Share

Bab 4

Sherline menatap daun teh yang mengapung di dalam basi dengan ekspresi kaget. "Master Terry, daun teh ini ... benaran teh hijau berkualitas? Tapi ... hambar sekali dan warnanya nggak gelap."

"Tentu saja!" Hati Terry sangat perih. "Kamu ini menantu Keluarga Kusmoyo, kenapa malah nggak bisa bedakan teh hijau? Mana ada teh hijau berkualitas yang beraroma kuat? Itu bukan teh merah! Aduh! Sayang sekali! Teh hijau berkualitas tinggi, lho! Aku pun hanya pernah minum sekali!"

Seno juga tampak canggung. "Ehem! Sherline, daun tehnya masih ada berapa banyak?"

"Masih ada setengah kaleng."

"Setengah kaleng?" Seno ingat kaleng daun teh itu bisa memuat setengah kilogram. Jadi, dua kaleng sekitar satu kilogram. Alhasil, hanya tersisa setengah kaleng. Hati Seno sangat perih. "Cepat ambilkan! Seduh teh untuk Master Terry!"

"Baik, baik, aku ambilkan sekarang!" Sherline terburu-buru sehingga terhuyung dan nyaris menjatuhkan basi.

Otot wajah Terry berkedut-kedut. "Hati-hati, itu telur rebus teh dari teh hijau berkualitas tinggi! Satunya puluhan juta!"

"Ya, ya ...." Wajah Sherline memerah karena malu. Sherline pergi ke dapur dengan kepala tertunduk.

Seno mengernyit seraya berkata pada Helen, "Helen, kamu juga pergi seduh teh! Doni, sini, temani kami mengobrol!"

Helen melirik Doni dengan heran sebelum pergi ke dapur. Helen pun kebingungan. Bagaimana mungkin daun teh pemberian Doni adalah teh hijau berkualitas tinggi? Dari mana Doni si kampungan itu mendapatkannya?

Sherline tampak murung. Begitu melihat Helen, Sherline langsung memprotes, "Mana mungkin kampungan itu bisa punya daun teh sebagus itu? Bisa saja dia asal petik dari pohon teh liar di gunung! Master Terry juga, memangnya mudah untuk bedakan daun teh? Mungkin aromanya mirip saja!"

Helen setuju dalam hati, 'Omongan ibu juga masuk akal. Doni baru datang, tetapi sudah mempermalukan Keluarga Kusmoyo di depan Master Terry. Doni sungguh menyebalkan! Aku harus menceraikan Doni secepat mungkin!'

Saat makan malam, Seno dan Terry sibuk berbincang. Doni disebut oleh Seno sesekali sehingga terpaksa harus memberi tanggapan. Kisah unik di desa selalu membuat dua pria tua itu tertawa. Bernard dan Sherline memutar mata. Apa lucunya kisah pedesaan itu?

Setelah Terry pergi, Seno memanggil mereka semua. "Doni, Helen, kalian sudah daftarkan pernikahan. Bulan depan, cari hari yang bagus untuk bikin resepsi pernikahan. Kakek pun bisa tenang!"

"Nggak mau!" tolak Helen langsung.

Bernard dan Sherline juga serempak berseru, "Ayah! Jangan!"

Seno mengernyit dan ingin marah.

Helen buru-buru menjelaskan, "Kakek, aku belum pernah pacaran! Kalau bikin resepsi pernikahan secepat ini, aku ... aku akan punya penyesalan hidup. Selain itu, kami belum mengenal satu sama lain secara mendalam. Harus ... harus beri kami waktu untuk berkenalan."

Bernard dan Sherline tahu itu adalah siasat Helen untuk menunda waktu. Jadi, mereka serempak mengangguk. "Ayah, menurutku, Helen benar. Ayah harus beri Helen sedikit waktu, 'kan?"

Seno merenung, lalu bertanya, "Doni, bagaimana menurutmu?"

"Aku juga berpikir begitu! Aku juga belum pernah pacaran! Kehidupan ini nggak sempurna kalau belum pernah pacaran!" jawab Doni tanpa ragu. Setelah itu, Doni melirik Helen yang terkejut.

Dia pun belum tahu bagaimana sifat Helen!

Helen memang cantik!

Namun, kalau Helen benar-benar adalah wanita yang suka membayar pria untuk bersenang-senang, dia akan rugi besar!

Pernikahan seumur hidup tidak boleh ditetapkan secara sembrono!

Mendengar jawaban Doni, Seno merenung lagi. "Kalau begitu, resepsi pernikahan ditunda saja. Bagus juga kalau kamu dan Helen berkenalan dulu! Sebenarnya, itu nggak perlu! Saat Kakek nikah, kami baru berkenalan di kamar!"

"Ayah! Ini sudah era modern! Jangan ungkit zaman dahulu lagi!" tukas Bernard.

Doni pun berpikir, dia sepertinya juga berkenalan dengan Helen di kamar!

Tidak! Dia bahkan tidak tahu siapa Helen saat di kamar!

Helen sepertinya juga teringat pada sesuatu sehingga memelototi Doni dengan tatapan mata sedingin es.

