Akhirnya Damar meninggalkan sekolah tempat Nisa mengajar selama ini. Perasaan lelaki ini sedikit gelisah, tetapi dia tak mengerti gelisah karna apa. Semua masih dalam kendali, pikir Damar. Di gedung Hardiansyah beberapa rapat penting terselenggara. Hari ini sangat melelahkan bagi Damar. Dia melonggarkan dasi, menyandarkan kepala di sandaran kursi kebesarannya, hatinya terus berdetak gelisah, pikirannya terus mengingat Nisa.Lelaki tampan ini meraih ponsel menghubungi Nisa masih juga belum bisa di hubungi. "Kamu kemana, Nis? Kok nggak bisa di telpon," gumam Damar. Kembali dia menghubungi Darmi. "Mbok, Nisa udah pulang belum?" tanya Damar pada wanita tua di sebrang sana. "Kalau udah pulang suruh telpon saya, Mbok, penselnya nggak bisa di hubungi," ujar Damar. "Ohh ... Pantesan. Nanti malam saya telpon lagi, kalo belum sempet beli ponsel baru, bilang ke saya Mbok, nanti saya kirim, " ujar Damar, setelah itu menutup panggilan telpon. Lelaki ini meraup wajah kasar, bangun dari duduk,
Setelah mencurahkan segala permohonan, Damar duduk di undakan mushola memasang kembali sepatu hitam mengkilatnya. Sebelum pergi dia merogoh gawai di kantong jas, lalu menelpon Nisa, sudah lima hari ini, Nisa tak dapat di hubungi. "Kemana Nisa," gumam Damar. Setelah itu Damar menelpon Darmi, "Mbok, ponsel Nisa masih belum bisa dihubungi,"ujar Damar pada wanita tua di sebrang sana. Darmi masih belum jujur pada Damar, mengenai Nisa. "Ya sudah kalo baik-baik saja, sampaikan pada Nisa, Kirana kecelakaan, Mbok. minta doanya agar persalinan Kirana lancar, sehat ibu dan bayinya." Damar meminta doa wanita tua ini. Darmi terperanjat kaget mendengar Kirana kecelakaan. "Terimakasih Mbok, saya tutup ponselnya." Damar kembali ke tempat Kirana sedang menjalani operasi. Langkah lebar tergesa membuatnya menabrak pudak lelaki yang juga sedang berbincang dengan seorang perawat."Damar! Sedang apa di sini." Bagus menyapa lelaki yang terlihat kalut ini. "Bagus. Kirana mengalami kecelakaan," ujar Da
Tetapi saat ingin melewati Emran tangannya di cekal oleh lelaki tampan ini, Nisa menghentak kasar tangan Emran. "Yang sopan, Pak." "Saya ke sini mau ajak Dek Nisa makan, pasti belum makan iya kan?" Emran mendongak menatap wajah Nisa.Tebakan Emir memang benar, entah kapan terakhir Nisa makan, dia makan seingin dia. "Tapi saya nggak suka sama ucapan Bapak barusan," ujar Nisa. "Saya hanya menyampaikan perasaan saya, jika Dek Nisa keberatan, saya nggak akan memaksa. Tapi bolehkan saya menemani dan menghibur Dek Nisa," ujar Emran mantap. "Ayo kita cari tempat makan, masa sudah di sini hanya tidur di dalam kamar, bukan 'kah sudah lima hari Dek Nisa di dalam kamar?" ujar Emran menebak dengan benar. "Ya sudah, saya pake kerudung dulu." Nisa masuk ke dalam kamar, tak lama keluar dengan wajah sedikit di poles bedak. Emran menatap takjub pada Nisa. Nisa semakin grogi di tatap seperti itu oleh Emran, "Pak, bisa nggak jangan liatin Nisa begitu," ujar wanita cantik ini, menunduk malu."Nggak
"Den, maafin mbok, sudah satu minggu lebih Non Nisa nggak pulang, katanya mau menenangkan diri, mbok juga nggak tau kemana Non Nisa, mbok juga khawatir banget Den," Ponsel Damar terjatuh, lelaki ini terduduk di kursi tunggu Rumah Sakit. Bagus yang memang ingin menghampiri Damar memungut ponsel Damar. "Ada apa?" tanya Bagus. "Bagaimana kondisi Kirana?" tanya Bagus lagi.Damar tak menjawab, dia meremas kuat rambutnya. Lalu mendongak menatap Bagus. "Nisa sudah satu minggu lebih nggak pulang, kemana dia?" tanya Damar pada teman baiknya ini. Bagus menggeleng, "Mana gue tau, dia bini, elo," monolog Bagus. "Aku bantu cari." Bagus menepuk pundak Damar. "Tenangin dirimu,"Damar berlalu pergi meninggalkan Bagus menuju ruang perawatan Chandra, di gedung sebelah. Begitu Damar masuk Fina terlihat sedang mengeluarkan beberapa barang dari dalam paper bag."Damar, kamu sudah pulang hanymonnya?" tanya Fina ceria. Damar mengernyit, tetapi enggan meminta penjelasan pada Fina, gegas dia menemui Chan
