"Siapa wanita itu?"
Hedi yang mengerti arti tatapan sang presdir lantas bertanya pada manajer yang berdiri di dekatnya.
Sang manajer tampak terkejut lantaran tiba-tiba mendapat pertanyaan tersebut. Merasa bangga pada dirinya sendiri, ia dengan hati-hati melirik ke arah dimana wanita yang dimaksud oleh Hedi berada.
Pada saat dia melihat wanita yang tak asing lagi buatnya, ia pun terheran-heran. Namun, meski dia cukup penasaran mengapa Shena-lah dimaksud, ia tetap menjawab hati-hati dan jujur.
"Dia adalah salah satu housekeeper di hotel kita, Tuan Hedi. Namanya Shena. Apakah Anda ada perlu dengannya? Jika ya, saya akan memanggilnya untuk menemui Anda."
Hedi menggelengkan kepalanya. Baginya, mengetahui namanya saja sudah cukup. Ia pun berterima kasih pada manajer itu, lalu ikut menyusul langkah sang presdir yang telah masuk lebih dulu ke dalam hotel, meninggalkan dirinya berdua saja dengan manajer tersebut.
Memasuki lift eksklusif, orang-orang yang tadi menyambut Mahendra tinggal di luar lift. Sampai pintu tertutup dan hanya tersisa dua orang saja di dalam, Hedi kemudian memberitahu informasi yang baru saja dia dapatkan.
"Presdir, wanita yang tadi Anda lihat merupakan salah satu staf hotel. Manager Ardi bilang kalau wanita itu biasa dipanggil Shena."
Tidak ada ekspresi apapun yang berfluktuasi di wajah datar itu setelah dia mendengar satu nama yang baru dikenalnya.
"Apa kau yakin dia bekerja disini?"
"Untuk ini, saya perlu menyelidiki lebih jauh lagi apakah benar atau tidak. Jika Anda tidak keberatan, saya akan meminta biodatanya pada personalia," jawab Hedi tenang. Tak sulit baginya untuk mengetahui kebenaran kata-kata dari manajer tadi. Lagipula dia juga percaya dengan apa yang dikatakan oleh manajer itu.
"Selidiki dia, lalu beritahu aku." suruh Mahendra pada Hedi yang diangguki oleh asistennya itu dengan tanda memahami.
Shena yang baru saja tiba di ruang karyawan bertemu dengan temannya yaitu Laura.
"Apakah kau sudah sembuh?" tanya Shena memulai percakapan.
"Sudah baikan. Untungnya hanya sakit perut biasa. Dokter bilang kalau aku harus mengurangi minum kopi dan menjaga pola makanku," jawab Laura seraya duduk di kursi panjang yang tersedia di ruangan tersebut.
Shena melepas jaketnya, melipatnya lalu memasukkannya ke dalam loker beserta dengan tas yang tadi dia bawa. "Aku sudah ingatkan dirimu jangan telat makan, tapi kau tidak pernah mendengarkan." keluhnya kesal sekaligus khawatir.
Mendengar teguran dari teman akrabnya, Laura nyengir. Tidak keberatan dan justru senang dikhawatirkan.
"Lalu bagaimana denganmu?" tanya Laura sambil mendongakkan kepalanya untuk melihat Shena yang posisinya sedang berdiri, "Aku dengar dari Alvin kau kemarin tidak masuk dan Rafael sedang mencari-cari dirimu. Apa kalian bertengkar?"
Awalnya Laura telah menebak, sedikit banyak tentang keanehan dua orang itu -- Shena dan Rafael -- yang biasanya terlihat dekat tiba-tiba jadi renggang hubungannya.
Belakangan terdengar gosip bahwasanya Rafael telah berpacaran dengan Elina. Padahal banyak dari lingkaran pertemanan mereka yang tahu jika Rafael memendam suka pada Shena.
"Bisakah kita tidak membicarakan soal dia?" Shena berbalik menghadap Laura. Sepasang matanya menyiratkan sebuah permohonan kalau dia tidak mau membahas soal dirinya dan Rafael.
Tidak ada yang tahu tentang kejadian tiga bulan lalu dimana dia harus dibius oleh rekannya sendiri yang menyebabkan dirinya menghabiskan satu malam dengan seorang pria. Sampai saat dia pun bertengkar dengan Rafael setelah kejadian itu, tidak ada yang tahu kecuali Elina dan Alvin.
Untuk saat ini, dia tidak mau berhubungan lagi dengan orang-orang yang telah menyebabkan derita dalam hidupnya. Karena saat dia mendengar nama dari orang-orang jahat itu, ia akan ingat tentang apa yang terjadi padanya. Dia akan diingatkan juga bahwa kini dia sedang tidak baik-baik saja. Kenyataan bahwa dia hamil diluar nikah sudah cukup membuatnya kembali frustasi dan rasanya ingin marah.
