Shena di jemput oleh sopir di sore harinya selepas pemberitahuan dari Hannah."Kau yakin akan pergi?" Maria yang notabene teman Shena bertanya."Aku dengar kakakmu akan datang kemari, kan. Jadi aku memutuskan lebih baik pergi lebih awal sebelum kakakmu datang."Maria berjalan masuk ke dalam, lalu duduk di kursi menghadap Shena yang sedang membereskan pakaiannya. "Aku tidak keberatan kalau kau tinggal bersamaku lebih lama, Shena. Lagi pula kakakku hanya sebulan saja menumpang di sini. Setelah itu, aku tinggal sendirian lagi di apartemen besar ini. Itu akan membosankan seperti biasa."Shena menggelengkan kepalanya. Walau dia ingin sekali menerima tawaran itu, tapi kondisinya tidak memungkinkan baginya untuk terus tinggal. Kehamilannya terlalu mustahil untuk bisa ditutupi. Selama dia masih bersikeras ingin mempertahankan bayi yang dikandungnya, menerima tawaran dari Mahendra adalah satu-satunya cara terbaik yang dapat membantu menyelesaikan kegundahannya. Memikirkan pria itu, dia tidak
Shena adalah wanita pertama yang tidak ditolak oleh Mahendra untuk tetap tinggal di sisinya. Dan dia tidak keberatan akan fakta tersebut. Padahal jika itu orang lain, tak mungkin Mahendra melakukan semua itu."Mungkin karena dia sedang hamil anakku. Itu sebabnya aku jadi aneh begini." Mahendra meyakinkan dirinya sendiri seolah segala toleransi dan kebaikannya murni demi mempertahankan anak yang dikandung oleh Shena. Mengenai bagaimana perasaannya sendiri yang mulai terbiasa dengan keberadaan Shena, dia tidak terlalu memikirkannya.Sore hari berlalu begitu cepat. Saat Mahendra menyelesaikan sisa pekerjaannya di hari itu, Hedi masuk ke dalam ruangan demi mengingatkan dia tentang makan malam itu. "Anda akan menyetir sendiri?" Hedi bertanya untuk memastikan. "Ya, kau boleh pergi sekarang.""Presdir, Anda tidak boleh tidak hadir ke pertemuan itu. Bagaimana kalau saya mengantar Anda seperti biasa?""Kali ini aku akan pergi menemuinya," ujar Mahendra jengkel seraya menyipitkan matanya berb
Shena menyudahi makan malamnya. "Sudah selesai? Apa Anda mau puding sebagai makanan penutup?" tanya bibi pembantu yang ditugaskan Mahendra untuk menemani Shena selagi dia tidak ada.Nyatanya, Shena sudah kenyang. Tapi tawaran makan puding dari bibi di depannya, tanpa sadar ia meneguk ludah pertanda mau. Jadi dia mengangguk sebagai jawabannya dan secara lirih kembali mengucapkan terima kasih."Anda tidak perlu merasa sungkan, sudah kewajiban saya menjaga dan melayani Anda selama berada di sini, Nyonya.""Shena ... tolong, panggil saya dengan nama saja." "Tuan Mahendra pasti tak akan suka bila saya memanggil Anda begitu," ujarnya menolak tanpa ragu."Bagaimana memanggil namaku saja saat dia tidak ada?" Shena berusaha bernegosiasi. Bibi itu tersenyum, lalu mengangguk iya."Baiklah, selama Anda tidak keberatan."Puding coklat kemudian diambilnya oleh bibi itu dari lemari pendingin lalu menyerahkannya pada Shena."Tidak keberatan saya tinggal beberes dulu?" "Hum, aku tidak akan menggang
"Shena, kau ada di mana?!"Pekikan nyaring di pagi hari seketika itu menyadarkan Shena dari tidur lelapnya. Setelah tadi malam dia terjaga selepas kepergian Mahendra, ia tidak bisa tidur lagi sampai waktu menunjukkan pukul empat pagi. Dan sekarang jam di nakas telah menunjukkan pukul tujuh dan tidak ada seorangpun yang membangunkan dirinya.Shena menyibak selimut, "Laura, ada apa? Kenapa pagi-pagi sudah menelepon?" tanyanya seraya melihat ke sekeliling kamar. Barulah dia ingat kalau mulai tadi malam dirinya telah pindah ke apartemen bosnya. "Coba tebak siapa yang datang ke tempat kerja kita sekarang? Kau dimana, kenapa belum tiba juga?'Shena lupa kalau dia masih menjadi karyawan di hotel The Muneer. Surat pengunduran dirinya masih belum dia serahkan."A-Aku akan bersiap. Ngomong-ngomong, siapa yang datang?""Tante Hera, sekarang dia ada di lobi menunggu kau datang. Cepatlah, kau tak kasihan melihat ibumu menunggu lama di sini?" seru Laura lagi mengingatkan. "Aku tutup teleponnya."
