Malam itu, Hansen terus-menerus melirik ponselnya. Dia bahkan tidak pergi ke ranjang, melainkan tetap menunggu di sofa. Persis seperti yang sering kulakukan selama bertahun-tahun. Hingga fajar tiba, dia baru membuka matanya yang memerah."Hebat sekali kamu, Starla! Lihat saja, aku pasti akan mengulitimu kalau ketemu!"Namun, Hansen, bukankah kamu sudah mengulitiku waktu itu?Aku hanya bisa menghela napas pelan. Seperti biasa, tidak ada yang mendengarkanku. Hanya angin yang lembut menggerakkan tirai jendela.Hansen tidak tidur semalaman. Dia terus mencoba meneleponku, tapi tak pernah terhubung. Akhirnya, dia teringat untuk pergi ke studionya.Namun sebelum sempat sampai ke studionya, telepon dari rumah sakit masuk. Vivian mengeluh tentang kondisi kesehatannya yang memburuk.Dia ragu sejenak, lalu langsung berbalik dan mengemudi menuju rumah sakit.Hatiku memang sudah mati rasa sedari dulu. Begitulah, bukan pertama kalinya Hansen meninggalkanku demi Vivian. Tentu saja, ini bukan yang ter
Aku memandang ke arah studio yang semakin jauh dengan perasaan enggan. Aku meninggal terlalu cepat dan masih ada patung yang belum kuselesaikan di sana. Akan tetapi, sudahlah, semua itu tidak penting lagi.Hansen kembali ke rumah sakit dengan tergesa-gesa. Vivian menangis tersedu-sedu sambil mengadu, "Hansen, aku merasa nggak enak badan. apa ada yang salah dengan ginjalku? Aku terus merasa nggak nyaman."Setelah melakukan pemeriksaan menyeluruh dan memastikan bahwa tidak ada masalah, Hansen dengan lembut menenangkannya."Vivian, jangan khawatir. Itu cuma perasaanmu. Kamu cuma mengganti satu ginjal, nggak akan bermasalah kok. Lihat saja aku, aku sudah hidup bertahun-tahun dengan ginjal transplantasi. Nggak ada masalah sama sekali, 'kan?""Benarkah?" tanya Vivian dengan mata yang masih berkaca-kaca."Ya. Kalau dipikir-pikir, nasib kita sama. Kamu mengganti satu ginjal, aku juga sama. Kita berdua juga punya golongan darah yang langka. Kalau saja saat itu ginjalku nggak bermasalah, aku pas
Entah mengapa, Hansen tidak berlama-lama di kamar rumah sakit Vivian. Kemudian, dia menelepon kakak seniornya."Kak, donor ginjal yang aku terima dulu, benar-benar nggak bisa dilacak ya?""Hansen, tolong jangan persulit kami." Terdengar hela napas yang berat dari ujung telepon. Kemudian, kakak seniornya melanjutkan, "Hansen, kamu bakal nikah sama Starla, 'kan? Starla itu sangat luar biasa. Ingat, perlakukan dia dengan baik."Ketika ibunya meninggal, Hansen melampiaskan kemarahannya padaku. Namun aku tahu, sebenarnya dia sangat menyalahkan dirinya sendiri. Sebab, orang yang seharusnya datang ke rumahku hari itu adalah dia. Namun karena dia sedang mengambek, akhirnya ibunya yang datang untuk mengantarkan kue.Selama bertahun-tahun, Hansen memendam rasa bersalah yang mendalam terhadap ibunya. Dia sebenarnya adalah orang yang lembut dan baik hati. Karena itulah, ketika dia membutuhkan transplantasi ginjal, aku berlutut di depan kakak seniornya dan memohon kepadanya untuk menjaga rahasia in
Aku bisa melihat bahwa Hansen mulai gelisah. Mungkin karena ingin memastikan sesuatu, dia mulai menggeledah rumah dan membuka setiap laci dan lemari. Saat dia melihat bahwa semua pakaianku masih ada, dia menghela napas lega.Namun tak lama kemudian, dering telepon berbunyi. Raut wajahnya berubah cerah, lalu buru0-buru menjawab telepon itu. Namun, ternyata yang meneleponnya adalah agen wedding organizer."Halo, apakah ini keluarga dari Bu Starla? Kami dari wedding organizer. Karena nggak bisa menghubungi Bu Starla melalui WhatsApp dalam beberapa hari terakhir, kami terpaksa menelepon Anda.""Begini, Bu Starla telah mengajukan pembatalan paket pernikahan. Tapi sesuai dengan kebijakan perusahaan, kami cuma bisa mengembalikan 30% dari uang muka ....""Wedding organizer?" Hansen tampak terkejut. Namun, yang lebih mengejutkan baginya adalah, "Kenapa? Kenapa harus dibatalkan?""Oh, Bu Starla bilang dia nggak bisa menikah sama pacarnya, jadi semuanya dibatalkan."Brak!Ponsel Hansen terjatuh k
