Shena menyudahi makan malamnya. "Sudah selesai? Apa Anda mau puding sebagai makanan penutup?" tanya bibi pembantu yang ditugaskan Mahendra untuk menemani Shena selagi dia tidak ada.Nyatanya, Shena sudah kenyang. Tapi tawaran makan puding dari bibi di depannya, tanpa sadar ia meneguk ludah pertanda mau. Jadi dia mengangguk sebagai jawabannya dan secara lirih kembali mengucapkan terima kasih."Anda tidak perlu merasa sungkan, sudah kewajiban saya menjaga dan melayani Anda selama berada di sini, Nyonya.""Shena ... tolong, panggil saya dengan nama saja." "Tuan Mahendra pasti tak akan suka bila saya memanggil Anda begitu," ujarnya menolak tanpa ragu."Bagaimana memanggil namaku saja saat dia tidak ada?" Shena berusaha bernegosiasi. Bibi itu tersenyum, lalu mengangguk iya."Baiklah, selama Anda tidak keberatan."Puding coklat kemudian diambilnya oleh bibi itu dari lemari pendingin lalu menyerahkannya pada Shena."Tidak keberatan saya tinggal beberes dulu?" "Hum, aku tidak akan menggang
"Shena, kau ada di mana?!"Pekikan nyaring di pagi hari seketika itu menyadarkan Shena dari tidur lelapnya. Setelah tadi malam dia terjaga selepas kepergian Mahendra, ia tidak bisa tidur lagi sampai waktu menunjukkan pukul empat pagi. Dan sekarang jam di nakas telah menunjukkan pukul tujuh dan tidak ada seorangpun yang membangunkan dirinya.Shena menyibak selimut, "Laura, ada apa? Kenapa pagi-pagi sudah menelepon?" tanyanya seraya melihat ke sekeliling kamar. Barulah dia ingat kalau mulai tadi malam dirinya telah pindah ke apartemen bosnya. "Coba tebak siapa yang datang ke tempat kerja kita sekarang? Kau dimana, kenapa belum tiba juga?'Shena lupa kalau dia masih menjadi karyawan di hotel The Muneer. Surat pengunduran dirinya masih belum dia serahkan."A-Aku akan bersiap. Ngomong-ngomong, siapa yang datang?""Tante Hera, sekarang dia ada di lobi menunggu kau datang. Cepatlah, kau tak kasihan melihat ibumu menunggu lama di sini?" seru Laura lagi mengingatkan. "Aku tutup teleponnya."
Apanya yang kenapa? pikir Shena tak habis pikir. Tentu saja karena begitulah seharusnya. Andai bukan karena insiden itu, mana mungkin dia menjadi seperti ini. Dia tak mungkin mengulang kesalahan yang sama. Tidak, saat dia masih sadar dengan apa yang dirinya perbuat."Saya hanya akan melakukan itu lagi dengan pria sah saya." cicit Shena dengan suara rendah.Hening melanda beberapa saat, sampai tawa keras kemudian terdengar dari Mahendra yang membuat wajah Shena memerah akibat malu luar biasa."Kenapa harus tertawa segala? Memangnya ada yang lucu dari perkataannya?" batin Shena merasa marah. Walau dalam hati ia merasa dongkol, tapi dipermukaan dia tidak menampakkannya. Ia mulai minum susunya dan mengabaikan suara tawa Mahendra yang cukup menjengkelkan."Setelah apa yang terjadi dengan kita?" tanya Mahendra dengan alis terangkat naik. Wajahnya yang biasa memiliki ekspresi dingin dan datar kini menunjukkan raut main-main yang langka."Malam itu kan murni karena ketidaksengajaan," "Jadi b
Rafael mendengar seseorang memanggil namanya. Saat dia melihat bahwa ibu Shena lah yang memanggil, ia langsung mendekat. "Tante Hera, apa kabar?" sapanya ramah. Ia melirik Shena, berharap wanita itu menyapanya tapi yang terjadi seperti yang telah dirinya duga. Shena mengabaikannya."Kabar tante baik. Bagaimana denganmu?""Saya juga baik, Tan." Rafael tidak berani duduk dikarenakan ada Shena di sana, mengawasinya."Apa kau sibuk?""Saya harus kembali bekerja," jawabnya jujur. Sejujurnya, pekerjaannya tidak terlalu mendesak, ia bisa tinggal di sana untu sementara waktu, tapi karena dia sadar diri kehadirannya tidak diharapkan, pergi adalah pilihan terbaik. "Maaf tidak bisa menemani Tante lama-lama.""Tante yang salah, Rafael. Kalau begitu kau bisa melanjutkan pekerjaanmu. Kapan-kapan kalau kau sedang libur, mampirlah ke rumah. Tampaknya sudah lama sekali tante melihatmu bermain di rumah."Shena menipiskan bibirnya, tidak senang akan tawaran sang ibu pada Rafael. Apabila itu dulu, dia s
