gio menggoda Alvaro.
“Hiih, aku nggak kuat punya teman sekamar kayak gitu,” Ribby memutar bola matanya.
“Sialan, terus aja ngomongin aku terang-terangan!” hardik Alvaro berpura-pura ingin menuangkan air mineral itu ke kepala mereka. Gio dan Ribby tergelak.
Meski mereka di luar terpaksa harus menutup diri agar ‘tak terlihat’, tapi sebagai sesama Genus, mereka bisa bercanda lepas. Hanya saja mereka juga tidak boleh menyapa Genus yang berada dalam satu sekolah atau satu kampus dengan mereka.
“Oya, lusa aku dipanggil sama Metira Jovanka tepat di usiaku yang ke 20 tahun. Aku dapat firasat, sepertinya bakal naik tingkat,” ujar Ribby dengan mata berbinar.
“Tau dari mana? Halah, paling juga dideportasi,” timpal Gio mencebik.
“Tau lah. Selama tiga tahun ini, aku menghasilkan Spesies yang banyak. Kalau kamu, bukan hanya dideportasi, Gio, tapi juga diteleportasi,” sungut Ribby.
Alvaro menatap kedua manusia di hadapannya dengan takjub. Gio dan Ribby adalah anggota Genus terceria yang pernah ia temui. Terbayang bagaimana sulitnya mereka menjalani hidup sebagai Genus yang harus ‘tak terlihat’ dengan karakternya itu, dan harus menjalankan perkerjaan layaknya kriminal.
“Tes apa saja yang kira-kira akan kita jalani? Aku selalu bertanya-tanya tentang itu.” Alvaro tercenung, menatap dinding kamar yang tanpa jendela.
Gio dan Ribby bersitatap lalu menggeleng, “Aku nggak tahu. Yang jelas, rasanya sudah tidak sabar. Menjadi Familia sepertinya lebih terhormat. Nanti aku ingin posisi sebagai programmer. Sepertinya keren. Kamu gimana, Gio?” Ribby terkekeh.
“Yang jelas, kalau aku sudah naik tingkat, aku malas ketemu kamu lagi, By. Bosan liat tampangmu.” Gio menoyor kepala Ribby.
“Sialan!” umpat Ribby mendelik.
Alvaro menarik sudut bibirnya. Ia sungguh-sungguh merasa senang dengan kebahagiaan temannya dan berharap keinginan Ribby menjadi kenyataan. Tapi entahlah, jauh di lubuk hatinya, ia meragukan itu.
***
Bunyi alarm terdengar berisik di sepanjang koridor. Puluhan Familia berjalan tergesa ke arah aula di sayap kanan bangunan. Sekejap saja mereka sudah duduk rapi, mendengarkan Metira Jovanka memberi pengarahan.
“Tugas kalian adalah mengawasi Genus. Satu Genus diawasi dua Familia. Mengawasi gerak-gerik mereka, memastikan mereka ‘tidak terlihat’, juga menghitung total prestasi mereka, ” tegas Metira Jovanka.
Davira mendengarkan setiap detil petunjuk dari Metira. Lalu mulai mengecek pada layar di mejanya, siapa Genus yang harus ia awasi.
Alvaro Daharyadika.
Davira mengklik profil lelaki itu, membaca prestasinya, mempelajari beberapa hal yang dianggap perlu. Tangannya bergerak menurunkan kursor dan melihat-lihat beberapa foto dari sketsa yang lelaki itu torehkan di kertas lecek. Ia pasti lelaki yang berbakat karena sketsa yang ia hasilkan sangat bagus. Mungkin pengawas lama yang telah menemukan gambar-gambar itu dan memasukkan dalam data Alvaro.
Davira berhenti menekan layar saat melihat di salah satu foto ada sketsa yang sangat mirip dengan dirinya. Davira mengerutkan kening. Apakah itu dirinya? Kalau iya, kenapa Alvaro menggambarnya? Apakah lelaki itu mengenalnya? Davira tersenyum saat menyadari gadis dalam sketsa itu lebih cantik dari dirinya.
Gadis itu kembali menggerakkan kursor ke arah kanan. Kini jantungnya berdegup kencang. Ia menemukan beberapa foto berisi sketsa yang sama, hanya saja diambil dari sudut yang berbeda. Sebuah simbol berinisial BD yang ditulis dengan ukiran.