Tetapi, dia tahu marah dan mengutuk orang-orang itu tak akan mengubah apapun. Yang telah hilang dari dirinya tak akan pernah lagi utuh dan fakta kehamilannya pun tak dapat dilupakan.
"Baiklah, kalau kamu maunya begitu, aku tak akan membicarakan dia lagi." Laura setuju dengan mudah dan menghormati keputusan Shena.
"Sudah waktunya kita berkumpul," kata Shena mengingatkan saat waktu kurang dari beberapa menit sebelum mereka memulai pekerjaan di hari itu.
***
Siang harinya, tepat saat waktu makan siang di hotel.
Shena dan Laura pergi ke kafetaria untuk mengambil makan siang mereka. Sambil jalan, tak henti-hentinya kedua wanita itu mendengar bisikan heboh yang menyatakan kedatangan seorang artis terkenal yang akan melakukan konferensi pers di hotel tempat mereka bekerja.
Laura dan Shena duduk di dekat jendela bersama dengan dua pegawai lainnya dari departemen lain. Meski wajah kedua orang itu tak asing, namun keduanya hanya bertukar sapa singkat lalu melanjutkan makan masing-masing.
"Apa kau juga sudah mendengar berita itu?"
Disela-sela mereka makan, Laura bertanya.
"Tentang ada artis yang datang hari ini?" tanya Shena balik dengan nada tak yakin.
Laura menggelengkan kepalanya. Sebelum bicara, ia menelan suapan nasi di dalam mulutnya. "Bukan itu. Tapi soal presdir hotel kita yang turut muncul di konferensi itu,"
"Tidak." jawab Shena singkat, tak peduli.
Laura mengerang, kesal dengan sikap temannya yang acuh tak acuh. "Shena, yang aku bicarakan itu soal presdir kita. Masa kau tidak penasaran sih?"
"Tidak sama sekali,"
"Mungkin hanya kau saja karyawan di hotel ini yang tidak tertarik mengikuti gosip presdir tampan kita itu." celetuk Laura seraya mengedarkan pandangannya sekeliling.
Mendengar perkataan temannya itu, Shena untuk sesaat menghentikan makannya. Untungnya, Laura tidak melihat tingkahnya yang aneh. Kalau tidak, mungkin dia sudah diberondongi banyak pertanyaan yang berkaitan dengan presdir yang mereka bicarakan.
"Kau salah, Laura," batin Shena sambil menunduk, menyembunyikan sorot matanya yang sedih agar tidak dilihat oleh Laura. "Faktanya, aku sama seperti kau yang cukup penasaran dengan kehidupan presdir kita. Itu sebabnya saat aku mendengar gosip tentangnya, aku pun merasa penasaran dan ingin tahu. Sama sepertimu."
Namun dia tidak pernah menunjukkan ketertarikannya dan antusiasnya secara terang-terangan pada teman-temannya. Bahwa kenyataannya dia pun tak jauh berbeda dengan para karyawan wanita hotel ini yang mengagumi sosok presdir dari The Muneer Hotel.
Meski sosok presdir mereka digambarkan sebagai seorang yang dingin dan misterius, tak membuat kekaguman terhadap pria itu berkurang. Dan pada saat akhirnya dia bertemu secara dekat dengan sosok yang dikaguminya secara diam-diam, ia merasakan ketidakpercayaan sekaligus merasa dunianya runtuh akibat ketidakmungkinan.
Shena tak akan pernah lupa, pria asing yang tidur denganya tak lain adalah pria itu, presdir The Muneer Hotel yang terkenal akan keberadaannya yang tersembunyi.
"Shena ... Shena," Laura berulang-ulang memanggil temannya yang sedang melamun. Entah sejak kapan. Saat dia kembali fokus pada makannya, dia mendapati Shena sudah berhenti makan dan pandangannya seakan tak fokus menatap ke luar jendela.
Shena tersentak, pulih dari lamunannya saat tangannya ditepuk pelan oleh Laura.
"Ada apa?"
Laura kemudian menunjuk menggunakan dagunya ke arah belakang Shena. Seseorang telah berjalan menuju ke meja mereka.
Berpaling ke belakang untuk melihat ke arah yang ditunjuk oleh Laura, Shena terkejut.
"Apa kau mau aku tinggal sendirian, atau kita pergi dari sini segera?" tanya Laura seraya mengintip ekspresi Shena dengan khawatir.
