"A-Apa yang baru saja kau katakan?" Dengan bibir bergetar Friska bertanya kembali. Tidak yakin dengan apa yang baru saja dirinya dengar
Mahendra menatap lurus ke depan. Sepasang tangan yang tadi terulur meraih botol wine yang dipegang oleh Shena. "Aku katakan, aku juga tidur dengan wanita lain tepat saat kau berselingkuh dengan aktor cilik itu."Friska terperanjat, sedangkan Shena memiliki keringat dingin di punggungnya. Tanpa sadar ia menundukkan kepala, tidak berani menatap mata tajam pria itu yang kini penuh selidik mengamatinya.Mahendra menuangkan sendiri minumannya di gelas kaca yang ada di troli, mengisinya separuh lalu menenggaknya di tempat sampai habis. Sebelum dia membalikkan badannya, ia melirik ke arah name-tag di dada Shena."Aku menunggumu di tempat pertemuan. Kau hadir atau tidak, tidak akan menghentikan pembatalan pertunangan ini!""Tunggu ... Mahendra tunggu. Kau harus jelaskan padaku maksud perkataanmu!" Friska terhuyung-huyung menyamai langkah panjang Mahendra tapi pintu tertutup menghentikannya di tempat.Terengah-engah akibat marah, wanita itu berteriak histeris. Tangisan dan jeritan memenuhi seluruh ruangan yang berisi empat orang tersebut.Satu jam kemudian setelah Friska dan antek-anteknya keluar dari kamar, Shena mulai membersihkan ruangan itu dibantu dengan Luna yang tiga puluh menit lalu datang menghampiri."Em, apa kau baik-baik saja?" Luna yang khawatir menanyakan lagi keadaan temannya yang di rasa dalam kondisi tidak sehat.Shena menggelengkan kepalanya, tersenyum kecil demi menunjukkan kalau dia baik-baik saja. Tadi dia muntah lagi. Untungnya tidak ada siapapun di kamar itu saat dia kembali memuntahkan makan siangnya ke dalam toilet. Kini, dia hanya merasa lelah dan lemas dan ingin segera beristirahat."Selepas bersih-bersih ini beres, aku bisa membantumu meminta izin pada manajer agar kau bisa pulang lebih awal, Shena. Itu pun kalau kau mau."Bayangan untuk segera menuntaskan pekerjaan melayang-layang di benak Shena. Kedengarannya bagus sekali, pikirnya, tapi itu tak mungkin. Dia berada di shift pagi dan jam pulangnya tersisa beberapa puluh menit saja. Dia pikir dia bisa menahannya sampai pekerjaannya usai."Tidak apa-apa, Lun. Aku tunggu saja sampai kita pulang."Di sisi lain, ballroom hotel terdapat banyak wartawan yang sedang meliput konferensi pers yang diadakan oleh Presdir The Muneer Hotel. Berita tentang pengumuman pembatalan tunangan itu membuat ruangan tersebut ramai seperti sekumpulan lebah."Tuan Mahendra, jika demikian apakah hal ini juga alasan Anda tidak menunjukkan identitas Anda kepada publik?" Seorang wanita memakai kacamata bening mengangkat tangan lalu mengajukan pertanyaan.Mahendra yang duduk tenang di platform bersama dengan Friska memiliki wajah dingin khasnya. Saat banyak lampu kamera berkedip memfoto dirinya, sepasang matanya berkedip normal seakan sudah terbiasa."Saya hanya tidak ingin membuat Nona Friska bermasalah setelah publik tahu bahwa saya adalah tunangannya. Apalagi saat itu, dia sedang berada di puncak karir dan saya pikir cukup membuat publik tahu dia bertunangan tanpa perlu saya juga muncul. Hanya dengan berita itu pun sudah membuat Nona Friska serta manajemennya kewalahan dalam mengatasi para fansnya yang mencintainya." papar Mahendra dengan suara mantap. Friska yang sedari tadi diam dan hanya menjawab singkat sesekali pertanyaan dari reporter lantas memalingkan mukanya ke samping. Polesan make-up yang tebal mampu menyamarkan wajahnya yang bengkak habis kebanyakan menangis.Seandainya