Sontak saja mendengar pernyataan itu, Renata membulatkan matanya tak percaya. Seluruh tubuhnya gemetaran keras karena hampir saja mengabaikan pasien di dalam. Untung saja dia telah diberi peringatan oleh manajer Ardi dan tidak lagi memperlakukan wanita itu dengan sikap seadanya. Mendengar keributan itu, Laura membuka tirai yang menghadang pandangan. Dia hampir saja menjerit kaget andai saja tidak ingat di mana kiranya kini berada. "P-presdir...." ujarnya terdengar gagap. Masih belum percaya bahwa laki- laki berkuasa dan jarang sekali ditemui, tiba-tiba muncul di hadapannya. Mahendra sontak menolehkan kepalanya ke samping. Sepasang matanya langsung awas tatkala mendapati dirinya tidak berdua saja, melainkan ada orang lain pula di dalam klinik kesehatan tersebut. "Kau tidak memberitahuku soal ini?" Desisnya penuh peringatan. "Saya berusaha mencoba memberitahu Anda, tapi Anda keburu emosi tadi." Renata berkilah, tak terima dituduh lagi atas kesalahan yang jelas-jelas tidak dirinya p
Mahendra mengulurkan tangan demi menyentuh rahang Shena lalu membuatnya menengadah agar dia bisa melihat dengan jelas cedera yang menimpa Shena.Itu benar-benar seperti tamparan.Shena menyentuh tangan itu yang kini bersarang di rahangnya, ingin menjauhkannya walau tidak berhasil. "Saya tidak apa-apa. Hanya kecelakaan waktu bekerja," jawabnya setengah jujur, setengah berbohong."Tatap mataku dan katakan lagi?" perintah Mahendra yang seolah tidak percaya.Sebagai tanggapan dari perintahnya, Shena justru memejamkan mata. Ia takut bila Mahendra sudah berkata dengan nada dingin dan tanpa perasaan itu. Apalagi matanya ketika sedang tersulut emosi, dia mana berani menatapnya langsung."Kenapa malah tutup mata?"Tidak ada jawaban."Shena?" panggil Mahendra dengan suara rendah, "Kalau kau pejamkan matamu dan tidak menjawab pertanyaanku dengan jujur, aku cium kau di sini, sekarang juga sampai kau kehabisan napas, sampai menggelinjang kenikmatan kalau perlu. Kalau kau tak percaya aku berani mel
"Kenapa dengan tamu VIP-nya?" Mahendra bertanya sambil melotot. Sontak saja sang manajer menelan ludah gugup, tidak lagi melanjutkan kata-katanya. Biarlah, presdirnya sendiri yang melihat siapa orang itu, pikir manajer pasrah. "Putar videonya." perintah Mahendra singkat. Brams langsung mengklik ikon putar, lalu tak lama kemudian sebuah rekaman diputar. Bersamaan dengan itu Shena tiba, ia mengetuk pintu dan dibiarkan masuk oleh sang manajer, pandangannya kemudian terpaku pada layar di depannya di mana dia melihat sosoknya sendiri sedang mendorong troli menuju ke kamar itu. Ia melirik ke arah Mahendra, lalu mengambil langkah agak menjauh dari pria itu karena takut dengan sikap Mahendra apabila tiba-tiba marah setelah selesai melihat adegan yang sebenarnya. Di dalam video, Shena sendirian saat wanita itu pergi ke sebuah kamar hotel. Sebelum masuk ke dalam, ia mengetuk pintu lalu membukanya perlahan. Ia telah diberitahu apabila penghuni kamar sedang keluar dan meminta room service
Ditengah pedih pipi serta sakit di kening, Shena menyeret tubuhnya dan bersandar. Meski situasi jadi lebih buruk, ia tetap mempertahankan tekad serta raut tak kenal takutnya pada Joan. Sayangnya, sebelum dia dapat membalas ucapan pria itu, perutnya tiba-tiba sakit dan pandangannya langsung menggelap.Dia hanya ingat dengan wajah pria yang hampir melecehkannya itu nampak kaget. Beruntungnya, Laura yang telah lebih dulu diberitahu, datang menghampiri Shena dan menemukan kejadian itu tepat waktu. Mahendra terus mengulang adegan itu lagi dan lagi, di mana tangan Joan melayang untuk menampar wajah Shena. Mereka tidak dapat mendengar dengan jelas apa yang keduanya bicarakan dan sedang ributkan, untuk itu dia bisa bertanya langsung pada Shena. "Pergi, susul ketuamu dan minta dia agar cepat mengumpulkan apa yang aku minta."Pria muda itu tidak bertanya lebih lanjut, mungkin paham bahwa mereka berdua butuh waktu bersama. Dilihat dari tindak tanduk sang presdir yang meminta mereka untuk menye
