Terakhir kali aku melihat Hansen adalah di tepi kolam asam itu. Dia memeluk kepalaku dengan penuh perhatian, lalu memakaikan kerudung putih yang indah. Sementara itu, Vivian dan Farhan terikat di sampingnya."Hansen, kalau kamu mau balas dendam, lakukan saja padaku! Ini nggak ada hubungannya sama adikku!" teriak Farhan."Farhan, ternyata kamu bisa takut juga." Dia meletakkan kepalaku di atas meja, lalu mengusap wajahku dengan lembut. Kemudian, dia mencium kepalaku yang sudah membusuk dan tersenyum penuh kasih."Starla, bersabarlah. Setelah Kakak membereskan orang-orang yang mengganggumu, kita akan pulang bersama."Tidak! Hansen, apa kamu sudah gila? Kamu sedang melakukan kejahatan!"Hansen, kamu gila! Bukan cuma mencuri tahanan dari penjara, kamu bahkan menyandera kami! Cepat atau lambat, polisi pasti akan tahu perbuatanmu! Kamu ... kamu nggak bisa menghancurkan masa depanmu seperti ini!""Masa depan? Aku masih punya masa depan apa lagi?"Hansen tertawa tipis. "Kamu tahu nggak kenapa a
Hansen, aku tidak mau! Sejak kecil sampai dewasa, aku selalu berharap kamu bisa hidup dengan bebas dan gembira. Jangan sampai hidupmu terhambat karena beban sepertiku ini. Aku tidak mau kamu menghancurkan masa depanmu dan menjadi orang yang begitu menakutkan."Starla, aku nggak pernah menganggapmu sebagai beban. Kamu adalah keluargaku. Satu-satunya keluargaku di dunia ini. Kakak memang nggak berguna karena nggak bisa melindungimu. Tapi Starla jangan takut, Kakak akan segera datang untuk menemanimu.""Kakak sudah bilang sebelumnya, Kakak akan menemani dan melindungi Starla seumur hidup."Saat pisau bedah merobek kulit dan daging, aku berteriak.Aku berlari ke arah Hansen dan mencoba untuk menghentikannya, tapi tidak ada yang bisa kugenggam. Aku hanya bisa menyaksikan saat dia menggoreskan pisau ke tubuhnya sendiri. Rasa sakit yang luar biasa membuatnya berhenti sejenak dan mengerang kesakitan."Jadi, begini rasanya, ya." Dia tertawa getir sebelum menyuntikkan anestesi pada dirinya sendi
Ketika tubuhku diletakkan di atas meja operasi yang sederhana itu, masih ada sedikit kehangatan yang tersisa. Namun, tidak ada seorang pun peduli padaku. Hansen mengeluarkan pisau bedah, lalu membelah tubuhku dengan gerakan lambat dan hati-hati."Eh, kenapa cuma ada satu ginjal?" Dia sempat ragu sejenak, tetapi langsung buru-buru melanjutkan pekerjaannya.Gerakannya begitu lancar, sesuai dengan reputasinya sebagai salah satu dokter ginjal terbaik di kota ini. Tak lama kemudian, sebuah ginjal yang berlumuran darah dikeluarkan dan diletakkan di sebuah alat khusus di samping."Kirim ke rumah sakit, segera siapkan operasi transplantasi ginjal untuk Vivian," perintahnya."Lalu gimana dengan mayat ini? Meskipun memang cuma tersisa bagian atas tubuhnya waktu dibeli, tapi entah kenapa terasa agak aneh. Kita perlu lapor polisi nggak?" tanya Farhan, sahabat baik Hansen, sambil memandangi tubuh di atas meja operasi.Hansen mencuci darah dari tangannya tanpa melirik mayat itu lagi sama sekali. Nad
Namun saat menghancurkan mayat tersebut, terjadi sebuah kejadian yang tak terduga. Hansen mendapati bahwa mayat perempuan itu sedang hamil. Dia bahkan melihat bekas luka bakar di perut mayat tersebut.Aku selalu berpikir bahwa selama bertahun-tahun, Hansen selalu memadamkan lampu saat bersamaku di ranjang karena tidak ingin melihat wajahku yang menjijikkan. Namun, dia seharusnya sudah cukup akrab dengan tubuhku. Di perutku ada bekas luka bakar yang ditorehkan oleh ayahku dengan puntung rokok.Hansen sangat suka mencium tempat itu saat di ranjang. Dia mengatakan bahwa bekas luka itu mirip bunga plum ... sebuah tanda khusus yang diberikan oleh langit untukku.Namun kini, saat melihat kembali bekas luka yang tidak asing itu, dia hanya tertegun selama satu detik. Kemudian, dia melemparkan tubuhku ke dalam kolam asam di sampingnya tanpa ragu-ragu.Aneh sekali. Meskipun aku tahu diriku sudah mati, saat tubuhku dikikis oleh asam, aku masih bisa merasakan kepedihan yang menyiksa. Terutama keti