Davira menghembuskan napas. Ia mengenal simbol itu.
Setelah memasukkan buku-bukunya ke dalam tas, Alvaro bergegas ke luar kelas. Di luar sudah riuh oleh para mahasiswa yang berseliweran di sepanjang koridor. Tanpa peduli apa pun, Alvaro terus melangkah menuju gedung di seberang fakultas.“Bisakah kau berhenti mengikutiku,” desis Alvaro pada seseorang di belakangnya tanpa menoleh.Ferro, pemuda berkaca mata tebal itu seketika menghentikan langkah. “Aku lihat kamu mau ke perpustakaan. Mungkin kita bisa bareng. Manusia pendiam seperti kita harus berteman,” jawabnya sambil melirik takut-takut sekelompok pemuda bertampang angkuh di pinggir lapangan.“Aku nggak mau berjalan dan berteman dengan siapa pun. Jauh-jauh dariku, ok?”“Kumohon, aku nggak bisa melewati mereka sendirian. Mereka akan menggangguku.” Tangan Ferro terlihat gemetar.“Aku nggak peduli. Itu urusanmu dan bukan urusanku.” Setelah berkata begitu,
Buukk Sebuah tendangan telak mengenai rahang Alvaro. Lelaki itu mendengus. Antara gengsi dan kekaguman menguar di dirinya karena tendangan bertubi itu datang dari seorang gadis. Davira Friska Gauri, gadis itu memperkenalkan diri sebelum sparring dimulai. Ia menjadi lawan yang tangguh. Buukk Kali ini tulang keringnya yang menjadi sasaran empuk pukulan gadis itu. Sialan. Makinya dalam hati. Alvaro mulai kesal. Ia benci terlihat lemah apalagi di hadapan seorang perempuan. Davira sangat gesit dan saat bergerak kaki indahnya seolah tak menapak lantai. Alvaro semakin geram mengingat betapa cantiknya lawan sparring-nya ini. Gadis itu tersenyum miring. Ia seperti sengaja mempermainkan Alvaro. Meminta lelaki itu menyerang tapi tiba-tiba berkelit dengan mudah. Sreeett. Pukulan Davira hampir saja mengenai kepala Alvaro andai lelaki itu tidak sigap menutupi kepalanya dengan tangan. “Perhatikan kakimu, perhatikan sikumu!” teriak Haldis
Metira Jovanka melangkah cepat lalu berhenti dan mengarahkan wajahnya pada alat pemindai. Pintu baja itu terbuka. Di dalamnya, seorang pria paruh baya menyambut Metira dan meminta wanita itu duduk.“Metira Jovanka, apa pendapatmu tentang jumlah Spesies yang terus merosot selama 10 tahun terakhir?” tanya pria itu tanpa basa-basi.“Maaf, Tuan Alton. Laporan analisa tentang itu sudah saya serahkan setiap bulannya. Saya kira Anda memahami bagaimana kualitas Genus kita belakangan ini? Terlalu beretika dan basa-basi. Ini buruk bagi organisasi kita,” jawab Metira, mencebikkan bibirnya yang merah menyala.Alton berdehem dan menangkupkan kedua tangannya. “Metira, menurutku yang kurang tepat adalah pendekatan yang kau gunakan. Pendekatanmu terlalu konvensional dan kurang mengikuti perkembangan zaman. Sudah saatnya menjadikan para Genus kita populer. Berprestasi di luar. Dandani mereka, jadikan pusat perhatian. Dengan begitu
Davira menghentikan motornya dan menatap Alvaro dari kejauhan. Gadis itu membuka helmnya dan sebuah senyum mengejek tersungging di bibirnya.“Dasar Genus tak tahu berterima kasih,” gumamnya. Gadis itu menarik lepas ikat rambutnya sehingga rambut panjangnya kini tergerai di bahu. Memang seharusnya ia tidak mengasihani pemuda itu.Sebuah panggilan masuk di ponselnya. Davira segera mengangkatnya. “Davira, Genus Ribby dijebak. Polisi kini sedang menuju lokasi. Kau harus selamatkan dia.” Suara Metira terdengar di seberang sana.“Apakah penyerantanya tidak berfungsi?” tanyanya heran. Selain itu ada gas air mata, pulpen penyetrum, kenapa Ribby tak memanfaatkannya untuk menyelamatkan diri? Davira bertanya-tanya dalam hati.“Pria itu mengetahuinya. Ia merebut tas Ribby dan penyerantanya tak bisa mendeteksi,” jawab Metira.“Baik. Di mana posisinya?” Davira segera mencari file tenta