Friska Indira, seorang artis terkenal ibu kota yang memulai karirnya menjadi model sebuah pakaian brand terkenal di Perancis.Sejak debutnya didunia akting, namanya meledak di kancah industri perfilman dan berhasil menyabet penghargaan artis pendatang baru serta penghargaan-penghargaan lainnya setelah tiga tahun memulai debutnya. Tak hanya namanya menjadi terkenal, ia pun didapuk sebagai ambasador dari brand-brand terkenal Amerika serta Eropa. Kehidupan pribadinya selalu menjadi pusat perhatian publik, dan karena itulah bahkan statusnya yang sebagai tunangan dari Mahendra tak luput dari sasaran media. Akan tetapi, berbanding terbalik dengan kehidupan pribadi Friska yang hampir telanjang di mata publik, sang tunangannya sendiri yaitu Mahendra terkenal dengan kemisteriusannya. Tak banyak momen yang berhasil ditangkap oleh paparazi yang muncul di internet. Sebagian besar, wajah tampan Mahendra berubah blur hingga membuat sebagian besar penggemar Friska bertanya-tanya seperti apakah soso
"A-Apa yang baru saja kau katakan?" Dengan bibir bergetar Friska bertanya kembali. Tidak yakin dengan apa yang baru saja dirinya dengarMahendra menatap lurus ke depan. Sepasang tangan yang tadi terulur meraih botol wine yang dipegang oleh Shena. "Aku katakan, aku juga tidur dengan wanita lain tepat saat kau berselingkuh dengan aktor cilik itu."Friska terperanjat, sedangkan Shena memiliki keringat dingin di punggungnya. Tanpa sadar ia menundukkan kepala, tidak berani menatap mata tajam pria itu yang kini penuh selidik mengamatinya.Mahendra menuangkan sendiri minumannya di gelas kaca yang ada di troli, mengisinya separuh lalu menenggaknya di tempat sampai habis. Sebelum dia membalikkan badannya, ia melirik ke arah name-tag di dada Shena."Aku menunggumu di tempat pertemuan. Kau hadir atau tidak, tidak akan menghentikan pembatalan pertunangan ini!""Tunggu ... Mahendra tunggu. Kau harus jelaskan padaku maksud perkataanmu!" Friska terhuyung-huyung menyamai langkah panjang Mahendra tap
Lorong itu begitu sepi, tidak ada seorang pun yang tampak untuk diminta bantuan oleh Shena. Walau dia percaya Rafael tak akan berbuat hal buruk padanya, tapi tetap saja dia merasakan takut berduaan saja dengan pria ini."Dengarkan aku," Rafael mencengkram kedua bahu Shena kuat. Tatkala dia melihat wajah meringis sang wanita, barulah ia melonggarkan pegangannya. "Yang aku katakan padamu saat itu benar adanya, Shena. Aku sama sekali tidak mencampurkan obat apapun ke dalam minumanmu. Memang benar bahwa aku lah yang memberikan minuman itu padamu, tapi sungguh, aku tidak tahu sama sekali kalau ada obat di dalamnya."Shena terdiam, namun tatapannya awas memandang Rafael yang kini tampak kalut dan frustasi."Kau tahu aku selalu memercayaimu, Raf. Dan kau hanya perlu jujur tentang kau lah orangnya yang menjebakku malam itu." ucap Shena getir."Aku bersyukur karena menjadi orang yang kau percaya. Tapi tolong, untuk kali ini jangan ragukan aku. Bagaimana mungkin aku melakukan hal buruk seperti
Hedi menggelengkan kepalanya menolak. "Maafkan saya. Saya hanya mematuhi perintah Presdir saja."Tak punya pilihan, akhirnya Shena bersedia meski dengan terpaksa menemui Mahendra. Tepat ketika dia mengikuti langkah Hedi yang telah berjalan lebih dulu di depannya, Rafael menghentikannya kembali."Apa hubunganmu dengan Presdir kita, Shena?" tanya pria itu penasaran. Perasaan cemburu yang dirasakannya tak disembunyikannya oleh Rafael untuk dilihat oleh Shena."Apalagi memangnya selain atasan dan bawahan?" "Tetapi bagaimana bisa Presdir ingin bertemu denganmu? Pria super sibuk itu? Orang yang jarang sekali terlihat berinteraksi dengan bawahannya? Bagaimana mungkin meminta bertemu denganmu kalau bukan karena kalian saling mengenal?"Apa yang ditanyakan Rafael tidaklah salah. Dengan identitas yang dimiliki oleh Mahendra serta keterkenalannya akan sifat dingin dan acuh tak acuhnya, bagaimana bisa kenal dengan orang seperti dia?Jika bukan karena satu malam yang mereka habiskan bersama malam
Mahendra berdiri di sisi ranjang dalam postur diam. Tidak menginterupsi sang dokter wanita yang telah dihubungi untuk datang memeriksa keadaan Shena. Di atas tempat tidur, Shena yang tidak sadarkan diri diperiksa oleh dokter. Kejatuhannya tadi yang tiba-tiba mengejutkan pria itu dan sekaligus menimbulkan rasa khawatir yang belum pernah ada. Setelah beberapa menit dalam keadaan hening, dokter itu merapikan peralatan medis yang dibawa. Masih duduk di posisi yang sama, ia kemudian bertanya pada pria di samping yang membuat dia agak gugup sejak pertama kali bertemu. "Bolehkah saya bertanya apa Anda memiliki hubungan dengan wanita ini?" Pertanyaan yang diajukan cukup aneh. Kening pria itu berkerut dalam, bingung memikirkan jawaban atas pertanyaan yang dilontarkan. Sepertinya, jawaban yang dikeluarkan dapat menentukan suatu hal penting lain. "Saya kekasihnya," Dokter wanita itu tampak menghela napas lega. "Jadi begini, saya masih belum tahu apakah diagnosa saya ini akurat atau tidak.
