Mahendra mengetuk-ngetuk jarinya di pegangan sofa, nampak berpikir keras mengenai tawaran kencan buta pura-pura itu."Baiklah," ujarnya setuju setelah memikirkan pro dan kontra. Jessica nampak terkejut lalu senang karena akhirnya berhasil membuat Mahendra setuju. "Kau tidak akan mengingkari janjimu, kan? Jangan membatalkannya sampai kerjasama kita selesai. Berapa bulan?""Dua bulan saja." jawab Mahendra lagi singkat. Dua bulan sudah cukup baginya untuk mengenalkan Shena pada sang kakek dan mengumumkan hubungan mereka ke publik. Itu juga waktu yang tidak terburu-buru menurutnya."Ada lagi yang mau kau bicarakan?" tanya Mahendra sambil melihat jam di dinding, seolah mengisyaratkan kalau dia super sibuk dan tidak punya waktu lebih untuk menemani Jessica."Kau lanjutkan kerjamu, aku tunggu di sini sebentar. Boleh?" Jessica bertanya penuh harap. Pasalnya, dia belum mau pulang ke rumah karena pasti membosankan. Selama masih ada ibu tirinya di rumah, dia tak punya waktu santai. Apalagi ka
Sontak saja mendengar pernyataan itu, Renata membulatkan matanya tak percaya. Seluruh tubuhnya gemetaran keras karena hampir saja mengabaikan pasien di dalam. Untung saja dia telah diberi peringatan oleh manajer Ardi dan tidak lagi memperlakukan wanita itu dengan sikap seadanya. Mendengar keributan itu, Laura membuka tirai yang menghadang pandangan. Dia hampir saja menjerit kaget andai saja tidak ingat di mana kiranya kini berada. "P-presdir...." ujarnya terdengar gagap. Masih belum percaya bahwa laki- laki berkuasa dan jarang sekali ditemui, tiba-tiba muncul di hadapannya. Mahendra sontak menolehkan kepalanya ke samping. Sepasang matanya langsung awas tatkala mendapati dirinya tidak berdua saja, melainkan ada orang lain pula di dalam klinik kesehatan tersebut. "Kau tidak memberitahuku soal ini?" Desisnya penuh peringatan. "Saya berusaha mencoba memberitahu Anda, tapi Anda keburu emosi tadi." Renata berkilah, tak terima dituduh lagi atas kesalahan yang jelas-jelas tidak dirinya p
Mahendra mengulurkan tangan demi menyentuh rahang Shena lalu membuatnya menengadah agar dia bisa melihat dengan jelas cedera yang menimpa Shena.Itu benar-benar seperti tamparan.Shena menyentuh tangan itu yang kini bersarang di rahangnya, ingin menjauhkannya walau tidak berhasil. "Saya tidak apa-apa. Hanya kecelakaan waktu bekerja," jawabnya setengah jujur, setengah berbohong."Tatap mataku dan katakan lagi?" perintah Mahendra yang seolah tidak percaya.Sebagai tanggapan dari perintahnya, Shena justru memejamkan mata. Ia takut bila Mahendra sudah berkata dengan nada dingin dan tanpa perasaan itu. Apalagi matanya ketika sedang tersulut emosi, dia mana berani menatapnya langsung."Kenapa malah tutup mata?"Tidak ada jawaban."Shena?" panggil Mahendra dengan suara rendah, "Kalau kau pejamkan matamu dan tidak menjawab pertanyaanku dengan jujur, aku cium kau di sini, sekarang juga sampai kau kehabisan napas, sampai menggelinjang kenikmatan kalau perlu. Kalau kau tak percaya aku berani mel
"Kenapa dengan tamu VIP-nya?" Mahendra bertanya sambil melotot. Sontak saja sang manajer menelan ludah gugup, tidak lagi melanjutkan kata-katanya. Biarlah, presdirnya sendiri yang melihat siapa orang itu, pikir manajer pasrah. "Putar videonya." perintah Mahendra singkat. Brams langsung mengklik ikon putar, lalu tak lama kemudian sebuah rekaman diputar. Bersamaan dengan itu Shena tiba, ia mengetuk pintu dan dibiarkan masuk oleh sang manajer, pandangannya kemudian terpaku pada layar di depannya di mana dia melihat sosoknya sendiri sedang mendorong troli menuju ke kamar itu. Ia melirik ke arah Mahendra, lalu mengambil langkah agak menjauh dari pria itu karena takut dengan sikap Mahendra apabila tiba-tiba marah setelah selesai melihat adegan yang sebenarnya. Di dalam video, Shena sendirian saat wanita itu pergi ke sebuah kamar hotel. Sebelum masuk ke dalam, ia mengetuk pintu lalu membukanya perlahan. Ia telah diberitahu apabila penghuni kamar sedang keluar dan meminta room service