Apanya yang kenapa? pikir Shena tak habis pikir. Tentu saja karena begitulah seharusnya. Andai bukan karena insiden itu, mana mungkin dia menjadi seperti ini. Dia tak mungkin mengulang kesalahan yang sama. Tidak, saat dia masih sadar dengan apa yang dirinya perbuat."Saya hanya akan melakukan itu lagi dengan pria sah saya." cicit Shena dengan suara rendah.Hening melanda beberapa saat, sampai tawa keras kemudian terdengar dari Mahendra yang membuat wajah Shena memerah akibat malu luar biasa."Kenapa harus tertawa segala? Memangnya ada yang lucu dari perkataannya?" batin Shena merasa marah. Walau dalam hati ia merasa dongkol, tapi dipermukaan dia tidak menampakkannya. Ia mulai minum susunya dan mengabaikan suara tawa Mahendra yang cukup menjengkelkan."Setelah apa yang terjadi dengan kita?" tanya Mahendra dengan alis terangkat naik. Wajahnya yang biasa memiliki ekspresi dingin dan datar kini menunjukkan raut main-main yang langka."Malam itu kan murni karena ketidaksengajaan," "Jadi b
Rafael mendengar seseorang memanggil namanya. Saat dia melihat bahwa ibu Shena lah yang memanggil, ia langsung mendekat. "Tante Hera, apa kabar?" sapanya ramah. Ia melirik Shena, berharap wanita itu menyapanya tapi yang terjadi seperti yang telah dirinya duga. Shena mengabaikannya."Kabar tante baik. Bagaimana denganmu?""Saya juga baik, Tan." Rafael tidak berani duduk dikarenakan ada Shena di sana, mengawasinya."Apa kau sibuk?""Saya harus kembali bekerja," jawabnya jujur. Sejujurnya, pekerjaannya tidak terlalu mendesak, ia bisa tinggal di sana untu sementara waktu, tapi karena dia sadar diri kehadirannya tidak diharapkan, pergi adalah pilihan terbaik. "Maaf tidak bisa menemani Tante lama-lama.""Tante yang salah, Rafael. Kalau begitu kau bisa melanjutkan pekerjaanmu. Kapan-kapan kalau kau sedang libur, mampirlah ke rumah. Tampaknya sudah lama sekali tante melihatmu bermain di rumah."Shena menipiskan bibirnya, tidak senang akan tawaran sang ibu pada Rafael. Apabila itu dulu, dia s
Laura menyilangkan tangannya di dada. Badannya bersandar ke pintu masuk ruangan staf dalam posisi miring. Sepasang matanya menatap lurus ke arah Shena yang kini membereskan barang-barangnya."Kau yakin tidak ada yang mau dijelaskan padaku?" tanyanya dengan raut wajah serius yang jarang terjadi."Kalau ini masalah pengunduran diriku, maka tidak. Tidak ada penjelasan, Laura." Shena tidak memalingkan muka ketika menjawab pertanyaan itu dan fokus dengan membereskan barang-barangnya."Benarkah? Atau apa aku harus bertanya langsung pada tante Hera mengenai kau yang tiba-tiba mengundurkan diri dari pekerjaan?" Laura terus mendesak, tidak patah harapan walau Shena bersikeras tidak memberikannya jawaban. Shena terdiam, namun bahunya gemetar begitu nama sang ibu terlibat di sini. Laura berjalan mendekat, duduk di kursi panjang saat dia mengamati punggung lurus Shena yang sedang berdiri di depan loker."Kau terlalu mendadak pergi, Shena. Ini tidak seperti dirimu yang sangat mencintai pekerjaanm
"Mama bertemu dengan kakak? Apa katanya? Apa dia sungguhan ada masalah?" Erwin menghampiri sang ibu yang kini duduk di sofa ruang keluarga.Ia menaruh segelas air hangat di atas meja dan obat untuk ibunya minum.Hera berpaling menatap sang putra, sepasang matanya agak linglung tatkala dia mengingat pertemuannya dengan Shena. "Mama merasa ada sesuatu yang kakakmu sembunyikan dari mama, Erwin."Erwin duduk di samping Hera, mendengarkan dengan saksama. Dalam hati dia bertanya apa yang sebenarnya telah terjadi. "Ini, minum obatnya dulu." Hera menerima butiran obat dan secangkir air itu lalu meminumnya. Setelah dia merasa sedikit tenang, ia kemudian menceritakan akan pertemuannya dengan Shena kemarin. Tentang Shena yang juga tinggal bersama dengan Maria sampai waktu tak ditentukan."Maria?" gumam Erwin dengan kening berkerut. Ia mengenal teman sang kakak yang satu itu tapi tidak terlalu dekat seperti dia dan Laura. "Apa mama mau aku mengecek kakak di tempat Maria. Mumpung aku sekarang t