Sepuluh tahun kemudian.
Alvaro tersadar dari lamunannya. Rambutnya yang sedikit memanjang dan ikal jatuh mengenai wajahnya. Ia menatap hasil coretannya dan membuang sktetsa itu ke tempat sampah di sisinya lalu ia memandang ke sekeliling. Rekan sesama Genus berjumlah sekitar 60 orang berada di ruangan yang sama dengannya. Genus adalah sebutan untuk anggota organisasi dengan level usia nol sampai sembilan belas tahun. Alvaro kini sudah berumur sembilan belas tahun dan setelah itu ia tak tahu masa depan seperti apa yang menantinya di organisasi ini.“Oke, perhatikan di depan. Lihat alat-alat ini!” Suara Metira Jovanka menggema di sudut-sudut ruangan. “Selain alat pemanggil yang tentunya sudah familiar oleh kalian, kini saya ingin memberi tambahan senjata untuk kalian.” Wanita itu mulai menunjukkan senjata tambahan tersebut. Sebuah buku yang bisa membius saat dibuka lembarannya, alat tulis yang akan memberi kejutan listrik jika ditekan tombol bagian atas dan sebuah semprotan gas air mata berbentuk pena.
“Ini semua akan membantu dan mempermudah kalian dalam mendapatkan Spesies. Dan ingat untuk ‘tidak terlihat’ karena kalian bukan siapa-siapa,” tegas Metira Jovanka seraya mengitari para remaja yang menatapnya nyaris tak berkedip.
Metira Jovanka adalah seorang wanita cantik berusia lima puluhan. Namun, jangan dibayangkan bahwa ia adalah wanita tua. Sebaliknya, kulitnya masih kencang, kenyal dan lembut seperti bayi. Rambutnya pun hitam pekat. Ia wanita yang sempurna dan semua wanita ingin memiliki semua yang ada pada dirinya kecuali sorot matanya yang tajam dan dingin. Alvaro kerap bergidik saat bersitatap dengan Metira.
“Saya ingatkan juga pada kalian. Hampir separuh dari kelas ini sudah berusia 19 tahun. Buat diri kalian berguna. Kalian harus berprestasi di sini, tapi tidak di luar sana. Prestasi adalah penentu bagi kalian untuk naik tingkatan menjadi Familia,”
“Metira.” Alvaro mengangkat tangan, “Apa yang akan terjadi pada kami yang tidak berprestasi atau tidak lolos seleksi?” tanyanya. Beberapa pasang mata kini terarah padanya, menunggu jawaban untuk pertanyaan yang sama.
Metira bergeming, tampak berpikir. Tatapannya menghujam Alvaro, “Pertanyaan tepat bagi dirimu, Alvaro. Mengingat prestasimu yang biasa itu,” jawab Metira tersenyum sinis memancing tawa kecil beberapa orang.
Wajah Alvaro merah padam. Ia benci dihina. Diliriknya beberapa orang yang menertawainya dan berupaya mengingat wajah-wajah itu.
“Bagi kalian yang tidak lolos, kalian akan dideportasi. Tidak bisa menetap di sini lagi.” Langkah Metira menjauh. “Sudah ya, saya tak ingin mendengar pertanyaan seperti ini lagi. Fokus saja pada prestasi kalian. Semakin baik ilmu bela diri kalian, semakin baik berakting, maka semakin banyak Spesies yang akan kalian dapatkan. Semakin banyak Spesies itu artinya, kalian makin mudah naik tingkat. Camkan itu baik-baik,” tegas Metira.Alvaro menegakkan tubuh. Ia merasa tak nyaman berada di ruangan itu. Masih banyak pertanyaan mengisi kepalanya dan tak kunjung menemukan jawaban.
“Metira, aku memiliki sebuah gaun berwarna cerah. Rencananya, aku akan memakainya di akhir pekan. Aku mau keluar bersama teman-temanku dan tolong beri aku ijin. Ini pesta yang meriah. Aku akan tampil cantik dan mencari Spesies yang tepat,” ujar seorang gadis yang duduk persis di depan Alvaro.
Metira menoleh, memiringkan kepala dan tampak takjub. “Ooh, kau ingin berkencan?” Metira Jovanka tersenyum dan melangkah pelan ke arah gadis itu. Beberapa orang terdengar tertawa kecil, tapi tidak dengan Alvaro. Ia melihat Metira menggenggam sesuatu.
Awalnya gadis itu merona dan senyum malu menghiasi wajahnya. Hanya sesaat, sedetik kemudian ia menyadari ada yang salah. Matanya terbelalak dan tangannya berusaha untuk menutupi lehernya. Terlambat. Wanita bermata tajam itu menempelkan bolpoin beraliran listrik ke leher si gadis. Gadis itu terbelalak, berkelejotan lalu tak sadarkan diri.