Ditengah pedih pipi serta sakit di kening, Shena menyeret tubuhnya dan bersandar. Meski situasi jadi lebih buruk, ia tetap mempertahankan tekad serta raut tak kenal takutnya pada Joan. Sayangnya, sebelum dia dapat membalas ucapan pria itu, perutnya tiba-tiba sakit dan pandangannya langsung menggelap.Dia hanya ingat dengan wajah pria yang hampir melecehkannya itu nampak kaget. Beruntungnya, Laura yang telah lebih dulu diberitahu, datang menghampiri Shena dan menemukan kejadian itu tepat waktu. Mahendra terus mengulang adegan itu lagi dan lagi, di mana tangan Joan melayang untuk menampar wajah Shena. Mereka tidak dapat mendengar dengan jelas apa yang keduanya bicarakan dan sedang ributkan, untuk itu dia bisa bertanya langsung pada Shena. "Pergi, susul ketuamu dan minta dia agar cepat mengumpulkan apa yang aku minta."Pria muda itu tidak bertanya lebih lanjut, mungkin paham bahwa mereka berdua butuh waktu bersama. Dilihat dari tindak tanduk sang presdir yang meminta mereka untuk menye
Keduanya tiba di apartemen tanpa mampir dulu ke mana pun. Bibi rumah tangga telah menunggu kedatangan kedua majikannya dan selesai menyiapkan makanan."Dia belum makan dan katanya perutnya sedang tidak nyaman. Bisa tolong urus dia selagi aku pergi ke kantor?" Bibi itu mengangguk, "Anda tenang saja Tuan Muda, serahkan Nona Shena pada saya. Saya akan memastikan dia memakan semua makanannya hari ini."Pria itu lantas mengecek jam di pergelangan tangannya, "Aku harus kembali ke kantor. Kalau kau membutuhkan sesuatu atau ada yang terjadi selama aku pergi, segera hubungi aku, Bi. Aku usahakan akan pulang waktu hari ini." ujarnya lagi seraya melihat pada Shena."Makan dulu lalu pergi ke kamar beristirahat. Kalau kau menginginkan sesuatu minta saja pada Bibi." "Kau akan kembali ke kantor?" tanya Shena yang diangguki oleh Mahendra."Aku masih punya pekerjaan yang harus ditangani. Aku usahakan pulang cepat malam ini. Kau tak perlu menungguku. Aku pergi." pamitnya pada dua orang wanita itu lal
"Ha...." Tawa sarkas terdengar dipaksakan oleh Rafael. "Aku sungguh tidak tahu, Rafael." Laura terpekur, bingung juga mau menjelaskan bagaimana bila kenyataannya dia memang tidak tahu. "Memang benar kalau tadi Presdir datang menemui Shena di klinik, hanya sebatas itu yang kutahu. Mengenai hubungan mereka yang sebenarnya, aku sama sekali tidak diberitahu oleh Shena.""Kau teman dekatnya, bagaimana mungkin tidak tahu yang dilakukan oleh sahabatmu?""Menjadi sahabat bukan berarti aku harus tahu segala-galanya perihal kehidupan pribadi Shena!" seru Laura ikutan emosi. Dia sudah berusaha bersabar menghadapi segala pertanyaan menindas dari Rafael, tapi kesabarannya pun ada batasnya juga. Apa pria ini berpikir, dia tidak berani membantah omongannya? Sebagai pelampiasan dari frustasinya, Rafael menjambak rambutnya sendiri kuat-kuat. Perasaan cemburu setelah mengetahui Shena dekat dengan pria lain membuat dia tak dapat menerima. "Aku--aku minta maaf. Aku sedang kalut tadi, tidak bermaksud
