Keduanya tiba di apartemen tanpa mampir dulu ke mana pun. Bibi rumah tangga telah menunggu kedatangan kedua majikannya dan selesai menyiapkan makanan."Dia belum makan dan katanya perutnya sedang tidak nyaman. Bisa tolong urus dia selagi aku pergi ke kantor?" Bibi itu mengangguk, "Anda tenang saja Tuan Muda, serahkan Nona Shena pada saya. Saya akan memastikan dia memakan semua makanannya hari ini."Pria itu lantas mengecek jam di pergelangan tangannya, "Aku harus kembali ke kantor. Kalau kau membutuhkan sesuatu atau ada yang terjadi selama aku pergi, segera hubungi aku, Bi. Aku usahakan akan pulang waktu hari ini." ujarnya lagi seraya melihat pada Shena."Makan dulu lalu pergi ke kamar beristirahat. Kalau kau menginginkan sesuatu minta saja pada Bibi." "Kau akan kembali ke kantor?" tanya Shena yang diangguki oleh Mahendra."Aku masih punya pekerjaan yang harus ditangani. Aku usahakan pulang cepat malam ini. Kau tak perlu menungguku. Aku pergi." pamitnya pada dua orang wanita itu lal
"Ha...." Tawa sarkas terdengar dipaksakan oleh Rafael. "Aku sungguh tidak tahu, Rafael." Laura terpekur, bingung juga mau menjelaskan bagaimana bila kenyataannya dia memang tidak tahu. "Memang benar kalau tadi Presdir datang menemui Shena di klinik, hanya sebatas itu yang kutahu. Mengenai hubungan mereka yang sebenarnya, aku sama sekali tidak diberitahu oleh Shena.""Kau teman dekatnya, bagaimana mungkin tidak tahu yang dilakukan oleh sahabatmu?""Menjadi sahabat bukan berarti aku harus tahu segala-galanya perihal kehidupan pribadi Shena!" seru Laura ikutan emosi. Dia sudah berusaha bersabar menghadapi segala pertanyaan menindas dari Rafael, tapi kesabarannya pun ada batasnya juga. Apa pria ini berpikir, dia tidak berani membantah omongannya? Sebagai pelampiasan dari frustasinya, Rafael menjambak rambutnya sendiri kuat-kuat. Perasaan cemburu setelah mengetahui Shena dekat dengan pria lain membuat dia tak dapat menerima. "Aku--aku minta maaf. Aku sedang kalut tadi, tidak bermaksud
Pagi harinya, Mahendra bangun di jam seperti biasanya. Ia selesai mengganti piyama dengan setelan kerja. Ekspresi tak sabar tergambar jelas ingin segera bertemu dengan Shena.Setelah semalaman dia dibuat tak bisa tidur akibat perkataan Shena, ia terus bertanya-tanya akan keseriusan di balik kata-katanya.Tanpa Mahendra tahu bahwa Shena telah pergi dari apartemennya. Ketika Bibi bertemu dengan sang tuan muda, ia menyapa dengan ramah."Selamat pagi, Tuan Muda. Anda bangun seperti biasanya.""Ya, selamat pagi." jawabnya seraya duduk di kursi makan. Pandangannya kemudian melirik ke kiri dan ke kanan, mencari keberadaan Shena yang seharusnya sudah turun dari kamar.Menyadari tatapan sang tuan muda, bibi itu lantas memberitahu, "Nona Shena sudah pergi, beberapa menit yang lalu. Beliau mengatakan pada saya sudah meminta izin pada Anda, apakah tidak?"Mahendra membeku, tidak menyangka kalau dia kecolongan dan Shena telah lebih dulu pergi. Pupus sudah harapannya untuk kembali bertanya dengan be
"Apakah ini tempatnya?"Mahendra mengamati gedung karaoke di hadapannya. Dari luar saja dia bisa mendengar suara musik yang diputar dari dalam.Menurut informan yang dipekerjakan Hedi, Joan Xander setiap malam di beberapa hari akan datang ke tempat itu apabila pria itu memiliki pertemuan dengan teman-temannya.Tadi Sore, Hedi memberitahukan apa saja kebiasaan yang Joan lakukan, tempat mana yang pria itu datangi dan kapan pria itu pulang ke rumahnya. Seluruh gerak-gerik Joan terpantau ketat oleh orang suruhan Hedi dan dia puas dengan hasil kerja asisten pribadinya tersebut."Benar ini tempatnya, Presdir."Ia pun keluar dari dalam mobil, berjalan masuk diiringi oleh dua bodyguard dan Hedi yang bertugas sebagai pemandu mereka. Hedi telah lebih dulu mendaftarkan diri menjadi anggota VIP dari karaoke yang terkenal di kalangan elit tersebut. Menggunakan kartu keanggotaan, mereka dapat dengan mudah masuk ke dalamnya dan pergi ke lantai atas di mana ruangan itu diperuntukkan bagi kaum-kaum bo