Laura menyilangkan tangannya di dada. Badannya bersandar ke pintu masuk ruangan staf dalam posisi miring. Sepasang matanya menatap lurus ke arah Shena yang kini membereskan barang-barangnya."Kau yakin tidak ada yang mau dijelaskan padaku?" tanyanya dengan raut wajah serius yang jarang terjadi."Kalau ini masalah pengunduran diriku, maka tidak. Tidak ada penjelasan, Laura." Shena tidak memalingkan muka ketika menjawab pertanyaan itu dan fokus dengan membereskan barang-barangnya."Benarkah? Atau apa aku harus bertanya langsung pada tante Hera mengenai kau yang tiba-tiba mengundurkan diri dari pekerjaan?" Laura terus mendesak, tidak patah harapan walau Shena bersikeras tidak memberikannya jawaban. Shena terdiam, namun bahunya gemetar begitu nama sang ibu terlibat di sini. Laura berjalan mendekat, duduk di kursi panjang saat dia mengamati punggung lurus Shena yang sedang berdiri di depan loker."Kau terlalu mendadak pergi, Shena. Ini tidak seperti dirimu yang sangat mencintai pekerjaanm
"Mama bertemu dengan kakak? Apa katanya? Apa dia sungguhan ada masalah?" Erwin menghampiri sang ibu yang kini duduk di sofa ruang keluarga.Ia menaruh segelas air hangat di atas meja dan obat untuk ibunya minum.Hera berpaling menatap sang putra, sepasang matanya agak linglung tatkala dia mengingat pertemuannya dengan Shena. "Mama merasa ada sesuatu yang kakakmu sembunyikan dari mama, Erwin."Erwin duduk di samping Hera, mendengarkan dengan saksama. Dalam hati dia bertanya apa yang sebenarnya telah terjadi. "Ini, minum obatnya dulu." Hera menerima butiran obat dan secangkir air itu lalu meminumnya. Setelah dia merasa sedikit tenang, ia kemudian menceritakan akan pertemuannya dengan Shena kemarin. Tentang Shena yang juga tinggal bersama dengan Maria sampai waktu tak ditentukan."Maria?" gumam Erwin dengan kening berkerut. Ia mengenal teman sang kakak yang satu itu tapi tidak terlalu dekat seperti dia dan Laura. "Apa mama mau aku mengecek kakak di tempat Maria. Mumpung aku sekarang t
Mahendra mengetuk-ngetuk jarinya di pegangan sofa, nampak berpikir keras mengenai tawaran kencan buta pura-pura itu."Baiklah," ujarnya setuju setelah memikirkan pro dan kontra. Jessica nampak terkejut lalu senang karena akhirnya berhasil membuat Mahendra setuju. "Kau tidak akan mengingkari janjimu, kan? Jangan membatalkannya sampai kerjasama kita selesai. Berapa bulan?""Dua bulan saja." jawab Mahendra lagi singkat. Dua bulan sudah cukup baginya untuk mengenalkan Shena pada sang kakek dan mengumumkan hubungan mereka ke publik. Itu juga waktu yang tidak terburu-buru menurutnya."Ada lagi yang mau kau bicarakan?" tanya Mahendra sambil melihat jam di dinding, seolah mengisyaratkan kalau dia super sibuk dan tidak punya waktu lebih untuk menemani Jessica."Kau lanjutkan kerjamu, aku tunggu di sini sebentar. Boleh?" Jessica bertanya penuh harap. Pasalnya, dia belum mau pulang ke rumah karena pasti membosankan. Selama masih ada ibu tirinya di rumah, dia tak punya waktu santai. Apalagi ka