Pagi harinya, Mahendra bangun di jam seperti biasanya. Ia selesai mengganti piyama dengan setelan kerja. Ekspresi tak sabar tergambar jelas ingin segera bertemu dengan Shena.Setelah semalaman dia dibuat tak bisa tidur akibat perkataan Shena, ia terus bertanya-tanya akan keseriusan di balik kata-katanya.Tanpa Mahendra tahu bahwa Shena telah pergi dari apartemennya. Ketika Bibi bertemu dengan sang tuan muda, ia menyapa dengan ramah."Selamat pagi, Tuan Muda. Anda bangun seperti biasanya.""Ya, selamat pagi." jawabnya seraya duduk di kursi makan. Pandangannya kemudian melirik ke kiri dan ke kanan, mencari keberadaan Shena yang seharusnya sudah turun dari kamar.Menyadari tatapan sang tuan muda, bibi itu lantas memberitahu, "Nona Shena sudah pergi, beberapa menit yang lalu. Beliau mengatakan pada saya sudah meminta izin pada Anda, apakah tidak?"Mahendra membeku, tidak menyangka kalau dia kecolongan dan Shena telah lebih dulu pergi. Pupus sudah harapannya untuk kembali bertanya dengan be
Mahendra menepati janjinya pada Shena. Ia membawa sang istri pergi ke banyak tempat yang memungkinkan wanita itu cukup bersenang-senang. Mereka bersepeda, berjalan-jalan memanjakan mata dengan pemandangan di sekitar yang nampak menakjubkan. Mereka juga melakukan tamasya di setiap kota-kota yang mereka jelajahi. Semua tempat mereka kunjungi. Basel, Bern, Lucerne, Jenewa dan terakhir adalah Zurich. Pada akhirnya, sebelum kota dataran rendah menjadi sibuk karena awal musim dingin, kedua pasangan itu pergi ke pegunungan di mana resort ski telah di buka. Saat mereka mencoba kereta gantung, Shena mendapat kejutan dari Mahendra berupa di daftarkannya sang istri ke salah satu Universitas swasta yang ada di Jakarta. Karena tak sanggup berpisah jauh, Mahendra memutuskan membuat Shena melanjutkan pendidikannya di kota Jakarta saja. "Aku sudah menyelesaikan pendaftarannya untukmu. Langkah selanjutnya yang harus kau persiapkan adalah mengikuti setiap tes bagi mahasiswa baru." Mahendra yang mene
Shena menahan erangannya, berusaha mengalihkan perhatiannya pada apa pun yang dapat membawanya ke kesadaran semula. Namun sulit. Mahendra terlalu terampil menciumnya. "Tunggu, tunggu...." Shena menyela dengan suara serak. Digelengkannya kepalanya ke kiri dan kanan untuk menjauhkan lehernya dari kecupan bibir pria itu yang terasa dingin dan panas."Hum?" Respons pria itu masih sama, acuh tak acuh seolah melihat Shena agak kesusahan merupakan pemandangan nikmat buatnya."Aku perlu makan, Ya Tuhan, Sial! Aku lapar sekali!" Shena berseru keras, hampir jatuh lemas sebab beban berat di belakangnya. Kata-kata tak singkron pun di ucapkannya tanpa sadar. "Kau bisa melanjutkan makan, dan aku juga begitu." kekeh pria itu terdengar menyebalkan."Tapi ...."Keluhan Shena teredam ciuman menuntut lainnya di mulutnya yang terasa kebas. Padahal baru tadi malam mereka berhubungan intim, tapi pria ini seperti sedang kerasukan iblis cabul karena terlalu bersemangat di pagi hari. Walau dia juga menikma