"Doni ...." Seno melanjutkan, "Nanti suruh Helen carikan posisi yang cocok untukmu di perusahaan."

Helen langsung panik.

Konyol sekali!

Bekerja bersama kampungan setiap hari bisa membuatnya gila!

Namun, sebelum Helen menemukan alasan untuk menolak, Doni sudah menjawab.

"Kakek, terima kasih atas tawaran baikmu, tapi aku nggak akan kerja di Grup Kusmoyo."

Mereka termenung. Bernard langsung menyindir, "Keluarga Kusmoyo cukup kaya, tapi nggak akan terima orang yang makan gaji buta. Kalau kamu nggak mau kerja, kamu mau jadi parasit?"

"Omong kosong apa kamu?" Wajah Seno menjadi masam.

"Ayah ...." Sherline meneruskan, "Doni itu pria, nggak bisa diam di rumah saja, 'kan? Kalau dia nggak mau kerja, bukannya dia mau jadi parasit?"

"Aku punya cara sendiri untuk menghasilkan uang, nggak akan kekurangan uang!" jawab Doni dengan tenang.

Dengan keterampilan ilmu kedokterannya, apa susah untuk menghasilkan uang? Apa perlu bekerja?

Bernard dan Sherline menyeringai sinis. Orang kampungan ingin menghasilkan uang di Kota Timung? Menjadi tukang buruh? Pergilah! Biar kampungan itu mati kelelahan! Paling baik jika kampungan itu mati di dalam tempat pembakaran batu bara hitam!

"Nggak tahu malu!" gumam Helen sambil melirik Doni dengan jijik.

Tentu saja kampungan itu tidak kekurangan uang!

Kampungan itu punya cek senilai dua miliar!

Kampungan itu pasti ingin menghabiskan uang tersebut untuk bersenang-senang, 'kan?

Tidak tahu malu! Dasar tidak tahu malu!

Dia, Helen Kusmoyo, bahkan sudah mendaftarkan pernikahan dengan pria sampah seperti itu, menyedihkan sekali!

Begitu sudah waktunya tidur, Bernard ingin menyuruh Doni tidur di ruang bawah tanah. Tepat saat itu, Seno memerintahkan pelayan, "Ambilkan selimut untuk Doni dan bawa ke kamar Helen! Malam ini, Doni tidur di kamar Helen!"

"Ayah!"

"Kakek!"

Wajah Seno menjadi masam. "Kenapa? Aku bukan kepala keluarga ini?"

"Tapi ... tapi ...." Wajah Helen berubah pucat. Helen menggigit bibir, nyaris menuliskan kata "aku tidak mau" di wajahnya.

"Helen, Kakek paling menyayangimu dari kecil. Kakek nggak akan merugikanmu!" Seno memasang ekspresi tegas. "Kalian sendiri bilang butuh waktu untuk berkenalan. Jadi, Kakek memberi kalian kesempatan! Kalian bisa mengobrol dan mendekatkan hubungan malam ini! Kecuali ... kalian membohongi Kakek barusan! Kalau begitu, Kakek akan siapkan undangan besok untuk resepsi pernikahan kalian minggu depan! Lalu, kalian harus menjalani hidup bersama dan melahirkan cicit Kakek secepatnya!"

Helen terdiam dan mengepalkan tangan. Bagaimanapun, ini rumah Keluarga Kusmoyo. Bahkan jika harus sekamar, Doni seharusnya tidak akan berani macam-macam. Jadi, Helen mengangguk dan langsung pergi ke kamarnya tanpa mengatakan apa-apa.

Doni juga tidak menyangka Seno akan berbuat demikian. Akan tetapi, Doni sepemikiran dengan Helen. Ini rumah Keluarga Kusmoyo, memangnya dia bisa melakukan sesuatu?

Seno dengan puas kembali ke kamarnya. Sementara itu, Bernard menatap Doni dengan ekspresi suram.

"Doni! Dengar baik-baik, Keluarga Kusmoyo tak tergapai bagimu!"

"Aku nggak akan mengakui pernikahan ini!"

"Kamu dan anakku mustahil bisa bersama!"

"Kuperingatkan kamu! Jangan macam-macam dengan anakku! Kalau nggak, aku nggak akan mengampunimu! Sekalipun Ayah melindungimu, juga nggak ada gunanya! Paham?"

Doni tersenyum pada Bernard. "Ayah, aku paham."

Panggilan ayah itu membuat Bernard marah sampai bibirnya gemetar dan hampir mengalami pendarahan otak.

"Dasar kampungan nggak terdidik! Kamu harus tahu diri!" Sherline juga marah besar. Sherline menarik Bernard untuk pergi bersamanya.

Doni menggelengkan kepala. Sesampainya di depan kamar Helen, Doni mengetuk pintu, tetapi tidak ada respons dari dalam.

"Dia nggak akan kunci pintu, 'kan?" gumam Doni.

Doni mencoba untuk mendorong pintu. Alhasil, pintu dibuka.

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Dhata Haduci
Cerita yg sangat bagus dan buat pembaca selalu akan terus membaca dan terus membaca.
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status