Gegas Murni meninggalkan kamar Kirana putri tercintanya, lalu cepat menutup pintu kembali. Bagus dan beberapa dokter juga kerabat lainnya masih berkumpul setelah melakukan doa tadi. Fatta terus merengek ingin menemui Kirana, juga selalu menyebut nama Nisa. "Kamu sudah tau di mana Nisa?" tanya Bagus. Damar mengangguk lesu, netranya terlihat memerah, tubuh kekar yang dia miliki terlihat jelas begitu rapuh kini. Bagus memandang iba pada Damar. "Katakan di mana, biar aku jemput," ucap Bagus. "Nggak usah, biar aku yang jemput besok," jawab Damar lemah. Setelah para kerabat pulang Damar kembali masuk ke dalam kamar, mencoba melelapkan tubuh dalam lelahnya jiwa, kehilangan dua istrinya sekaligus. Tak berapa lama tubuh lelah Damar terlelap, hingga alam mimpi membawanya bertemu dengan Kirana. "Mas." Damar merasa Kirana memeluknya dari belakang. Nafas Kirana terasa di tengkuk Damar. "Sampaikan maafku pada, Nisa." Damar membalikkan tubuh karna Kirana melonggarkan pelukan. "Mau keman
Damar sudah siap akan menjemput istri kecilnya tetapi Fatta menangis tak mau di diamkan oleh siapapun. Bahkan Murni tak bisa juga mendiamkan cucunya. "Aku mau bunda," ringik Fatta tersedu. Damar menggedong putri kecilnya, mengajak bermain di taman sebentar. Tetapi Fatta tak kunjung mau melepaskan pelukan pada ayahnya. "Fatta ayah pergi sebentar nanti ayah ajak mama Nisa ke sini. Setelah itu kita jemput adek bayi bareng mama Nisa." Bujuk Damar. Tetapi Fatta tetap menggeleng. Dengan sabar Damar menggendong Fatta, hingga gadis kecilnya terlelap dalam dekapan lelaki atletis ini, setelah menidurkan Fatta lelaki tampan yang kini diliputi kegundahan ini gegas meninggalkan kediamannya. Setelah menempuh perjalanan cukup panjang akhirnya Damar menemukan alamat yang di berikan Roni. Netranya memindai. "Sepi." Lelaki ini melangkah pasti menuju pintu, dari jarak ini terdengar tawa Nisa begitu bahagia di dalam sana. "Nisa!!" Seketika tawa Nisa berhenti mendengar suara seorang pria yang
Sari mondar mandir di depan pintu Nisa. Dia tak ada keberanian menolong Nisa, apalagi diketahui dari perdebatan tiga orang tadi bahwa lelaki yang baru datang adalah suami Nisa, majikannya. "Lalu siapa pak Emran, perhatian banget sama Non Nisa." Pikir Sari. "Ah orang kaya, pergaulan begini udah biasa. Emang orang kampung, bisa langsung satu dunia tau semua, kalo udah punya suami terus deket sama lelaki lain. Monolog Sari. Dia gegas ke dapur menyiapkan makan malam untuk nonanya. Nisa mengendus bangun, dia mengangkat tangan Damar perlahan, berusaha turun dari ranjang tanpa mengganggu Damar, kakinya sudah menyentuh lantai, tetapi belum juga mengangkat badan, tangan besar Damar sudah menarik lagi tubuh Nisa dalam dekapannya. Lagi Damar merasa sakit melihat punggung polos Nisa, bayangannya berkelana Emran menggerayangi punggung indah ini. "Mas, Nisa mau mandi," kali ini wanita cantik ini tak memberontak seperti tadi. "Sekali lagi, Nis. Mas maafin kamu, jangan pernah lagi lakukan ya Nis
Pagi ini Nisa sudah membuatkan secangkir kopi, semalaman dia berfikir untuk bisa menjadi istri yang benar-benar baik untuk suaminya. Wajah Damar terlihat cerah melihat Nisa sedang mengaduk kopi. Tetapi keceriaannya berlangsung sesaat mengingat bayang-bayang Kirana tersenyum ayu saat menyiapkan kebutuhan Damar, di pagi hari."Mas, mau di taro mana kopinya?" tanya Nisa pada Damar yang sedang menuruni anak tangga. "Di dalem ruang kantor aja Nis. Mas mau selesaiin kerjaan." Tanpa banyak bicara Damar melangkah ke dalam kantor, Nisa pun mengikuti lalu menaruh gelas kopi di atas meja. Setelah menaruh gelas Nisa beranjak keluar, tetapi langkahnya urung mendengar Damar berbicara."Siang mas, mau ke Rumah Sakit, kamu mau ikut nggak?" tanya Damar, duduk di kursi hitam yang terlihat nyaman. Nisa mengangguk, tak berniat menjawab dengan mulutnya. Damar menatap istrinya, "Sini," perintah Damar, Karna melihat wajah datar istri kecilnya.Nisa melangkah mendekat, Damar menarik tangan Nisa hingga du