"Aku lapar.""Kau lapar?" Mendengar sang istri berkata lapar, lenyap sudah kekesalannya. Ia menatap ke sisi meja yang ada di depan tempat tidur, di mana hidangan untuk makan malam mereka masih ada di sana, belum terjamah dan pasti sudah dingin pula."Kalau begitu aku panaskan dulu makanannya." ucap Mahendra seraya mengangkat Shena yang berbaring di atas tubuhnya.Shena menggelengkan kepalanya pelan, "Tidak perlu di panaskan, kita bisa langsung makan saja." tolaknya lalu bangun dan duduk.Ia mengedarkan pandangannya ke sekeliling, mencari kardigannya untuk menutupi ketelanjangannya di balik selimut. Mahendra berdiri duluan, berjalan menuju ke pinggir jendela di mana mereka memulai dan membungkuk untuk mengambil kardigan merah. "Kardigannya sobek, tidak bisa kau pakai." ujarnya dengan seringai seraya menunjukkan kain compan-camping itu ke arah Shena."Aku sudah ingatkan kau agar jangan merobeknya, tapi kau tidak mendengarkan." balas Shena cemberut.Sebagai gantinya, Mahendra mengambil
"Hati-hati jalannya. Angkat kakimu seperti sebagaimana kau menaiki tangga di rumah." kata Shena di samping telinga sang suami."Masih jauh?" tanya Mahendra penasaran sekaligus lelah. "Sabar. Sebentar lagi kita sampai." jawab Shena sambil menggandeng lengan sang suami menaiki tangga satu persatu.Berjalan sambil ditutup matanya itu benar-benar tak enak sama sekali. Apalagi tadi, dia sudah tersandung kaki meja dan hampir jatuh terjungkang ke depan. Untung Shena langsung menariknya atau kalau tidak, sudah memar wajahnya dikarenakan terantuk lantai.Semuanya bermula dari setengah jam yang lalu. Di mana setelah mereka selesai menghabiskan waktu dengan menonton film, Shena tiba-tiba mengajaknya keluar.Awalnya dia tidak curiga sedikitpun akan permintaan mendadak sang istri, tapi setelah di pertengahan jalan Shena meminta agar kedua matanya di tutup dengan kain segala, ia mulai menaruh curiga bahwa sang istri pasti sudah merencanakan sesuatu untuknya. Dan tampaknya, dia tahu kejutan apa itu
Askara melakukan sesi foto bersama dengan ayah dan ibunya untuk yang pertama kali. Sesi pemotretannya dilakukan di salah satu kamar tamu yang jarang digunakan, meski begitu tetap terawat dengan baik oleh para pembantu di rumah.Tanpa Shena tahu bahwasanya sekarang, sang suami telah berencana membangun rumah impian mereka yang diperkirakan akan rampung dalam satu tahun mendatang. Rumah mewah yang memiliki tiga lantai itu akan diberikan Mahendra pada sang istri tercinta. "Tidak masalah, Kek. Aku juga maunya memberikan hadiah untuk istriku." Sebelum sesi pemotretan dilakukan, pada pagi hari nan cerah pukul sepuluh, kakek dan bibinya berada di rumah. Tidak kemana-mana, karena hari itu juga hari libur. Selagi menunggu Shena selesai di dandani oleh MUA yang dibawa Angga, Mahendra diseret Rossa untuk membicarakan masalah pembangunan rumah baru itu."Lalu nanti bagaimana dengan rumah yang kakekmu berikan padamu?" tanya Rossa dengan kedua mata melotot. Tampak sekali kalau dia gemas dan mar
"I-ini apa artinya?" Shena bertanya bingung. Bolak balik Shena melihat pada Mahendra yang duduk di sampingnya, lalu beralih pada surat-surat kepemilikan restoran dan tanah itu yang mengatasnamakan dirinya. "Sejak kapan?" Pikir Shena. "Sejak kapan Mahendra mempersiapkan kejutan ini? Membeli restoran yang sangat ingin dia kunjungi?" "Bukankah ini terlalu berlebihan?" tanya Shena dengan tatapan bingungnya. Mahendra menautkan alisnya, "Berlebihan?"Wanita itu mengangguk, "Kau tak perlu membelikan aku ini. Aku-- aku hanya ingin melihat glass house itu saja karena kulihat di foto waktu itu bagus sekali tempatnya. Aesthetic. Dan kau---""Kau tidak mau?" "Ya?""Menerima hadiah dariku. Kau keberatan karena aku membelikanmu restoran ini?""Sejujurnya iya. Aku pikir tak usah ... Mahendra, tunggu. Kau mau ke mana?" Shena tersentak kaget melihat prianya beranjak bangun dari duduknya. Dilihat dari sisi wajah Mahendra yang mana rahangnya mengetat, ia langsung sadar telah melakukan kesalahan.
