"Nisa liat Papah. Walaupun semua pencapaian perusahaan adalah hasil dari ketekunan dan kedisiplinan Damar beberapa tahun terakhir, tetapi perusahaan ini masih milik papah, kapan pun bisa papah alih tangankan jika kamu mau." Chandra menatap lekat netra putri terkasihnya."Nisa nggak pandai mengelola perusahaan, Pah. Bisa goyah perusahaan kalau Nisa yang pegang," ujar Nisa."Setidaknya kamu harus faham, Papah nggak mau kamu di tindas Damar setelah Papah nggak ada," ucap Chandra, mengingatkan putri yang terlihat masih kecil ini."Papah nggak usah khawatir, Nisa sudah besar, sudah bisa jaga diri, Nisa akan berusaha mandiri, Nih nisa mau coba-coba menyalurkan apa yang Nisa bisa," ucap Nisa riang seolah tak terbebani."Kamu harus segera mengandung, Nis. Karna jika kamu mengandung dan melahirkan anak, maka anak kamu yang akan mewarisi semua peninggalan papah." Chandra memberitahu Nisa perihal pelimpahan kekuasaan."Ini salinan dari pelimpahan kekuasaan Papah ke Damar. Jika Damar berbuat cu
"Ibu Bapak guru semua saya mau memperkenalkan guru baru di sekolah kita." Emir memperkenalkan Nisa pada semua guru di ruang kantor. Perkenalan berlanjut dengan senda gurau yang terjadi di ruang kantor, ternyata menyenangkan berkumpul dengan orang-orang yang satu visi misi. "Semoga betah bergabung di sini, Bu Nisa," ucap seorang Bapak setengah tua.Nisa mengangguk, sudut bibirnya terus menyunggingkan senyum. Untuk beberapa saat hilang segala resah dan kegundahan.Jam sekolah berakhir, Nisa dan Dini jalan beriringan menuju parkiran yang letaknya di sebelah gerbang utama sekolah. "Bu Nisa pulang naik apa?" tanya Dini. "Naik ini?" Wanita itu menunjuk mobil berwarna silver. Mulut Dini meng Oh. Bibirnya membulat membentuk huruf O. "Eh busyet, guru baru bawaannya udah mobil," monolog Dini. "Bu Dini, naik apa?" tanya balik Nisa. "Saya bawa motor, Bu," jawab Dini, yang di angguki Nisa. "Saya duluan ya, Bu Dini," Nisa pamit dan memasuki mobil, lalu melajukan perlahan.Jarak sekolah tak
Chandra sudah duduk di ruang makan, di bantu Marni tadi, kesehatannya menurun karna beberapa kabar yang dia terima, dia menyelidiki kelakuan Fina belakangan ini karna sering sekali tak pulang, dengan alasan sedang membuka beberapa oulet pakaian, melebarkan bisnisnya. Lelaki tua ini menengok pada Nisa dan Damar yang datang bergandengan tangan. Hati Chandra sedikit terobati melihat wajah putrinya yang ceria. "Pah, tadi Mas Bagus dateng, ada yang dirasa sama Papah?" tanya Nisa. "Nggak!!" Chandra menggeleng cepat, "Hanya pemeriksaan rutin. Gimana kegiatan kamu hari ini, senang?" tanya Chandra. Nisa mengangguk sumringah, "Seneng banget Pah. Anak-anak lucu banget," Nisa berkata dengan mata berbinar mengingat lucunya anak-anak tadi. Damar hanya melirik pada Nisa, tak berminat menimpali."Kalau kamu senang, Papah juga senang," ujar Chandra sambil meminum air mineral di hadapannya, netranya melirik tajam pada Damar. "Nisa senang, Pah. Jangan khawatirin Nisa terus," ujar Nisa. "Pah, p
Berkali-kali Nisa melihat ke arah ruang kerja tetapi Damar dan juga ayahnya tak kunjung keluar kamar. Bentuk-bentuk cantik sudah banyak di hasilkan, Nisa menyunggingkan senyum, "Bagus-bagus, besok anak-anak pasti senang," ujarnya. Setelah mengumpulkan banyak bentuk gambar lucu Nisa kembali merapikan prakaryanya. Setelah itu ia mendekati ruang kerja, tetapi baru saja tangannya menyentuh handle pintu, pintu sudah terbuka. Chandra di papah Damar menuju kamarnya, keadaan Chandra di papah, tetapi dari bibir mereka ada senyum senang. "Baru Nisa mau masuk, kok kayanya seneng banget? " tanya nisa. "Papah sakit? kok di tuntun?" tanyanya dengan banyak pertanyaan. "Nggak, Papah cuma agak lemes," ucap Chandra. Netra Nisa melirik pada Damar, tetapi lelaki ini tak merespon kode mata dari Nisa. Setelah mengantar Chandra sejoli ini keluar dari kamar Chandra, menuju ruang televisi. "Bikin apa Nis?" tanya Damar, melihat paperbag di atas meja. "Bikin prakarya buat tempel-tempel di buku anak-ana