bukan karena ayahnya meneleponnya di saat-saat terakhir dan memberikannya ancaman yang membuat dia tak berkutik, mungkin hari ini dia akan melakukan segala cara untuk menggagalkan acara ini."Nona Friska, beri kami komentar Anda. Apakah tidak ada yang ingin Anda jelaskan pada kami? Kepada fans Anda?""Nona Friska, apa Anda benar-benar setuju dengan keputusan ini?""Tolong, beri kami penjelasan."Mahendra memberikan isyarat kepada sekretarisnya, agar menyudahi wawancara tersebut."Ayo pergi." Suara pria itu begitu dingin, tidak ada jejak kelembutan sama sekali saat dia berbicara dengan mantan tunangannya.Kedua tangan Friska bergetar keras, usahanya dari tidak menunjukkan kemarahannya di hadapan publik. Dengan kepala terangkat, menampilkan senyuman terbaik, ia ikut berdiri kemudian pergi dari ruangan tersebut bersama dengan Mahendra dan dikawal oleh para bodyguard pria tersebut.Rombongan Mahendra lantas masuk ke dalam lift eksklusif, berniat pergi ke kamarnya untuk mengambil barang-barangnya sebelum dia memutuskan pergi dari hotel. Setelah mereka tiba di lantai yang dituju, ia berkata pada Cheryl. "Kita akan berpisah di sini. Tolong jaga dia dengan baik.""Mahendra!""Tidak ada yang perlu kita bicarakan. Aku harap, ini adalah terakhir kalinya kita bertemu." kata Mahendra tanpa melihat wanita itu yang kembali ingin menangis di tempatnya. Namun sang manajer yang telah bersiap, memegang tangannya erat agar sang artis asuhannya tidak mengejar, apalagi bertindak histeris seperti tadi.Dalam perjalanan menuju ke kamarnya, Mahendra berbicara pada sang asisten, "Aku bertemu dengan wanita itu tadi. Temukan dia lalu bawa ke kamarku." Asisten itu menjawab singkat perintah tersebut dan patuh pergi dari sana. Tanpa perlu sang bos menyebutkan siapa wanita yang dimaksud, dia sudah tahu siapa orang tersebut.Shena yang telah bersiap untuk pulang, dihentikan di sebuah koridor menuju ke pintu keluar saat di hadapannya dia melihat Rafael telah menunggunya. Ia menghentikan langkahnya, mencoba untuk berbalik pergi, tapi panggilan pria itu membuat langkahnya hampir tersandung."Shena, tunggu. Aku ingin bicara denganmu!"Tapi bagaimana mungkin Shena mau berhenti saat dia jelas-jelas menghindari bertemu dengan Rafael apalagi berbicara dengannya.Sayangnya, langkah kakinya tidak dapat menyamai langkah panjang Rafael. Ketika tiba di tikungan, lengannya dipegang kuat oleh tangan yang kuat dan punggungnya menabrak dinding. "Akh!" Shena menjerit tertahan begitu benturan di punggung mengejutkannya.Di hadapannya, Rafael menjebaknya di dinding.Lorong itu begitu sepi, tidak ada seorang pun yang tampak untuk diminta bantuan oleh Shena. Walau dia percaya Rafael tak akan berbuat hal buruk padanya, tapi tetap saja dia merasakan takut berduaan saja dengan pria ini."Dengarkan aku," Rafael mencengkram kedua bahu Shena kuat. Tatkala dia melihat wajah meringis sang wanita, barulah ia melonggarkan pegangannya. "Yang aku katakan padamu saat itu benar adanya, Shena. Aku sama sekali tidak mencampurkan obat apapun ke dalam minumanmu. Memang benar bahwa aku lah yang memberikan minuman itu padamu, tapi sungguh, aku tidak tahu sama sekali kalau ada obat di dalamnya."Shena terdiam, namun tatapannya awas memandang Rafael yang kini tampak kalut dan frustasi."Kau tahu aku selalu memercayaimu, Raf. Dan kau hanya perlu jujur tentang kau lah orangnya yang menjebakku malam itu." ucap Shena getir."Aku bersyukur karena menjadi orang yang kau percaya. Tapi tolong, untuk kali ini jangan ragukan aku. Bagaimana mungkin aku melakukan hal buruk seperti
