Saat pulang, Hansen mengusap alisnya dengan kelelahan. Dia telah menyelesaikan tugas besar, tetapi entah mengapa, pikirannya merasa gelisah. Seolah-olah teringat sesuatu, dia membuka WhatsApp di ponselnya.Jari-jarinya yang panjang berhenti pada riwayat obrolan antara kami berdua. Di sana, masih tersimpan catatan pertengkaran kami.Sebulan yang lalu, Hansen tiba-tiba mengatakan bersedia menikah denganku. Padahal, sejak aku beranjak dewasa, kami sudah tidur bersama.Namun selama bertahun-tahun, Hansen tidak pernah mengakui bahwa aku adalah pacarnya. Dia selalu mengatakan kepada orang luar bahwa aku hanyalah adiknya. Apalagi membahas soal pernikahan.Tiba-tiba saja, dia melunak dan berkata ingin menikah denganku. Mungkin itu adalah salah satu momen langka yang membuatku merasa bahagia dalam hidupku. Namun, kalimatnya berikutnya langsung menjatuhkanku ke jurang terdalam."Menikah denganku ada satu syarat. Donorkan salah satu ginjalmu untuk Vivian."Vivian adalah gadis yang telah didambaka
Aku dan Hansen adalah tetangga yang tumbuh bersama sejak kecil. Sejak kecil, aku kehilangan ibuku dan dibesarkan oleh ayah yang kecanduan alkohol. Sementara itu, Hansen tinggal bersama ibunya yang lembut di rumah sebelah setelah orang tuanya bercerai.Ibu Hansen sangat menyukaiku. Dia sering kali memelukku dan bertanya apakah aku ingin menjadi istri Hansen. Setiap kali itu terjadi, Hansen selalu menolak dengan keras."Siapa yang mau nikah sama si bisu ini?" katanya.Meskipun begitu, Hansen selalu melindungiku saat di luar. Ketika aku dilempari batu, dikejar anjing, atau barang-barangku dirampas, dia selalu maju dan berkelahi dengan orang-orang yang menggangguku. Bahkan saat tubuhnya babak belur, dia tetap mati-matian melindungiku di belakangnya.Dia bilang dia tidak suka si bisu, tapi dia akan selalu menjaga Starla, si bintang kecilnya.Sampai suatu hari, ayahku yang terlilit utang judi berencana menjualku yang dianggapnya tidak berguna. Ibu Hansen mengetahui rencana itu dan menyelamat
Hansen membenciku, tetapi dia juga merasa bersalah terhadapku. Malam itu, kami berdua kehilangan orang yang kami cintai. Karena aku bisu dan tuli, ibu Hansen pernah berkata, "Starla adalah harta yang harus kujaga".Ucapan itulah yang membuat Hansen tidak pergi meninggalkanku. Sebaliknya, dia mulai memikul tanggung jawab sebagai kakak untuk membesarkanku.Namun aku tahu, dia masih membenciku. Selama bertahun-tahun, setiap kali peringatan kematian ibunya tiba, dia akan mabuk berat dan pergi sendiri untuk berziarah. Pernah suatu kali aku mengikutinya diam-diam, tapi aku malah ditendang olehnya yang sedang mabuk.Dia mencekik leherku dengan marah. "Starla, kamu nggak pantas berlutut di hadapan ibuku!"Namun setelah dia sadar, dia akan memelukku dengan raut kebingungan dan menyentuh memar di leherku, kemudian meminta maaf berkali-kali. "Starla, maafkan aku. Aku cuma ... kebingungan."Bahkan saat kami berada di ranjang bersama, dia selalu menutupi wajahku.Sebenarnya, aku juga merasakan dile
Di dalam mobil, Farhan terus mengoceh tanpa henti. "Lagi mikirin si Bisu?""Nggak, siapa juga yang mikirin dia," jawab Hansen dengan nada dingin, lalu melemparkan ponselnya ke samping."Kalau kamu memang nggak suka sama dia, sebaiknya katakan saja terang-terangan. Dia itu bisu, kasihan sekali.""Kasihan?" Hansen menarik dasinya dengan kesal."Apa yang perlu dikasihani? Aku memberinya makanan dan minuman, membesarkannya sampai sekarang, tapi hasilnya? Aku malah membesarkan orang yang nggak tahu berterima kasih dan egois! Baru negur dia sedikit saja, dia malah ngambek dan perang dingin sama aku. Hebat sekali.""Bagaimanapun, kalian tumbuh bersama. Meskipun nggak ada cinta, pasti ada rasa sayang seperti saudara. Kenapa kamu nggak telepon dia untuk baikan?""Nggak usah." Hansen melirik ponselnya dan suaranya semakin dingin, "Siapa juga yang mau manjain dia dengan sifat buruknya ini!"Meskipun berkata demikian, beberapa saat kemudian, Hansen tetap mengambil ponselnya dan mengirimiku pesan.