Hari ini Kirana pindah ke rumah baru, Roni mengatur segala keperluan pindah rumah, termasuk acara penempatan rumah baru dengan memanggil beberapa anak yatim piatu dan kurang mampu. Wajah Kirana terlihat berseri dia tak menyangka Damar membelikannya sebuah rumah mewah."Kirana, semua surat-surat rumah ini atas namamu, simpanlah." Dmar menyerahkan surat rumah. "Mas kenapa harus atas namaku?" tanya Kirana. "Jika terjadi sesuatu padaku, setidaknya kamu dan Fatta tidak akan terlunta-lunta," jelas Damar. "Memangnya kamu mau kemana? Jangan suka bicara yang tidak-tidak!" raut wajah Kirana berubah mendung. "Aku nggak kemana-mana, ini hanya hadiah buat kamu karna mau menerima seorang Damar yang banyak kekurangannya," ujar Damar. "Makasih ya, Mas," Kirana memeluk lelaki atletis ini. "Ayah, Bunda. Aku juga mau di peluk," suara Fatta merajuk mengagetkan Kirana dan Damar. Kirana melepaskan pelukan, Damar meraih tubuh kecil Fatta mengangkatnya tinggi. Gadis kecil ini tertawa riang. "Besok ki
Perlahan dia keratkan tangan di pinggang Nisa mencium pelan kepala belakang istri kecilnya lalu terlelap. Nisa pun akhirnya ikut tertidur. Lamat-lamat Damar melihat istri kecilnya sedang melakukan ibadah solat tahajud. "Nis kok nggak bangunin, biar kita solat bareng," ujar Damar dengan suara serak. Nisa hanya tersenyum, "Mas kayanya cape banget. Jadi Nisa nggak bangunin," ucap Nisa."Kalau untuk ibadah, apalagi menuju syurga bareng istri cantik, Mas nggak keberatan." "Bangun tidur udah ngegombal aja, Mas," ujar Nisa."Nggak, Mas nggak ngegombal, kamu emang beneran cantik," Damar turun dari kasur menuju Nisa ingin mencium pipi Nisa. "Iihhh ... Gosok gigi dulu, bau." Nisa melengoskan wajah menghindar dari ciuman Damar. "Hah ...." Damar mendekatkan telapak tangan ke mulut, dia terkekeh saat merasa bau mulut. "Bau kan, orang bangun tidur, nyosor aja," Nisa bergumam, tangannya meraih kitab suci Al-quran, mencoba belajar Al-Quran agar lebih lancar membacanya. Damar berlalu ke kamar m
Mengetahui Damar pulang ke rumah Kirana untuk makan siang membuat hati Nisa semakin pilu, kapan dia bisa jadi perempuan yang bisa membuatkan makanan untuk suaminya. Nyapu aja dia nggak bisa. "Lain kali aja, Kak. Fatta mama pulang dulu ya," ujar Nisa pada gadis kecilnya. "Kakak naik apa ke sini?" tanya Nisa, sebelum masuk ke dalam mobil."Tadi di antar Mas Damar.""Sekarang pulang naik apa?" tanya Nisa. "Kaka naik ojek aja. Itu di depan juga banyak," ujar Kirana. "Tadi Kakak pikir nanti pulang bareng kamu." "Aku pesanin taxi online aja ya Kak, maaf aku nggak bisa anter." Nisa merogoh ponselnya di dalam tas. Lalu memesankan taxi untuk Kirana. "Makasih ya, Dek." Kirana hanya memandang Nisa. Dia merasa Nisa sedang menghindarinya."Kak aku pulang dulu, sebentar lagi juga taxinya datang. Fatta mama pulang, ya." Nisa menjawil dagu Fatta, lalu masuk ke dalam mobil menjalankan perlahan, dan menghilang dari pandangan mata Kirana. "Bunda, kenapa mama nggak mau main ke rumah Fatta?" tanya g