Hedi menggelengkan kepalanya menolak. "Maafkan saya. Saya hanya mematuhi perintah Presdir saja."Tak punya pilihan, akhirnya Shena bersedia meski dengan terpaksa menemui Mahendra. Tepat ketika dia mengikuti langkah Hedi yang telah berjalan lebih dulu di depannya, Rafael menghentikannya kembali."Apa hubunganmu dengan Presdir kita, Shena?" tanya pria itu penasaran. Perasaan cemburu yang dirasakannya tak disembunyikannya oleh Rafael untuk dilihat oleh Shena."Apalagi memangnya selain atasan dan bawahan?" "Tetapi bagaimana bisa Presdir ingin bertemu denganmu? Pria super sibuk itu? Orang yang jarang sekali terlihat berinteraksi dengan bawahannya? Bagaimana mungkin meminta bertemu denganmu kalau bukan karena kalian saling mengenal?"Apa yang ditanyakan Rafael tidaklah salah. Dengan identitas yang dimiliki oleh Mahendra serta keterkenalannya akan sifat dingin dan acuh tak acuhnya, bagaimana bisa kenal dengan orang seperti dia?Jika bukan karena satu malam yang mereka habiskan bersama malam
Mahendra berdiri di sisi ranjang dalam postur diam. Tidak menginterupsi sang dokter wanita yang telah dihubungi untuk datang memeriksa keadaan Shena. Di atas tempat tidur, Shena yang tidak sadarkan diri diperiksa oleh dokter. Kejatuhannya tadi yang tiba-tiba mengejutkan pria itu dan sekaligus menimbulkan rasa khawatir yang belum pernah ada. Setelah beberapa menit dalam keadaan hening, dokter itu merapikan peralatan medis yang dibawa. Masih duduk di posisi yang sama, ia kemudian bertanya pada pria di samping yang membuat dia agak gugup sejak pertama kali bertemu. "Bolehkah saya bertanya apa Anda memiliki hubungan dengan wanita ini?" Pertanyaan yang diajukan cukup aneh. Kening pria itu berkerut dalam, bingung memikirkan jawaban atas pertanyaan yang dilontarkan. Sepertinya, jawaban yang dikeluarkan dapat menentukan suatu hal penting lain. "Saya kekasihnya," Dokter wanita itu tampak menghela napas lega. "Jadi begini, saya masih belum tahu apakah diagnosa saya ini akurat atau tidak.
Blam! Suara pintu mobil yang ditutup keras membuat Shena tersentak. Kedua tangannya bergetar hebat di atas lutut dikarenakan takut. Ia tak menyangka bahwa Mahendra akan bertindak sesuka hati tanpa mengindahkan penolakannya. Saat dia berkata bahwa anak di dalam perutnya bukanlah miliknya, Mahendra tidak percaya. Dan alasan lain yang coba dirinya berikan akhirnya menyulut kemarahan laki-laki itu. Mahendra benar-benar membuktikan perkataannya langsung seketika itu juga pada Shena. Terbukti dengan pria itu yang menyeret Shena keluar dari hotel, lalu membawa wanita itu pergi ke rumah sakit untuk melakukan tes apakah Shena benar hamil atau tidak. "Anda tidak bisa melakukan ini pada saya!" Walau Shena takut menghadapi pria yang marah di sampingnya, ia tetap memberanikan diri bicara. Ia tidak mau pergi ke rumah sakit. Ia tidak mau laki-laki ini tahu kebenarannya. Tanpa menolehkan kepalanya, Mahendra menyahut, "Bisa atau tidak, terserah padaku yang memutuskan!" "Presdir, bahkan jika ana