Napas tertahan, hening, kini tak ada lagi yang berani membuka mulutnya. Metira menyeringai. “Kalian lihat kerja alat ini? Kecil tapi sungguh berguna. Begitu juga kalian. Buat diri kalian berguna. Jangan pernah ke pesta. Jangan pernah menggunakan pakaian atau asesoris apa pun yang berwarna terang. Ingat, kalian bu-kan siapa-siapa.” Lalu kelas itu bubar. Beberapa Genus yang lain membantu si gadis pingsan kembali ke kamarnya.
Alvaro melangkah pelan di antara yang lain. Saat melewati beberapa penjaga, matanya bersitatap dengan seorang gadis berpakaian hitam yang ia tahu dua tahun lebih tua darinya. Gadis itu adalah salah satu yang lolos seleksi hingga bisa sampai tahap Familia. Gadis itu pula yang pernah menyelamatkan hidupnya.
“Davira, Barsha mencarimu.” Alvaro mendengar seseorang berbicara pada gadis itu. Davira mengangguk lalu pergi. Diam-diam, Alvaro mencatat nama gadis itu di benaknya.
Tidaaak, jangan ambil anakkuu!”Alvaro terbangun dari tidurnya. Napasnya terengah dan peluh membasahi dahi, punggung serta dadanya. Lelaki itu membuka kaos putihnya yang terasa lengket, lalu tercenung. Ia tak mampu mengingat persis mimpinya, yang mampu ia ingat hanyalah teriakan seorang wanita dan sebuah simbol yang berdenyar seperti kilatan cahaya. Sudah beberapa hari ini mimpi itu datang padanya.“Hai, Bro, kamu nggak kenapa-kenapa ‘kan?” Gio rekan sekamar Alvaro menatap Alvaro dengan wajah khawatir. Di sisinya ada Ribby, penghuni kamar sebelah yang ikut melongo menatapnya.“Jangan khawatir, hanya mimpi.” Alvaro meraih air mineral di atas nakas dan meminumnya.“Dia sering mimpi sampai teriak-teriak begitu?” tanya Ribby pada Gio, menunjuk Alvaro.“Sering. Kadang sampai menjambakku,” sungut Gio menggoda Alvaro.“Hiih, aku nggak kuat punya teman sekamar kayak gitu,” Ribby
Setelah memasukkan buku-bukunya ke dalam tas, Alvaro bergegas ke luar kelas. Di luar sudah riuh oleh para mahasiswa yang berseliweran di sepanjang koridor. Tanpa peduli apa pun, Alvaro terus melangkah menuju gedung di seberang fakultas.“Bisakah kau berhenti mengikutiku,” desis Alvaro pada seseorang di belakangnya tanpa menoleh.Ferro, pemuda berkaca mata tebal itu seketika menghentikan langkah. “Aku lihat kamu mau ke perpustakaan. Mungkin kita bisa bareng. Manusia pendiam seperti kita harus berteman,” jawabnya sambil melirik takut-takut sekelompok pemuda bertampang angkuh di pinggir lapangan.“Aku nggak mau berjalan dan berteman dengan siapa pun. Jauh-jauh dariku, ok?”“Kumohon, aku nggak bisa melewati mereka sendirian. Mereka akan menggangguku.” Tangan Ferro terlihat gemetar.“Aku nggak peduli. Itu urusanmu dan bukan urusanku.” Setelah berkata begitu,
Buukk Sebuah tendangan telak mengenai rahang Alvaro. Lelaki itu mendengus. Antara gengsi dan kekaguman menguar di dirinya karena tendangan bertubi itu datang dari seorang gadis. Davira Friska Gauri, gadis itu memperkenalkan diri sebelum sparring dimulai. Ia menjadi lawan yang tangguh. Buukk Kali ini tulang keringnya yang menjadi sasaran empuk pukulan gadis itu. Sialan. Makinya dalam hati. Alvaro mulai kesal. Ia benci terlihat lemah apalagi di hadapan seorang perempuan. Davira sangat gesit dan saat bergerak kaki indahnya seolah tak menapak lantai. Alvaro semakin geram mengingat betapa cantiknya lawan sparring-nya ini. Gadis itu tersenyum miring. Ia seperti sengaja mempermainkan Alvaro. Meminta lelaki itu menyerang tapi tiba-tiba berkelit dengan mudah. Sreeett. Pukulan Davira hampir saja mengenai kepala Alvaro andai lelaki itu tidak sigap menutupi kepalanya dengan tangan. “Perhatikan kakimu, perhatikan sikumu!” teriak Haldis