Nisa tersenyum ragu, "Bu Dini yang bilang?" tanya Nisa. Emir menggedikan bahu, "Entahlah, saya tidak tau siapa yang menyebarkan berita ini, tetapi, semua sudah tau kalau Bu Nisa adalah istri kedua." Lagi-lagi Nisa terbelalak. Tak ada yang tau bahkan Nisa tak pernah bercerita jika dia adalah istri kedua. Apakah orang-orang di sekolah mencari tau, karena Fatta memanggilnya mamah. Bahkan semua guru sudah tau, kalau murid TK yang bernama Fatta adalah anak dari istri pertama suami Bu Nisa. Bola mata Nisa membulat sempurna. Dia tak pernah mendengar semua orang menggosipkan nya. Dia yang tidak tau atau memang Nisa yang tidak peka selama ini."Lalu apa yang harus saya lakukan, Pak?" tanya Nisa. "Lakukanlah seperti biasa, saya teman baik Pak Bagus. Jadi Bu Nisa sudah saya anggap sahabat saya juga." Emir menatap Nisa lekat menawarkan persahabatan pada Nisa. "Terimakasih, Pak. Berarti senin depan saya masuk kembali, saya undur diri, Pak." Nisa berlalu dari hadapan Emir. Emir mengangguk, me
Di gedung Hardiyata, Damar menyugar rambutnya frustasi bayangan Nisa memenuhi isi otaknya. Sudah lama Damar berpuasa, tak berani menyentuh istrinya. Di raihnya gawai lalu di tekan nomor Nisa, Damar menatap ponsel tak berkedip, nampak Nisa menggunakan pakaian haram yang sedang dia coba. "Mah, lagi ngapain? Kok pake pakaian seperti itu?" tanya Damar, jakunnya turun naik melihat penampakan istrinya. "Eh ... Lupa Nisa lagi pake baju beginian," segera Nisa memakai daster yang teronggok di pinggir ranjang. "Nisa lagi nyoba-nyoba, masih muat apa, nggak!" ujar Nisa salah tingkah melihat Damar menatap tak berkedip. Damar terus mengajak Nisa bicara, lelaki ini beranjak dari tempat duduk, meninggalkan kantor, tetapi masih terus berbincamg dengan Nisa. "Mas kamu mau kemana? Kalo sibuk matiin aja, Nisa mau nenenin Agam," ujar Nisa, sudah mengeluarkan aset yang membuat Damar berkhayal kemana-mana. "Ya sudah." Damar mematikan ponsel, lima belas menit kemudian dia sudah berada di depan pintu kama
Bayi mungil sudah berada di box bayi, pengajian di gelar di rumah megah ini. Mengundang anak-anak yatim dari beberapa yayasan. Besok siangnya di rumah mengadakan open house, membagikan sembako gratis untuk warga kurang mampu bekerja sama dengan rt setempat membagikan hadiah atas kebahagian yang sudah keluarga Chandra dapat. Semakin hari kebahagian semakin berpendar di dalam rumah ini, anak-anak yang sehat dan terlihat bahagia. Chandra pun semakin sehat, Fina semakin mendekatkan diri pada sang Maha Pencipta. Karir Damar semakin gemilang dan Nisa semakin memperbaiki diri menjadi orang tua dari tiga anak yang masih sangat membutuhkan kasih sayang. Pagi ini rumah terasa berbeda dari sebelumnya.Oe oe oe ....Huuu ... huuu ... huuu ....Suara nyaring bayi bersahutan dengan suara tangis Nisa. Damar terlihat gelisah dan bingung. Dia mengayun bayi yang sedang menangis kencang. Sudah dua minggu berlalu dari masa Nisa melahirkan, selama itu Damar tak bisa pergi kemanapun. Hari ini Damar mema
Nafas Nisa sudah teratur Damar menatap Nisa, ingin mencium bibir yang sedikit terbuka, tetapi di urungkan, dia tak ingin mengganggu istri kecilnya. Lelaki ini menuju ruang kantor, menyelesaikan tugas kantor dari rumah. Roni pun siaga menghandle pekerjaan Damar. Memang Roni merupakan tangan kanan yang tak diragukan lagi kesetiaannya sejak di bawah naungan Chandra, hingga kini Damar yang menguasai pun Roni masih terus setia. Setelah menyelesaikan pekerjaan lelaki ini menuju ruang makan, ternyata Nisa sudah duduk di sana, menunggu anggota keluarga yang lain datang ke meja makan untuk makan siang. "Sudah bangun?" sapa Damar. Nisa mengangguk. "Mau langsung makan, Mas?" tanya Nisa."Nanti tunggu, Papah," jawab Damar. "Makan lah dulu, tak usah menunggu kalau lama." Suara Chandra menyahut, lalu duduk di tempat biasa lelaki tua ini duduk. "Mamih mana, Pah?" tanya Nisa. "Lagi rewel Alika, nanti papah bawakan makanan ke kamar saja. Ayo di makan." Chandra mempersilahkan anak-anaknya makan.