Keduanya tiba di apartemen tanpa mampir dulu ke mana pun. Bibi rumah tangga telah menunggu kedatangan kedua majikannya dan selesai menyiapkan makanan."Dia belum makan dan katanya perutnya sedang tidak nyaman. Bisa tolong urus dia selagi aku pergi ke kantor?" Bibi itu mengangguk, "Anda tenang saja Tuan Muda, serahkan Nona Shena pada saya. Saya akan memastikan dia memakan semua makanannya hari ini."Pria itu lantas mengecek jam di pergelangan tangannya, "Aku harus kembali ke kantor. Kalau kau membutuhkan sesuatu atau ada yang terjadi selama aku pergi, segera hubungi aku, Bi. Aku usahakan akan pulang waktu hari ini." ujarnya lagi seraya melihat pada Shena."Makan dulu lalu pergi ke kamar beristirahat. Kalau kau menginginkan sesuatu minta saja pada Bibi." "Kau akan kembali ke kantor?" tanya Shena yang diangguki oleh Mahendra."Aku masih punya pekerjaan yang harus ditangani. Aku usahakan pulang cepat malam ini. Kau tak perlu menungguku. Aku pergi." pamitnya pada dua orang wanita itu lal
"Ha...." Tawa sarkas terdengar dipaksakan oleh Rafael. "Aku sungguh tidak tahu, Rafael." Laura terpekur, bingung juga mau menjelaskan bagaimana bila kenyataannya dia memang tidak tahu. "Memang benar kalau tadi Presdir datang menemui Shena di klinik, hanya sebatas itu yang kutahu. Mengenai hubungan mereka yang sebenarnya, aku sama sekali tidak diberitahu oleh Shena.""Kau teman dekatnya, bagaimana mungkin tidak tahu yang dilakukan oleh sahabatmu?""Menjadi sahabat bukan berarti aku harus tahu segala-galanya perihal kehidupan pribadi Shena!" seru Laura ikutan emosi. Dia sudah berusaha bersabar menghadapi segala pertanyaan menindas dari Rafael, tapi kesabarannya pun ada batasnya juga. Apa pria ini berpikir, dia tidak berani membantah omongannya? Sebagai pelampiasan dari frustasinya, Rafael menjambak rambutnya sendiri kuat-kuat. Perasaan cemburu setelah mengetahui Shena dekat dengan pria lain membuat dia tak dapat menerima. "Aku--aku minta maaf. Aku sedang kalut tadi, tidak bermaksud
Pagi harinya, Mahendra bangun di jam seperti biasanya. Ia selesai mengganti piyama dengan setelan kerja. Ekspresi tak sabar tergambar jelas ingin segera bertemu dengan Shena.Setelah semalaman dia dibuat tak bisa tidur akibat perkataan Shena, ia terus bertanya-tanya akan keseriusan di balik kata-katanya.Tanpa Mahendra tahu bahwa Shena telah pergi dari apartemennya. Ketika Bibi bertemu dengan sang tuan muda, ia menyapa dengan ramah."Selamat pagi, Tuan Muda. Anda bangun seperti biasanya.""Ya, selamat pagi." jawabnya seraya duduk di kursi makan. Pandangannya kemudian melirik ke kiri dan ke kanan, mencari keberadaan Shena yang seharusnya sudah turun dari kamar.Menyadari tatapan sang tuan muda, bibi itu lantas memberitahu, "Nona Shena sudah pergi, beberapa menit yang lalu. Beliau mengatakan pada saya sudah meminta izin pada Anda, apakah tidak?"Mahendra membeku, tidak menyangka kalau dia kecolongan dan Shena telah lebih dulu pergi. Pupus sudah harapannya untuk kembali bertanya dengan be
"Apakah ini tempatnya?"Mahendra mengamati gedung karaoke di hadapannya. Dari luar saja dia bisa mendengar suara musik yang diputar dari dalam.Menurut informan yang dipekerjakan Hedi, Joan Xander setiap malam di beberapa hari akan datang ke tempat itu apabila pria itu memiliki pertemuan dengan teman-temannya.Tadi Sore, Hedi memberitahukan apa saja kebiasaan yang Joan lakukan, tempat mana yang pria itu datangi dan kapan pria itu pulang ke rumahnya. Seluruh gerak-gerik Joan terpantau ketat oleh orang suruhan Hedi dan dia puas dengan hasil kerja asisten pribadinya tersebut."Benar ini tempatnya, Presdir."Ia pun keluar dari dalam mobil, berjalan masuk diiringi oleh dua bodyguard dan Hedi yang bertugas sebagai pemandu mereka. Hedi telah lebih dulu mendaftarkan diri menjadi anggota VIP dari karaoke yang terkenal di kalangan elit tersebut. Menggunakan kartu keanggotaan, mereka dapat dengan mudah masuk ke dalamnya dan pergi ke lantai atas di mana ruangan itu diperuntukkan bagi kaum-kaum bo