Begitu tiba di dalam gedung Panti Asuhan Rumah Berwarna, Haldis dan empat orang Familia berbadan besar menyambut kedatangan mereka. Haldis tersenyum lebar pada Davira.“Bagus. Lagi-lagi kau melaksanakan tugasmu dengan baik, Davira,” puji Haldis tampak puas.Gadis itu hanya menarik sedikit ujung bibirnya. “Apa masih ada tugas untukku, Pak?” tanya Davira. Matanya melirik jarum suntik berukuran cukup besar di genggaman Haldis. Ia tahu bagaimana nasib Ribby selanjutnya.“Kau boleh kembali ke ruanganmu atau memeriksa isi rekeningmu. Silakan pesta belanja, Nona.” Haldis tergelak hingga wajahnya memerah.Di belakang Davira, Ribby mulai meronta dalam cengkeraman ke empat pria itu.“Kumohon beri aku kesempatan sekali lagi. Aku akan lebih banyak menghasilkan Spesies dan lebih hati-hati,” lelaki itu mengiba.“Kesalahanmu fatal. Kau tak tahu sudah berhadapan dengan siapa tadi.
“Jadi apa maumu?” Alvaro berjalan tergesa. Menatap sekitarnya dengan waspada. Ia merasa ada yang mengawasi mereka. “Tak ada. Hanya ingin berteman.” Ferro mengangkat bahu dan mengikutinya. Mereka terus melangkah dan sampai di lapangan basket. Dua orang gadis tampak cekikikan di kursi penonton menyaksikan beberapa pemain basket yang berpeluh. Alvaro mengenal mereka. Gadis-gadis kaya dan manja itu kuliah jurusan Bisnis. Saat sedang sibuk mengawasi, sudut mata Alvaro menangkap sebuah bola melayang ke arah kedua gadis tersebut. Terdengar jeritan tertahan. Entah bagaimana caranya, tiba-tiba Alvaro sigap melompat dan menangkap bola tersebut. Tubuh lelaki itu sedikit terhempas. Namun bola itu kini berada dalam dekapannya. “Ya ampun, cowok
“Jadi Ribby juga nggak pamit sama kamu?” Alvaro menatap penuh selidik pada teman sekamar Ribby. “Nggak ada. Aku pulang dan melihat barang-barang Ribby sudah raib begitu juga Ribby. Bahkan hari ini sudah ada penghuni baru.” Lelaki itu menunjuk ranjang di seberangnya yang mulai terisi barang. “Apa kamu nggak ingin menanyakan dengan yang lain? Siapa tau ada yang melihat Ribby terakhir kali,” desak Alvaro. “Al, kamu ini membahayakan posisi kita. Aku nggak mau disetrum listrik karena mempermasalahkan ini. Mari kita berfikir kalau Ribby dideportasi karena tidak lolos ‘kenaikan tingkat’. Selesai,” gusar lelaki itu. Baru selesai berbicara demikian, tiba-t
Davira menepati janji. Ia menemui Alvaro di belakang kampus saat jam kuliah usai. “Kenapa kamu tau kelasku di situ? Bukannya kamu nggak pernah kuliah di sini?” Alvaro menatap Davira penuh selidik. “Mempertanyakan hal-hal sesepele itu memalukan bagi anggota Rumah Berwarna. Ada pertanyaan yang lebih cerdas?” Davira tertawa kecil, memperlihatkan deretan gigi putihnya. “Sialan. Jangan-jangan kamu yang mengawasiku selama ini,” Alvaro meringis. Davira tertawa kembali dan itu seolah menghipnotis Alvaro. Lelaki itu menyukai bagaimana cara Davira tertawa hingga ekor kudanya bergerak ke kiri dan ke kanan. “Kutunjukkan sesuatu,” ujar Davira. Ia melangkah ke parkiran dengan santai. Beberapa mahasiswa menatapnya dengan terpesona. Davira membiarkan Alvaro mengikutinya. Gadis itu terus melajukan motornya, melewati jalan yang sepi,