Nisa menatap kamar bayi bernuansa biru laut. Menurut prediksi dokter, bayi dalam kandungan Nisa adalah bayi laki-laki. Semua barang yang Nisa beli untuk calon bayinya berwarna biru, orens, hijau, sebisa mungkin dia hindari warna pink. Nisa duduk di pinggir ranjang melipat pakaian kecil, sesekali mencium, seolah dia sudah begitu rindu pada bayi yang sudah sekian lama di nanti. Damar mengamati gerik Nisa dari ambang pintu, lelaki ini menyandar di daun pintu, sambil melipat tangan. Bibirnya tersenyum senang melihat Nisa bahagia. "Masih ada yang kurang, Mah?" tanya Damar, membuat Nisa terjingkat tak mengira Damar menyapa. "Mas ... bikin kaget," ujar Nisa mengerucutkan bibir. Damar menghampiri Nisa, menarik bangku kecil lalu menaikkan kaki Nisa di atas bangku kecil. "Kakinya bengkak banget, sakit nggak?" tanya Damar. "Kalo berdiri lama sakit, kamu nggak kenapa-kenapa cuti kerja lama, Mas?" tanya Nisa, "Yang mau lahiran kan Nisa kok yang cuti kerja kamu?" tanya Nisa penasaran la
Waktu kian berjalan, mengiringi kebahagiaan Nisa dan Damar. Semakin hari cinta mereka semakin bersemi. Pagi ini Nisa berada di balkon duduk di kursi goyang menghadap taman di bawah kamarnya, tangannya mengelus perut yang semakin membuncit.Terdengar pintu terbuka, Damar menghampiri Nisa lalu berjongkok di hadapan wanita cantik ini. Lelaki ini terlihat berkeringat, tubuhnya berbalut kaos tanpa lengan terlihat otot tangannya menyembul, menandakan kekuatan tubuhnya. Tanpa aba-aba lelaki atletis ini mencium pipi Nisa. "Udah mandi belum?" tanya Damar, menyeka keringat di dahi, dengan anduk kecil yang terlampir di leher.Nisa menggeleng. "Nanti aja, Nisa mode males. Kok udahan olah raganya?" tanya Nisa. "Udah." Damar bangun dari jongkok, langsung mengangkat tubuh Nisa memggendong seraya berjalan ke arah kamar mandi. "Kamu masih keringetan, nanti dulu mandinya," ujar Nisa, menyentuh leher Damar menyeka keringat yang masih tersisa. Langkah Damar terhenti, beralih menuju ranjang. "Duduk du
Nisa menggendong Attala karna batita ini merajuk minta di gendong, Nisa mengendong lalu mencium batita ini, menyalurkan kasih sayang, menunjukkan bahwa kasih sayangnya kepada Attala tidak akan berkurang, walau ada bayi lain hadir di rumah ini. Attala tertawa terbahak karna Nisa memborbardir dengan ciuman bertubi. "Dedek Atta ngiri sama dedek bayi?" tanya Nisa. Bola mata bulat mengerjap mencerna ucapan Nisa. "Bener kan Atta ngiri, nggak boleh ngiri, Mamah, Opa, Oma tetep sayang sama kamu, ya!! Attala juga harus sayang sama dedek bayi oke!!" ujar Nisa mengajarkan Attala, anak lelaki Damar dan Kirana. Attala tersenyum melihat raut wajah Nisa, bayi satu tahun ini kembali terbahak karna di serang ciuman oleh Nisa. Damar baru saja pulang dari kantor, bibirnya tersenyum bahagia melihat Nisa dan seluruh keluarga menyayangi kedua putra putrinya. Melihat Damar pulang Nisa segera menyambut suaminya, memberinya sesajen khas suami baru pulang kerja. lelaki ini memandang bayi dalam ayunan, mem