Sontak saja mendengar pernyataan itu, Renata membulatkan matanya tak percaya. Seluruh tubuhnya gemetaran keras karena hampir saja mengabaikan pasien di dalam. Untung saja dia telah diberi peringatan oleh manajer Ardi dan tidak lagi memperlakukan wanita itu dengan sikap seadanya. Mendengar keributan itu, Laura membuka tirai yang menghadang pandangan. Dia hampir saja menjerit kaget andai saja tidak ingat di mana kiranya kini berada. "P-presdir...." ujarnya terdengar gagap. Masih belum percaya bahwa laki- laki berkuasa dan jarang sekali ditemui, tiba-tiba muncul di hadapannya. Mahendra sontak menolehkan kepalanya ke samping. Sepasang matanya langsung awas tatkala mendapati dirinya tidak berdua saja, melainkan ada orang lain pula di dalam klinik kesehatan tersebut. "Kau tidak memberitahuku soal ini?" Desisnya penuh peringatan. "Saya berusaha mencoba memberitahu Anda, tapi Anda keburu emosi tadi." Renata berkilah, tak terima dituduh lagi atas kesalahan yang jelas-jelas tidak dirinya p
Mahendra menepati janjinya pada Shena. Ia membawa sang istri pergi ke banyak tempat yang memungkinkan wanita itu cukup bersenang-senang. Mereka bersepeda, berjalan-jalan memanjakan mata dengan pemandangan di sekitar yang nampak menakjubkan. Mereka juga melakukan tamasya di setiap kota-kota yang mereka jelajahi. Semua tempat mereka kunjungi. Basel, Bern, Lucerne, Jenewa dan terakhir adalah Zurich. Pada akhirnya, sebelum kota dataran rendah menjadi sibuk karena awal musim dingin, kedua pasangan itu pergi ke pegunungan di mana resort ski telah di buka. Saat mereka mencoba kereta gantung, Shena mendapat kejutan dari Mahendra berupa di daftarkannya sang istri ke salah satu Universitas swasta yang ada di Jakarta. Karena tak sanggup berpisah jauh, Mahendra memutuskan membuat Shena melanjutkan pendidikannya di kota Jakarta saja. "Aku sudah menyelesaikan pendaftarannya untukmu. Langkah selanjutnya yang harus kau persiapkan adalah mengikuti setiap tes bagi mahasiswa baru." Mahendra yang mene
Shena menahan erangannya, berusaha mengalihkan perhatiannya pada apa pun yang dapat membawanya ke kesadaran semula. Namun sulit. Mahendra terlalu terampil menciumnya. "Tunggu, tunggu...." Shena menyela dengan suara serak. Digelengkannya kepalanya ke kiri dan kanan untuk menjauhkan lehernya dari kecupan bibir pria itu yang terasa dingin dan panas."Hum?" Respons pria itu masih sama, acuh tak acuh seolah melihat Shena agak kesusahan merupakan pemandangan nikmat buatnya."Aku perlu makan, Ya Tuhan, Sial! Aku lapar sekali!" Shena berseru keras, hampir jatuh lemas sebab beban berat di belakangnya. Kata-kata tak singkron pun di ucapkannya tanpa sadar. "Kau bisa melanjutkan makan, dan aku juga begitu." kekeh pria itu terdengar menyebalkan."Tapi ...."Keluhan Shena teredam ciuman menuntut lainnya di mulutnya yang terasa kebas. Padahal baru tadi malam mereka berhubungan intim, tapi pria ini seperti sedang kerasukan iblis cabul karena terlalu bersemangat di pagi hari. Walau dia juga menikma