"Oh ya?"Hansen mengusap alisnya, lalu kembali memejamkan mata. Aku juga menutup mata.Seandainya Hansen bisa lebih teliti atau bahkan meneleponku .... Meskipun aku tak akan pernah bisa mendengar suaranya dengan jelas lagi, setidaknya nada dering ponselku akan berbunyi dan terdengar di bagasi mobilnya.Namun, dia tidak melakukannya. Sejak dulu ataupun sekarang, dia tidak pernah melakukannya. Di masa depan juga tidak akan pernah lagi melakukannya.Operasi transplantasi ginjal untuk Vivian berhasil dengan baik berkat ginjalku. Hansen benar-benar sangat perhatian pada Vivian. Bahkan ketika dia belum sadar, Hansen tetap tidak beranjak pergi. Setelah Vivian terbangun, dia baru bisa bernapas lega."Hansen, terima kasih sudah menyelamatkanku.""Nggak usah berterima kasih, Vivian. Kita ini teman, lagian, dulu kamu juga pernah menyelamatkan hidupku."Vivian tersenyum lemah dan tidak berbicara lebih lanjut lagi. Dari luar, orang-orang mungkin akan menganggapnya terlalu lemah untuk bicara setelah
Vivian muncul dalam hidup kami saat Hansen mulai kuliah. Dia mulai sering menyebut nama seorang gadis: Vivian.Aku pernah diam-diam melihatnya. Dia sangat cantik dan berasal dari keluarga yang terpandang. Dibandingkan denganku, seorang gadis yang tidak bisa bicara dan bahkan tak bisa mendengar dengan jelas, perbedaan kami bagaikan langit dan bumi.Suatu hari, Hansen dan Vivian pergi mendaki gunung dan aku diam-diam mengikuti mereka dari belakang. Di sana, aku melihat senyum Hansen ... sebuah senyuman yang belum pernah kulihat saat bersamanya. Sebuah senyuman yang santai dan lepas, berbeda dari yang pernah ditunjukkannya padaku.Saat itu, aku sangat takut kehilangan Hansen. Aku terus mengintip dari belakang dan mengikuti pasangan yang tampak sempurna itu. Hingga akhirnya, aku baru lega setelah melihat mereka bertengkar dan berpisah.Namun, pertengkaran itu hampir merenggut nyawa Hansen. Dia terpeleset dan jatuh ke jurang.Aku tidak tahu bagaimana aku menemukannya. Aku juga tidak tahu ba
Setelah memastikan semua tanda-tanda vital Vivian normal, barulah Hansen puas dan pulang ke rumah. Dia pernah mengirimiku pesan lewat WhatsApp, mengatakan bahwa malam ini dia akan pulang untuk makan malam.Hansen mengira bahwa aku akan menunggunya dengan gembira sambil mengenakan celemek dan mempersiapkan meja makan yang penuh dengan hidangan lezat. Namun, dia sama sekali tidak menduga bahwa yang menyambutnya hanyalah kesunyian.Hansen mencari di setiap sudut rumah, tapi tidak menemukan keberadaanku. Akhirnya, dia mengeluarkan ponselnya. Kali ini, dia benar-benar meneleponku. Untuk pertama kalinya, setelah tiga hari sejak kematianku.Seperti yang diduga, yang terdengar hanyalah nada sibuk yang menunjukkan bahwa ponselku tidak aktif. Hansen melemparkan ponselnya dengan marah."Starla! Berani sekali kamu! Oke, aku nggak percaya kamu bisa marah selamanya!"Sambil berkata demikian, Hansen mengambil kembali ponselnya. Dengan jari-jarinya yang panjang, dia mengetik sebuah pesan dengan cepat.
Malam itu, Hansen terus-menerus melirik ponselnya. Dia bahkan tidak pergi ke ranjang, melainkan tetap menunggu di sofa. Persis seperti yang sering kulakukan selama bertahun-tahun. Hingga fajar tiba, dia baru membuka matanya yang memerah."Hebat sekali kamu, Starla! Lihat saja, aku pasti akan mengulitimu kalau ketemu!"Namun, Hansen, bukankah kamu sudah mengulitiku waktu itu?Aku hanya bisa menghela napas pelan. Seperti biasa, tidak ada yang mendengarkanku. Hanya angin yang lembut menggerakkan tirai jendela.Hansen tidak tidur semalaman. Dia terus mencoba meneleponku, tapi tak pernah terhubung. Akhirnya, dia teringat untuk pergi ke studionya.Namun sebelum sempat sampai ke studionya, telepon dari rumah sakit masuk. Vivian mengeluh tentang kondisi kesehatannya yang memburuk.Dia ragu sejenak, lalu langsung berbalik dan mengemudi menuju rumah sakit.Hatiku memang sudah mati rasa sedari dulu. Begitulah, bukan pertama kalinya Hansen meninggalkanku demi Vivian. Tentu saja, ini bukan yang ter