Shena dan Mahendra tiba di restoran tak lama kemudian. Mahendra lebih dulu memarkirkan mobilnya, lalu keluar, menggandeng tangan Shena masuk ke dalam. "Ini tempat yang mau kau kunjungi?" tanya pria itu saat mereka berjalan menuju ke konter, menemui seorang pelayan wanita yang tampaknya seorang karyawan di sana. Shena melihat ke sekeliling, bertanya-tanya di mana tempat yang dia lihat di video itu. "Aku juga tidak yakin, karena ini adalah pertama kalinya bagiku.""Coba sini tunjukkan fotonya. Mungkin kita bisa bertanya pada wanita itu untuk mencari tahu." kata Mahendra sembari meminta ponsel sang istri. Dengan patuh, Shena menyerahkan ponsel miliknya pada sang suami. "Permisi."Wanita yang kelihatan kepala tiga itu berbalik, melihat pada dua orang pelanggan yang baru datang dan menyambutnya dengan senyuman. "Ya, ada yang bisa saya bantu, Tuan?""Saya ingin bertanya, apakah tempat yang di foto adalah benar tempatnya di sini?" Mahendra lalu menyerahkan ponsel Shena untuk dilihat oleh
Ruangan itu gelap dan hening. Langkah kaki secara perlahan berjalan menginjak lantai, pelan sekali sebab takut keberadaannya dapat mengganggu si penghuni kamar. Setelah tiba di kamar tidur besar yang ada di tengah ruangan, Mahendra menaruh tas kecilnya yang berisikan ponsel dan dompet ke atas meja. Lalu, ia pun berjalan menuju sisi tempat tidur di mana sebuah gundukan yang tertutup selimut terlihat oleh matanya. Di tengah jalan, kakinya tersandung sesuatu. Mahendra memicingkan mata, menatap lekat pada benda itu. Ia membungkukkan pinggang, sedang tangannya meraih benda itu. Sebab gelap, dia tidak tahu benda apa yang diinjaknya, namun setelah dia mengambil benda itu, dia jadi tertegun. Ia pun menaruh benda yang tak lain adalah BH ke sandaran sofa dekat ranjang. Waktu telah menunjukkan pukul tiga pagi dan ruangan kamar itu sangat dingin akibat pendingin ruangan yang menyala. Mahendra mencari-cari remote kontrol AC. Setelah ketemu, dia menyetel kembali suhu supaya tidak terlalu dingin.
Malam itu, setelah Mahendra selesai dengan urusannya, dia memutuskan langsung kembali ke penginapan. Tak disangka, ternyata Angga yang dikiranya akan tinggal lama bersama Jessica, malah dilihatnya sedang menonton film."Kenapa kau ada di sini?" tanyanya langsung dengan ekspresi heran. "Kalau tidak di sini, memang harus di mana?" kata Angga sembari sedikit memiringkan kepalanya biar bisa melihat Mahendra. Mahendra yang awalnya berdiri tak jauh dari tempat Angga sedang menonton film, pun berjalan menghampiri temannya tersebut. Ia duduk di sebelah Angga, sepasang netranya cukup lekat memandangi teman akrabnya itu yang kini tengah asyik menatap televisi. Seolah, memang sengaja mengabaikan keberadaannya. "Aku sudah membantumu agar bisa bertemu dengan Jessica, meninggalkan kalian berdua pula di sana, serta memerintahkan anak buahku agar sungguh-sungguh menjaga lingkungan sekitar restoran dari para pengganggu. Harapanku, supaya kalian berdua punya banyak waktu bersama. Tapi ternyata, yan