Di sebuah gudang kosong. Terdapat beberapa orang mengenakan pakaian serba hitam sedang berjaga-jaga. Mereka seperti sedang menunggu kedatangan seseorang. Setelah satu orang melihat kawanan mereka telah tiba, ia pun memberitahu salah satu temannya. "Buka pintunya.""Selagi kita menunggu bos datang, kita harus pastikan tempat ini aman." tempat yang lain mengingatkan. Diantara pria berbadan kekar dan nampak garang itu, ada satu orang dimana tangannya terikat dan mulutnya disumpal serta matanya tertutup kain. Rombongan itu berjalan menuju ke gedung kosong tersebut. "Emh! Emh!"Joan bergerak brutal, berusaha melepaskan diri dari cekalan di kiri dan kanannya oleh orang asing. Dikarenakan kedua matanya tertutup kain, dia tidak bisa melihat apa pun. Ia dapat merasakan sebuah pistol ditodongkan ke arah punggungnya demi mengancamnya untuk terus berjalan dan diam."Cepat jalan!" sentak pria kasar itu lagi hampir membuatnya terjatuh.Sekumpulan pria itu membawa Joan ke sebuah gudang yang tak
Setelah kejadian Joan di culik, lalu ditemukan di sebuah gang oleh seseorang, keluarga Xander diliputi suasana buruk nan mencekam. Tiga hari telah berlalu sejak kejadian naas menimpa pria slengean itu. Pasalnya, seluruh keluarga masih belum mengetahui siapa kiranya orang nekat yang berani memukuli putra bungsu keluarga termahsyur layaknya keluarga Xander. Ketika ditanya, Joan pun tak bisa menjawab. Terlebih ketika kakak laki-lakinya membombardir dia dengan pertanyaan serupa. Jacob duduk di sofa itu lama. Masih mengamati wajah sang adik lekat, berharap dapat menemukan jawaban yang beberapa hari belakangan menghantui. Tapi nihil, Joan tidak membuka mulut walau segala pertanyaan telah terlontar. "Coba ingat betul-betul, siapa saja musuhmu. Dengan sikap bandit macam kau ini, masa sudah lupa mengenali siapa musuh sendiri?" katanya lagi dengan tampang kesal. Kesabaran nampaknya telah habis dimakan waktu karena lamanya di suruh menunggu. Joan menggertakkan giginya akibat jengkel. Sudah b
"Kak, kau aneh sekali," cicit Edwin dengan muka cemberut, "Sudah dari kemarin-kemarinnya kau berubah. Seperti orang yang beda. Aku yakin ini bukan hanya sekedar perasaanku saja."Shena nampak panik, sekaligus memaki dalam hati karena refleksnya tadi, "Tidak ada yang aneh, Edwin. Hanya perasaanmu saja. Kakak kan sudah bilang kalau sedang tidak enak badan, takutnya menulari dirimu." Bersamaan dengan atmosfer di sekitar keduanya yang berubah, Maria datang membawa camilan serta minuman. "Ada apa dengan kalian?" tanyanya bingung, "kenapa malah diam-diaman?"Edwin yang memang orangnya blak-blakan langsung melontarkan pertanyaan, "Maria, apa selama kakakku tinggal bersamamu dia tidak menunjukkan gelagat aneh?""Aneh bagaimana?" Maria mendudukkan dirinya di tengah-tengah kakak beradik itu. "Aku tidak yakin pasti, tapi rasa-rasanya kak Shena seperti sedang menyembunyikan sesuatu dariku, dari kami.""Kau pasti salah sangka." Tanggapan Maria sama persis dengan yang dikatakan Shena, tapi tetap
Setelah resign dari pekerjaannya, Shena disibukkan dengan aktivitas barunya menjadi seorang freelancer seperti yang dia inginkan. Ia baru saja selesai dengan pekerjaannya saat rasa lapar menghampiri. Kehamilannya telah menginjak 20 Minggu dan dalam masa itu ia sering merasa lapar dan juga mengantuk. Selama hamil, jadwal tidurnya jadi berantakan. Untuk alasan itu, dia menunda menandatangani kontrak menjadi editor dengan perusahaan penerbitan dan lebih memilih pekerjaan ringan yang tak mengharuskan dia dikejar-kejar deadline. Shena turun dari kamar, pergi ke dapur. "Bibi masak apa?"Ketika Shena tiba di dapur, ia melihat sang bibi nampak sibuk buat kue. "Saya mau buat cookies buat cemilan, Nyonya Shena. Nyonya mau rasa apa selain cokelat?" Mendengar kata cookies, Shena nampak senang. Ia berjalan mendekat, melihat proses bibi itu membuat cookies kesukaannya selama dia tinggal di apartemen Mahendra. Rasanya sungguh enak sekali. "Rasa matcha atau pisang kalau bibi bisa membuatnya." ka