Metira Jovanka melangkah cepat lalu berhenti dan mengarahkan wajahnya pada alat pemindai. Pintu baja itu terbuka. Di dalamnya, seorang pria paruh baya menyambut Metira dan meminta wanita itu duduk.“Metira Jovanka, apa pendapatmu tentang jumlah Spesies yang terus merosot selama 10 tahun terakhir?” tanya pria itu tanpa basa-basi.“Maaf, Tuan Alton. Laporan analisa tentang itu sudah saya serahkan setiap bulannya. Saya kira Anda memahami bagaimana kualitas Genus kita belakangan ini? Terlalu beretika dan basa-basi. Ini buruk bagi organisasi kita,” jawab Metira, mencebikkan bibirnya yang merah menyala.Alton berdehem dan menangkupkan kedua tangannya. “Metira, menurutku yang kurang tepat adalah pendekatan yang kau gunakan. Pendekatanmu terlalu konvensional dan kurang mengikuti perkembangan zaman. Sudah saatnya menjadikan para Genus kita populer. Berprestasi di luar. Dandani mereka, jadikan pusat perhatian. Dengan begitu
Davira menghentikan motornya dan menatap Alvaro dari kejauhan. Gadis itu membuka helmnya dan sebuah senyum mengejek tersungging di bibirnya.“Dasar Genus tak tahu berterima kasih,” gumamnya. Gadis itu menarik lepas ikat rambutnya sehingga rambut panjangnya kini tergerai di bahu. Memang seharusnya ia tidak mengasihani pemuda itu.Sebuah panggilan masuk di ponselnya. Davira segera mengangkatnya. “Davira, Genus Ribby dijebak. Polisi kini sedang menuju lokasi. Kau harus selamatkan dia.” Suara Metira terdengar di seberang sana.“Apakah penyerantanya tidak berfungsi?” tanyanya heran. Selain itu ada gas air mata, pulpen penyetrum, kenapa Ribby tak memanfaatkannya untuk menyelamatkan diri? Davira bertanya-tanya dalam hati.“Pria itu mengetahuinya. Ia merebut tas Ribby dan penyerantanya tak bisa mendeteksi,” jawab Metira.“Baik. Di mana posisinya?” Davira segera mencari file tenta
Begitu tiba di dalam gedung Panti Asuhan Rumah Berwarna, Haldis dan empat orang Familia berbadan besar menyambut kedatangan mereka. Haldis tersenyum lebar pada Davira.“Bagus. Lagi-lagi kau melaksanakan tugasmu dengan baik, Davira,” puji Haldis tampak puas.Gadis itu hanya menarik sedikit ujung bibirnya. “Apa masih ada tugas untukku, Pak?” tanya Davira. Matanya melirik jarum suntik berukuran cukup besar di genggaman Haldis. Ia tahu bagaimana nasib Ribby selanjutnya.“Kau boleh kembali ke ruanganmu atau memeriksa isi rekeningmu. Silakan pesta belanja, Nona.” Haldis tergelak hingga wajahnya memerah.Di belakang Davira, Ribby mulai meronta dalam cengkeraman ke empat pria itu.“Kumohon beri aku kesempatan sekali lagi. Aku akan lebih banyak menghasilkan Spesies dan lebih hati-hati,” lelaki itu mengiba.“Kesalahanmu fatal. Kau tak tahu sudah berhadapan dengan siapa tadi.
“Jadi apa maumu?” Alvaro berjalan tergesa. Menatap sekitarnya dengan waspada. Ia merasa ada yang mengawasi mereka. “Tak ada. Hanya ingin berteman.” Ferro mengangkat bahu dan mengikutinya. Mereka terus melangkah dan sampai di lapangan basket. Dua orang gadis tampak cekikikan di kursi penonton menyaksikan beberapa pemain basket yang berpeluh. Alvaro mengenal mereka. Gadis-gadis kaya dan manja itu kuliah jurusan Bisnis. Saat sedang sibuk mengawasi, sudut mata Alvaro menangkap sebuah bola melayang ke arah kedua gadis tersebut. Terdengar jeritan tertahan. Entah bagaimana caranya, tiba-tiba Alvaro sigap melompat dan menangkap bola tersebut. Tubuh lelaki itu sedikit terhempas. Namun bola itu kini berada dalam dekapannya. “Ya ampun, cowok
“Jadi Ribby juga nggak pamit sama kamu?” Alvaro menatap penuh selidik pada teman sekamar Ribby. “Nggak ada. Aku pulang dan melihat barang-barang Ribby sudah raib begitu juga Ribby. Bahkan hari ini sudah ada penghuni baru.” Lelaki itu menunjuk ranjang di seberangnya yang mulai terisi barang. “Apa kamu nggak ingin menanyakan dengan yang lain? Siapa tau ada yang melihat Ribby terakhir kali,” desak Alvaro. “Al, kamu ini membahayakan posisi kita. Aku nggak mau disetrum listrik karena mempermasalahkan ini. Mari kita berfikir kalau Ribby dideportasi karena tidak lolos ‘kenaikan tingkat’. Selesai,” gusar lelaki itu. Baru selesai berbicara demikian, tiba-t