"Aku lapar.""Kau lapar?" Mendengar sang istri berkata lapar, lenyap sudah kekesalannya. Ia menatap ke sisi meja yang ada di depan tempat tidur, di mana hidangan untuk makan malam mereka masih ada di sana, belum terjamah dan pasti sudah dingin pula."Kalau begitu aku panaskan dulu makanannya." ucap Mahendra seraya mengangkat Shena yang berbaring di atas tubuhnya.Shena menggelengkan kepalanya pelan, "Tidak perlu di panaskan, kita bisa langsung makan saja." tolaknya lalu bangun dan duduk.Ia mengedarkan pandangannya ke sekeliling, mencari kardigannya untuk menutupi ketelanjangannya di balik selimut. Mahendra berdiri duluan, berjalan menuju ke pinggir jendela di mana mereka memulai dan membungkuk untuk mengambil kardigan merah. "Kardigannya sobek, tidak bisa kau pakai." ujarnya dengan seringai seraya menunjukkan kain compan-camping itu ke arah Shena."Aku sudah ingatkan kau agar jangan merobeknya, tapi kau tidak mendengarkan." balas Shena cemberut.Sebagai gantinya, Mahendra mengambil
"Hati-hati jalannya. Angkat kakimu seperti sebagaimana kau menaiki tangga di rumah." kata Shena di samping telinga sang suami."Masih jauh?" tanya Mahendra penasaran sekaligus lelah. "Sabar. Sebentar lagi kita sampai." jawab Shena sambil menggandeng lengan sang suami menaiki tangga satu persatu.Berjalan sambil ditutup matanya itu benar-benar tak enak sama sekali. Apalagi tadi, dia sudah tersandung kaki meja dan hampir jatuh terjungkang ke depan. Untung Shena langsung menariknya atau kalau tidak, sudah memar wajahnya dikarenakan terantuk lantai.Semuanya bermula dari setengah jam yang lalu. Di mana setelah mereka selesai menghabiskan waktu dengan menonton film, Shena tiba-tiba mengajaknya keluar.Awalnya dia tidak curiga sedikitpun akan permintaan mendadak sang istri, tapi setelah di pertengahan jalan Shena meminta agar kedua matanya di tutup dengan kain segala, ia mulai menaruh curiga bahwa sang istri pasti sudah merencanakan sesuatu untuknya. Dan tampaknya, dia tahu kejutan apa itu
Askara melakukan sesi foto bersama dengan ayah dan ibunya untuk yang pertama kali. Sesi pemotretannya dilakukan di salah satu kamar tamu yang jarang digunakan, meski begitu tetap terawat dengan baik oleh para pembantu di rumah.Tanpa Shena tahu bahwasanya sekarang, sang suami telah berencana membangun rumah impian mereka yang diperkirakan akan rampung dalam satu tahun mendatang. Rumah mewah yang memiliki tiga lantai itu akan diberikan Mahendra pada sang istri tercinta. "Tidak masalah, Kek. Aku juga maunya memberikan hadiah untuk istriku." Sebelum sesi pemotretan dilakukan, pada pagi hari nan cerah pukul sepuluh, kakek dan bibinya berada di rumah. Tidak kemana-mana, karena hari itu juga hari libur. Selagi menunggu Shena selesai di dandani oleh MUA yang dibawa Angga, Mahendra diseret Rossa untuk membicarakan masalah pembangunan rumah baru itu."Lalu nanti bagaimana dengan rumah yang kakekmu berikan padamu?" tanya Rossa dengan kedua mata melotot. Tampak sekali kalau dia gemas dan mar
"I-ini apa artinya?" Shena bertanya bingung. Bolak balik Shena melihat pada Mahendra yang duduk di sampingnya, lalu beralih pada surat-surat kepemilikan restoran dan tanah itu yang mengatasnamakan dirinya. "Sejak kapan?" Pikir Shena. "Sejak kapan Mahendra mempersiapkan kejutan ini? Membeli restoran yang sangat ingin dia kunjungi?" "Bukankah ini terlalu berlebihan?" tanya Shena dengan tatapan bingungnya. Mahendra menautkan alisnya, "Berlebihan?"Wanita itu mengangguk, "Kau tak perlu membelikan aku ini. Aku-- aku hanya ingin melihat glass house itu saja karena kulihat di foto waktu itu bagus sekali tempatnya. Aesthetic. Dan kau---""Kau tidak mau?" "Ya?""Menerima hadiah dariku. Kau keberatan karena aku membelikanmu restoran ini?""Sejujurnya iya. Aku pikir tak usah ... Mahendra, tunggu. Kau mau ke mana?" Shena tersentak kaget melihat prianya beranjak bangun dari duduknya. Dilihat dari sisi wajah Mahendra yang mana rahangnya mengetat, ia langsung sadar telah melakukan kesalahan.