Saat pulang, Hansen mengusap alisnya dengan kelelahan. Dia telah menyelesaikan tugas besar, tetapi entah mengapa, pikirannya merasa gelisah. Seolah-olah teringat sesuatu, dia membuka WhatsApp di ponselnya.Jari-jarinya yang panjang berhenti pada riwayat obrolan antara kami berdua. Di sana, masih tersimpan catatan pertengkaran kami.Sebulan yang lalu, Hansen tiba-tiba mengatakan bersedia menikah denganku. Padahal, sejak aku beranjak dewasa, kami sudah tidur bersama.Namun selama bertahun-tahun, Hansen tidak pernah mengakui bahwa aku adalah pacarnya. Dia selalu mengatakan kepada orang luar bahwa aku hanyalah adiknya. Apalagi membahas soal pernikahan.Tiba-tiba saja, dia melunak dan berkata ingin menikah denganku. Mungkin itu adalah salah satu momen langka yang membuatku merasa bahagia dalam hidupku. Namun, kalimatnya berikutnya langsung menjatuhkanku ke jurang terdalam."Menikah denganku ada satu syarat. Donorkan salah satu ginjalmu untuk Vivian."Vivian adalah gadis yang telah didambaka
Aku dan Hansen adalah tetangga yang tumbuh bersama sejak kecil. Sejak kecil, aku kehilangan ibuku dan dibesarkan oleh ayah yang kecanduan alkohol. Sementara itu, Hansen tinggal bersama ibunya yang lembut di rumah sebelah setelah orang tuanya bercerai.Ibu Hansen sangat menyukaiku. Dia sering kali memelukku dan bertanya apakah aku ingin menjadi istri Hansen. Setiap kali itu terjadi, Hansen selalu menolak dengan keras."Siapa yang mau nikah sama si bisu ini?" katanya.Meskipun begitu, Hansen selalu melindungiku saat di luar. Ketika aku dilempari batu, dikejar anjing, atau barang-barangku dirampas, dia selalu maju dan berkelahi dengan orang-orang yang menggangguku. Bahkan saat tubuhnya babak belur, dia tetap mati-matian melindungiku di belakangnya.Dia bilang dia tidak suka si bisu, tapi dia akan selalu menjaga Starla, si bintang kecilnya.Sampai suatu hari, ayahku yang terlilit utang judi berencana menjualku yang dianggapnya tidak berguna. Ibu Hansen mengetahui rencana itu dan menyelamat
Hansen membenciku, tetapi dia juga merasa bersalah terhadapku. Malam itu, kami berdua kehilangan orang yang kami cintai. Karena aku bisu dan tuli, ibu Hansen pernah berkata, "Starla adalah harta yang harus kujaga".Ucapan itulah yang membuat Hansen tidak pergi meninggalkanku. Sebaliknya, dia mulai memikul tanggung jawab sebagai kakak untuk membesarkanku.Namun aku tahu, dia masih membenciku. Selama bertahun-tahun, setiap kali peringatan kematian ibunya tiba, dia akan mabuk berat dan pergi sendiri untuk berziarah. Pernah suatu kali aku mengikutinya diam-diam, tapi aku malah ditendang olehnya yang sedang mabuk.Dia mencekik leherku dengan marah. "Starla, kamu nggak pantas berlutut di hadapan ibuku!"Namun setelah dia sadar, dia akan memelukku dengan raut kebingungan dan menyentuh memar di leherku, kemudian meminta maaf berkali-kali. "Starla, maafkan aku. Aku cuma ... kebingungan."Bahkan saat kami berada di ranjang bersama, dia selalu menutupi wajahku.Sebenarnya, aku juga merasakan dile
Di dalam mobil, Farhan terus mengoceh tanpa henti. "Lagi mikirin si Bisu?""Nggak, siapa juga yang mikirin dia," jawab Hansen dengan nada dingin, lalu melemparkan ponselnya ke samping."Kalau kamu memang nggak suka sama dia, sebaiknya katakan saja terang-terangan. Dia itu bisu, kasihan sekali.""Kasihan?" Hansen menarik dasinya dengan kesal."Apa yang perlu dikasihani? Aku memberinya makanan dan minuman, membesarkannya sampai sekarang, tapi hasilnya? Aku malah membesarkan orang yang nggak tahu berterima kasih dan egois! Baru negur dia sedikit saja, dia malah ngambek dan perang dingin sama aku. Hebat sekali.""Bagaimanapun, kalian tumbuh bersama. Meskipun nggak ada cinta, pasti ada rasa sayang seperti saudara. Kenapa kamu nggak telepon dia untuk baikan?""Nggak usah." Hansen melirik ponselnya dan suaranya semakin dingin, "Siapa juga yang mau manjain dia dengan sifat buruknya ini!"Meskipun berkata demikian, beberapa saat kemudian, Hansen tetap mengambil ponselnya dan mengirimiku pesan.