Hansen akhirnya pergi ke studionya, tetapi yang menyambutnya di sana adalah Farhan."Starla masih marah sama kamu? Kudengar dari orang-orang di studio, dia sudah tujuh hari nggak masuk kerja.""Apa? Kenapa nggak ada yang beri tahu aku?" tanya Hansen dengan nada terkejut."Kenapa? Karena kamu terlalu sibuk sama adikku, Vivian. Aku kira kamu sudah nggak peduli lagi sama Starla. Lagi pula, meski Starla bisu dan tuli, dia sudah dewasa. Kalaupun mengambek, dia akan pulang sendirinya kalau sudah lapar ...."Bruk!Hansen langsung menghantam wajah Farhan dengan tinjunya, matanya memerah karena marah."Kamu tahu dia bisu dan tuli, 'kan? Sialan! Gimana kalau dia ditindas di luar?""Ditindas? Hansen, bukankah orang yang paling sering menindasnya di dunia ini adalah kamu sendiri?"Farhan mendorongnya dengan kasar, lalu merapikan kerah bajunya yang kusut. "Hansen, kalau aku jadi kamu, aku nggak akan terus melirik orang lain saat masih ada seseorang di sisiku.""Kalau aku jadi kamu, aku akan melapor
Hansen akhirnya melaporkan ke polisi. Setelah meninjau rekaman CCTV, polisi menyimpulkan bahwa tempat terakhir aku terlihat adalah di dekat sebuah pabrik yang sudah lama ditinggalkan. Meskipun pabrik itu sudah tak terpakai, karena pemandangan saljunya yang indah, tempat itu sering dikunjungi pasangan untuk berfoto dan dikenal sebagai lokasi romantis.Hansen menyetir sepanjang jalan menuju area bersalju itu. Dia tersandung-sandung di salju sambil berteriak memanggil namaku. Lalu, seolah-olah mengingat sesuatu, dia menatap pabrik tua itu dengan tidak percaya.Apakah Hansen akhirnya menyadarinya? Akhirnya menyadari bahwa tempat ini begitu dekat dengan lokasi di mana dia melakukan autopsi pada mayat perempuan tanpa nama itu."Pak Hansen, anjing pelacak kami menemukan ini di salju," kata seorang petugas.Sebuah alat bantu dengar yang berlumuran noda darah. Sulit untuk menggambarkan ekspresi Hansen, dia terlihat syok dan tidak percaya.Akhirnya, dia meraih alat bantu dengar yang pernah dia p
Beberapa hari berikutnya, Hansen tidak pergi bekerja. Dia tidak mengangkat telepon dari siapa pun. Sambil mengenakan celemek, dia membersihkan rumah setiap hari dan memasak banyak makanan favoritku.Dia bahkan menyiapkan sepiring nasi untukku, lalu memotong lemak dari daging tersebut untukku dengan cermat."Kamu nggak suka lemak, tapi suka daging yang menempel di lemak. Siapa yang memanjakanmu dengan kebiasaan buruk ini! Ayo makan, nanti aku nggak akan memanjakanmu lagi.""Starla, kamu makin hebat sekarang, ya? Nasi sedikit begini saja nggak habis, lihat tubuhmu sudah kurus kering!""Sudahlah, sini sisa nasinya, biar aku yang habiskan. Jangan buang-buang makanan lagi. Tahu nggak, buang-buang makanan itu memalukan!"Begitulah ... aku melihatnya berbicara tanpa henti kepada udara kosong di depannya. Lalu dengan puas, dia memakan semua sisa makanan dari piringku. Setelah itu, dia kembali ke kamar kami dan memeluk bantal yang biasa kugunakan. Kemudian, dia membelai bantal itu dengan lembut
"Jangan asal bicara!" teriak Hansen dengan marah sambil mencekik leher Vivian."Nggak mungkin! Dia selemah itu, bahkan jalan saja sering terjatuh. Mana mungkin dia bisa menggendongku keluar dari gunung?!" lanjutnya."Uhuk uhuk .... Dasar gila, lepaskan aku!" Vivian mendorongnya dengan kuat."Hansen, kuberi tahu satu hal lagi! Ginjal yang kamu gunakan waktu menjalani transplantasi dulu adalah miliknya! Aku mendengar sendiri dia memohon pada kakak senior untuk merahasiakannya darimu karena nggak mau kamu merasa bersalah!""Hahaha ... dasar wanita bodoh sampai berkorban sejauh itu demi seorang pria! Memang pantas kalau dia mati! Hahahaha ...!"Hansen membentak, "Diam! Diam kamu!"Saat itu, Hansen seakan-akan kehilangan akal sehatnya. Pada akhirnya, Vivian baru berhasil diselamatkan setelah polisi datang. Namun saat berada di kantor polisi, Hansen pun akhirnya mengonfirmasi berita kematianku."Meski kami belum menemukan jasad Bu Starla, dilihat dari darah yang ditemukan di lokasi, kemungki