Shena dan Mahendra tiba di restoran tak lama kemudian. Mahendra lebih dulu memarkirkan mobilnya, lalu keluar, menggandeng tangan Shena masuk ke dalam. "Ini tempat yang mau kau kunjungi?" tanya pria itu saat mereka berjalan menuju ke konter, menemui seorang pelayan wanita yang tampaknya seorang karyawan di sana. Shena melihat ke sekeliling, bertanya-tanya di mana tempat yang dia lihat di video itu. "Aku juga tidak yakin, karena ini adalah pertama kalinya bagiku.""Coba sini tunjukkan fotonya. Mungkin kita bisa bertanya pada wanita itu untuk mencari tahu." kata Mahendra sembari meminta ponsel sang istri. Dengan patuh, Shena menyerahkan ponsel miliknya pada sang suami. "Permisi."Wanita yang kelihatan kepala tiga itu berbalik, melihat pada dua orang pelanggan yang baru datang dan menyambutnya dengan senyuman. "Ya, ada yang bisa saya bantu, Tuan?""Saya ingin bertanya, apakah tempat yang di foto adalah benar tempatnya di sini?" Mahendra lalu menyerahkan ponsel Shena untuk dilihat oleh
Ruangan itu gelap dan hening. Langkah kaki secara perlahan berjalan menginjak lantai, pelan sekali sebab takut keberadaannya dapat mengganggu si penghuni kamar. Setelah tiba di kamar tidur besar yang ada di tengah ruangan, Mahendra menaruh tas kecilnya yang berisikan ponsel dan dompet ke atas meja. Lalu, ia pun berjalan menuju sisi tempat tidur di mana sebuah gundukan yang tertutup selimut terlihat oleh matanya. Di tengah jalan, kakinya tersandung sesuatu. Mahendra memicingkan mata, menatap lekat pada benda itu. Ia membungkukkan pinggang, sedang tangannya meraih benda itu. Sebab gelap, dia tidak tahu benda apa yang diinjaknya, namun setelah dia mengambil benda itu, dia jadi tertegun. Ia pun menaruh benda yang tak lain adalah BH ke sandaran sofa dekat ranjang. Waktu telah menunjukkan pukul tiga pagi dan ruangan kamar itu sangat dingin akibat pendingin ruangan yang menyala. Mahendra mencari-cari remote kontrol AC. Setelah ketemu, dia menyetel kembali suhu supaya tidak terlalu dingin.
Malam itu, setelah Mahendra selesai dengan urusannya, dia memutuskan langsung kembali ke penginapan. Tak disangka, ternyata Angga yang dikiranya akan tinggal lama bersama Jessica, malah dilihatnya sedang menonton film."Kenapa kau ada di sini?" tanyanya langsung dengan ekspresi heran. "Kalau tidak di sini, memang harus di mana?" kata Angga sembari sedikit memiringkan kepalanya biar bisa melihat Mahendra. Mahendra yang awalnya berdiri tak jauh dari tempat Angga sedang menonton film, pun berjalan menghampiri temannya tersebut. Ia duduk di sebelah Angga, sepasang netranya cukup lekat memandangi teman akrabnya itu yang kini tengah asyik menatap televisi. Seolah, memang sengaja mengabaikan keberadaannya. "Aku sudah membantumu agar bisa bertemu dengan Jessica, meninggalkan kalian berdua pula di sana, serta memerintahkan anak buahku agar sungguh-sungguh menjaga lingkungan sekitar restoran dari para pengganggu. Harapanku, supaya kalian berdua punya banyak waktu bersama. Tapi ternyata, yan