"A-Apa yang baru saja Anda lakukan?" Shena mendorong Mahendra menjauh. Wajah cantiknya tampak shock. Tidak mengerti mengapa laki-laki ini menciumnya.Jika bertanya pada Mahendra pun, pria itu tak akan tahu jawabannya. Karena tadi itu tindakan spontan dikarenakan melihat kecantikan yang mengagumkan terpapar dalam jarak pandangnya.Mahendra memundurkan tubuhnya. Kedua telinganya berubah merah lantaran malu karena sembarangan mencium wanita. Apalagi wanita itu seperti Shena. Polos dan naif seperti wanita baik-baik yang tidak pernah terlibat dengan para lelaki."Maaf. Tadi aku, tidak sengaja." ujarnya seraya memalingkan muka ke samping. Ia mengusap hidung mancungnya, ingin bersin tapi tidak jadi.Shena pun ikutan kikuk. Masih terasa bekas ciuman tadi di bibirnya yang kini sedikit lembab, dan kehangatan dari pria itu tampaknya belum pudar dari sana."Apa kita jadi masuk ke dalam atau tidak?" Ia bertanya mengingatkan. Untuk apa pria itu membawanya ke rumah sakit."Tentu. Meski kau telah men
Shena tinggal bersama dengan temannya di sebuah apartemen untuk sementara waktu. Di saat dia berpikir akan mencari kontrakan baru, tawaran tak terduga dari anak buah Mahendra datang padanya.Itu adalah hari liburnya, saat seorang wanita berusia 40-an mengetuk pintu dan datang khusus untuk bertemu dengannya."Saya disuruh oleh Presdir untuk menyampaikan beberapa pesan pada Anda, Ms. Shena. Saya harap saya tidak mengganggu waktu istirahat Anda.""Tidak, tidak. Anda sama sekali tidak mengganggu.Wanita yang diketahui bernama Hannah itu tersenyum. "Kalau begitu saya akan langsung saja. Anda dapat membaca surat-surat ini dulu sebelum mendengarkan penjelasan dari saya."Sebuah map berwarna kuning diserahkan kepada Shena untuk dia baca. Walau awalnya bingung, ia tetap melakukan perintah wanita itu. Ia membaca isi di dalam surat itu yang katanya pesanan dari Mahendra.Selama dia membacanya, raut wajahnya tampak berubah-ubah."Apa maksudnya ini?""Presdir telah mengetahui kondisi Anda, Ms. She
Shena di jemput oleh sopir di sore harinya selepas pemberitahuan dari Hannah."Kau yakin akan pergi?" Maria yang notabene teman Shena bertanya."Aku dengar kakakmu akan datang kemari, kan. Jadi aku memutuskan lebih baik pergi lebih awal sebelum kakakmu datang."Maria berjalan masuk ke dalam, lalu duduk di kursi menghadap Shena yang sedang membereskan pakaiannya. "Aku tidak keberatan kalau kau tinggal bersamaku lebih lama, Shena. Lagi pula kakakku hanya sebulan saja menumpang di sini. Setelah itu, aku tinggal sendirian lagi di apartemen besar ini. Itu akan membosankan seperti biasa."Shena menggelengkan kepalanya. Walau dia ingin sekali menerima tawaran itu, tapi kondisinya tidak memungkinkan baginya untuk terus tinggal. Kehamilannya terlalu mustahil untuk bisa ditutupi. Selama dia masih bersikeras ingin mempertahankan bayi yang dikandungnya, menerima tawaran dari Mahendra adalah satu-satunya cara terbaik yang dapat membantu menyelesaikan kegundahannya. Memikirkan pria itu, dia tidak
Shena adalah wanita pertama yang tidak ditolak oleh Mahendra untuk tetap tinggal di sisinya. Dan dia tidak keberatan akan fakta tersebut. Padahal jika itu orang lain, tak mungkin Mahendra melakukan semua itu."Mungkin karena dia sedang hamil anakku. Itu sebabnya aku jadi aneh begini." Mahendra meyakinkan dirinya sendiri seolah segala toleransi dan kebaikannya murni demi mempertahankan anak yang dikandung oleh Shena. Mengenai bagaimana perasaannya sendiri yang mulai terbiasa dengan keberadaan Shena, dia tidak terlalu memikirkannya.Sore hari berlalu begitu cepat. Saat Mahendra menyelesaikan sisa pekerjaannya di hari itu, Hedi masuk ke dalam ruangan demi mengingatkan dia tentang makan malam itu. "Anda akan menyetir sendiri?" Hedi bertanya untuk memastikan. "Ya, kau boleh pergi sekarang.""Presdir, Anda tidak boleh tidak hadir ke pertemuan itu. Bagaimana kalau saya mengantar Anda seperti biasa?""Kali ini aku akan pergi menemuinya," ujar Mahendra jengkel seraya menyipitkan matanya berb