Blam! Suara pintu mobil yang ditutup keras membuat Shena tersentak. Kedua tangannya bergetar hebat di atas lutut dikarenakan takut. Ia tak menyangka bahwa Mahendra akan bertindak sesuka hati tanpa mengindahkan penolakannya. Saat dia berkata bahwa anak di dalam perutnya bukanlah miliknya, Mahendra tidak percaya. Dan alasan lain yang coba dirinya berikan akhirnya menyulut kemarahan laki-laki itu. Mahendra benar-benar membuktikan perkataannya langsung seketika itu juga pada Shena. Terbukti dengan pria itu yang menyeret Shena keluar dari hotel, lalu membawa wanita itu pergi ke rumah sakit untuk melakukan tes apakah Shena benar hamil atau tidak. "Anda tidak bisa melakukan ini pada saya!" Walau Shena takut menghadapi pria yang marah di sampingnya, ia tetap memberanikan diri bicara. Ia tidak mau pergi ke rumah sakit. Ia tidak mau laki-laki ini tahu kebenarannya. Tanpa menolehkan kepalanya, Mahendra menyahut, "Bisa atau tidak, terserah padaku yang memutuskan!" "Presdir, bahkan jika ana
"A-Apa yang baru saja Anda lakukan?" Shena mendorong Mahendra menjauh. Wajah cantiknya tampak shock. Tidak mengerti mengapa laki-laki ini menciumnya.Jika bertanya pada Mahendra pun, pria itu tak akan tahu jawabannya. Karena tadi itu tindakan spontan dikarenakan melihat kecantikan yang mengagumkan terpapar dalam jarak pandangnya.Mahendra memundurkan tubuhnya. Kedua telinganya berubah merah lantaran malu karena sembarangan mencium wanita. Apalagi wanita itu seperti Shena. Polos dan naif seperti wanita baik-baik yang tidak pernah terlibat dengan para lelaki."Maaf. Tadi aku, tidak sengaja." ujarnya seraya memalingkan muka ke samping. Ia mengusap hidung mancungnya, ingin bersin tapi tidak jadi.Shena pun ikutan kikuk. Masih terasa bekas ciuman tadi di bibirnya yang kini sedikit lembab, dan kehangatan dari pria itu tampaknya belum pudar dari sana."Apa kita jadi masuk ke dalam atau tidak?" Ia bertanya mengingatkan. Untuk apa pria itu membawanya ke rumah sakit."Tentu. Meski kau telah men
Shena tinggal bersama dengan temannya di sebuah apartemen untuk sementara waktu. Di saat dia berpikir akan mencari kontrakan baru, tawaran tak terduga dari anak buah Mahendra datang padanya.Itu adalah hari liburnya, saat seorang wanita berusia 40-an mengetuk pintu dan datang khusus untuk bertemu dengannya."Saya disuruh oleh Presdir untuk menyampaikan beberapa pesan pada Anda, Ms. Shena. Saya harap saya tidak mengganggu waktu istirahat Anda.""Tidak, tidak. Anda sama sekali tidak mengganggu.Wanita yang diketahui bernama Hannah itu tersenyum. "Kalau begitu saya akan langsung saja. Anda dapat membaca surat-surat ini dulu sebelum mendengarkan penjelasan dari saya."Sebuah map berwarna kuning diserahkan kepada Shena untuk dia baca. Walau awalnya bingung, ia tetap melakukan perintah wanita itu. Ia membaca isi di dalam surat itu yang katanya pesanan dari Mahendra.Selama dia membacanya, raut wajahnya tampak berubah-ubah."Apa maksudnya ini?""Presdir telah mengetahui kondisi Anda, Ms. She