Mentari memberi kehangatan pada penduduk bumi. Nisa menghampiri Damar yang sedang bercermin, wanita muda ini mengambil krim penghilang kemerahan di wajah Damar akibat gigitan semut semalam. "Mas, maafin Nisa ya!" ujar Nisa dengan wajah menggemaskan, tangannya lincah membubuhi krim di wajah suaminya. Damar mengangguk. "Buat Mamah cantik, sama calon dedek bayi apa sih yang nggak," ujar Damar tulus, tangannya mengelus perut Nisa yang sudah sedikit menonjol. Nisa merangkulkan tangan di leher Damar, mencium lembut bibir suaminya. "Makasih ya, Mas, dedek bayinya seneng banget." Setelah mencium Damar Nisa menarik tangan lelaki atletis ini keluar kamar. Karna tangan lelakinya sudah semakin menggerayang ke tempat lain.Damar merangkul pinggang Nisa erat, berjalan turun ke bawah, sampai di bawah Nisa langsung menuju kulkas hendak mengambil buah yang suaminya petik semalam. Beberapa pintu kulkas sudah Nisa buka tetapi barang yang dia cari tak ada. "Mbak, tempat ungu di sini liat nggak?" tany
Indahnya dunia membuat banyak orang terlena. Sisi gelap dunia lebih mendominasi menampilkan kesempurnaan, keindahan juga kebahagiaan. Keindahan dunia hanyalah fatamorgana kebahagaian, daya tarik agar manusia lalai pada kebenaran dan jalan Tuhan. Tetapi bagi mereka yang mendapatkan keindahan dunia dan menggunakan dengan baik, untuk kebaikan diri dan orang lain, maka mereka mendapatkan kebaikan dari apa yang dia miliki dan menjadi bekal kehidupan abadi kelak. Damar lelaki penyayang ini duduk di bangku kebesarannya mendengarkan Roni menyampaikan pencapaian-pencapaian semua bisnis yang sekarang dalam genggaman. Semua usaha yang awalnya di niatkan untuk membantu masyarakat nyatanya menghasilkan rupiah di luar ekspektasi. Wajah cerah, senyum menawan terukir di bibir Damar, begitu pun Roni tak henti menjelaskan apa yang harus dia jelaskan dan paparkan. "Makasih Ron, sudah membersamai saya selama ini, saya harap apa yang kita kerjakan bisa memberikan kebaikan untuk orang lain terutama unt
"Duduk dulu, Bu," ujar Damar, di buat sesantai mungkin. Melihat tak ada reaksi apapun dari Damar membuat Ivana makin meradang. "Pak Damar nggak cemburu liat istrinya di peluk lelaki lain?" tanya Ivana berapi-api. Damar mencoba tersenyum senatural mungkin. "Nanti bisa saya tanyakan ke istri saya, Bu. Jadi Bu Ivana tak usah repot-repot, menunjukkan hal seperti ini kepada saya, lain kali."Mendengar penuturan Damar, Ivana mengepalkan telapak tangan kencang, hingga kuku menancap pada telapak tangan. "Oke, kalo foto ini memang nggak berpengaruh," ujar Ivana, "Permisi. Sekarnag pasti lelaki ini sedang ada di rumah Pak Damar." Ivana bangkit dari duduk lekas meninggalkan kantor. Setelah Ivana pergi Damar memanggil Roni berbincang, lalu dia meninggalkan kantor. Dengan Cepat Damar menaiki mobil tanpa supir. Klakson berbunyi nyaring di depan pintu pagar yang menjulang tinggi, dengan cepat Rudi membuka pagar. Hati Damar sedikit terbakar tadi, tapi sebisa mungkin dia harus bisa meredam segal